JAKARTA – Masa kecil Ikmal, Ikbal, Nadia, Nur Fadilah dan ratusan bahkan ribuan anak-anak lainnya direnggut. Waktu bermain mereka dipaksa disulap menjadi waktu untuk meminta-minta di hampir perempatan jalan di Jakarta. Dengan dalih ikut membantu kehidupan keluarga, orang tua rela menerjunkan buah hatinya turun ke jalan. Padahal, di jalan segala sesuatu yang terburuk bisa setiap saat merenggut nyawa mereka. Sebut saja Ikmal (7). Dia terbiasa beraksi di lampu lalu lintas perempatan Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta Pusat. Isi perut perempatan lalu lintas yang satu ini sudah dihafal mati oleh Ikmal yang mengais rupiah sebagai pengamen dadakan di kawasan itu. Ketika ditemui SH, dia sedang asyik bermain di kawasan itu bersama saudara kembarnya, Ikbal (7). Meski hanya bermain dengan tali plastik, dua saudara kembar ini tidak terganggu dengan bunyi klakson kendaraan bermotor, debu jalanan dan asap knalpot kendaraan yang melintas hanya berjarak kurang dari satu meter dari tempat mereka berdiri. Nadia (5) tidak kalah asyik dengan aktivitasnya. Ia menyaksikan apa yang disibuki rekan "seprofesi"-nya. Tawa dan keceriaan tergurat di wajah tiga bocah itu. Begitu lampu lalu lintas berganti merah dan pengemudi mobil serta sepeda motor mengerem kendaraannya, tiga bocah ini segera "turun ke jalan", tak lupa memasang wajah sendu dan memelas. "Pa, minta, Pa. Untuk makan, Pa," tutur Nadia lirih. Di sisi kanan mobil, gadis cilik ini berdiri menengadahkan tangannya. Kalau yang dimintai tak memberi, ia tak goyah meluncurkan rayuannya. "Belum makan, Pa," ucapnya, menyatukan kelima ujung jarinya dan meletakkannya di bibirnya. Yang dimintai tak bergeming, pandangannya tetap lurus ke depan. Dengan tetap memegang setir mobilnya, si pengemudi pun melambaikan tangannya. Ia menolak memberi. Di tepi jalan yang lain Ikbal memetik ukulele dengan nada yang bisa dibilang sumbang. Di sampingnya adik kembarnya, Ikmal, membantunya dengan ikut bernyanyi lagu terbaru dari band Seventeen. "Mengapa s'lalu aku yang mengalah...." dengan suara yang dikeluarkan setengah hati sepasang bocah ingusan ini bernyanyi. Entah karena malas mendengar nyanyian bocah-bocah ini atau terdorong rasa iba, pengemudi mobil tersebut membuka jendelanya dan memberinya satu keping receh. Tidak kurang dari lima mobil mereka hampiri dan mengamen di sisi luar pengemudinya. Kadang mereka mendapat receh Rp 500, kadang Rp 1.000, tapi lebih banyak yang tidak memberi. Begitu lampu lalu lintas menyala hijau kembali mereka segera berhamburan ke pinggir jalan, melanjutkan lagi keasyikan bermain. Baik Ikbal, Ikmal ataupun Nadia mengaku tidak pernah disuruh orang lain untuk mencari uang di jalanan. "Biar bisa bantu mamak," ujar Ikmal. Meski begitu, Ikbal mengaku lelah menjalani hari-harinya, mengamen di pingggir jalan. "Aku maunya sekolah sama main aja. Cape kerja melulu," akunya. Masih di perempatan yang sama, seorang ibu memerintahkan anaknya yang sedang bermain untuk meminta-minta, mengemis receh pada orang-orang yang duduk nyaman di atas kendaraannya. "Sono cepet, maen aja lo," ujarnya kasar pada anak kecil itu sembari menunjuk tempat "dinas" anaknya. Saat SH mencoba menghampirinya, perempuan itu menghindar. Ia kembali ke tempat tinggalnya di atas saluran air di Kali Ciliwung, Karet Tengsin, Jakarta Pusat. Di sudut lain Kota Jakarta, Nur Fadilah (7), tengah asyik bermain tanah, air, dedaunan dan gelas bekas di tepi halte busway Karet. "Lagi main masak-masakan," ujarnya saat disapa SH. Tak lama ia bermain, ia berdiri di depan loket tiket busway. "Ka, minta duit buat makan, Ka," pintanya pada calon penumpang TransJakarta. Bocah yang baru duduk di kelas 2 SD ini menjawab bingung saat ditanya untuk apa dan disuruh siapa ia meminta-minta. "Aku sendiri yang mau," jawabnya menyimpan ketakutan. "Untuk beli buku," tuturnya bingung masih sambil mengiris-iris dedaunan di tangannya dengan sendok bekas. Tak lama bercerita, alasannya berubah lagi, "adikku lagi sakit, jadi aku bantu mamak nyari duit untuk beli obat," kilahnya lagi. Ia menjelaskan, ibunya juga bekerja. "Minta-minta di sana," gadis kecil berambut lurus sebahu ini menunjuk ke arah jembatan menuju halte busway. SH pun menghampirinya, Siti (45) duduk bersandar pada dinding pembatas jembatan. Putri bungsunya, Dian (5), bersandar di pahanya. Perempuan yang telah satu tahun ditinggal suaminya ini, mengaku tidak pernah memerintahkan putrinya untuk meminta-minta.
