http://news.okezone.com/read/2009/09/29/340/260882/derita-gizi-buruk-balita-di-mojokerto
Derita Gizi Buruk Balita di Mojokerto Selasa, 29 September 2009 - 16:20 wib Foto: Tritus Julan (Koran SI) TUBUHNYA kurus kering. Tatapan matanya selalu kosong meski ada pemandangan mondar-mandir di depannya. Ramainya suasana di sekitar, tak banyak direspons Beni. Dari tangisan yang tak henti-hentinya itu, terlihat jika putra pertama pasangan Sutaji (40) dan Sumarni (33) ini merasakan kondisi yang tak sehat.
Untuk bayi seusianya, seharusnya Beni sudah bisa berjalan. Lantaran gizi buruk yang diderita, dia tak bisa melangkahkan kaki. Untuk bangun dari tidurnya pun, Beni tak mampu. Lemah dan seakan tak bertenaga dengan kondisi tubuh yang nyaris tanpa daging itu.
Sudah 10 bulan ini Beni mengalami gejala gizi buruk. Terlahir dengan berat 3,7 kilogram, berat badan Beni terus menurun. Apalagi, gizi buruk yang menimpanya itu diiringi dengan penyakit yang beragam. Muntah, batuk, pilek, dan diare selalu dialami. Selama 10 bulan itu pula Beni tak pernah lepas dari penyakit yang juga menjadi andil penurunan berat badannya.
Kondisi kesehatan Beni yang tak kunjung gemuk itu, tentu saja membuat kedua orangtuanya kebingungan. Dengan kondisi seperti itu, Beni susah makan. Dia hanya bisa bertahan dengan susu kedelai yang dirasa terlalu mahal untuk ukuran ekonomi keluarganya. "Makanan lainnya, dia muntah. Sampai siang ini, Beni belum makan," ungkap Sumarni, ibu kandung Beni, Selasa (29/9/2009) siang.
Rasanya, Beni sulit keluar dari kondisi ini. Dia terlahir dari keluarga tidak mampu, yang hanya bisa berobat dengan menggunakan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang layanannya serbaterbatas. Terbukti, meski telah lima kali keluar masuk rumah sakit, kondisinya tak juga membaik. "Empat kali di rumah sakit umum dan sekali di rumah sakit swasta. Tapi kondisi Beni tetap seperti ini," lirihnya.
Sutaji sendiri juga mengaku kebingungan dengan kondisi ekonomi yang membelitnya. Apalagi dengan kondisi anaknya yang butuh ekstra biaya untuk lepas dari gizi buruk. Penghasilan tak tetap sebagai tukang sepatu, kerap kali membuatnya mengurungkan niat untuk membeli susu kedelai yang menjadi santapan utama anaknya. "Kalau seperti ini, saya tak bekerja karena order sepi. Kebingungan kalau susu Beni habis," ungkap Sutaji.
Pusing memikirkan solusi, Sutaji hanya bisa berharap dengan doa yang selalu dipanjatkan. Juga harapan agar kondisi yang dialami anaknya itu bisa segera direspons pemerintah daerah setempat. Karena untuk berlama-lama di rumah sakit, mereka tak mampu membayarnya. "Padahal hanya dengan dirawat di rumah sakit, kami memiliki harapan kesembuhan. Semoga kami cepat mendapatkan jalan keluar," ucapnya penuh harap. (Tritus Julan/Koran SI/teb)
|