-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

19 March 2005

Pengiriman TKI Ilegal Digagalkan Polres Sukoharjo

Tempo Interaktif
Sabtu, 19 Maret 2005 | 14:23 WIB

Sukoharjo (Jawa Tengah): Polres Sukoharjo menggagalkan pengiriman tenaga kerja Indonesia ilegal ke Belanda. Sebanyak 20 paspor dan visa wisata yang akan dipakai sebagai dokumen perjalanan para TKI ilegal tersebut disita. Tiga orang pengelola pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) ditahan sejak Jumat (18/3) kemarin.

Menurut Kapolres Ajun Komisari Besar Polisi Bambang Rudy Praktinyo, PJTKI yang menggunakan bendera CV Inter Indo Pandu Wisata beralamatkan di Jalan Anggrek Raya Blok AD/5, Purigading Grogol Sukoharjo ternyata juga tidak memiliki izin sebagai pengerah TKI. "Para korban dijanjikan akan menjadi karyawan di sebuah pabrik minuman di Belanda," ujar Kapolres ketika dihubungi Sabtu,(19/3).

Rencananya ke-20 calon TKI tersebut akan diberangkatkan 28 April mendatang.

Sebenarnya ada 38 pendaftar dengan biaya pendaftaran Rp 3 juta - Rp 17 juta. Uang pendaftaran tersebut dipergunakan untuk pengurusan paspor, visa dan tiket pesawat. Namun para calon TKI yang dikatakan tinggal menunggu keberangkatan ke Belanda tersebut hanya dibekali visa turis dengan masa berlaku dua minggu. "Selain berbagai dokumen, uang tunai Rp 102 juta juga disita sebagai barang bukti," tambah Rudy Pratiknyo.

Ketiga pengelola PJTKI yang ditahan tersebut adalah Rinianti Agatha Dewi, 36 tahun, yang menjadi Direktur CV Inter Indo Pandu Wisata, dan Rudi Ismoyo, 40 tahun, bagian operasional perusahaan tersebut. Keduanya warga Kampung Janten RT 2 RW II, Dempo Barat, Pasekan, Pamekasan, Madura, Jatim. Yang juga ditahan, Ria Artanti, 24 tahun, warga Gedangan, Grogol, Sukoharjo, selaku sekretaris.

Mereka memikat para pencari kerja di luar negeri dengan membuat iklan lowongan di surat kabar sejak 22 Desember 2004 lalu. "Masih ada satu lagi tersangka, yakni suami Dewi yang sekarang masih berada di luar negeri," ujar Kapolres.

Selain di Sukoharjo, Dewi mengaku kalau PJTKI miliknya juga memiliki sejumlah kantor di Yogyakarta dan Pamekasan, Jawa Timur. Menurut Dewi, pengiriman TKI dari Sukoharjo ke Belanda merupakan yang pertama kalinya. Digunakannya visa turis diakuinya hanya
berlaku sementara karena setibanya di tempat tujuan akan diganti dengan visa pekerja. "Tersangka akan kami jerat dengan Undang-Undang (UU) 39/ 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan TKI di Luar Negeri. Yaitu Pasal 102 Ayat 1 Butir b dan c dengan ancaman hukuman 2-10 tahun," tegas Kapolres.

Terbongkarnya praktik PJTKI ilegal tersebut membuat Polres Sukoharjo bersama dengan Dinas Tenaga Kerja akan menggelar operasi penertiban terhadap keberadaan PJTKI di Sukoharjo. Pihak kepolisian meminta masyarakat yang berniat menjadi TKI terlebih dahulu meminta keterangan ke Dinas Tenaga Kerja untuk mendapatkan informasi yang jelas.

Imron Rosyid

Read More...

15 March 2005

Gus Dur Tampung TKI Illegal

TEMPO Interaktif
Selasa, 15 Maret 2005 | 21:00 WIB

Jakarta: Delapan satu tenaga kerja Indonesia (TKI) illegal terpaksa tinggal di rumah tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Abdurahman Wahid (Gus Dur) di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan. Mereka menuntut perusahaan pengembang Mustafa Kemal (MK) di Malaysia membayar gaji mereka selama 3 bulan. "Jumlah totalnya mencapai 247 ribu ringgit Malaysia,"ujar Lukman, 29 tahun, koordinator TKI di penampungan rumah Gus Dur itu.

Menurut Lukman, perusahaan pengembang tersohor di negeri jiran tersebut menjanjikan gaji perhari karyawan dari Indonesia sebesar 40-60 ringgit per hari. Selama ini, upaya mendapatkan hak setelah bekerja selama 3 bulan sudah mencapai tingkat Mahkamah Peradilan di Malaysia. " Namun,sampai saat ini belum ada kejelasan. Pihak KBRI di sana pun cenderung lepas tangan,"ujarnya.

Lukman mengaku ingin kembali ke Malaysia untuk menuntut haknya itu. "Mungkin setelah 2 tahun di sana lagi, kami akan balik. Modal kami berangkat harus balik dulu dong," katanya. Rencananya, setelah cukup modal mereka akan balik ke Indonesia dan membuka usaha di tanah air. "Harapan kami tidak ikut membebani pemerintah dengan masalah pengangguran,"ujar Lukman.

