-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

18 April 2008

Jerat bagi Si Miskin...

Jumat, 18 April 2008 | 02:22 WIB
 
Oleh:CM Rien Kuntari dan Khairina
 
Tak bisa disangkal lagi, salah satu sebab terjadinya masalah perdagangan manusia yang juga disebut Trafficking in Person atau TIP adalah kesalahan persepsi pada kata "membantu". Banyak pihak terlibat yang justru diawali dengan keinginan membantu. Penanganan terpadu merupakan kata "kunci" penyelesaian TIP.
 
Setidaknya hal itulah yang menjadi latar belakang utama maraknya kasus perdagangan manusia di Indonesia. Bagaimana pun terjadi daya tarik-menarik cukup kuat antara faktor sosial budaya dan ekonomi. Walau begitu, bagaimana pun kemiskinan tetap menjadi faktor utama.
 
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, angka kemiskinan di Indonesia meningkat dari 16 persen pada Februari 2005 menjadi 17,75 persen pada Maret 2006. Seiring dengan itu, tingkat putus sekolah pun meningkat.
 
Tahun 2004, angka putus sekolah tingkat SD mencapai 2,66 persen atau 1.267.700 anak. Pada tingkat sekolah menengah, angka putus sekolah tercatat 3,5 persen atau 638.056 anak. Tahun 2005, 4,2 juta anak usia tujuh hingga 15 tahun diperkirakan tidak pernah mengenyam pendidikan karena membantu orangtua.
 
Kesulitan ekonomi itu semakin mengimpit ketika dihadapkan pada kenyataan semakin sulitnya mencari pekerjaan. Dalam catatan , pada bulan Februari 2007 terjadi pengangguran pada tingkat S-1 (409.890 orang) dan akademi D-3 (179.231 orang). Jumlah pengangguran menunjukkan gejala terus meningkat. Agustus 2006, sarjana menganggur mencapai 673.628 orang, dan pada Desember 2006 jumlahnya naik menjadi 740.206 orang.
 
Kompleksitas itu menyebabkan si miskin begitu mudah terjerat. Tak jarang para orangtua terdorong menyerahkan anak- anak mereka kepada para pencari mangsa.
 
"Saya tidak tahu akan diberi pekerjaan apa. Yang saya tahu ada orang datang menawarkan pekerjaan kepada anak saya," kata Kartini (40), warga Kampung Kebon, Sidamulya, Bongas, Indramayu, yang kadang kala berpenghasilan Rp 25.000 hingga Rp 50.000 per hari.
 
Penanganan terpadu
Berbagai upaya memang telah dilakukan. Anggaran yang dikeluarkan pun tidak sedikit. Setidaknya untuk periode ini, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 14,6 miliar. Namun, melihat kondisi itu tidak ada hal lebih penting kecuali penanganan terpadu.
Dalam arti, menangani kasus perdagangan manusia dari hulu hingga hilir. Langkah itu selama ini dikenal dengan 5P, yakni  atau kebijakan, preventif atau pencegahan, penegakan hukum, proteksi atau perlindungan, dan atau kemitraan.
 
Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Surjadi Soeparman menjelaskan, pemberantasan perdagangan manusia di Indonesia kini lebih maju dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
 
UU ini sudah mengakomodasi berbagai definisi perdagangan orang atau trafficking 601 sehingga tidak ada lagi celah hukum yang bisa dimainkan. UU tersebut melengkapi UU Perlindungan Anak dan Perempuan yang telah lebih dulu disahkan, seperti UU No 22/2003 tentang Perlindungan Anak, UU No 23/2004 mengenai Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan UU masalah kependudukan.
 
Selain itu, pemerintah juga telah melahirkan peraturan pemerintah (PP) terkait dengan UU itu. Misalnya, PP tentang kesehatan kerja dan mekanisme perlindungan saksi. "Amanat dari UU ini adalah bagaimana memberikan perlindungan dan pelayanan terhadap korban secara komprehensif," ujar Surjadi.
 
Yang terpenting, kata Surjadi, para penegak hukum dapat memahami substansi UU itu agar bisa diamalkan. Dengan sanksi hukum yang lebih spesifik dibandingkan kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), diharapkan tidak ada lagi hakim yang menjatuhkan sanksi ringan bagi pelaku kejahatan ini.
 
Polisi, kata Surjadi, telah membentuk unit pelayanan khusus untuk anak dan perempuan. Selain itu, RS Bhayangkara juga telah dikembangkan untuk memberikan pelayanan medis bagi korban Kejaksaan juga telah meminta agar seluruh penanganan kasus dilaporkan kepada Kejaksaan Agung. "Ini memang kasus yang extraordinary " katanya.
 
Meskipun demikian, menurut Surjadi, polisi mengaku masih mengalami kendala dalam penyelidikan dan penyidikan (P 21) yang mereka lakukan. Kadang-kadang, proses itu tidak berlanjut hingga penuntutan.
 
Selain penegakan hukum, berbagai upaya pencegahan juga dilakukan pemerintah, di antaranya melalui komunikasi dan pendidikan nonformal di pedesaan. Masyarakat diajari untuk menolak ajakan yang mencurigakan dari pihak-pihak tertentu.
 
Belum berhasil
Meskipun demikian, Surjadi mengakui, upaya pencegahan melalui pemberantasan kemiskinan, khususnya di kalangan perempuan, belum sepenuhnya berhasil. Hingga kini belum ada kredit skala mikro yang diberikan khusus kepada perempuan.
 
"Padahal, perempuan itu jika diberikan modal akan lebih berkembang daripada laki-laki. Perempuan punya kecenderungan mementingkan keluarga, baik suami maupun anak. Sementara, laki-laki sering kali memikirkan dirinya sendiri," ujar Surjadi.
 
Upaya yang tak kalah penting adalah perlindungan kepada saksi dan korban. Selain melalui upaya medis, perlindungan juga dilakukan lewat rehabilitasi sosial, rehabilitasi mental, dan upaya-upaya reintegrasi kembali ke masyarakat agar tidak menjadi korban kembali.
 
Surjadi mengatakan, Departemen Kesehatan telah menyiapkan panduan, mulai dari puskesmas hingga rumah sakit. Departemen Sosial juga sudah membangun rumah perlindungan sosial dan trauma center . Lebih dari itu, bekerja sama dengan IOM, pemerintah mendirikan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) dan Pusat Pemulihan Medis (PPM) di RS Polri Kramat Jati.
 
Khusus untuk korban perdagangan manusia, mereka memberikan perawatan hingga pemulihan tuntas, baik secara medis maupun non-medis. Saat ini, setidaknya terdapat 17 korban perdagangan manusia yang masih dirawat di RS tersebut.
 
Lebih dari itu, Elizabeth Dunlap, Manajer Program IOM Indonesia, menekankan pentingnya kesadaran publik, terutama dengan bahaya di balik tawaran kerja yang disampaikan secara tidak bertanggung jawab. Hal itu diperkuat AKBP Sri Sundari SKM, Kepala PPT/PPM RS Bhayangkara. Menurut dia, ini harus diimbangi dengan upaya penyadaran kepada orangtua dan meningkatkan pola kerja sama secara maksimal.
 
"Kalau namanya terpadu itu ya terpadu. Misalnya, di PPT/PPM ini sudah seharusnya jika psikolog, penegak hukum, dan sebagainya berada di bawah satu atap," kata Sundari. Walau begitu, bagaimana pun seluruh upaya itu tidak akan berhasil tanpa kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk negara lain.
 


Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.