http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/17/04194536/Pengemis.Juga.Ingin.Mudik... LEBARAN Pengemis Juga Ingin Mudik... Kamis, 17 September 2009 | 04:19 WIB Jakarta mulai sepi ditinggalkan warganya mudik ke kampung halaman. Begitu juga dengan pengemis yang tinggal di "sentra pengemis" Kampung Lio, Kecamatan Beji, Depok, Jawa Barat, Selasa (15/9). "Saya ingin mudik, tetapi belum cukup modal. Akhirnya yang pulang istri saja. Dia bawa Rp 700.000 untuk dibagi buat keponakan di Losarang," kata Marta (60), pria yang matanya cacat sebelah. Sedianya Marta ingin mudik bersama istri untuk menengok tujuh keponakan yang mereka biayai hidupnya. Marta, yang kehilangan pekerjaan sebagai penggembala kambing, setahun terakhir menjadi pengemis di Jakarta setelah dirayu seorang teman dari Indramayu, Jawa Barat. Saat ditemui menjelang petang, Marta baru selesai mandi seusai "bekerja" keliling kampung. Marta bersama istrinya, Talem (50), mengontrak sebuah kamar semipermanen seharga Rp 150.000 per bulan. Meski enggan mengungkapkan berapa penghasilannya, Marta mengaku selama sebulan terakhir penghasilannya merosot. "Sekarang, penghasilan bekerja sehari hanya sekitar Rp 20.000 saja. Paling banyak Rp 50.000 setelah keliling kampung tiga sampai empat jam," ujarnya. Paceklik pendapatan juga diakui Atim (48), pengemis yang mengidap penyakit kusta. Atim mengaku saat ini pendapatannya turun drastis. "Biasanya bisa mendapat sekurangnya Rp 100.000. Sebetulnya kalau masih bisa macul (mencangkul), saya juga tidak mau bekerja seperti ini," kata Atim, asal Cikedung, Indramayu. Sehari-hari, Atim mencari nafkah di sekitar Stasiun Kereta Api Universitas Indonesia hingga di bawah terowongan UI. "Saya berangkat naik kereta dari Stasiun Depok, turun di Stasiun UI. Kalau jalan kaki sudah tidak kuat karena kondisi fisik cacat," kata Atim. Nasori (54), juragan lapak pemulung di Kampung Lio, membenarkan keterangan Marta dan Atim. "Tahun ini tidak seperti tahun lalu. Bisnis barang bekas hingga para pengemis juga lesu. Mungkin karena perputaran uang sudah habis untuk pesta demokrasi sehingga kita-kita tidak kebagian," tuturnya. Menurut Nasori, dalam keadaan normal, setidaknya seorang pengemis biasa menukarkan dan menitipkan uang kepadanya sekitar satu sampai dua juta rupiah per bulan. Uang itu diambil kalau mereka mau pulang kampung. Warga Depok dan Jakarta yang biasa melihat kehidupan di balik layar para pengemis menilai profesi pengemis menjanjikan kesejahteraan. Heru, seorang tukang ojek yang biasa mangkal di stasiun kereta, kerap mendapati pengemis menukar uang recehan dengan beberapa lembar uang kertas Rp 50.000 hingga Rp 100.000. "Kalau Mas mau tunggu di dekat Stasiun UI pada jam-jam tertentu, mereka menukar uang hasil mengemis dengan uang kertas Rp 50.000 hingga Rp 100.000-an. Bahkan, saya pernah bertemu pengemis tunanetra tukar uang recehan dengan empat lembar uang kertas Rp 100.000," kata Heru seraya geleng-geleng kepala. Samian, pengemudi taksi yang ditemui di Jakarta Selatan, juga mengaku sering melihat anak-anak jalanan yang kerap meminta uang kepada pengguna jalan sedang memainkan ponsel berfitur canggih. Lebih seru lagi keterangan Vivi, seorang warga Menteng, Jakarta Pusat. "Tukang minta-minta yang biasa mangkal di dekat rumahku kemarin mengaku habis merenovasi rumahnya senilai Rp 70 juta," kata Vivi. Namun, tudingan penghasilan melimpah dari mengemis ditampik Atim dan Marta. Menurut mereka, penghasilan mengemis hanya sekadar untuk menyambung hidup dan selebihnya membantu keuangan keluarga besar di kampung halaman. "Makanya, kami tetap ingin mudik selepas Lebaran. Mudah-mudahan ada rezeki cukup untuk ongkos pulang," kata Marta yang diamini Atim. Keberadaan pengemis di Jakarta dan sekitarnya memang kontroversial. Toh, mereka juga manusia biasa yang tetap ingin pulang ke tempat mereka berasal, seperti jutaan warga Jakarta lainnya yang memiliki profesi terhormat.(Iwan Santosa) |
29 September 2009
Pengemis Juga Ingin Mudik...
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, September 29, 2009