Lukman mengaku untuk berangkat dengan cara ilegal, rata-rata para TKI harus mengeluarkan uang sebesar Rp 2,5 juta. "Kalau yang resmi pakai permit (izin) modalnya lebih mahal sampai Rp 8-10 juta,"katanya. Padahal dengan status yang aman tersebut tidak menjanjikan gaji yang lebih besar. "Pihak Depnaker justru menjanjikan gaji hanya sebesar 38 Ringgit Malaysia per hari. Pembelaan dari KBRI pun tidak ada jika temui masalah,"ujarnya.

Menurut pengakuan mereka, sebesar 80 persen pekerja di MK adalah ilegal. "Justru mereka yang meminta pekerja illegal karena tidak perlu banyak urusan dengan negara," ujar Lukman. Lukman mengaku sebenarnya majikan di Malaysia itu baik hati. "Kalau ada razia dari pasukan Rela kami dikasih tahu dulu untuk sembunyi. Setelah ada kebijakan amnesti ini malah kami jadi terlantar,"ujar Lukman.

Dengan adanya amnesti ini, pihak perusahaan justru menuduh dia membawa lari uang ratusan karyawan. "Kami minta bantuan Mbak Yeni dan Migrant Care untuk mengklarifikasi,"ujar Lukman.

Yeni Zanuba Arifah Chofsoh, putri Gus Dur ketika dihubungi membenarkan keluhan pahlawan devisa negara tersebut. Kebijakan one roof system, menurutnya perlu dikaji ulang. "Dengan paspor dan dokumen resmi yang masih tetap dipegang majikan membuat TKI tetap pada posisi yang lemah,"ujar Yeni.

Putri Gus Dur itu mendesak pemerintah untuk melakukan pembelaan terhadap mereka. "Tekan pemerintah Malaysia agar semua dokumen resmi dibawa TKI sendiri,"ujarnya. Menurut Yeni, banyak pada masalah PJTKI (Penyalur Jasa Ketenagakerjaan Indonesia). "Benahi dulu PJTKI dan sistem keimigrasian. Kalau perlu cabut ijin usaha mereka jika tetap bandel,"katanya.

Yeni sudah mengupayakan berbagai usaha diplomasi informal baik dengan pemerintah Malaysia maupun Indonesia. Kerjasama dengan Migrant Care pun sudah dijalinnya. "Cuma sayangnya enggak ada goodwill dari pemerintah kita. Sebagai negara besar masak kita kalah dengan Malaysia,"ujarnya.

Pemulangan para TKI di tempat Gus Dur ini masih menunggu janji dari Depnaker. "Mereka dijanjikan gratis dari beban Rp 2,9 juta untuk pengurusan dokumen,"ujar Yeni.
Mengenai keterlibatan perusahaan pengembang Mustafa Kemal dalam penunggakan gaji TKI, Yeni meragukan, \"Saya kurang yakin. Mereka itu kalau disini sekelas dengan Ciputra lho. Kalau cuma duit segitu masak mau namanya tercemar,"ujar Yeni. Hari ini (15/3) 81 TKI tersebut sudah dipindahkkan ke penampungan milik Depnaker di Ciracas, Jakarta Timur.

Asep Yogi Junaedi

Read More...

14 March 2005

Serius, Ancaman Kelaparan dan Kekeringan di NTT

detikcom
14/03/2005 16:21 WIB

Kupang - Masalah rawan pangan dan kekeringan yang berdampak pada ancaman kelaparan di Nusa Tenggara Timur (NTT) semakin serius. Sebagian warga di beberapa kabupaten yang tengah dilanda kekeringan mulai kesulitan mendapatkan stok makanan karena cadangan makanan musim panen sebelumnya mulai menipis. Sedangkan produksi dan hasil panen tahun ini menurun tajam karena kurangnya curah hujan.

Beberapa warga yang berhasil dihubungi mengaku mengkonsumsi makanan seadanya seperti jagung, kacang-kacangan maupun umbi-umbian yang diawetkan musim panen tahun 2004. Adapula yang mulai mempersiapkan diri untuk menkonsumsi biji arbila (sejenis kacang hutan) yang tumbuh liar di hutan atau mengolah batang pohon gewang menjadi tepung guna dijadikan bahan makanan.

"Kebun jagung kami tidak ada hasil. Sudah tiga kali kami tanam, tetapi tidak ada hasil. Sawah tadah hujan yang selama ini menjadi salah satu sandaran hidup keluarga tidak dapat dikelola karena kekeringan yang berkepanjangan," kata Siprianus Taebenu, warga Desa Tunbaun, Kecamatan Amarasi Barat, Kabupaten Kupang, Senin (14/3/2005).

Kondisi yang sama dialami warga di pedalaman Kabupaten Timor Tengah Selatan maupun Kabupaten Sumba Barat dan Rote Ndao. Beberapa warga yang berhasil dikonfirmasi mengaku tidak berdaya menghadapi kekeringan yang terjadi. "Hasil panen tahun ini yang terjelek. Setengah dari jagung di ladang tidak berproduksi karena mati. Padahal tahun-tahun sebelumnya, lumbung dan gudang kami dipenuhi padi dan jagung," kata Maksi Taneo, warga Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Sementara itu, Wakil Gubernur NTT Frans Leburaya dalam keterangannya kepada wartawan di Kupang, Senin (14/3/2005) mengatakan, sesuai laporan yang diperoleh, baru 10 dari 18 kabupaten dan NTT yang terancam kekeringan dan gagal panen tetapi belum mengarah kepada rawan pangan. Hal ini berbeda dengan fakta yang terjadi, di mana sudah terdapat 12 kabupaten yang mulai mengalami kekeringan, gagal panen dan terancam kelaparan hebat.