Mafia Anak Jalanan Kondisi serupa dialami Desi (11). Bermodalkan gitar kecil yang sering disebut ukulele, Desi mendendangkan lagu Cinta Ini Membunuhku karya band D'Masiv, menumpang bus PPD 43 dari depan pusat belanja ITC Cempaka Mas, Jakarta Pusat. Suaranya lumayan merdu dan menyatu dengan suara gitar. Tapi ternyata, tidak semua penumpang mau memberikan rupiahnya. Ketika ditanya SH, Desi mengaku menjadi pengamen bukan kemauannya. Sejak terlahir dari keluarga yang sederhana, ia belum pernah mencicipi sekolah. "Saya nggak bisa baca tulis, sekolah aja nggak," ungkapnya sembari memainkan senar dengan jemarinya yang kecil. Tinggal bersama orang tua dan kelima saudaranya, setiap hari ia harus mendapatkan uang sekitar Rp 30.000 untuk disetor ke ibu. Gadis kecil yang berkulit hitam ini menuturkan, sejak kecil dirinya sudah akrab dengan jalanan. Dari penampilan memang gadis ini terbilang nyentrik, di kupingnya terdapat beberapa tindikan kuping, style berpakaian pun terbilang cukup mengikuti zaman. Kondisi serupa tampak di sekitar perempatan Matraman yang tidak jauh dari Kantor Departemen Sosial. Tubuh-tubuh kecil itu terbungkus dinginnya malam, tapi mereka tetap terlihat hangat dan riang di bawah pancar sorot lampu-lampu Ibu Kota. Malam mulai larut, bahkan dingin semakin menggigit. Tapi pertarungan mereka di jalanan belum jua usai. Bukan karena mereka tidak punya rumah, tapi karena mobil bak Suzuki hitam baru datang menjelang tengah malam. Entah hendak dibawa ke mana mereka, satu per satu mereka naik ke mobil tanpa komando. Sepertinya ini hal rutin yang biasa mereka lakukan. Menolak menyebutkan nama, anak usia 13 tahun ini mengatakan bahwa dirinya hidup bersama rekan-rekan sesama pengamen di sebuah rumah. "Ada banyak sekitar puluhan kali," katanya. Bocah itu mengungkapkan bahwa dirinya dan rekan-rekannya selalu menyetor uang kepada orang yang dibilang bos. Menurutnya, uang itu dipergunakan untuk biaya mereka tinggal dan menebus kalau ada yang terjaring hingga panti Kedoya. "Setoran itu minimal Rp 30.000 dan kita dapat persenan dari uang yang kita setor," ungkapnya. Menurut Site, Koordinator Pusat Informasi dan Dokumentasi Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, banyaknya anak jalanan bertebaran di hampir setiap sudut kota adalah perebutan hak anak. Dia mengatakan, banyak pihak yang memanfaatkan keluguan dan ketidakberdayaan anak untuk melawan dengan memperdayanya untuk kepentingan uang. Salah satu faktor yang memaksa anak turun ke jalan menurut Site adalah suasana kurang menyenangkan di rumah anak. (ninuk cucu suwanti/cr-1) http://www.sinarharapan.co.id/berita/0807/21/jab05.html |