-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

27 October 2009

Mereka Bertahan Hidup dalam Kemiskinan

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/27/11550868/Mereka.Bertahan.Hidup.dalam.Kemiskinan


Kesejahteraan
Mereka Bertahan Hidup dalam Kemiskinan

Selasa, 27 Oktober 2009 | 11:55 WIB

Hari masih gelap sekitar pukul 05.30 ketika Rodin Rohidin mengeluarkan gerobak dari halaman rumahnya di RT 06 RW 03 Kelurahan Pajajaran, Kecamatan Cicendo, Bandung, Senin (26/10). Perutnya belum terisi makanan, hanya teh panas yang sempat diminumnya. Setelah berpamitan dengan istri, dia lantas berkeliling Kota Bandung menyusuri jalan-jalan.

Sesekali dia berhenti untuk memungut botol plastik bekas minuman atau benda-benda usang yang terbuat dari plastik. Barang-barang bekas itu nanti dia tukar dengan uang ke pengepul barang bekas di Pasar Ciroyom atau Jalan Sukabumi.

Sore hari sekitar pukul 16.00, Rodin beristirahat di Jalan Jawa untuk minum. Gerobaknya penuh dengan botol plastik. "Kalau semua dijual bisa dapat duit Rp 30.000," ujarnya.

Begitulah rutinitas Rodin sehari-hari. Pagi berangkat dan malam hari baru pulang membawa uang yang sering kali tidak cukup untuk menutupi kebutuhan dalam sehari. Bila kekurangan uang, dia meminjam dari pengepul. "Gali lubang tutup lubang. Pokoknya setiap pulang harus bawa uang karena istri di rumah tidak ada tabungan," paparnya.

Bapak tiga anak ini tidak berani banyak berharap untuk mendapatkan kerja lebih baik karena hanya memiliki ijazah SD. Sejak 1992 dia memulung dan sekarang tetap memulung. Pernah dia berkeinginan mencoba berjualan ala pedagang kaki lima, tetapi tidak punya modal.

Nasib serupa dialami Ari (42) dan suaminya Agus (37). Saat pagi hari mereka membantu menyapu halaman rumah-rumah besar di Jalan Aceh. Saat siang menjelang, keduanya mencari barang bekas untuk dijual ke pengepul sebagaimana Rodin.

Sore itu Agus tampak kelelahan. Dia tertidur begitu saja di trotoar Jalan Aceh, sementara karung tempat rongsokannya teronggok di sampingnya. Ari bersama anaknya, Ramadhan (2), duduk tak jauh dari suaminya sembari menata hasil memulung.

Dia menaksir rezekinya tak lebih dari Rp 20.000. Dengan uang tersebut mereka mencoba bertahan hidup.

Tak berumah

Ari dan Agus adalah perantau dari Serang, Banten, yang tak lulus SD. Meskipun sudah menjadi warga Kota Bandung sejak 20 tahun lalu, mereka tidak punya tempat tinggal tetap. Pada malam hari, keluarga Agus tidur di emperan sebuah kantor di Jalan Banda bersama pemulung lain. Hawa dingin dan gigitan nyamuk menjadi hal biasa. "Asal tidak hujan gede, masih bisa tidur nyenyak," kata Ari.

Pagi-pagi betul sekitar pukul 05.30 mereka harus sudah bangun karena petugas kantor mulai berdatangan untuk bekerja. Bila telat bangun, bisa-bisa petugas menyiram mereka. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, Ari mengandalkan air bersih dari pipa PDAM yang bocor.

Ari, Agus, dan Rodin adalah segelintir kaum miskin kota yang tersisih. Mereka tidak memiliki akses untuk dapat memperbaiki perekonomian keluarga karena keterbatasan keterampilan dan pendidikan. Program Bantuan Wali Kota Khusus (Bawaku) Kemakmuran atau Bawaku Pangan jelas sulit mereka raih.

Untuk memperoleh bantuan modal Bawaku Makmur, misalnya, minimal mereka harus bisa membuat proposal. Ini berarti mereka harus bisa baca-tulis. "Baca saja susah, apalagi membuat proposal yang banyak tulisannya itu," kata Rodin. (Mohammad Hilmi Faiq)