Kepala Dinas Sosial NTT Welhelmus Padja, dalam rapat dengan Panitia Anggaran DPRD NTT, menyebutkan, pihaknya telah mempersiapkan 50 ton beras untuk didistribusikan kepada daerah-daerah yang mengalami rawan pangan. "Untuk sementara, setiap kabupaten mendapat alokasi 2 ton beras dan akan ditambah jika situasi semakin kritis," kata Wellem Padja.

Sedangkan untuk mengatasi krisis air bersih, Dinas Kimpraswil NTT berencana untuk melakukan eksplorasi air bawah tanah dan mengurangi jatah air bagi pengairan dari bendungan maupun embung yang ada di NTT bagi kepentingan pertanian. "Khusus Kota Kupang yang kemungkinan mengalami krisis air bersih, pemerintah akan menyuplai dari bendungan Tilong sebanyak 3-4 juta ton. Sisanya untuk pengairan lokasi pertanian dan sawah milik masyarakat," kata Piet Djami Rebo, Kepala Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah NTT.

Ke-12 kabupaten yang akan terancam mengalami kelaparan akibat rawan pangan dan kekeringan yakni Kabupaten Rote Ndao, Timor Tengah Utara, Alor, Sikka, Ngada, Flores Timur, Sumba Timur, Sumba Barat, Timor Tengah Selatan, Lembata, Belu dan Kabupaten Kupang. (asy)

Emmy F - detikcom

Read More...

04 March 2005

Anatomi Ketidakberdayaan TKI

Kompas, Jumat, 04 Maret 2005

Oleh Eny Haryati

Apa pun yang terjadi sebagai kenyataan, aku tak kuasa lari darinya, dari
belenggu ketidakberdayaan... adalah ketidakberdayaan dalam melawan kejamnya
hidup dan penghidupan.

Aku tak berdaya saat di negeri sendiri. Aku juga tak berdaya ada di
negeri orang. Kini aku benar-benar tak berdaya... melawan perburuan dan gerilya
500.000 pasukan. Aku. tak berdaya!

"TAK berdaya". Itulah kata kunci yang dapat menggambarkan kondisi nyata
ratusan ribu tenaga kerja Indonesia ilegal yang kini berada di Malaysia.

Menurut Pemerintah Malaysia, kini sedikitnya 800.000 tenaga kerja ilegal
masih tinggal di sana. Dari jumlah itu, sekitar 450.000 orang diperkirakan dari
Indonesia. Jumlah ini setelah dikurangi tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal
yang pulang pada masa pengampunan (amnesti) 29 Oktober 2004-31 Januari 2005 dan
Operasi Nasihat 1-28 Februari 2005 (Kompas, 3/3).

Pascaamnesti dan Operasi Nasihat, pekerja ilegal harus menghadapi Operasi
Tegas yang diberlakukan mulai 1 Maret 2005. Untuk itu, Malaysia menyiagakan
500.000 petugas yang siap memburu pekerja ilegal (Kompas, 28/2).

Drama perjalanan TKI, khususnya TKI ilegal yang mengadu nasib ke Malaysia
layak dipahami sebagai "balada penyandang derita". Mereka pahlawan devisa yang
sengsara oleh kejamnya dunia. Itu dapat dikaji setidaknya melalui sejumlah
fenomena berikut.

Keberangkatan TKI

Kepergian mereka ke luar negeri sebenarnya didorong oleh keinginan untuk
mengubah hidup dan penghidupan karena di negeri sendiri tidak tersedia lapangan
pekerjaan. Mereka tak tahan dengan kemiskinan panjang yang mencekam. Mereka
lelah hidup dalam kecingkrangan dan serba kekurangan. Mereka ingin "melukis"
masa depan baru bagi diri sendiri dan keturunannya. Mereka pun memutuskan untuk
pergi, bermodal tekad dan nyali, tanpa berpikir panjang akan aturan hukum dan
regulasi, lantaran mereka tidak mengerti.

Tekad mereka untuk meninggalkan kampung halaman menuju negeri orang
ditangkap sebagai peluang strategis oleh orang-orang oportunis. Para calo,
pialang tenaga kerja, dan mereka yang mengaku sebagai mediator amat cerdas
dalam mengambil kesempatan. Dengan memerankan diri sebagai "dewa penolong",
sang calo membuka praktik "penyembelihan" calon TKI. Tak pelak jika mafia calo
TKI akhirnya tampil sebagai unit bisnis "jalur basah" di negeri ini.

Dari sini kita bisa memahami, betapa saat calon TKI memutuskan untuk
berangkat ke luar negeri, mereka tak berdaya (karena serba tidak mengerti
apa-apa) harus berhadapan dengan ulah calo. Pada tahap ini mereka benar-benar
menjadi "sapi perah" bagi calo TKI. Untuk keperluan itu tidak jarang mereka
harus menjual atau menggadaikan aset yang mereka miliki. Astuti, misalnya, TKI
asal Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, keluarganya harus menjual sepetak sawah
(satu-satunya aset produktif yang mereka miliki) untuk menutup biaya
keberangkatannya ke mancanegara.

