www.hshandoyo.net
(kesungguhan cerita ini didukung
oleh surat-surat perjalanan dan kontrak
yang salinannya saya dapatkan dari Wahyu)
oleh surat-surat perjalanan dan kontrak
yang salinannya saya dapatkan dari Wahyu)
Hari ini hari yang istimewa bagi saya. Setelah beberapa kali terekspos dalam diskusi tentang penipuan pengiriman TKI ke luar negeri, kini saatnya saya langsung berkenalan dengan salah satu korbannya. Sebut saja Wahyu, seorang pemuda dari desa Jambi, Nganjuk. Ia kini tinggal di salah satu asrama yang juga saya tinggali di Amsterdam, Belanda. Ia sedang menunggu kepulangannya ke tanah air.
Bersama dengan kawannya, Mahdi (bukan nama sebenarnya), Wahyu tiba di bandara Charles De Gaulle, Paris tanggal 15 Juli 2007. Penjemput yang dijanjikan perusahaan pengirim mereka tidak kunjung dating untuk mengantar mereka ke Belanda. Beruntung mereka sempat berkenalan dengan mahasiswa Indonesia dalam perjalanan hingga dapat dibantu mengurus perjalanan ke Belanda. Bayangkan saja dengan bahasa Inggris yang pas-pasan apalagi bahasa Perancis, mereka terkatung-katung di bandara yang super besar itu.
Perusahaan X yang mengirim kedua kawan ini sempat menghilang membawa uang Rp50 juta per orang yang mereka katakan biaya administrasi pengurusan visa, ijin kerja, kursus bahasa dan semua "tètèk bengèk" yang sungguh-sungguh bikin bengèk itu. Walaupun akhirnya bisa dilacak oleh orangtua Wahyu di Indonesia, perwakilan perusahaan ini berjanji mengembalikan setengah dari uang yang disetorkan dalam tiga bulan. Tapi janji hanyalah janji yang hingga kini tak terealisasi.
Wahyu bercerita bahwa untuk mengejar mimpinya bekerja di Eropa, dia harus mengeluarkan koceknya sebesar Rp25 juta — hasil tabungannya bekerja di Korea dan sisanya meminjam ke kanan kiri termasuk tengkulak. Dalam hal ini saya bertanya-tanya, mengapa uang sebanyak itu tidak dipakai jadi modal usaha atau investasi. Tapi jawaban yang saya terima, ‘itulah investasi yang merea usahakan.’
Mereka berharap bahwa dengan uang sebanyak itu mereka mampu membayar kembali dengan tiap Euro yang mereka hasilkan di Eropa. Sayang sekali mereka tidak memiliki bayangan seperti apa Eropa selain dari cerita yang berseliweran atau pun film-film di televisi yang sungguh menyesatkan dari kondisi sebenarnya.
Mereka juga sadar bahwa semua ini pun sebetulnya kesalahan mereka karena mereka dengan mudah asal percaya saja bahwa semua yang diurus oleh perusahaan X ini legal. Dari hasil wawancara saya dengan Wahyu, terungkap bahwa perusahaan ini mendaftarkan mereka sebagai pelaut bersertifikat (dengan paspor pelaut). Mereka akan dikirimkan ke Tahiti lewat Perancis dan kemudian mengganti visa di Perancis untuk bekerja di Belanda. Skenario ini terkesan "wah" bagi mereka yang ada di desa dan memiliki mimpi besar untuk bergaya hidup a la Jakarta.
Apalah mereka, dengan kedua orangtua sebagai buruh tani yang berpenghasilan tidak kurang Rp300 ribu sebulan. Wahyu hanya mampu bersekolah hingga SMP. Dengan latar pendidikan itulah, mereka umumnya menjadi bulan-bulanan dan ditagih "uang pelicin" untuk setiap meja di kantor-kantor tenaga kerja atau pun imigrasi untuk mengurus ijin menjadi TKI karena dianggap tidak mampu apa-apa padahal Wahyu sempat dikirim ke Korea untuk bekerja di sebuah perusahaan alumunium.
Kini, Wahyu hanya bisa bersyukur International Organization for Migration (IOM) di Amsterdam mau mengirimkan dia kembali ke Indonesia. Namun, apalah daya, ketika mau kembali ke Indonesia, paspornya hilang dan kini IOM hanya memberi waktu dua minggu untuk mengurus paspor baru yang sulitnya bukan main. Nasibnya kini terkatung-katung di Amsterdam. Uang raib, paspor raib dan biaya ke Indonesia cukuplah mahal.
Kini perawat-perawat Indonesia di Amsterdam berusaha menampung dan menolong Wahyu walaupun ia masih tidak memiliki rencana apa-apa sekembalinya ke Jawa Timur. Itu pun kalau sempat kembali. Dalam akhir wawancara dengan Wahyu, ia hanya meminta pemerintah bisa menertibkan perusahaan-perusahaan pengirim TKI yang kongkalikong dengan oknum imigrasi ataupun oknum-oknum pemerintah yang korup.
Mendengar cerita ini, teriris hati saya. Saya mungkin beruntung bisa lahir di keluarga yang cukup dan mampu bersekolah ke luar negeri tapi saya mungkin tidak memiliki semangat perjuangan yang sama seperti Wahyu yang hanya tamatan SMP. Inilah perjuangan kaum pekerja keras, calon-calon "Pahlawan Devisa" yang berjuang untuk mendapat hidup layak, tidak hanya untuk dirinya, tapi juga untuk keluarganya.
Betul-betul seperti judul film Bruce Willis yang terakhir, Die hard 4.0: Live Free or Die Hard ..**