Pernyataan Agustusan
Persatuan BMI Tolak Overcharging (PILAR)
Stop Overcharging
Berikan perlindungan dan tingkatkan pelayanan untuk BMI di Hong Kong
Bagi Buruh Migran Indonesia di luar negeri, perayaan kemerdekaan yang diadakan setiap bulan Agustus terasa getir. Di hati kita masing-masing kita bertanya, jika Indonesia sudah merdeka, mengapa kita harus jadi pembantu dan buruh kasar di negeri orang? Mengapa BMI harus terus-terusan dieksploitasi dan ditindas?
Kemiskinan, rendahnya upah, tingginya tingkat pengangguran, tidak dijalankankanya reforma agraria sejati di pedesaan, dan krisis yang kian parah telah memaksa jutaan rakyat Indonesia bekerja ke luar negeri sebagai pembantu dan buruh murah.
Bukannya menyelesaikan akar kemiskinan dan menciptakan lapangan pekerjaan dengan upah yang memadai, pemerintah Indonesia khususnya dibawah Rezim boneka Amerika SBY-Kalla, justru semakin menggalakan program pengiriman tenaga kerja keluar negerinya. Apalagi setelah merasakan devisa luar biasa hasil pengiriman BMI yang mencapai Rp. 60 trilyun/tahun. Tapi benarkah nasib pahlawan devisa semujur julukannya yang disebut sebagai pahlawan devisa.
Bukan rahasia lagi kalau BMI lebih dipandang sebagai barang dagangan daripada manusia. Demi mencapai target pengiriman sebanyak-banyaknya dan mendapat keuntungan sebesar-besarnya tanpa harus bekerja keras, Pemerintah Indonesia sengaja menciptakan sistem "semua calon TKI yang ingin bekerja keluar negeri harus melalui PJTKI". Tapi seluruh biaya proses keberangkatan dibebankan sepenuhnya kepada calon BMI, sehingga pemerintah dan PJTKI tidak perlu bersusah payah dan merugi.
Salah satu bukti kongkret liciknya pemerintah adalah keterlibatan mereka dengan mengesahkan Perjanjian Penempatan atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Asosiasi PJTKI (APJATI) dan perwakilan agency di HK (APPIH) tahun 2003. Di sini disebutkan bahwa setiap BMI yang bekerja ke Hong Kong harus membayar biaya sebesar HK$16.000. Jumlah biaya ini meliputi komponen biaya yang harus kita bayarkan kepada pemerintah, pihak asuransi, rumah sakit/klinik, komisi PJTKI sebesar 1 bulan gaji, biaya akomodasi dan training di penampungan PJTKI serta biaya untuk agency di Hong Kong yaitu HK$4.000 plus 10% gaji bulan pertama.
Mengetahui bahwa calon BMI tidak mungkin membayar biaya-biaya tersebut secara tunai, maka pembayaran dilakukan lewat pemotongan gaji bulanan setelah BMI bekerja di HK. Agency di HK-lah yang kemudian ditugaskan sebagai algojo penarik biaya ini. Pemerintah tidak perlu repot menarik biaya dari BMI, tapi semua diserahkan dan diwakilkan kepada PJTKI. Melalui sistem itu, peran pemerintah menjadi lebih terselubung, seakan-akan tingginya biaya penempatan yang mencekik selama ini bukanlah salah pemerintah, tapi salah PJTKI dan agency.
Tapi karena peraturan pemerintah HK yang membatasi komisi yang berhak diambil oleh agen tenaga kerja maksimal 10% dari gaji bulan pertama, maka agency di HK tidak berani memungut langsung dari BMI. Melainkan disalurkan lewat tangan Bank-Bank Perkreditan atau loan company dengan cara "memaksa" BMI untuk menandatangani perjanjian hutang setibanya mereka di HK. Dengan cara ini, agency terbebas dari tuntutan hukum HK dan keuntungan dari BMI tetap bisa diraup.
Lalu mengapa BMI masih harus membayar HK$21.000? Karena menurut beberapa sumber, sisanya diambil oleh Bank sebagai bunga hutang. BMI kemudian dipaksa untuk menyetor hampir seluruh gaji mereka, HK$3.000/bulan selama 7 bulan pertama. Yang lebih mengenaskan lagi yaitu maraknya BMI yang di-PHK setelah masa potongan gaji ini selesai. Bagi BMI yang di-PHK dan belum lunas "masa pembayaran hutangnya", akan terus dikejar-kejar. Keluarga mereka di Indonesia pun diintimidasi dan diteror habis-habisan.
Bahkan untuk bisa meningkatkan pasarannya di HK tanpa mengurangi keuntungan, BMI dijual murah dengan cara "mendiskon gaji" BMI atau dikenal sebagai underpayment. Sehingga BMI hanya menerima separoh dari gaji standar yang seharusnya dia terima. Sementara cara pemungutan biaya HK$21.000 dilakukan dengan cara mengambil uang muka dari majikan minimal HK$12.000 dan kekurangannya diambilkan dengan memotong habis gaji BMI selama 5 bulan pertama. Untuk membayar kembali uang muka yang telah majikan keluarkan sebelumnya, majikan memotongnya dari gaji bulanan BMI selama 2 tahun kontrak.
