-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

26 May 2008

Kenaikan BBM Picu Gangguan Jiwa dan Bunuh Diri

Minggu, 25 Mei 2008 - 22:17 wib
BANDUNG - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan memprediksikan, dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) akan mengakibatkan naiknya angka pengidap gangguan jiwa dan bunuh diri, baik dari keluarga miskin dan kaya.

Ketua LBH Kesehatan Iskandar Sitorus mengatakan, kolerasi kenaikan BBM dan penyakit gangguan jiwa masyarakat harus diakui, selalu berdampak erat satu sama lain.

"Sebelum kenaikan harga BBM, kecenderungan atas gangguan kejiwaan sejak reformasi sudah menjadi satu. Kenyataan semacam ini bukan sebuah fenomena lagi," ujar Iskandar dihubungi, Minggu (25/5/2008).

Dia menegaskan, parameternya adalah penyataan-pernyataan yang diperoleh LBH Kesehatan dari Direktorat Kesehatan Jiwa Depkes RI. Kenaikan BBM tentang kebutuhan ekonomi sangat sangat berkolerasi terhadap kejiwaan masyarakat.

"Maka ketika sekarang BBM naik sebesar 28,7% itu akan signifikan berdampak naiknya seluruh harga-harga komponen kebutuhan sehari-hari," kata dia.

Iskandar melanjutkan, kasus-kasus gangguan jiwa bermuara pada kenaikan harga bahan pokok dan obat-obatan. Apabila harga-harga kebutuhan pokok naik dan rakyat tidak memiliki kemampuan membeli, yang terjadi ketidaknormalan kebiasaan cara mengonsumsi makanan dan lainnya.

"Bahkan ketika harga obat naik, masyarakat cenderung mengabaikan perawatan kesehatannya. Sekarang saja harga obat sudah tidak tergapai rakyat yang sakit. Makanya ketika obat melambung tinggi, akan banyak rakyat miskin tidak mampu meningkatkan perawatan kesehatannya," paparnya.

Ini lanjut Iskandar, dapat berujung pada kematian. Masalah ini juga dapat menimpa orang kaya. Kekayaannya akan drastis turun untuk mengimbangi lonjakan-lonjakan harga bahan kebutuhan.

Sementara sambungnya, pemerintah sampai kini belum mampu menyiapkan sarana dan prasarana rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia. Atas kondisi ini akhirnya,  maka bagi rakyat jalan pintas bagi masyarakat adalah melakukan tindak kejahatan.

"Pertanyaanya adalah, apakah pemerintah sudah mengantisipasi hal seperti ini. Bahkan sampai kini pun, pemerintah tidak memiliki data berapa jumlah orang yang stress dampai dari berlakunya kebijakan-kebijakan yang keluar dari Jakarta," tandas Iskandar.

Pertanyaan kedua timpalnya, sudah disiapkan kah sel-sel tahanan untuk menampung para pelaku kejahatan nantinya. Pasalnya, jumlah sel tahanan yang ada di seluruh Indonesia tidak sebanding dengan jumlah pelaku tindak kejahatan.