Selasa, 28 Agustus 2007 00:29 WIB
* Pemerintah RI Kewalahan Berikan Perlindungan
Catatan Avian E. Tumengkol
Pemerintah RI kewalahan dalam memberikan perlindungan kepada para tenaga kerja Indonesia (TKI) akibat aksi-aksi yang melanggar hak azasi manusia dan tidak manusiawi. Penganiayaan dan pembunuhan terhadap sejumlah TKI di luar negeri, khususnya di Arab Saudi dan Malaysia, bukan rahasia umum lagi. Korban cedera dan meninggal banyak berjatuhan dalam jumlah besar terhadap tenaga kerja Indonesia akibat aksi-aksi perbudakan, penyiksaan dan eksploitasi seks oleh para majikan.
Banyak yang mengalami gangguan jiwa dan mental. Apa faktor kesulitan pemerintah RI? Waspada berhasil mendapatkan informasi dari sumber yang layak dipercaya setelah melakukan analisis di lapangan.
Departemen Luar Negeri RI melalui Perwakilan RI di luar negeri - Kedutaan Besar Repubilk Indonesia (KBRI) dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) mengalami kesulitan menghadapi permasalahan TKI di luar negeri. Maraknya kasus-kasus yang terjadi terhadap pekerja migran Indonesia membuat pemerintah RI tampak lemah dalam mengatasi permasalahan hingga para TKI yang bermasalah tidak mendapatkan perlindungan yang semestinya. Para majikan memperbudak, menganiaya, memerkosa dan bahkan membunuh sejumlah warga negara Indonesia yang dipekerjakan. Bahkan, praktik perdagangan manusia pun menjadi bagian dari beberapa kasus utama yang menimpa para TKI.
Lemahnya pemerintah RI memberikan perlindungan kepada TKI akibat dari peran dan keterlibatan pejabat pemerintah setempat yang melindungi para majikan. Walaupun para majikan berbuat kesalahan atau melanggar hukum, terutama hak azasi manusia, mereka tidak diharuskan menjalankan hukuman karena perlindungan pejabat negara setempat, banyak di antaranya justru orang tua dari para majikan. Tidak sedikit jumlah majikan yang orang tuanya seorang pejabat atau menjadi anggota keluarga dari pejabat tersebut. Lemahnya supremasi hukum yang kalah kuat dengan pejabat negara itu menjadi faktor fundamental. Sindikat terselubung mengimpor tenaga kerja Indonesia ke negaranya melibatkan pejabat setempat dan aksi mafia tersebut terjadi baik di negara setempat maupun di Indonesia.
Para diplomat Indonesia di Arab Saudi kesulitan memberikan perlindungan karena tidak adanya perangkat hukum di negara itu. Nota Kesepahaman (MoU) dengan Indonesia pun tidak ada karena pemerintah Saudi keberatan menerapkan peraturan dan rendahnya keinginan atau upaya penegakan hukum. Pemerintah Saudi sangat memihak pada warganya sendiri demi kepentingan ekonomi nasional dan tidak perduli dengan pekerja migran secara umum, tidak hanya asal Indonesia tapi seluruh dunia. Perbudakan terjadi tanpa henti di negara itu karena rendahnya demokratisasi dan mendasar pada sistem pemerintahan dictatorship.
Baru-baru ini, dua TKI meninggal dunia akibat penganiayaan oleh keluarga majikan yang beranggota 7 orang karena diduga melakukan santet. Pembunuhan itu terjadi setelah aksi penganiayaan secara brutal oleh salah satu anggota keluarga majikan yang dilaporkan mengalami gangguan jiwa. Dua lainnya dirawat secara intensif di rumah sakit karena mengalami cedera luka parah. Namun, setelah kondisi mereka membaik, kedua TKI itu dipindahkan ke penjara setempat tanpa pemberitahuan kepada KBRI Riyadh. Pihak KBRI pun diberitahu kejadian itu oleh beberapa warga Indonesia.
Sampai tanggal 26 Agustus 2007 pukul 16.55 WIB, pemerintah Saudi belum memberikan KBRI akses kepada para TKI tersebut walaupun pemerintah RI sudah melayangkan nota diplomatik sebanyak dua kali. Padahal tenaga kerja Indonesia sudah bekerja menguras energi mereka tanpa batas, melayani secara seks, fisik dan bahkan diperkosa. Para diplomat Saudi di Indonesia enggan memberikan komentar.
Keadaan yang serupa terjadi di Malaysia. Walaupun kedua pemerintah telah menandatangan MoU, tidak jarang pemerintah Malaysia mengabaikan kesepaham itu dan malah memenjarakan pekerja Indonesia walau tak bersalah karena memihak warganya sendiri. Banyak majikan yang orang tuanya menjadi pejabat pemerintah setempat atau memiliki kedekatan dengan kalangan pejabat. Ironisnya, para pejabat Malaysia dan anggota keluarganya justru terlibat dalam upaya mengeksploitasi TKI di negaranya. Mereka terang-terangan mengetahui dan paham jelas bahwa banyak majikan yang melakukan aksi perbudakan, pemerkosaan dan pembunuhan terhadap TKI.