Hasil penelitian Center for Policy and Development Studies (Clients,
2003) di Kabupaten Pacitan, Ponorogo, dan Trenggalek, Provinsi Jawa Timur,
menunjukkan dana keberangkatan TKI bersumber dari menjual aset (21 persen),
menggadaikan aset produktif sawah/tanah (37 persen), mencari pinjaman kepada
sanak keluarga (17 persen), sisanya (25 persen) dari sumber lain, terutama
dipinjami calo TKI.

Jadi, saat niat berangkat ke luar negeri muncul, calon TKI sudah harus
berhadapan dengan ketidakberdayaan melawan maraknya praktik calo tenaga kerja,
di tengah lilitan hidup yang serba papa.

Melawan majikan

Kendati keberadaan TKI ilegal di Malaysia disebut "pendatang haram",
tidak sedikit orang yang dapat mengambil keuntungan atas keberadaan mereka.
Sejumlah besar majikan menggunakan jasa mereka sebab mereka yang ber-etos kerja
tinggi, mau bekerja dalam jam kerja panjang, mau dibayar relatif murah, dan
memiliki posisi tawar yang rendah tentu menguntungkan majikan.

Oleh karena itu, fenomena hubungan majikan-TKI dapat dipahami sebagai
hubungan "pengisapan", yang sarat kesewenangan, baik yang terjadi dalam
hubungan sosial kemanusiaan maupun hubungan bisnis berkait keuangan.

Menyadari lemahnya posisi tawar TKI ilegal, sejumlah majikan "nakal" lalu
mengambil aksi untuk menunda pemberian gaji, bahkan tidak memberi gaji sama
sekali. Langkah para TKI ilegal yang bekerja sebagai buruh bangunan di kawasan
Flora Damansara, Selangor, untuk tidak mau meninggalkan Malaysia sebelum
majikan membayar gaji mereka yang tidak diberikan sejak Desember 2004 (Kompas,
3/3) merupakan salah satu indikasi, ketidakberdayaan juga terjadi dalam
hubungan kerja TKI dan para majikan.

Derita dalam perburuan

Kini, saat Operasi Tegas diberlakukan mulai 1 Maret 2005, nasib TKI tak
ubahnya seperti hewan. Mereka bersembunyi ke hutan, kucing-kucingan, selalu
berdebar, dan didera ketakutan; dan mempertaruhkan dirinya untuk setiap saat
tertangkap petugas keamanan, untuk kemudian berhadapan dengan hukum dan hukuman
mengerikan.

Problem dilematik terkini yang melilit TKI ilegal Malaysia adalah ancaman
hukum yang setiap saat mengintai dan memaksa mereka bertaruh nasib di antara
"hidup dan mati". Dalam konteks ini sejumlah kalangan memprediksi bakal terjadi
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) luar biasa yang berpeluang terjadi pada
kasus penangkapan TKI ilegal sepanjang Operasi Tegas berlangsung.

Di titik inilah kinerja Pemerintah Indonesia dalam melindungi warga
negaranya dan efektivitas negosiasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap
Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi pada 14 Februari 2005 lalu sedang diuji.
Tentu saja, apa pun adanya, variabel ini akan menentukan format hubungan
bilateral kedua negara di kemudian hari.

Pulang tak berdaya

Harus pulang dengan hampa dan tak berdaya tampaknya akan menjadi fenomena
ratusan ribu TKI ilegal dalam waktu dekat. Kepergian yang diawali
ketidakberdayaan ternyata harus diakhiri dengan proses kepulangan yang juga
penuh ketidakberdayaan.

Jalan panjang terjal yang sulit, menyakitkan, menyedihkan, dan melelahkan
masih harus mereka lewati dalam proses pulang menuju kampung halaman. Sebab di
sepanjang jalan itu segala kemungkinan terburuk yang menyempurnakan penderitaan
TKI amat mungkin terjadi.

Saudara-saudaraku para TKI, dulu Ibu Pertiwi "menangis" melepas pergimu.
Kini Ibu Pertiwi juga harus "menguras air mata" menyambut kepulanganmu.

Eny Haryati Dosen FIA-Unitomo; Staf Ahli Clients, Direktur Eksekutif
Center for Integrated Community Learning and Empowerment (CIrClE)

Read More...

[Opini:] Soal Buruh Migran Tak Berdokumen

Jumat, 04 Maret 2005

Oleh Wahyu Susilo

SEJAK 1 Maret 2005 Pemerintah Malaysia secara resmi memulai langkah koersif dalam penegakan Akta Imigresen 1154A Tahun 2002 untuk mengusir ratusan ribu buruh migran tak berdokumen yang masih ada di Malaysia.

Langkah koersif ini diimplementasikan dalam Ops Tegas dengan tahapan operasi pemeriksaan (razia), penangkapan, dan penahanan untuk mereka yang terbukti tidak memiliki kelengkapan dokumen.

