Kamis, 13 September 2007
buruh migran
Yogyakarta, Kompas - Pemerintah Indonesia meminta pembicaraan tentang pembenahan struktur biaya penempatan tenaga kerja Indonesia di Hongkong segera difinalisasi.
Pemerintah berharap biaya penempatan TKI di Hongkong bisa ditekan dengan perlindungan yang lebih ditingkatkan.
"Saya baru bertemu dengan Menteri Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Wilayah Khusus Hongkong Matthew Cheung Kin-chung dan membicarakan soal finalisasi struktur biaya penempatan dan perlindungan TKI di Hongkong. Saat ini, prosesnya baru sampai tahap pembicaraan antarpemerintah, antarperusahaan pengirim dan penempatan, serta antarpemangku kepentingan," kata Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno di Yogyakarta, Rabu (12/9).
Dia berbicara di sela-sela pertemuan pendahuluan Konferensi Menteri Tenaga Kerja Asia-Eropa yang diikuti pejabat departemen ketenagakerjaan eselon I dan II dari 45 negara Asia dan Eropa, pejabat Sekretariat ASEM Jakarta, serta Komisi Eropa.
Menurut Erman, saat ini TKI masih dibebani biaya penempatan sebesar Rp 25 juta per orang. Kedua pihak juga membicarakan adanya TKI yang menerima gaji di bawah nilai yang tercantum di slip resmi.
"Pemerintah Hongkong juga mulai bertindak tegas terhadap agen penempatan dan pengguna jasa TKI yang melanggar aturan," ungkap Erman.
Mennakertrans mengatakan, secara umum persoalan buruh migran juga akan dibahas dalam konferensi itu. Pertemuan tersebut ditujukan untuk bertukar pengalaman dalam menangani pasar kerja setiap negara dalam menghadapi globalisasi.
"Kami berharap kesenjangan kompetensi tenaga kerja negara maju dan berkembang bisa diperkecil. Jadi, seluruh negara dapat menikmati pertumbuhan pasar kerja yang terjadi di mana pun," ujar Erman.
Hal senada diungkapkan Asisten Sekretaris Departemen Tenaga Kerja Filipina Rebecca J Calzado yang hadir sebagai peserta. Menurut Calzado, negara pengirim dan penerima harus membangun sistem manajemen buruh migran yang lebih baik.
"Negara pengirim dan penerima buruh migran harus mendapatkan keuntungan yang adil dari kegiatan ini. Kontribusi buruh migran terhadap perekonomian negara pengirim sangat banyak, demikian juga terhadap aktivitas di negara penerima," tutur Calzado.
Tidak transparan
Di Jakarta, aktivis Indonesian Corruption Watch (ICW), Migrant CARE, dan Komisi Nasional Perempuan mendesak pemerintah untuk transparan dalam segala hal terhadap TKI.
Akuntabilitas sangat berguna untuk mencegah kekerasan terhadap TKI di negara penempatan. Direktur Eksekutif Migrant CARE Anis Hidayah mengatakan, minimnya akses informasi tentang hak TKI dalam proses penempatan dan perlindungan menyebabkan mereka dipermainkan sejak dari rekrutmen, pemberangkatan ke negara tujuan, penempatan, sampai kembali ke Tanah Air.
Persoalan lain, pemerintah juga belum menerapkan struktur biaya pemberangkatan TKI yang standar dan baku. Selain itu, tidak ada informasi mengenai perusahaan penempatan tenaga kerja Indonesia swasta yang legal maupun ilegal.
"Kegagalan pemerintah menyediakan informasi yang utuh kepada TKI menambah penderitaan dan eksploitasi buruh migran. Pemerintah harus segera menerapkan keterbukaan prosedur birokrasi terhadap TKI," ujar Anis Hidayah. (ham/lkt)