Namun karena para majikan tersebut adalah anaknya sendiri atau saudara, justru pihak pekerja yang dihukum dan dipenjarakan. Sejumlah pejabat itu sengaja melindungi warganya. Bisnis impor TKI ke Malaysia dilakukan dalam jumlah besar melalui sindikat terselubung dengan tujuan memanfaatkan tenaga fisik TKI yang dianggap murah untuk melengkapi kebutuhan industri ekonomi dan tenaga kerja setempat. Praktik itu secara sistematis dilakukan demi kepentingan ekonomi dengan adanya lapangan pembangunan yang sangat besar.
Mereka secara sengaja diketahui sebagai pejabat di Malaysia karena merasa 'kebal hukum' hingga dapat melancarkan praktik kejam dan tidak manusiawi tersebut. Penegakkan hukum di Malaysia sulit diterapkan karena kekuasaan kalangan pejabat. Sama halnya dengan pemerintah Arab Saudi, pemerintah Indonesia sudah tegas meminta kepada Malaysia untuk menegakkan hukum secara adil terhadap para majikan yang bersalah, namun sampai sekarang tidak ada respon. Sejumlah besar kasus di antaranya kabur dari majikan namun tidak bisa pulang ke Indonesia karena tidak pegang uang karena gajinya tidak bayar. Banyak yang mengaku ditipu permainan majikan dan PJTKI (Perusahaan Jasa TKI). Baru-baru ini, seorang TKI diperkosa hingga tujuh kali, seizin istri majikan laki-laki.
Wartawan Malaysia yang baru-baru ini berkunjung ke Indonesia mengaku bahwa media di Malaysia sangat terkontrol oleh pemerintahnya, terutama berita politik. Tentu, itu dilakukan untuk menjaga citra pemerintahan Malaysia di dalam negeri, terutama di luar. Rupanya, MoU Indonesia dengan Malaysia yang ditandatangani pada bulan Mei 2006, tidak memberikan perlindungan kepada pekerja migran Indonesia dan lebih memihak Malaysia hingga membuat para TKI mudah terjerumus ke dalam situasi layaknya perbudakan.
Dalam perjanjian itu, para majikan Malaysia diperbolehkan untuk menahan pekerja, dokumen dan paspornya serta melarang atau membatasi kebebasan pekerja untuk pulang kampung. Juga, para majikan diperbolehkan memotong gaji bulanan mereka sampai 50 untuk membayar berbagai pinjaman, jika ada, dan tidak memberikan waktu istirahat. Sementara itu, Malaysia tidak memiliki UU Anti Perdagangan Manusia.
Di Indonesia, yang terjadi adalah 'permainan' dan penyimpangan yang mengakibatkan potensi masalah yang berkembang menjadi tambah kacau di luar negeri. Para calon TKI, dalam jumlah besar – mulai dari pedesaan sampai perkotaan – tidak memenuhi persyaratan administrasi dan fisik namun tetap dibantu, bahkan diloloskan oleh PJTKI (Perusahaan Jasa TKI) yang 'bermain' dengan pemerintah tingkat kabupaten, daerah dan pusat.
Kasus-kasus TKI yang bermasalah berangkat dari impian sejumlah warga desa dan kota yang ingin memperbaiki nasib ekonomi keluarga. Pihak PJTKI menampung para pekerja dan menjanjikan jasanya untuk bisa mewujudkan impian mereka dengan iming-iming gaji besar dan kehidupan yang lebih baik. Pemerintah pun mendukung upaya tersebut karena terbuai dengan imbalan yang ditawarkan dan diberikan oleh PJTKI. Oleh sebab itu, terjadilah praktik gelap dan aksi penyimpangan yang memicu maraknya permasalahan hingga berjatuhan korban di luar negeri. Melalui proses itu, keselamatan dan kesejahteraan para pekerja tidak terjamin, terutama di negara-negara yang penegakkan dan supremasi hukumnya kalah kuat dengan kekuasaan pejabat pemerintah, seperti di Indonesia pada zaman Soeharto dulu.
PJTKI banyak yang beroperasi tanpa izin atau ilegal. Tapi karena 'sogokan' mereka kepada pemerintah dalam negeri lancar, terjadilah penyimpangan-penyimpangan yang, juga, bukan rahasia umum. Sulit untuk diberantas karena pejabat pemerintah gampang terbuai dengan nomimal yang ditawarkan, lagi-lagi dikarenakan alasan ekonomi, tentunya. Kini, BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI) telah dibentuk sebagai upaya memberantas penyimpangan-penyimpangan yang selama ini terjadi, tentu dengan harapan masalah penyimpangan dapat diberantas dan lebih memberikan keamanan dan legalitas bagi para pekerja migran Indonesia sekaligus memberikan penempatan yang layak kepada mereka.
Permasalahan akan tetap marak jika tidak ada aksi pemberantasan yang tegas. Norma-norma kemanusiaan menjadi isu dalam permasalahan TKI, terutama di luar negeri. Penyimpangan menjadi isu di dalam negeri, mulai dari proses administrasi keberangkatan hingga kepulangan para TKI di Indonesia. Sebelum berangkat, para calon TKI diharuskan memberikan uang untuk melancarkan keberangkatan. Setibanya di negara setempat, mereka disiksa, diperbudak, diperkosa dan dibunuh. Yang masih bernyawa, sepulangnya mereka ke Indonesia, tetap harus memberikan uang kepada petugas di bandara sebagai syarat untuk bisa 'lolos' keluar dari bandara. (aa)