ANTARA News
30/03/07
Jakarta - Seorang mantan anggota DPR dan seorang pimpinan Akademi Pariwisata (Akpar) ditahan Polda Metro Jaya setelah menjadi tersangka kasus perdagangan mahasiswi untuk dijadikan tenaga kerja wanita (TKW) di Malaysia.
Kedua tersangka itu adalah JSou (mantan anggot DPR) dan Drs RSap, Dirut Akademi Pariwisata "Pertiwi", Jakarta, kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ketut Untung Yoga Ana di Jakarta, Jumat.
Selain kedua tersangka, polisi juga menahan lima tersangka lain yakni TWar (pegawai perusahaan asuransi yang tinggal di Jl Lenteng Agung, Jaksel), Sri (karyawan Sekolah Menengah Ilmu Pariwisata "Paramita").
Tersangka lain adalah Nor binti Mok (Dirut PT ESHN), Kal (WN Malaysia, karyawan Hotel Pacific Regency Kualalumpur) dan KTKG (GM Hotel Pacific Regency).
Keempat korban penipuan TKW itu adalah mahasiswa dan alumni Akademi Pariwisata "Pertiwi", Jl Dewi Sartika, Jakarta Timur.
Mereka yang menjadi korban adalah ARM binti JE, ISR binti MU, FYL binti M dan DGM binti MU.
Dalam jaringan ini, tersangka TWar menghubungi Sri untuk menawarkan training dan bekerja di Hotel Pacific Regency Kuala Lumpur dengan gaji 700 ringgit hingga 800 ringgit.
"Namun, gaji mereka dipotong 200 ringgit selama tujuh bulan dengan alasan sebagai biaya pemberangkatan dari Jakarta menuju Kuala Lumpur," kata Yoga Ana.
Keempat korban ini diberangkatkan dari Jakarta ke Batam.
"Di Batam, para korban dijemput JSou yang kemudian mengantarnya ke Johor, Malaysia. Mereka diberangkat dengan paspor dan visa turis dan bukan paspor dan visa untuk bekerja," kata Yoga Ana.
Di Johor, para korban ditampung oleh Nor.
Setelah satu bulan di rumah Nor, mereka dipekerjakan sebagai pelayan restaurant "SOI 23" Hotel Pacific Regency dengan gaji 150 ringgit.
Kasus ini terbongkar berkat laporan seorang tamu hotel "Pacific Regency" di Kuala Lumpur ke KBRI yang menyebutkan bahwa empat wanita WNI tertangkap polisi Malaysia.
KBRI lalu mendatangi keempat korban dan setelah diperiksa ternyata mereka korban perdagangan manusia sehingga pihak Imigrasi Malaysia mau melepaskan mereka.
Mereka ditangkap polisi Malaysia atas tuduhan bekerja dengan memakai visa turis.
"Polda Metro Jaya menerima laporan dari KBRI itu segera bergerak untuk menangkap para tersangka," kata Yoga Ana.
Ia mengatakan, polisi juga menyita barang bukti diantaranya paspor, tiket dan dokumen pemberangkatan.
"Para tersangka dijerat dengan UU No 39 tahun 2004 tentang Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri dengan ancaman hukuman antara dua hingga 10 tahun penjara atau denda antara Rp2 miliar hingga Rp15 miliar," katanya.(*)
30 March 2007
Mantan Anggota DPR Tersangka Perdagangan Mahasiswi
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Friday, March 30, 2007
Label: Human Trafficking, Pemerintah, Polisi
Dua TKW Dipaksa Jadi PSK di Kuala Lumpur
ANTARA News
30/03/07
Jakarta () - Dua tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia menjadi korban perdagangan manusia dengan dipaksa bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) di Hotel Nova, Kuala Lumpur, Malaysia.
Polda Metro Jaya telah menangkap seorang WNI dan WN Malaysia yang terlibat dalam kasus ini, kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ketut Untung Yoga Ana di Jakarta, Jumat.
Kedua tersangka itu adalah AM (WNI), alamat kos di Mangga Besar, Jakarta Barat dan AI (WN Malaysia), tinggal di apartemen City Tower, Kuala Lumpur.
Sedangkan kedua korban itu adalah TWL (22), warga Magelang dan Sur binti SK (25), warga Penjaringan, Jakarta Utara.
Perdagangan manusia ini terbongkar setelah kedua korban berhasil lolos dari sekapan lalu melapor ke KBRI di Kuala Lumpur.
Dalam aksi kejahatannya, tersangka AM menawarkan kedua korban untuk bekerja di tempat karaoke Kuala Lumpur dengan iming-iming gaji tinggi.
"Korban diminta membayar akomodasi dan transportasi sebesar 520 ringgit dan Rp10 juta untuk biaya dokumen," kata Yoga Ana.
