MENGINTIP AKTIVITAS ANAK JALANAN DI BULAN RAMADAN (2) OLEH: RALIAN JAWALSEN MANURUNG
NASIB anak jalanan (anjal) di Jakarta tidak semua sama. Ada yang sedikit lebih beruntung dengan hidup di penampungan yang dikelola secara baik serta diberikan pendidikan dan latihan kreativitas sebagai bekal di hari depan, seperti yang terjadi di Sanggar Anak Akar. Tapi tidak sedikit pula anjal yang harus berjuang sendiri agar bisa bertahan hidup di tengah kerasnya Ibukota.
BK/LAMHOT NGAMEN: Puasa bukan halangan bagi mereka untuk mengais rezeki di jalanan demi membatu keluarga.
Soeharto (15), adalah satu dari sekian ribu anjal di Jakarta yang harus berjuang sendirian agar bisa bertahan hidup. Menjadi anjal adalah pilihan yang harus ditempuh semenjak sang ayah Sunaryo (45), sakit keras dan berhenti menjadi sopir angkot tujuh tahun lalu. Mau-tak mau, anak baru gede (ABG) ini harus menggantikan posisi sang ayah sebagai tulang punggung keluarga agar bisa menghidupi sang ayah beserta sang ibu, Kaniah (42), dan adik semata wayangnya, Sumarni (7). Dia lantas memilih menjadi seorang pengamen.
Di usia yang masih muda, Suharto sudah harus mencari uang untuk membayar kontrakan, biaya hidup sehari-hari, dan biaya pendidikan sang adik yang kini duduk di bangku kelas dua sekolah dasar. Dia harus rela sekali seminggu pulang ke rumah dan selebihnya hidup di jalanan.
Memasuki bulan Ramadan, Suharto yang ditemui Berita Kota di perempatan lampu merah Pasarrebo, Jakarta Timur akhir pekan kemarin mengaku tetap menjalani 'pekerjaannya' itu. Baginya, bulan Ramadan memiliki berkah tersendiri bagi setiap umat muslim. Makanya, remaja ini tetap berusaha untuk berpuasa. "Saya tetap menjalani puasa, Sedangkan ibadah yang lain seperti tarawih, terpaksa tidak bisa saya ikuti," ujarnya.
Namun ia mengisahkan, pada puasa tahun sebelumnya, beberapa kali ia sempat batal puasa. Itu semua karena tak kuat menahan teriknya matahari. Bila sudah seperti itu, jebolan SD Yayasan Bintang Pancasila, Ibu Kartini, Kampung Tengah, Kramatjati Jakarta Tinur ini mengaku merasa bersalah dan berusaha sebaik mungkin untuk tidak batal pada puasa kali ini.
Menu yang ia pilih untuk buka puasa sangat sederhana. Hanya dengan sebungkus nasi yang dibelinya dari warung seharga Rp5.000. "Tapi saya nikmati semuanya ini. Rasanya sangat senang seandainya bisa berbuka puasa dengan es buah blewah kesukaan saya," ujarnya sambil tertawa.
Anjal ini mengaku, penghasilannya dari mengamen tak menentu. Kadang bisa mencapai Rp30 ribu/hari dan terkadang kurang dari itu. Semua uang itu disimpan dan diserahkan kepada sang ibu saat pulang ke rumah. "Yang terpenting bisa untuk membayar kontrakan rumah sebesar Rp300 ribu/bulan. Kalau tidak, orangtua dan adik saya bisa diusir dari kontrakan," ungkapnya.
Hal yang tidak mengenakan sebagai pengamen, ujarnya, adalah ketika dikejar-kejar petugas Satpol PP. Jika ketangkap, remaja ini mengaku itu adalah hal paling sial dalam hidupnya. Pasalnya, dia tak bisa mencari uang untuk diserahkan kepada keluarga selama ditahan di rumah singgah. Dalam hatinya, dia berharap bisa mendapat pekerjaan yang layak, minimal menjadi seorang kondektur angkutan umum. Namun, untuk mendapat pekerjaan itu tidak mudah karena dia tak mempunyai kenalan. Suharto hanya bisa pasrah dan menggantungkan hidupnya dengan mengais uang receh di jalanan.
Pada Ramdan ini, dia berharap mendapat berkah sehingga tidak harus hidup sebagai seorang anjal. "Saya hanya berharap dan berdoa agar ada dermawan yang mau memberikan pekerjaan. Minimal ada yang mau memberikan bingkisan makanan dan pakaian agar saya dan keluarga bisa berlebaran," ujarnya menutup pembicaraan. O bersambung
|