Menurut catatan Kedutaan Besar RI (KBRI) Kuala Lumpur, dari sekitar 1,1 juta buruh migran Indonesia tak berdokumen, sekitar 385.000 yang telah pulang memanfaatkan masa amnesti. Artinya, mereka yang kini menjadi "warga buron" sekitar 750.000 orang Indonesia yang menjadi buron RELA (ujung tombak Ops Tegas). Kenyataan ini menunjukkan, masih banyak buruh migran Indonesia bersikap bertahan di Malaysia karena problem upah yang belum dibayarkan. Bahkan, mereka berani "pasang badan" untuk ditangkap RELA dengan tetap berdiam di kongsi-kongsi. Hingga hari ketiga Ops Tegas berlangsung Pemerintah Malaysia mengidentifikasi sekitar 200 point akumulasi buruh migran tak berdokumen, mayoritas area adalah kampung- kampung orang Indonesia.

SEKADAR menengok ke belakang (sebulan lalu) dan membandingkan dengan kenyataan yang terjadi, pendekatan bilateral (Indonesia-Malaysia) untuk penyelesaian buruh migran mendekati titik "antiklimaks". Sebulan lalu ada sedikit optimisme saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan "ada persoalan serius buruh migran Indonesia di Malaysia, yaitu upah yang belum dibayar dan majikan yang tak pernah mendapat sanksi hukum" (Kompas, 6/2).

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Fahmi Idris pun mem-follow-up pernyataan itu dengan mengupayakan legal action untuk penyelesaian masalah buruh migran Indonesia di Damansara Damai yang gajinya belum dibayar. Langkah konkretnya adalah menyewa 10 pengacara ternama di Malaysia. Sikap keras Pemerintah Indonesia ini mendapat reaksi keras dari Pemerintah Malaysia.

Publik Indonesia amat berharap adanya solusi nyata saat pertemuan bilateral 14 Februari 2005, di mana dirancang pertemuan tingkat tinggi antara SBY dan Abdullah Badawi. Ternyata tidak ada hasil signifikan, bahkan meluruhkan harapan adanya tekanan politik kepada Pemerintah Malaysia untuk bersikap tegas dan nondiskriminasi dalam penerapan Akta Imigresen 1154/2002, di mana masih didapati sejumlah perusahaan yang leluasa merekrut buruh migran tak berdokumen, bahkan secara sengaja tidak membayarkan gajinya. Sikap SBY yang "menyerahkan sepenuhnya" kepada Pemerintah Malaysia untuk penyelesaian masalah gaji yang belum dibayarkan majikan kepada buruh migran mementahkan upaya yang sebenarnya telah mampu membongkar kebobrokan sejumlah perusahaan Malaysia yang selama ini terbukti mempekerjakan ribuan buruh migran tak berdokumen.

Tak terselesaikannya masalah ini menyebabkan ratusan ribu buruh migran asal Indonesia tetap bertahan dengan risiko ditangkap, dipenjara, dicambuk, dan dilarang masuk kembali ke Malaysia seumur hidup. Dari situasi ini, kita tidak layak jika menyalahkan sepenuhnya pada buruh migran Indonesia tak berdokumen yang kini masih tetap bertahan.

Masalah lain yang menambah ruwet deportasi massal buruh migran Indonesia dari Malaysia adalah rencana pengiriman kembali para buruh yang ikut program amnesti untuk bekerja secara resmi ke Malaysia. Pemerintah Indonesia berencana mengirim kembali buruh migran deportan ke Malaysia dengan menerapkan sistem pelayanan satu atap untuk memproses pengurusan dokumen. Yang berhak mengikuti program ini adalah buruh migran yang pulang kembali ke Malaysia sebelum 1 Maret 2005. Pemerintah Malaysia pun bersedia memberi kuota 300.000 buruh migran. Diharapkan dengan program satu atap sekitar 300.000 buruh migran dapat dikirim lagi ke Malaysia.

Sepintas program ini menunjukkan "kebaikan hati" Pemerintah Malaysia yang "mau menerima kembali" buruh migran Indonesia. Namun jika dikritisi, program ini menunjukkan ketakutan Pemerintah Malaysia akan kosongnya tenaga kerja upah murah di sektor perkebunan dan konstruksi dalam dua bulan ini. Dikhawatirkan kekosongan akan memengaruhi perekonomian Malaysia.

Dari konstelasi itu, seharusnya Pemerintah Indonesia tidak serta-merta manut dalam skema pemenuhan kebutuhan tenaga kerja Malaysia. Realitas itu sebenarnya bisa menjadi point crucial untuk political bargain dalam diplomasi ketenagakerjaan. Pemerintah Indonesia mestinya berani mengajukan opsi, pengiriman kembali tenaga kerja ke Malaysia bisa dilakukan jika Malaysia benar memenuhi komitmennya untuk menindak tegas berbagai perusahaan yang selama ini ngemplang gaji dan secara sengaja mempekerjakan buruh migran tak berdokumen.

POIN lain yang juga menyisakan masalah adalah besaran biaya yang harus dikeluarkan buruh migran yang akan ikut program penempatan kembali buruh migran ke Malaysia. Berdasarkan Keputusan Dirjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Depnakertrans RI Nomor 79 Tahun 2005, 7 Februari 2005, biaya yang harus dikeluarkan buruh migran minimal Rp 2.990.000, belum termasuk biaya transportasi dan lain-lain. Jika dicermati, pos terbesar dalam struktur pembiayaan yang ditetapkan adalah untuk jasa perusahaan sebesar Rp 1.500.000. Sisanya untuk pengurusan paspor, medical test, visa kerja, asuransi, dan pos pembiayaan lain yang belum jelas juntrungnya.