Setibanya di Kuala Lumpur, 7 Maret 2007 lalu, tersangka dijemput dua orang laki-laki lalu dibawa ke apartemen "City Tower".
Kedua korban lalu dipertemukan dengan tersangka AI yang kemudian dipekerjakan di dalam hotel Nova Kuala Lumpur.
"TWL dipaksa melayani tamu hingga enam orang sedangkan Sur tidak jadi melayani tamu karena menangis terus menerus sehingga tamunya tidak tega melihat Sur menangis," kata Yoga Ana.
Polda Metro Jaya yang menerima laporan perdagangan wanita itu dengan cepat menangkap tersangka.
Barang bukti yang disita adalah paspor, tiket dan dokumen keberangkatan.
Tersangka dijerat dengan UU No 39 tahun 2004 tentang perlindungan TKI, pasal 297 KUHP tentang dokumen palsu, pasal 263 KUHP tentang penipuan dan B 378 KUHP tentang perdagangan perempuan.
Tersangka terancam hukuman antara dua hingga 10 tahun penjara atau denda antara Rp2 miliar hingga Rp15 miliar.(*)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Friday, March 30, 2007
Label: Human Trafficking, Malaysia, pekerja seks
29 March 2007
Sebanyak 53 TKI Terancam Hukuman Mati di Malaysia
ANTARA News
29/03/07
Kuala Lumpur - Tenaga kerja Indonesia (TKI) yang terancam hukuman mati di Malaysia mencapai 53 orang, bukan 16 orang sebagaimana dikemukakan oleh INFID (International NGO Forum on Indonesia Development) dan Migran Care belum lama ini.
"Ada 53 TKI terancam hukuman mati di Malaysia. Data ini kami dapat dari Kejaksaan Malaysia tiga hari lalu. Jadi bukannya 16 orang seperti dikemukakan oleh INFID dan Migrant Care dalam sidang Dewan Hak Asasi Manusia PBB 20 Maret 2007," kata Direktur Indonesian Sociology Research, Khairudin Harahap, di Kuala Lumpur, Kamis.
Sebagian besar TKI itu kini ditahan di penjara Sungai Buluh Selangor, salah satu negara bagian Malaysia. Ada yang menunggu eksekusi, ada yang sedang menjalani proses pengadilan dengan tuntutan jaksa setempat hukuman mati.
Khairudin mencari dan mendapat data itu dari Kejaksaan Malaysia (Kantor Peguam Malaysia) karena ada rombongan AMPI (Angkatan Muda Pembangunan Indonesia) ke Kuala Lumpur dalam rangka membela TKI yang terancam hukuman mati. Setelah meminta informasi itu, ternyata ada 53 orang yang terancam mendapatkan hukuman mati di Malaysia.
Dari 53 TKI itu, jumlah tertinggi berasal dari Aceh 37 orang, disusul Sumatera Utara tujuh orang, Madura dua orang, Riau satu orang, Tulungagung Jawa Timur satu orang, Bali satu orang, NTB satu orang, dan tak jelas asalnya tiga orang.
"Diduga ada dua orang wanita yakni Maria Palo kemungkinan asal Sulawesi dan Mariana Mariaji asal Tulung Agung Jawa Timur," kata Khairudin.
Dari 53 TKI, maka 43 orang di antaranya terancam hukuman mati karena ditangkap dan dituduh telah menjadi pengedar narkoba pasal 39 B, dan 10 orang lainnya dituduh telah melakukan pembunuhan berdasarkan pasal 302.
Daftar nama TKI yang terancam hukuman mati karena dituduh menjadi pengedar Narkoba itu ialah Mardani Husein (Aceh), Tarmizi Yakob (Aceh), Bustami Bukhari (Aceh), Parlan Bukhari (Aceh), Nasarudin Daud (Aceh), Azhari Nordin (Aceh), Mustakim Hanafi (Aceh), Agus Salim (Bali), Faisal Nordin (Aceh), Mahyudin Mohammad (Aceh), Zaki Nordin (Aceh), Maulana Hasbi (Aceh), Zainuddin (Aceh), Raja Syarif (Aceh).
Selain itu adalah Zulkarnain (Aceh), Azahari Malik (Aceh), Bustami Abdul Majid (Aceh), Rosli (Medan), Heno Sibuea (Tanjung Balai Asahan Sumut), Hasbi Kasumi (Aceh), Baihaki Hamdan (Aceh), Faisal Ibrahim (Aceh), Sandri Bachtiar (Aceh), Mahrizal Mahdani (Aceh), Armiyadi (Aceh), Nasir Kahar (Aceh), Nizam (Aceh), Ismail Darmansyah (Aceh), Rusdi Ahmad (Aceh), Iskandar (Aceh), Azmir Mustafa (Aceh), Suraidi Hasbi (Aceh), Mohammad Rizal Ishak (Aceh), Subir Abdul Jalil (Aceh), Nor Binti Syed Ahmad tidak jelas asalnya, Sofyan Abdullah (Aceh), Fitriadi Luthan (Aceh), Mohammad Fais (Medan Sumut), Usman Hasan (Aceh), Barni Ali (Aceh), Amri Ibrahim (Aceh), Misliadi (Aceh), Azhari Mohammad Nor (Aceh).
