JAKARTA, BK Uni Emirat Arab (UEA) ditengarai telah menjadi basis perdagangan manusia (human trafficking) para tenaga kerja asal Indonesia (TKI). Lewat kerjasama agen asing di UEA dan oknum agen TKI dari Indonesia, para TKI itu dilempar ke berbagai negara Timur Tengah (Timteng) seperti Syria, Oman, Irak, dan lainnya. Di negara penempatan kedua itulah, para TKI calon PRT menumpuk dan menjadi TKI bermasalah.
"Saat ini lebih dari 70 ribu TKI bermasalah di Syria, diindikasikan kuat sebagai korban human trafficking yang diberangkatkan melalui UAE (Dubai dan Abu Dhabi)," tegas Kepala Badan Nasional Penempatan dan Penyaluran Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat kepada Berita Kota, Jumat (31/7).
Menurut Jumhur, para TKI yang seluruhnya Penata Laksana Rumah Tangga atau Pembantu Rumah Tangga (PRT), pada awalnya bekerja dengan majikan di UEA selama kurang lebih enam bulan dan menimbulkan masalah dengan majikan di tempatnya bekerja. Namun karena merasa telah membayar mahal kepada agensi di Tanah Air, pihak agensi di sana tidak memulangkan PRT bermasalah tersebut ke Indonesia. Para agen di UEA itu mengirimkan para TKI bermasalah tadi ke beberapa negara penempatan di Timteng seperti Irak, Oman, Syria untuk dipekerjakan di majikan di negara-negara tersebut.
"Sudah banyak TKI yang menjadi korban human trafficking melalui agensi di UEA untuk dipekerjakan ke negara lain seperti Syria, Oman, Irak," tegas Jumhur seraya menambahkan, dalam kunjungannya ke UEA kemarin, ia telah mendesak pemerintah Syria, khususnya Departemen Imigrasi setempat untuk penyetop praktik perdagangan manusia (human trafficking).
Menurut Jumhur, dalam UU No39/2004 yang mengatur penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, setiap TKI bermasalah dengan majikan harus dipulangkan lebih dulu ke Indonesia dan tidak boleh ditempatkan kepada majikan lain, apalagi untuk dipekerjakan ke negara lain. "Pemulangannya sendiri dilakukan sekaligus atas biaya pihak pengirim dan pengguna," jelas Jumhur.
Menanggapi desakan itu, Direktur Imigrasi UEA Al Ain Kol Mathar bin Amir Syamsi, ungkap Jumhur, tidak bisa memutuskan. Karena menurut Mathar, tanggung jawab pada TKI di UEA sepenuhnya berada di pihak agensi dan majikan. Namun dia sepakat jika perdagangan manusia yang mengorbankan TKI tidak boleh dibiarkan.
Seperti diketahui, saat ini jumlah TKI di UEA mencapai 80 ribu orang dan kebanyakan bekerja di sektor informal (pembantu rumah tangga, sopir pribadi atau penjaga rumah/kebun pribadi). Padahal, kata Mathar, banyak peluang kerja untuk TKI di UEA, baik informal ataupun sektor konstruksi (formal). "Mathar juga mengharapkan agar penempatan TKI ke UEA tidak sepenuhnya melibatkan pihak swasta, namun melalui peran aktif pemerintah Indonesia dengan pihak pemerintah dan non pemerintah di UEA," ungkap Jumhur.
Terkait hal ini, Direktur Migrant Care Anis Hidayah berpendapat, human trafficking sebenarnya tidak bisa dipangkas pada jalur agensi asing semata. Karena masalah ini merupakan rangkaian panjang, mulai dari proses perekrutan hingga penempatan. Jadi menurut Anis, pemerintah juga harus ikut bertanggungjawab atas maraknya kasus perdagangan manusia tersebut. "Pemerintah tidak bisa lepas tangan. Pemerintah justru yang harus bertanggungjawab atas terjadinya kasus perdagangan manusia, terutama akibat law inforcement yang tidak jalan," tegas Anis.
Sementara itu, Departemen Luar Negeri, Departemen Sosial, Departemen Agama, dan Departemen Tenaga Kerja menggelar rapat membahas WNI bermasalah di Arab Saudi. Sejak 2008 hingga Juli 2009, terdapat 13 ribu WNI yang menjadi masalah sosial di sana. "Deplu mengadakan rapat untuk menyamakan persepsi dalam penyelesaian WNI yang overstay di Arab Saudi dalam konteks memulangkannya," ujar juru bicara Deplu Teuku Faizasyah seperti dilansir detik.com, Jumat (31/7). Faizasyah menegaskan, belasan ribu WNI tersebut bukanlah TKI karena mereka menggunakan visa haji atau umroh. Mereka kemudian melarikan diri untuk mencari pekerjaan di sana. "Mereka menjadi masalah sosial," ungkapnya.
Para WNI tersebut melakukan aksi-aksi yang memalukan seperti tidur di kolong jembatan, mengejar mobil patroli dan berdemonstrasi dengan harapan mereka dideportasi ke Indonesia untuk mengurangi biaya mudik. Padahal Arab Saudi saat ini tidak lagi melakukan deportasi kepada WNA yang menjadi masalah sosial di negerinya. "Cara-cara yang mereka lakukan tidak terpuji, padahal sebagian besar dari mereka memiliki cukup uang. Tapi mereka ingin dideportasi untuk menekan biaya pulang," paparnya. O did/car
|