Format pembiayaan ini memperlihatkan, yang untung dari program ini adalah perusahaan-perusahaan jasa tenaga kerja yang juga tidak jelas dasar penunjukannya. Menurut para pelaku usaha penempatan tenaga kerja, mereka juga memprotes ketidaktransparan penunjukan PJTKI yang ikut Konsorsium Penempatan Kembali TKI Amnesti (KPA).

Bagi buruh migran, biaya ini juga memberatkan, apalagi mereka yang pulang semasa amnesti adalah buruh migran bermasalah. Sebagian besar di antara mereka juga mengalami masalah gaji yang dikemplang majikan dan perusahaan.

Sebenarnya masih ada peluang untuk memasalahkan buruh migran Indonesia tak berdokumen di Malaysia, terutama untuk memastikan agar dalam Ops Tegas berlangsung tanpa ada pelanggaran HAM.

Beberapa organisasi HAM internasional, seperti Amnesty International dan Human Rights Watch, mengingatkan Pemerintah Malaysia untuk tidak menggunakan kekerasan dalam proses deportasi buruh migran. Kekhawatiran ini didasarkan pada penggunaan milisi RELA sebagai ujung tombak operasi koersif itu. Dalam kerangka ini Pemerintah Indonesia harus menggunakan momentum Sidang Komisi HAM PBB yang akan dimulai pertengahan Maret 2005.

Pemerintah Indonesia dalam forum internasional ini harus berani menggalang kekuatan bersama Filipina, Banglades, Sri Lanka, dan India (sebagai negara-negara asal buruh migran deportan) untuk mengajukan masalah deportasi buruh migran di Malaysia sebagai agenda krusial HAM yang harus diperhatikan Pemerintah Malaysia. Langkah ini akan bersinergi dengan agenda ornop-ornop Indonesia, Asia Pasifik, dan internasional yang juga akan mempersoalkan deportasi buruh migran di Malaysia sebagai aktivitas yang berpotensi terjadinya pelanggaran HAM.


Wahyu Susilo Labor Policy Analyst di Migrant CARE (Perhimpunan Indonesia
untuk Buruh Migran Berdaulat)

Read More...

01 March 2005

MALAYSIA: Labour Movement Wants Migrant Workers in Unions

IPS
1 March 2005

PENANG, Malaysia, Mar 1 (IPS) - The diplomatic flap over undocumented migrant workers in Malaysia and the failure by errant Malaysian employers to settle wages due to them, before a crackdown that began on Mar. 1, could have been avoided had these workers been encouraged to join local trade unions.

This is among a host of issues that Malaysia's rejuvenated labour movement will have to grapple with after watershed elections for top posts in the country's umbrella trade union body swept in a new reform-minded leadership.

The Mar. 1 crackdown on an estimated one million undocumented migrant workers was already postponed a few times.

But Prime Minister Abdullah Ahmad Badawi was adamant this time when he announced his decision on Feb. 14 at a joint news conference after talks with visiting Indonesian president Susilo Bambang Yudhoyono.

More than half a million enforcement personnel and volunteer vigilantes have already begun pursuing these undocumented workers. Those arrested could be jailed, whipped or deported.

When it was discovered that some Malaysian employers appeared to have taken advantage of the impending crackdown and withheld wages due to these targeted migrant workers, it threatened to sour diplomatic ties with Indonesia.

Jakarta said it would sue Malaysian employers who refused to settle wages due to Indonesian migrant workers, sparking concern in Kuala Lumpur.

The problem of illegal workers must be tackled at source, said some analysts, pointing to the syndicates and agents that lure these workers and dupe them with false promises. Once here, migrant workers are left in a vulnerable position as, in many cases, their employers hold on to their passports and their work permits bar them from switching jobs. Often, for the workers, it's a case of either grin and bear it or run away and lose their passports, thus rendering themselves ''illegal''.

For K George, an 85-year-old former vice-president of the Malaysian Trades Union Congress (MTUC) -- the umbrella body for trade unions in the country -- the solution is simple. ''Foreign workers must be allowed to join (Malaysian) unions,'' he told IPS.

Had they been allowed, ''we would have been able to minimise problems with illegal workers and unpaid wages,'' he added.

George explained that the immigration status of migrant workers would have come to light much earlier when workers' applications to join trade unions were processed. ''The unions could have taken over the job of ensuring that migrant workers had proper work permits and immigration documents.''

The MTUC will have to tackle these and other issues after its stunning elections recently swept in new leaders, raising fresh hopes for workers.

On Dec. 30, the team aligned to incumbent MTUC secretary general G Rajasekaran made a clean sweep of all contested union leadership positions. Rajasekaran, a respected unionist, had previously been stymied in championing the rights of workers due to leadership differences within the Malaysian labour movement.

This time around, Rajasekaran's ally, Syed Shahir Syed Mohamud, sensationally defeated Zainal Rampak, who had helmed the MTUC for 20 years, to clinch the presidency after four failed attempts. During the latter part of his tenure, Zainal had joined the ruling United Malays National Organisation and was appointed as senator, a post often awarded to ruling coalition loyalists -- developments that eroded the MUTC's standing in the eyes of many.

Rajasekaran himself staved off a strong challenge from Zainal's ally, N. Siva Subramaniam. The clean sweep by Rajasekaran and Syed Shahir's team catapulted the credibility of the MTUC to a new high - and did not go unnoticed at the international level.

