-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

10 September 2009

Buta Aksara dan Kemiskinan

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/08/04574599/tajuk.rencana

TAJUK RENCANA

Selasa, 8 September 2009 | 04:57 WIB

Buta Aksara dan Kemiskinan

Buta aksara (huruf), kemiskinan, dan perempuan merupakan tiga komponen yang kait-mengait mengambil peranan penting dalam masalah mutu bangsa.

 

Kesenjangan jender menjadi salah satu penyebab tingginya persentase perempuan penyandang buta aksara.

Kita dukung fokus pemberantasan buta aksara di Indonesia ke pemberdayaan perempuan, apalagi jumlah perempuan dan pria buta aksara 63:37. Arahnya tidak hanya melek aksara, tetapi mereka juga memiliki kecakapan untuk hidup. Memiliki keterampilan untuk menambah penghasilan hidup.

Hari Aksara Internasional 8 September, tahun ini yang ke-44 dan diperingati di Cilegon, Banten, ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai pembaruan tekad pemenuhan hak-hak dasar manusia. Hak bisa baca, tulis, dan hitung adalah hak asasi. Hak asasi ini terkendala antara lain oleh kemiskinan. Karena kesenjangan jender, kaum perempuan kurang memperoleh perhatian.

Menurut data tahun 2008, dari 771 juta penduduk dunia penyandang buta aksara, 13,2 juta di antaranya penduduk Indonesia. Kalau pada awal jumlah penyandang buta huruf 90 persen, pada tahun 2008 menjadi sebaliknya. Angka buta aksara versi Indonesia tinggal 10,1 juta, 70 persennya perempuan. Pada akhir 2009 angka buta aksara diproyeksikan turun menjadi 5,03 persen atau tersisa sekitar 8,3 juta jiwa.

Perbedaan data, versi UNESCO, Depdiknas, bahkan Badan Pusat Statistik, tidak menyurutkan pujian Program Education for All (EFA), UNESCO, tahun lalu. Indonesia dinyatakan termasuk salah satu dari 30 negara di dunia yang punya prospek menghapuskan buta aksara pada tahun 2015. Indonesia termasuk satu dari dua negara yang dinilai mampu mencapai target selain China. Indonesia dijadikan model dengan 90 persen penduduk berusia 15-54 tahun melek aksara.

Akan tetapi, kalau prestasi ini tampaknya belum ada titik temu dengan peringkat Indeks Pembangunan Manusia (HDI), itu belum merupakan simbiosis mutualistis. Padahal, angka buta aksara menyumbang dua pertiga penentuan HDI, sepertiganya lama pendidikan, lainnya komponen kesehatan dan ekonomi. Tahun 2004 peringkat HDI Indonesia ke-111, tahun 2008 meningkat menjadi ke-90.

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla yang berakhir 20 Oktober nanti menargetkan pada akhir tahun 2009 sekitar 94,7 persen penduduk Indonesia melek aksara. Sebaliknya, pada saat yang sama, angka kemiskinan tetap tinggi, sementara peringkat HDI rendah.

Pujian UNESCO jangan sampai meninabobokan. Bisa baca, tulis, hitung perlu berdampak untuk kemandirian dengan fokus pemberdayaan perempuan. Repotnya, ini bersaingan dengan kondisi di antaranya budaya menonton yang dipacu hadirnya televisi di setiap sotoh rumah, sementara di kelompok lainnya sudah terbang tinggi akrab dengan dunia maya, yang basisnya adalah baca tulis.

***