Sedangkan TKI yang terancam hukuman mati karena tuduhan pembunuhan ialah Adi Asnawi (Lombok NTB), Erik Kartim (Medan Sumut), Wahyuni Boeni (Medan Sumut), Haliman Sihombing (Medan Sumut), Sahlan (Madura), Syaputra Salidin (Madura).
Kemudian Lili Ardi Sinaga (Pematang Siantar Sumut), Maria Palo, Mariana Mariaji (Tulung Agung Jatim), Junaidi (Riau).
" TKI yang terancam hukuman mati karena pembunuhan, bagi TKI non Madura, biasanya membunuh karena majikannya tidak membayar gajinya bertahun-tahun atau berbulan-bulan. Mereka sudah minta baik-baik, agak keras, hingga keras sekali tidak dibayar juga maka tidak ada jalan lain kecuali membunuh majikannya," kata Khairudin.
Sedangkan, bagi orang Madura umumnya membunuh karena perempuan. Istrinya digoda sesama TKI. Orang Madura biasanya membawa istrinya ketika kerja ke luar negeri. Istrinya membantu masak. Hidup dalam bedeng dengan jumlah TKI puluhan orang. TKI lelaki tidak berani menggoda wanita Malaysia karena dipandang "sebelah mata" sehingga akhirnya cuma berani menggoda istri TKI, termasuk orang Madura.
Budaya orang Madura jika istri diganggu, maka ia akan membunuhnya. Mereka selalu bawa clurit.
"Banyak TKI asal daerah lain tidak paham budaya Madura dan habis membunuh, maka orang Madura itu tidak kabur," tutur dia.
Sementara, banyak TKI asal Aceh yang terancam hukuman mati karena menjadi pengedar narkoba. Karena itu perlu kajian sosial mengapa begitu banyak TKI asal Aceh menjadi pengedar narkoba.
Menurut Khairudin Harahap, Kejaksaan Malaysia sebagai penuntut itu benar-benar kuat, tidak sembarangan. Jika kejaksaan menuntut hukuman mati biasanya hukuman dari majelis hakim pengadilan Malaysia umumnya mejatuhkan vonis hukuman mati juga. Jarang meleset. (*)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, March 29, 2007
Label: ANTARA News, hukum mati, LSM, Malaysia, masalah BMI, Migrant care
28 March 2007
Pekerja Indonesia Dirampok dan Diperkosa di Johor Baru
ANTARA News
28/03/07
Kuala Lumpur -- Pekerja Indonesia dirampok dan diperkosa di rumahnya di Taman Impian Skudai oleh segerombolan pemuda yang mengaku dan berlagak seperti polisi dan anggota Rela, demikian Harian Star, Rabu, di Kuala Lumpur.
Para pelaku yang mengaku sebagai polisi dengan beberapa di antaranya menggunakan seragam Rela masuk ke rumah para pekerja Indonesia jam 03 pagi Senin. Salah satu di antara mereka kemudian memperkosa pekerja wanita berusia 23 tahun yang diduga merupakan salah satu istri dari pekerja.
Harian ini tidak menginformasikan apakah pelaku membawa senjata api atau tajam sehingga para pekerja Indonesia tidak mampu berbuat sesuatu ketika dirampok dan diperkosa. Para perampok itu kemudian mengambil uang tunai dan telepon genggam milik para pekerja Indonesia.
Seorang polisi Johor Baru, Shafie Ismail mengatakan pekerja wanita yang diperkosa itu telah dibawa ke rumah sakit Sultanah Aminah untuk mendapatkan perawatan.(*)
Copyright © 2007 ANTARA
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, March 28, 2007
Label: ANTARA News, Kekerasan, Malaysia, masalah BMI, pemerkosaan, The Star
22 March 2007
Illegal migrant workers in Malaysia may escape the cane
The Financial Express
22 March 2007
With the Malaysian Bar calling for the abolition of corporal punishment 'illegal' migrant workers, who are currently being rounded up in a nationwide sweep, may become the first beneficiaries of any change in policy.
At the weekend annual general meeting of the Bar, which comprises 12,000 lawyers in the country, a motion calling for the declaration of whipping as cruel, inhumane and degrading was unanimously adopted. The bar pushed for the abolition of the whipping sentence in various laws, including the Immigration Act.