Rajasekaran was promptly elected the president of the International Confederation of Free Trade Unions - Asian And Pacific Regional Organisation (ICFTU-APRO) for a four-year term beginning Feb. 4.

He is the first Malaysian in three decades to hold that post - a sign that the MTUC has emerged from the dark years of former autocratic prime minister Mahathir Mohamad, who stepped down in 2003.

Over the 22 years of Mahathir's tenure, workers' rights were gradually whittled away.

During the recent Chinese New Year holidays, Ragu, a Malaysian security guard on duty as usual at his post at a residential complex, looked glum.

''We no longer get paid extra for working on public holidays,'' he said, with an air of resignation. ''We used to, but not anymore - same pay, public holiday or no public holiday.''

Ragu is typical of many Malaysian workers who are unaware of their rights and their collective bargaining power. Out of the more than 10 million workers in Malaysia, fewer than 10 per cent are trade union members. This leaves the vast majority of workers - including migrant workers - vulnerable to exploitation. It is situation that employers relish.

In the past, the MTUC has adopted an ambivalent position towards migrant workers. Some unionists saw the influx of these workers as depressing wages levels in the country and thwarting attempts to lobby for a minimum wage.

Syed Shahir said the issue had to be seen from the perspective of human dignity.

''We are looking at (the situation of) workers, whether they are local or foreign,'' he told IPS. ''Of course, the MTUC, as a national labour centre, is focused on local workers, but we cannot ignore the exploitation of any worker.''

In theory, migrant workers may join trade unions though they cannot be elected as office- bearers in these unions.

But, in practice, according to Syed Shahir, the contracts between the migrant workers and the labour recruitment contractors in their country of origin stipulate that they cannot join associations and political parties. ''The question is does this include unions?'' he asked.

Apart from attempting to increase membership of trade unions in Malaysia, the new MTUC leadership is also set to revive its long-standing campaign for a minimum wage.

Officially, Malaysia's poverty line is set at a monthly household income of just over 500 ringgit (125 U.S. dollars) but critics say this is unrealistic and the real figure should be double that or more. The MTUC has in the past called for a monthly minimum wage of 900 ringgit (225 dollars).

''We must keep on pushing (for a minimum wage) and prove to the government that it is needed in order for a person to live a decent life,'' said Syed Shahir, adding that it won't be easy and the MTUC would need a lot of support from all parties.

''What dignity are you talking about if your salary is 380 to 400 ringgit (95 to 100 dollars)? We are the only country in this region without a minimum wage.'' (END/2005)


By Anil Netto

Read More...

[Nurniti —Abu Dhabi] TKW Indramayu Tewas Digantung Majikan?

Pikiran Rakyat
1 Maret 2005

INDRAMAYU, (PR).- Tragedi TKW (tenaga kerja wanita) yang bekerja di luar negeri kembali terjadi dan kali ini menimpa Nurniti (35), TKW asal Desa Kendayakan, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu. Ia dikabarkan tewas dengan cara digantung oleh majikan yang sering menganiayanya di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Pemicunya sangat sepele, ia dianggap teledor mencuci celana majikan yang ada uangnya hingga uang tersebut ikut basah.

KELUARGA TKW korban penganiayaan majikan dari kiri ke kanan, Sukinih (50/ibu), Kartaman (38/suami), Rositi (9/anak), dan Rahup (60/ayah) di Ds. Kendayakan, Kec. Terisi Kab. Indramayu, Senin (28/2).*MARSIS SANTOSO/"PR"

Kepastian tentang tewasnya Nurniti disampaikan Kartaman (38), suami korban kepada "PR", Senin (28/2) di rumahnya di RT 08 RW 02 Desa Kendayakan. Kabar kematian tragis istrinya itu, kata Kartaman, diperoleh dari teman istrinya sesama TKW di Abu Dhabi. Selain itu, ia juga telah mengkonfirmasi ke PT Grahana Manunggal, perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang memberangkatkan Nurniti ke luar negeri.

Menurut Kartaman, kabar duka menyangkut nasib istrinya itu berawal dari adanya telefon dari Abu Dhabi, dua pekan lalu. Melalui nomor telefon milik tetangganya, Mang Watno, pertama telefon datang dari Lilis, warga Sukabumi yang mengaku bekerja di Abu Dhabi dan mengenal Nurniti. Lilis mengabarkan bahwa Nurniti menghadapi masalah dengan majikannya. "Kata wanita itu melalui telefon, oleh majikannya istri saya dianggap bersalah karena mencuci celana milik majikan yang ada uangnya hingga uangnya basah. Bahkan katanya istri saya dituduh mencuri," kata Kartaman.

Saat itu telefon dari Lilis langsung terputus hingga Kartaman tidak dapat mengetahui lebih banyak tentang masalah yang dihadapi istrinya. Kartaman pun tidak bisa berbuat banyak meskipun dirinya merasa sangat gundah oleh adanya kabar tersebut, Apalagi biaya telefon ke luar negeri sangat tinggi di samping tidak tahu ke mana harus menghubungi.

