LAPAR, ANAK SD GANTUNG DIRI |
Wednesday, 20 February 2008 | |
Namun, tiba di rumah Teguh yang tinggal bersama neneknya di Desa Pupus, Kecamatan Lembeyan, Kab. Magetan, Sujarwo terkejut bukan kepalang. Di sebuah kamar yang tak terkunci di rumah setengah kayu dan setengah bambu itu, Sujarwo melihat siswa kesayangannya tergantung kaku. Teguh sudah tak bernyawa. Teguh bunuh diri. "Seutas tali tampar biru menjerat lehernya," kata Sujarwo saat ditemui Selasa (19/2). Tali itu diikatkan pada blandar atau kayu penopang atap. Menurut Sujarwo, Teguh gelap mata, sangat mungkin karena tidak tahan akan rasa sakit yang menyerang perut. Maag itu sering membuatnya mengerang. Penyakit ini seharusnya dilawan dengan makan teratur dan bergizi. Tapi, justru itulah yang tak mungkin didapatkan. Beberapa tetangga membenarkan Teguh hanya makan satu kali sehari. Kondisi Teguh yang tinggal hanya berdua dengan neneknya yang renta, memang sangat memprihatinkan. Siswa kelas 5 SDN Pupus 02, Kecamatan Lembeyan, Kabupaten Magetan ini sering mengeluh sakit perut. "Teguh menderita sakit maag akut sejak cukup lama dan.tak ada yang memperhatikan secara penuh sakitnya, termasuk kebutuhan makannya," tutur Sujarwo dengan nada prihatin. Dengan kondisi keluarga Teguh yang miskin, makan sebagai kebutuhan paling dasar tampaknya memang tak sanggup dipenuhi keluarganya. Teguh tinggal bersama Mbah Ginah, 76, neneknya yang buta di RT 2 RW 7 No 672 Desa Pupus, Kecamatan Lembeyan, Kabupaten Magetan. "Sebetulnya tidak ada yang aneh. Anak itu mudah bergaul dengan teman sebayanya dan tergolong cerdas. Hanya, dia sering tiba-tiba terdiam," kata Sukarni, 35, tetangga Mbah Ginah. Baru ketika bocah ini nekat gantung diri, orang-orang dewasa di sekitarnya melek. Betapa tersiksanya Teguh yang hanya bisa mengisi perut sekali sehari. Bahkan sebelum meregang nyawa, dia diduga sangat kesakitan. Ini terlihat dari tas sekolah, buku-buku, sepatu, serta seragam sekolah yang ada di bawahnya berantakan. Sangat mungkin Teguh yang mengenakan kaus hijau dan celana jins biru ini berkelojotan menahan sakit. Menurut Sukarni, Mbah Ginah menjadi satu-satunya orang yang dianggap paling bisa memberi perhatian pada Teguh. Tetapi, karena sudah tak bisa melihat, Mbah Ginah memiliki keterbatasan. Selain itu, kemiskinan selalu saja menjadi sandungan. Bahkan ketika bocah Kata sejumlah tetangganya, Suwarno harus berangkat ke sawah sebagai buruh tani usai subuh dan kembali ke rumah menjelang senja. Ibu Teguh, Supartinah, 38, telah pergi merantau ke Sumatera sejak Teguh masih kecil. Hingga kini Supartinah tidak pernah kembali, sehingga tak ada yang sekadar menyapa apakah bocah ini sudah makan atau belum, apakah di rumah ada yang bisa dimakan atau tidak. "Teguh kemudian memilih tinggal bersama Mbah Ginah yang tinggalnya masih sedesa dengan ayahnya. Meski sama-sama miskin, mbah yang buta ini lebih telaten," kata Sukarni. Teguh memilih mengakhiri rasa sakit dan kemiskinan itu dengan caranya sendiri. Bayu, 11, teman sebangku Teguh di kelas, menangis mendengar teman belajar dan teman bermainnya meninggal. Menurut Bayu, nilai pelajaran Teguh yang duduk di bangku terdepan ini bagus-bagus. "Selalu 7 dan 8. Dia juga mampu menirukan semua bentuk lukisan maupun gambar di atas kertas," kata Bayu. Bayu ingat, ketika bermain bersama, Teguh sudah berpesan mulai Senin (18/2) tidak masuk sekolah lagi. "Sabtu lalu dia bilang sakit maagnya kambuh," tuturnya. Setelah memastikan sebab kematian, Kapolsek Lembeyan, AKP Subagyo langsung menyerahkan jasad Teguh kepada keluarga untuk dimakamkan atas permintaan keluarga. Ayahnya, Suwarno, tak bisa dimintai keterangan karena pingsan setelah melihat Teguh Meninggal.** |
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.