-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

10 September 2009

Bangkitkan Pangan Lokal

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/08/04583563/bangkitkan.pangan.lokal

Bangkitkan Pangan Lokal

Selasa, 8 September 2009 | 04:58 WIB

Posman Sibuea

Shortage of food can lead to a civil war (David Nelson, 1996).

Kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono dalam pemilu presiden diharapkan dapat lebih membuat rakyat sejahtera dibandingkan dengan sebelumnya.

Salah satu harapan mendasar adalah keberanian pemerintah menghentikan impor pangan secara bertahap. Selama ini Indonesia telah terjebak sistem pangan impor yang amat mahal. Lebih dari Rp 50 triliun (setara 5,0 persen APBN) dihabiskan untuk mengimpor pangan, salah satunya adalah terigu.

Kebutuhan bahan pembuat roti ini mencapai 5 juta ton per tahun senilai Rp 7 triliun. Jika tren impor pangan itu tetap dipelihara, lima tahun ke depan diduga akan muncul rawan pangan lebih buruk dan berpotensi memicu konflik.

Ketahanan pangan

Dalam sejarah Indonesia, Presiden Soekarno menyadari ketahanan pangan amat vital bagi bangsa. Saat peletakan batu pertama pembangunan Fakultas Pertanian Universitas Indonesia 57 tahun lalu, ia mengingatkan, masalah pangan adalah mati-hidupnya bangsa ini.

Ajakan ini belum terwujud pada era Soekarno. Rawan pangan terjadi di sejumlah daerah, mengharuskan orang antre untuk mendapatkan 1-2 kg beras.

Peristiwa hampir serupa terulang pada masa Soeharto. Krisis ekonomi 1997 memicu langkanya bahan pangan. Harga beras dan bahan pangan lain meningkat tiga kali lipat. Masyarakat kota tidak saja menyerbu supermarket untuk memborong pangan, tetapi menjarah.

Soal pangan memang tidak bisa disepelekan karena menyangkut hajat hidup manusia. Kaum miskin akan mudah sakit jika tidak segera mendapat bantuan makanan. Selain itu, kegelisahan sosial yang cenderung liar mudah memicu konflik jika orang kelaparan. Negara maju memahami masalah perut ini. Mereka menyubsidi petani secara signifikan dan menjamin pembelian hasil tani dengan harga pantas.

Penguasa bijak menjadikan masalah pangan sebagai prioritas. Jaminan ketersediaan pangan yang terjangkau daya beli rakyat miskin terkait erat dengan stabilitas politik. Presiden Soeharto memahaminya dengan menggelar acara sambung rasa kelompencapir guna menjamin ketersediaan pupuk, benih, irigasi untuk produksi beras.

Menteri pangan

Krisis pangan yang memantik kejatuhan Orla dan Orba adalah contoh pembelajaran berharga. Rapuhnya ketahanan pangan dapat menjadi amunisi meletusnya perang saudara. Berdasarkan data BPS, sekitar 36 juta penduduk miskin ada dalam kegelisahan sosial akibat krisis pangan. Fakta kuantitatif ini jika dikelola tidak baik merupakan ruang inkubator penetasan kekerasan dan konflik.

Menyadari pentingnya ketahanan pangan, negara sebesar Indonesia seharusnya memiliki menteri yang khusus mengurus pangan. Saat ini, urusan pangan ada di tujuh menteri sehingga koordinasinya repot dan cenderung abai terhadap potensi pangan berbasis sumber daya lokal.

Salah satu tugas utama menteri pangan adalah membangkitkan produksi pangan berbasis sumber daya lokal guna mewujudkan kedaulatan pangan. Acuannya, Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 terkait perencanaan, penyelenggaraan, dan evaluasi pengembangan diversifikasi pangan, dari sisi produksi maupun konsumsi. Diversifikasi pangan patut didorong guna memutus rantai pangan impor.

Ada empat upaya untuk diversifikasi produksi. Pertama, pengembangan pangan karbohidrat berbasis sumber daya lokal, seperti singkong, ubi jalar, sukun, talas, sagu, dan jagung. Kedua, pengembangan produk olahan pangan lokal disesuaikan preferensi konsumen dan keinginan pasar sehingga bisa dinikmati dengan gaya hidup kosmopolitan. Ketiga, melibatkan industri pangan nasional untuk meningkatkan cita rasa dan citra makanan tradisional. Keempat, peningkatan produksi dan ketersediaan sumber pangan protein (ikan, ternak, kacang-kacangan) serta zat gizi mikro (hortikultura).

Diversifikasi konsumsi pangan terkait upaya mengubah selera dan kebiasaan makan. Peningkatan pengetahuan, sosialisasi, promosi, dan kampanye mengenai pola pangan beragam, bergizi, dan berimbang harus dilanjutkan. Diversifikasi konsumsi tidak sekadar mengganti beras dengan umbi-umbian, tetapi merupakan upaya perbaikan gizi rakyat.

Dengan mengonsumsi pangan yang beragam, bergizi, dan dengan kandungan gizi berimbang, kualitas kesehatan masyarakat akan kian baik. Dampaknya, konsumsi karbohidrat nonberas berbasis sumber daya lokal per kapita terkatrol. Dari segi kualitas konsumsi, diharapkan terjadi peningkatan keragaman konsumsi pangan yang diindikasikan kenaikan skor pola pangan harapan dari 83 (2009) menjadi 100 tahun 2014.

Posman Sibuea Ketua Lembaga Penelitian Unika Santo Thomas SU Medan; Anggota Dewan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara; Direktur Center for National Food Security Research