Namun masih di hari yang sama, beberapa jam kemudian ia kembali diberitahu adanya telefon dari Abu Dhabi, maka kembali Kartaman ke rumah Mang Watno untuk menerima telefon tersebut. Hanya kali ini bukan Lilis yang menelefon tetapi wanita yang juga bekerja di Abu Dhabi asal Karangampel-Indramayu. Wanita yang menolak menyebutkan namanya tersebut, melalui telefon mengabarkan pada Kartaman bahwa Nurniti istrinya akan dipindahkan oleh agen.

Merasa tidak tahu dengan maksud dipindahkan seperti yang disampaikan wanita itu, Kartaman pun mendesak. Ia mempertanyakan ke mana istrinya dipindahkan. Tetapi jawaban yang disampaikan TKW asal Karangampel itu lebih mengagetkannya. Sebab ternyata, Nurniti bukan pindah kerja ke majikan lain seperti yang diperkirakannya. Namun yang dimaksudkan sang penelefon adalah memindahkan jenazahnya ke rumah sakit sebab Nurniti telah tewas.

Langsung pingsan

Menerima kabar tersebut, karuan saja Kartaman menjadi shock. Bahkan saat itu ia langsung pingsan di rumah Mang Watno, tempat ia menerima telefon. Baru keesokan harinya, ia langsung berangkat ke kantor PJTKI PT Grahana Manunggal di kawasan Kampung Rambutan, Jakarta Timur untuk memastikan kabar tentang nasib istrinya. Ia berangkat bersama Sobirin, warga Kecamatan Cikedung-Indramayu, sponsor yang memberangkatkan istrinya melalui PT Grahana Manunggal.

Pihak PT Grahana Manunggal di Jakarta, membenarkan kabar tersebut. Namun yang membuat Kartaman tidak habis pikir, pihak PJTKI itu mengatakan bahwa istrinya meninggal karena gantung diri. Sedangkan menyangkut jenazahnya, pihak perusahaan menyatakan akan mengusahakan agar bisa dibawa pulang untuk dimakamkan di kampungnya.

Kartaman mengaku ada yang tidak beres dengan pernyataan pihak perusahaan PJTKI yang menyatakan istrinya meninggal karena gantung diri. "Saya sangat tidak percaya kalau istri saya meninggal karena gantung diri. Kalau tidak digantung, pasti dia dianiaya sampai meninggal dan untuk menghilangkan jejak mayatnya sengaja digantung agar seolah-olah bunuh diri," tandas Kartaman didampingi Ulis, aparat Desa Kendayakan dan sejumlah tetangganya.

Alasannya, menurut Kartaman, sejak bekerja di Abu Dhabi lima bulan lalu istrinya berkali-kali menelefon dan mengeluhkan soal perlakuan buruk majikannya yang menurut pihak PT Grahana Manunggal bernama Rubayat Abdullah Shohal dan tinggal di Al Ain-Abu Dhabi. Setiap menelefon, ia selalu menangis karena sering dianiaya dan diancam dengan pentungan besi oleh majikannya. Bahkan Nurniti mengaku sering menyelinap ke dalam WC untuk menghindari kekejaman sang majikan.

Terakhir, ujarnya lebih jauh, telefon dari sang istri diterimanya persis satu hari sebelum Lilis dan TKW lain asal Karangampel mengabarkan bahwa Nurniti telah tiada. "Saat itu sambil menangis istri saya meminta agar saya ke Jakarta ke PJTKI yang memberangkatkannya. Ia meminta saya memberitahu pihak PJTKI untuk segera mengontak ke agennya di Abu Dhabi agar dirinya tidak dianiaya terus-menerus," kata Kartaman yang kesehariannya bekerja sebagai penarik becak itu menambahkan.

Ternyata, sehari setelah menerima telefon terakhir dari sang istri tersebut, Kartaman harus menghadapi kenyataan bahwa istrinya telah meninggal. Bahkan yang lebih tragis, dikabarkan Nurniti tewas akibat gantung diri. Meski ia yakin, sang istri tewas akibat dianiaya sang majikan terkait tuduhan mencuri uang setelah mencuci celana yang ada uangnya sebagaimana yang diceritakan Nurniti melalui telefon terakhirnya. Sehingga, kabar istrinya tewas gantung diri lebih merupakan hasil rekayasa majikan yang telah menganiayanya sampai tewas untuk menghilangkan jejak.

Baik Kartaman maupun mertuanya Rahup dan istrinya Sukini (ayah dan ibunya Nurniti) menyatakan, selama lima bulan bekerja di Abu Dhabi, korban belum pernah sekali pun mengirimkan uang. Sebab setiap kali meminta bayaran, seperti yang sering diceritakan Nurniti lewat telefon sang majikan selalu marah-marah, menganiaya dan mengancamnya. Parahnya, sang majikan juga menolak memulangkan atau mengembalikan Nurniti ke agen hingga akhirnya ia menjadi korban.

Malangnya, hingga Senin (28/2) atau sekira dua minggu setelah kejadian, pihak PT Grahana Manunggal seolah tidak bertanggung jawab atas peristiwa yang menimpa TKW asal Indramayu tersebut. Mereka tidak dapat memberi kepastian bisa tidaknya Nurniti dipulangkan ke kampung halamannya di Indramayu. Karenanya keluarga korban berharap adanya uluran tangan dari pemerintah untuk membantu proses pemulangan jenazah Nurniti dan sekaligus pengusutan kasusnya hingga jelas yang menjadi penyebab tewasnya TKW malang itu.(A-96)***

Read More...