-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

31 January 2008

Politik Beras Murah Korbankan Sektor Pertanian

30/1/2008

YOGYAKARTA--MI: Politik beras murah yang selama ini diupayakan pemerintah dinilai sebuah kebijakan yang tidak memikirkan nasib petani. Kaum petani yang sudah miskin dipaksa berkorban agar tetangganya bisa makan dengan murah.

Hal tersebut disampaikan Mochammad Maksum dalam pidato pengukuhananya

sebagai Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Rabu (30/1).

"Romantisme beras murah ini sudah kebablasan. Petani yang sudah miskin harus ikhlas untuk lebih miskin lagi, menerima harga murah supaya tetangga yang daya belionya terbatas bisa makan," kata Maksum.

Pemerintah, lanjut Maksum, terlalu didikte oleh lembaga keuangan seperti

Bank Dunia yang menyampaikan angka-angka yang menakutkan jika harga beras tinggi. Pada akhir 2006 misalnya, Bank Dunia mengatakan kenaikan harga beras telah menyebabkan penduduk miskin Indonesia bertambah hingga 3 juta orang. Angka kemiskinan naik dari 15,97 pada Maret 2005 menjadi 17,75 pada Februari 2006.

"Hal itu juga ditunjang dengan dramatisasi Bank Dunia yang mengatakan

angka kemiskinan 49 jika menggunakan garis kemiskinan 2 Dollar Amerika

perhari. Semua itu adalah pembenaran bagi dimurah-murahkannya beras,"

tegasnya.

Sekilas, lanjut Maksum, fakta yang disampaikan Bank Dunia tersebut masuk

akal. Meskipun sebenarnya pada saat itu kenaikan harga beras akibat kenaikan harga BBM. Sementara pada sisi permintaan lemahnya daya beli masyarakat kambing hitam. Padahal, rendahnya daya beli etrjadi akibat gagalnya pemerintah membuka lapangan kerja. "Akibatnya pertanian harus menjadi bemper dari ketenagakerjaan," katanya.

Maksum menegaskan sangat berbahaya dogma yang dikembangkan Bank Dunia bahwa untuk mengatasi kemiskinan tidak dilakukan dengan peningkatan daya beli, tetapi dengan memurahkan pangan. Seharusnya lemahnya daya beli masyarakat harus diatasi secara pragmatisme fiskal dan kebijakan tersendiri tidak melalui dengan memurahkan beras bagi siapa saja.

Kondisi seperti ini, ditambah dengan rendahnya produktifitas pertanian

domesktik yang mendorong pemerintah memutuskan impor bahan makanan yang

menjadikan sektor pertanian kian terpukul.

"Kebijakan pembangungan sangat dikotomis menempatkan sektor pertanian sebagai sesaji sektor industri," katanya.

Untuk itu Maksum menyerukan program Kembali ke Desa (KkD). Kalaupun harus

mengembangkan sektor industri maka harus berbasis pada agro industri yang sebenarnya potensinya sangat besar.

"Akhirnya mari kita buka mata betapa pas-pasan daya tawar politis sektor

pertanian sehingga segalanya ditentukan oleh pihak lain hingga akhirnya

pertanian ditempatkan sebagai pelayan saja," kata Maksum. (AZ/OL-2)