-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

10 September 2009

MEMUTUS RANTAI "PROFESI" PENGEMIS

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/07/16580286/memutus.rantai.profesi.pengemis

Masalah Sosial
MEMUTUS RANTAI "PROFESI" PENGEMIS

Senin, 7 September 2009 | 16:58 WIB

  Oleh Fabiola Ponto

Terik matahari membayangi segerombolan perempuan menggendong anak balita beserta dua anak perempuan berusia belasan tahun. Mereka duduk di depan rumah di Jalan Ampel Cempaka kawasan Masjid Ampel Surabaya, Jumat (4/9). Rupanya mereka berteduh sambil menghitung penghasilan setelah meminta-minta uang dari masyarakat.

Recehan dalam gelas plastik bekas kemasan air mineral ditumpahkan, menimbulkan bunyi gemerincing. Walau sedang menggendong anak, sepasang tangan Fitri (26) dengan lincah memilah uang yang semula tercampur, mulai dari uang receh Rp 100, Rp 500, Rp 1.000, serta Rp 5.000.

Sesekali tangannya mengambil ujung kerudung yang ia kenakan untuk digunakan mengusap peluh di kening. Setelah menghitung, seulas senyum hadir di wajahnya. "Hampir Rp 30.000," ujarnya setengah berbisik.

Rupanya hari itu dia mendapatkan uang cukup banyak. Sejak pagi dia bersama perempuan lain yang senasib meminta belas kasihan masyarakat dan pengunjung di kawasan Masjid Ampel. Mengemis berakhir sesudah sholat Jumat.

Pemandangan gelandangan, pengemis, maupun anak jalanan seolah merupakan hal yang biasa di berbagai sudut Kota Surabaya. Selain terlihat di sekitar lampu lalu lintas, mereka kerap berada di pusat keramaian seperti plasa, mal, termasuk tempat ibadah.

Ada yang meminta dengan sopan dan pergi begitu saja bila tidak diberi. Namun tidak jarang pengemis setengah memaksa orang agar memberi. Bahkan ada pengemis serta anak jalanan yang mempunyai "tarif" minimum sehingga kalau orang memberi recehan kurang dari Rp 500 uang tersebut dilemparkan ke orang yang memberi.

Saat meminta-minta, pengemis dan anak jalanan kerap mengatakan mereka belum makan sejak pagi. Kalau tidak, ada yang sekadar menadahkan tangan. Akan tetapi, ada yang beralasan untuk biaya sekolah. Para pengemis tersebut tidak semuanya merupakan warga Surabaya. Tak jelas pekerjaan mereka di tempat asal sebelum menjalankan "profesi" pengemis.

 

Mereka mengemis bukan karena semata-mata tidak memiliki keterampilan. Mengemis pun bukan jalan terakhir mencari uang untuk menyambung hidup. Sebagian peminta-minta menganggap mengemis sebagai pekerjaan mudah dan menggiurkan.

Hal ini diakui Murtinem (52), orangtua tunggal dari tiga anak. Sejak suaminya meninggal, dia harus menghidupi anak-anaknya. Awalnya perempuan yang tinggal di sekitar Jembatan Merah Plasa itu bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan mencuci pakaian.

Penghasilan menjadi pembantu ternyata tidak mencukupi. Selain untuk biaya hidup termasuk menyekolahkan anak, setiap hari raya harus membeli pakaian baru untuk ketiga buah hatinya. "Penghasilan saya sebagai pengemis lebih besar daripada bekerja sebagai pembantu," tuturnya.

Pinky Saptandari, pengamat sosial mengatakan, jika seorang peminta-minta menggendong cucu saat mengemis, berarti anak kecil tersebut dididik untuk mengemis. Bahkan bisa mengarah pada praktik perdagangan manusia. Sebab, anak usia bayi sudah diajak turun ke jalan. Bahkan ada anak diajak orang lain tanpa sepengatahuan orangtua, padahal mereka mengemis.

Seperti dua anak perempuan yang meminta-minta di kawasan Masjid Ampel pada Jumat lalu, sebut saja Ratna dan Dian, yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Mereka bergabung dengan sekumpulan pengemis untuk meminta-minta tanpa diketahui keluarganya. Ratna dan Dian ketakutan saat akan difoto karena pasti ditegur orangtuanya. "Jangan foto ya, nanti orangtua kami marah," ujar Ratna sambil merengek.

Mencermati kondisi ini, Pinky memandang perlunya penanganan untuk memutus rantai "profesi" pengemis secara terpadu yang diawali dengan pemetaan, bukan penanganan secara parsial. Penanganan represif tidak mampu memecahkan masalah untuk jangka panjang.

 

Langkah lain, pemerintah perlu memberi pembekalan spiritual dan moral. Sebagai manusia, mereka sebenarnya mampu memperoleh penghasilan dengan bekerja, bukan meminta-minta. Terlebih bila kondisi tubuh masih sehat. "Pembekalan keterampilan tidak akan berguna bila mereka sudah terlalu enak meminta-minta. Cukup menadahkan tangan saja bisa mendapat uang," kata dia.

Kepala Dinas Sosial Kota Surabaya Eko Haryanto mengakui rutin merazia pengemis, gelandangan, dan anak jalanan. Mereka yang tertangkap dimasukkan ke Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Keputih. Mereka wajib menginap di Liponsos maksimal tiga hari untuk pembekalan. Setelah itu, diharapkan keluarga dan kerabat mengambil mereka.

Namun, umumnya tidak dijemput sehingga dalam jangka waktu tertentu Dinas Sosial memulangkan penghuni Liponsos ke tempat asal. Pemkot pun tak kuasa melarang mereka kembali menjadi pengemis.