Pengantar Redaksi: Jakarta - Kota besar seperti Jakarta masih dipusingkan dengan persoalan anak jalanan. Menurut catatan terdapat sekitar 30.000 anak jalanan di Jakarta. Dalam kampanye pemilihan gubernur Jakarta tempo lalu, Fauzi Bowo maupun Adang Daradjatun tidak secuil pun mengutak-atik solusi soal anak jalanan. Terkait hal itu sekaligus menyambut Hari Anak Nasional, 23 Juli mendatang, SH menurunkan laporan khusus mengenai problema anak jalanan. Laporan terkait tersaji di halaman 10. Selamat menyimak!
Pelupa! Itulah agaknya satu sikap pemimpim bangsa. Mereka sering lupa dengan amanat yang dituangkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Salah satunya adalah hak bagi anak-anak telantar. Dalam pasal 34 UUD 1945 secara jelas ditegaskan bahwa anak telantar dipelihara oleh negara. Artinya, pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak telantar, termasuk anak jalanan. Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Keputusan Presiden RI No 36 tahun 1990 tentang pengesahan Convention of the Rights of Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak berisi 31 hak anak) juga menegaskan bahwa anak-anak mempunyai hak-hak yang kurang lebih sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya. Dengan demikian, mereka berhak hidup layak dan manusiawi. Namun, kenyataan di lapangan kondisi anak jalanan kian memprihatinkan. Sebut saja di jalan-jalan utama Ibu Kota Negara yang bernama Jakarta tidak susah mencari pemandangan anak-anak jalanan yang mengais rezeki: entah menjadi pengemis, gelandangan atau pengamen jalanan. Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, mengatakan jumlah anak jalanan di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi mencapai sekitar 80.000 anak. Dari jumlah itu sekitar 30.000 anak jalanan berada di Ibu Kota Jakarta. Jakarta mungkin bisa menyatakan bahwa persoalan anak jalanan juga terjadi di sejumlah kota besar dunia. Itu benar! Di Amsterdam, New York, London, Frankfurt, Malaysia, Thailand, India dan Filipina, persoalan anak jalanan juga sering membuat pusing pengelola kota setempat. Anak-anak yang terpaksa hidup di jalanan karena berbagai sebab juga semakin marak. Meskipun berbeda dengan anak-anak jalanan di negara-negara itu, bukan berarti persoalan anak jalanan di Jakarta tidaklah penting. Masalah anak juga menyangkut nasib bangsa ini ke depan. Sebagian besar usia anak jalanan berkisar antara 7-12 tahun yang notabene adalah usia wajib belajar. Usia seperti itu merupakan tahapan operasional konkret, di mana anak mulai dapat berpikir logis mengenai objek dan kejadian. Apa saja yang dialami seorang anak di jalanan, merupakan norma yang tidak tertulis, juga nilai yang memang semestinya dilakukan. Yang berbahaya, kalau pengaruh negatif yang dikondisikan, maka hal negatif itu pula yang tertanam. Teori belajar sosial menyatakan, seseorang mempelajari sesuatu dengan mengamati apa yang dilakukan orang lain. Melalui belajar mengamati, secara kognitif seseorang akan menampilkan perilaku orang lain dan mungkin kemudian meng-adopsi perilaku tersebut (model-ling). Artinya, semua perilaku yang dilakukan seseorang merupakan hasil mengamati perilaku orang lain. Faktor-faktor seperti perilaku, kognitif, pribadi lain dan lingkungan, akan bekerja secara interaktif sehingga satu sama lain saling mempengaruhi. Studi yang dilakukan di Filipina dan Amerika Latin setidaknya memilah anak jalanan dalam dua kategori. Anak-anak yang masih melakukan kontak secara rutin dengan orang tua di rumah disebut children on the street. Sedangkan anak-anak yang telah putus hubungan dengan orang tua disebut children of the street. Dalam kenyataan di lapangan anak-anak jalanan di Jakarta (termasuk juga di sejumlah kota besar lainnya) malah menjadi objek penderitaan yang berkepanjangan. Mafia ikut nimbrung mengeksploitasi keluguan anak-anak tersebut termasuk juga bayi yang didandani compang-camping agar rupiah mengalir dari pengendara mobil atau sepeda motor di sudut-sudut jalan Jakarta. Dalam sejumlah kasus tidak sedikit anak jalanan terutama yang perempuan mengalami nasib yang lebih mengenaskan lagi: mereka menjadi korban kepuasan seksual rekan-rekan anak-anak jalanan pria. Mereka hamil di saat yang tidak tepat.
Rumah Singgah Mandek Untuk mengatasi persoalan anak jalanan sudah banyak program yang digulirkan. Sutiyoso ketika menjabat Gubernur Jakarta pernah melahirkan gagasan untuk membangun Rumah Singgah bagi anak-anak jalanan tersebut pada tahun 2003. Dengan menggunakan dana APBD, Bang Yos memulai program Rumah Singgah tersebut. Sedikitnya 21 Rumah Singgah dibangun. Anak-anak jalanan pun digiring untuk lebih banyak berada di Rumah Singgah itu. Namun, belakangan program itu mandek karena Sutiyoso tidak menjadi gubernur Jakarta lagi. Salah satu kelemahan penanganan anak-anak jalanan di Jakarta termasuk juga di Indonesia adalah para pendamping ataupun instansi pemerintah terkait tidak terlebih dahulu memahami akar persoalan kemunculan anak-anak jalanan, sehingga akhirnya mengalami ketidaktepatan dalam menerapkan model-model/strategi-strategi pendampingan. Seakan tidak disadari bahwa motivasi ekonomi dan kekerasan dalam keluarga merupakan alasan yang paling sering mengantarkan anak-anak masuk ke dunia jalanan. Pilihan untuk menjeratkan diri pada kehidupan di jalanan didasarkan pada kenyataan bahwa jalan menyediakan berbagai kemungkinan mengais rezeki tanpa persyaratan formal, sebuah syarat yang tidak mungkin mereka miliki. Selain itu, jalan menyimpan sejumlah aktivitas bernilai ekonomi. Tidaklah mengherankan bila di jalan anak-anak itu sanggup menyiasati kehidupan dengan menjadi tukang semir, pengasong, pengemis, pengamen, pengelap kaca mobil, dan sejenisnya. Para pengendara yang bisa juga dinamakan sebagai pemberi tampak tidak memedulikan nasib masa depan para anak jalanan. Lepas dari itu masalah anak jalanan juga masalah bangsa ini. Karena itu pemimpin bangsa juga jangan tiba-tiba lupa atau memang pura-pura lupa sehingga penderitaan anak-anak jalanan terus berkepanjangan. Ayo, saatnya memberi senyum bagi bunga-bunga trotoar itu! (norman meoko) http://www.sinarharapan.co.id/berita/0807/21/jab06.html |