-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

14 July 2009

KASUS KUALA NAMU Saat Jadi Korban, Kami Diabaikan

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/14/05055465/saat.jadi.korban.kami.diabaikan

KASUS KUALA NAMU
Saat Jadi Korban, Kami Diabaikan

Selasa, 14 Juli 2009 | 05:05 WIB

Sebuah papan nama terpasang di depan rumah kayu berdinding seng milik Musijah (59). Papan itu bergambar bendera Partai Demokrat. Di bawah lambang partai ada tulisan "Dewan Pimpinan Ranting Partai Demokrat Desa Pasar VI Kuala Namu, Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten Deli Serdang".

"Niku yoga kula sing pengurus (Itu anak saya yang jadi pengurus)," kata Musijah, perempuan Jawa generasi kedua yang tinggal di perumahan buruh PTPN II Kuala Namu, Senin (13/7). Rumahnya kini berada di dalam lokasi proyek Bandara Internasional Kuala Namu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut).

Di wilayah itu, pada Pemilu 2004, Partai Demokrat dan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla menang telak. Warga berharap, dengan begitu, mereka aman dari proyek pembangunan bandara. Kenyataannya, harapan Musijah dan 39 keluarga lainnya tak bakal terwujud. Dalam waktu dekat, semua rumah di sana akan segera tergusur atas nama pembangunan Bandara Internasional Kuala Namu.

"Itulah kami. Kalau pemilu, kami ini menjadi warga negara yang sangat diperhatikan. Dalam pemilu presiden, pemilu legislatif, Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) Sumut, hingga Pilkada Deli Serdang, kami ini terdaftar dan memilih. Tapi, saat kami jadi korban gusuran, tak ada yang memerhatikan kami," kata Boiman (50) yang rumahnya juga akan tergusur.

Boiman, buruh PTPN II yang baru dipensiun dini dengan gaji terakhir Rp 850.000 per bulan itu, hanya bisa tersenyum kecut. Ia bersama 39 keluarga yang terdiri dari 250 warga kini masih berjuang untuk mendapatkan relokasi yang layak atas pembangunan Bandara Internasional Kuala Namu.

"Kami berjuang sejak 12 tahun silam, tepatnya tahun 1997. Kami tak punya pilihan. Ke mana kami tinggal kalau pemerintah tidak memberikan relokasi. Kami akan jadi gelandangan," keluh Boiman.

Membabat hutan

Bandara Internasional Kuala Namu disiapkan sebagai pengganti Bandara Polonia Medan. Bandara tersebut akan menempati area seluas 1.320 hektar— 640 hektar di antaranya adalah lahan hak guna usaha PTPN II yang terdiri dari lahan sawit dan permukiman warga Pasar VI Kuala Namu..

Musijah mengatakan, bapaknya termasuk salah satu orang yang membuka lahan Kuala Namu. Membuka dalam arti membabat hutan. "Lahan kemudian ditanami tembakau. Setelah tahun 1980-an, lahan itu menjadi perkebunan sawit," ujarnya.

Musijah menambahkan, ayahnya merupakan satu dari ribuan orang Jawa yang dimobilisasi Belanda untuk mengerjakan perkebunan di Tanah Deli pada tahun 1800-an. Setidaknya tiga generasi dalam keluarga Musijah dan Boiman menyambung hidup dengan "mengabdi" di perusahaan perkebunan pemerintah (PTPN II) sejak kawasan Kuala Namu dikuasai Belanda hingga Pemerintah Indonesia.

Kehidupan ala kadarnya sebagai buruh kebun terusik ketika pada tahun 1997 PT Angkasa Pura memperoleh izin membangun bandara dan kemudian membangun pagar tembok di sekeliling lahan PTPN II. Saat itu Angkasa Pura memberikan kompensasi Rp 60 miliar untuk lahan PTPN II.

Tahun 1998, PTPN II memberikan kompensasi Rp 2,3 juta untuk 29 keluarga buruh aktif, Rp 4,2 juta untuk 33 keluarga buruh pensiun, dan Rp 250.000 untuk 37 keluarga yang tidak tercatat sebagai buruh kebun. Karena kompensasi dinilai minim, buruh-buruh itu menolak.

Sebanyak 71 keluarga kemudian membentuk kelompok Kerukunan Warga Masyarakat Lemah Kuala Namu. Namun, belakangan jumlah anggotanya tinggal 40 keluarga karena sebagian mengaku tidak nyaman tinggal di dalam tembok lokasi bandara.

Masalah bagi kelompok itu makin rumit karena gedung SD 101920 yang memfasilitasi anak-anak bersekolah dirobohkan. Sekolah itu dipindahkan ke Kutalimbaru yang jaraknya sekitar 60 kilometer dari Kuala Namu. Akhirnya, warga memilih menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah terdekat yang jaraknya 5 kilometer.

Unjuk rasa

Sejumlah warga mengaku, mereka sudah berkali-kali menyampaikan aspirasi alias berunjuk rasa. Misalnya, ke DPRD Deli Serdang, Kantor Bupati Deli Serdang, hingga DPRD Sumut dan Kantor Gubernur Sumut.

Dengar pendapat juga sudah berkali-kali dilangsungkan. Bahkan, diajukan pula laporan ke DPR, Komisi Ombudsman Nasional, serta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Tapi, hasilnya nihil.

Saat ini pembangunan terus berlangsung. Kantor sejumlah kontraktor nasional sudah berdiri berikut sarana ibadah. Terminal kargo dan terminal penumpang bahkan sudah dimulai.

Nasibmu buruh.... (WSI)