Jelas bahwa aktor di balik tingginya biaya penempatan yang selama ini menyengsarakan BMI di HK tidak lain adalah pemerintah Indonesia sendiri. Pemerintahlah yang menciptakan dan menjalankan kebijakan untuk memeras BMI. Pemerintah sengaja memanfaatkan PJTKI/agency untuk menjalankan program pengiriman tenaga kerja keluar negerinya dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya tanpa harus berhadapan langsung dengan BMI sebagai warga negaranya. Pemerintah sengaja berkolusi dengan PJTKI untuk memeras BMI. Ketika pulang ke Indonesia pun, atas nama perlindungan, BMI diperangkap lagi dengan dipaksa untuk masuk ke Terminal 3 di Jakarta dan diperas habis-habisan.
Peran Konsulat Indonesia di Hong Kong terhadap perlindungan BMI
Walaupun banyak BMI yang mengeluh tentang persoalan tingginya biaya penempatan, tapi Konsulat Indonesia di HK tidak melayani pengaduan-pengaduan BMI. Bahkan peningkatan jumlah BMI di HK yang telah mencapai 110.000 orang, sama sekali tidak disertai dengan meningkatkan kapasitas pelayanan Konsulat Indonesia untuk BMI.
Menurut Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Keluar Negeri (UUPPTKILN) No. 39/2004 menyatakan bahwa BMI yang ingin memperpanjang kontrak diijinkan untuk proses mandiri atau tanpa menggunakan agency. Tapi kenyataannya hanya BMI yang memperpanjang kontrak dengan satu majikan yang diijinkan untuk proses mandiri. Sementara syarat-syarat proses mandiri sangat sulit dipenuhi dan banyak yang tidak masuk akal seperti keharusan untuk dinotariskan, surat ijin wali dan surat kepada PJTKI.
Meski kantor konsulat Indonesia di HK dibuka pukul 9, tapi BMI baru dilayani sekitar satu jam kemudian. Belum lagi dikurangi 2 jam untuk jadwal makan siang. Jadi jika dihitung, jam pelayanan Konsulat yang efektif untuk BMI hanya sekitar 5 jam/hari. Padahal berdasarkan praktek standar internasional, jam kerja resmi seharusnya 8 jam/hari. Hari Sabtu pun tutup. Sementara itu, hari minggu yang merupakan hari libur utama puluhan ribu BMI di HK, Konsulat hanya buka 2 jam untuk BMI.
Karena pendeknya jam kerja, BMI terpaksa harus meminta bahkan mencuri waktu dari majikan di hari biasa untuk bisa datang ke kantor Konsulat. Selain itu, minimnya pelayanan menyebabkan BMI harus antri panjang hanya untuk mengurusi perpanjangan paspor atau dokumen lainnya. Tidak sedikit BMI yang mengeluh karena tidak dilayani, diberi muka masam bahkan dihardik oleh pejabat maupun staff Konsulat tanpa mereka tahu apa salah mereka.
Melihat kenyataan kongkret hari ini yang dialami oleh rakyat Indonesia, khususnya BMI, lahirlah suatu keyakinan bahwa cita-cita para pahlawan perjuangan Indonesia untuk kemerdekaan sejati bagi bangsa Indonesia belum tercapai. Mimpi supaya rakyat Indonesia hidup makmur tanpa harus jadi budak bagi Negara lain belum terpenuhi.
Untuk itu, kami yang tergabung di PILAR menuntut kepada Konsulat Indonesia di Hong Kong untuk mengijinkan proses mandiri untuk seluruh BMI di HK dengan proses yang mudah, memberikan pelayanan penuh untuk BMI 8 jam per hari dan juga di hari minggu serta meningkatkan kualitas pelayanan pejabat dan staf Konsulat.
Kami di PILAR juga menuntut pemerintah Indonesia untuk menetapkan biaya PJTKI maksimal 1 bulan gaji; menghapuskan biaya: akomodasi dan pelatihan di training centre, asuransi, tes kesehatan, biaya pembinaan, PP 92/2000 (US$15), PAP (Pembekalan Akhir Pemberangkatan); mencabut MoU/2003 dan Dirjen Binapenta 625/2004; mencabut UUPPTKILN 39/2004 dan bubarkan Terminal 3.
Hidup BMI!
Hidup Rakyat Indonesia !
Hong Kong, 17 Agustus 2007
Anggota PILAR:
Akhwat Gaul, Alexa Dancer, Al Fattah, Al Hikmah, Al Istiqomah Internasional Muslim Society, Al Ikhlas, Arrohmah, Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI-HK), Birul Walidain, Borneo Dancers, Forum Lingkar Pena (FLP-HK), Forum Muslimah Al Fadhilah (FMA-HK), Ikatan Wanita Muslim Indramayu Cirebon (IWAMIC), Ikatan Wanita Hindu Dharma Indonesia (IWHDI), KREN Dancers, Nur Muslimah ShatÃn, Simple Groups, Terali Dancer, Wanodya Indonesian Club
Link: Lingkaran Aksi Suarakan Perjuangan Kartini