Jakarta, Kompas - Kedutaan Besar Indonesia untuk Malaysia memberi perhatian besar pada masalah tenaga kerja Indonesia atau TKI di Malaysia. Hal itu karena separuh dari pekerja di sektor rumah tangga di Kuala Lumpur atau 341 dari 630 orang tahun 2007 ternyata tidak dibayar oleh para majikan.
”Problem TKI nonformal atau pekerja rumah tangga yang upahnya tidak dibayar ini sangat menonjol di Kuala Lumpur,” kata Duta Besar Indonesia untuk Malaysia Da’i Bachtiar langsung dari Malaysia pada teleconference Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) atau Indonesia Crime Prevention Foundation (ICPF) di Jakarta, Selasa (18/11).
Acara media gathering antara lain menghadirkan Sekjen LCKI Pepe Tjahjana, Ketua Bidang Pekerja Sosial International Organization for Migration (IOM) Anna Sakreti, Dewan Pakar LCKI Indra Sugiyarno, serta Ketua Satgas Perlindungan dan Kesejahteraan Anak Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Rachmat Sentika.
Data yang diungkapkan oleh Da’i yang juga Ketua Presidium LCKI sinkron dengan hasil kajian IOM, sebuah lembaga internasional lintas pemerintahan yang dikemukakan Anna Sakreti dalam presentasi sebelumnya.
Dari 3.070 TKI korban trafficking yang tercatat pada periode Maret 2005-Juli 2008 dengan 85 persen korban perempuan dan sisanya laki-laki, 2.041 orang adalah TKI dengan tujuan Malaysia dan sisanya tersebar antara lain di Arab Saudi, Singapura, Jepang, Suriah, dan Kuwait (lihat tabel).
Selanjutnya, menurut IOM, TKI yang tak dibayar gajinya oleh majikan 73 persen, kelebihan beban kerja (87 persen), dilarang keluar rumah (83 persen), mengalami kekerasan verbal dan fisik (75 persen), serta mengalami kekerasan fisik (53 persen).
Memperbaiki MOU
Da’i melihat TKI pekerja rumah tangga yang tidak dibayar majikannya sebagai bagian dari lemahnya status TKI karena berbagai sebab. Masalah dominan pada TKI itu berupa dokumen tidak lengkap, penahanan paspor oleh majikan atau agen TKI.
”Empat hari lalu saya mengantar Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno ke Kinabalu, Sabah, bertemu dengan Menteri Sumber Manusia Malaysia. Intinya, MOU tentang TKI itu akan kami perbaiki dari kedua belah pihak dan akan dibentuk working group,” kata Da’i.
Indonesia telah mengajukan permintaan agar paspor TKI itu dipegang sendiri oleh TKI, bukannya ditahan majikan atau broker. ”Namun, kami juga mensyaratkan agar ada jaminan bahwa TKI yang pegang paspor tidak melarikan diri begitu saja kalau kerja tidak sesuai,” ujar Da’i. Menurut dia, perubahan MOU itu disepakati kedua belah pihak.
Menurut catatan Da’i, jumlah TKI di Malaysia saat ini 1,2 juta orang. Namun, menurut sumber lain, kata Da’i, jumlahnya mencapai 2 juta orang. TKI yang bekerja di sektor bangunan 200.000 orang, perladangan atau sawit (300.000), buruh pabrik (200.000), biasa (50.000), dan sektor pertanian atau sayuran (100.000).
Sekolah Indonesia
Da’i mengemukakan, kehadiran TKI di Malaysia menimbulkan masalah lain, yaitu anak-anak TKI yang tak memiliki akses pendidikan. Jumlahnya mencapai 30.000 anak.
Pemerintah Indonesia telah membeli lahan di Kinabalu untuk membangun sekolah bagi sekitar 8.000 anak-anak TKI. Bekerja sama dengan LSM Humana dari Kalimantan Timur, pemerintah juga mengirim 109 guru sekolah untuk menangani kelas anak TKI dan pendidikan nonformal di luar kelas bagi anak TKI yang lokasinya tidak terjangkau sekolah.
Di tengah keprihatinan akan nasib TKI, Adiyah Ariswati (38), tenaga kerja wanita asal Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, mengalami penyiksaan selama enam bulan di Arab Saudi. Adiyah tiba di rumahnya di Ambarawa pada 9 November malam dan esoknya langsung dilarikan ke Rumah Sakit Bina Kasih karena menderita luka parah. Ibu tiga anak ini antara lain disetrika di lengan kanan dan dadanya.
Menurut Adiyah, Selasa, penyiksaan dilakukan oleh majikan perempuannya di Riyadh, enam bulan sebelum dia dipulangkan ke Tanah Air. Kedua kakinya ada bekas luka digores pecahan kaca, kepala dibenturkan ke tembok, sedangkan lengan kanan dan dada kanan atas disetrika. (HRD/GAL)