The two lawyers, Latheefa Koya and Renuka T. Balasubramaniam, who moved the motion asked the Bar to lead public opinion in ''rejecting and denouncing the sentence of whipping as it is anachronistic and inconsistent with a compassionate society in a developed nation''.
They also pointed out that whipping had failed as a deterrent and asserted that it is time for Malaysia to subscribe to Article 5 of the Universal Declaration of Human Rights, which states that no one should be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment.
''We are putting forward this motion now because of the increasing numbers of arrests and (cases of) whipping going on now,'' Latheefa Koya told IPS, pointing to the mass raids currently going on to pick up 'illegal' migrants. ''This motion is a step forward in getting rid of corporal punishment altogether.''
Corporal punishment -- whipping with a thick rattan cane -- is usually administered as a supplementary penalty for a range of crimes including armed robbery and drug trafficking. But in recent times, it has also been used on migrants deemed to be illegal under the Immigration Act. Those in breach of the Act face fines, jail terms and whipping.
In practice, migrants, including refugees, picked up during raids are either brought to court -- within two weeks -- or sent straight to immigration detention centres for eventual deportation.
Of those brought to court, those with valid documents but who have overstayed face prison terms and deportation. A caning sentence, usually two to three strokes, in addition to a stint in prison, is meted out to those without any documents, according to Latheefa, who works in Legal Aid. Women are not whipped.
Upon being brought to court, migrants often do not know what charges are brought against them, the two lawyers claim. ''They are not informed of their right to legal representation, and in any event, are not provided with a reasonable opportunity to seek help. The lack of interpretation in appropriate languages renders the whole legal process a complete travesty of justice and human rights.''
Faced with indefinite detention, many of them turn in guilty pleas without realising the full implications.
In the past, rights groups have spoken out against whipping, which leaves large red welts and permanent scars on the buttocks. Rather than having any Islamic connotations, judicial corporal punishment here was first introduced in the late 19th century by British colonial administrators as an outgrowth of British judicial custom and practice at the time.
In their motion, Latheefa and Renuka pointed out that ''whipping is clearly intended to be a humiliating experience.'' They cited New Zealander Aaron Cohen's description of the six strokes he received in 1982 for drug-trafficking:
''It's just incredible pain. More like a burning - like someone sticking an iron on your bum. That's the sort of feeling. Pain - just ultimate pain,'' he said. ''The strokes come at a rate of one a minute - but it seemed like a lifetime to me. I waited and waited for the first one and as soon as I let my breath out - 'baam'. Afterwards my bum looked like a side of beef.''
Upon serving their sentences, "illegal'' migrants are sent to immigration holding centres for deportation.
In the past, Amnesty International has expressed grave concern over conditions for undocumented migrants held in immigration detention centres, ''especially when mass arrests and deportations lead to severe overcrowding. Conditions in some immigration detention centres may be at times so poor as to amount to cruel, inhuman or degrading treatment''.
The two lawyers' motion could face some resistance from other lawyers and ordinary Malaysians as migrant workers have often received negative coverage in the media. Many Malaysians are worried about the incidence of serious crime. Others link the rising crime rate with the high number of migrants, estimated to number close to 10 per cent of the population, even though statistics reveal that they are not more prone to crime.
The country's top police officer was reported as saying last month that only 2 per cent of crimes in the country were committed by foreigners. However, he proposed that all foreign workers be confined to their quarters and have their movements monitored by management to prevent them from committing crimes.
Despite the inuman conditions, Malaysia's relative prosperity has continued to attract thousands of illegal or undocumented workers from such neighbouring countries as Indonesia, Burma, India, the Philippines and Bangladesh where job opportunities are scarce.
For Irene Fernandez, director of the leading migrant rights groups Tenaganita, the lawyers' motion calling for an end to whipping is extremely important. ''For us, it is like a tool for torture. It is a very inhuman thing to do,'' she told IPS.
The impact of whipping, she added, was tremendous and left migrant workers scarred for life. ''Whipping should become history. As a nation now celebrating its 50th year of independence, whipping should be out, and not condoned anymore.''
Inter Press Service
By Anil Netto
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, March 22, 2007
Label: Anil Netto, Buruh migran, Malaysia
21 March 2007
More than 25,000 Illegal Immigrants Held Last Year
BERNAMA, March 21, 2007
KUALA LUMPUR, March 21 (Bernama) — A total of 25,045 illegal immigrants were detained by People’s Volunteer Corps (Rela) members throughout the country last year, an increase of 8,244 over the previous year, Deputy Home Minister Datuk Tan Chai Ho said today.
He said that in the first quarter of this year alone, 9,691 were detained.
The majority of the detainees last year were from Indonesia (17,038), Myanmar (2,988) and India (1,206).
Most of them were held in Selangor (7,664), Kuala Lumpur (3,879), and Negeri Sembilan (2,798), he told reporters at the Parliament lobby here, Wednesday.
He also said that 186 employers had been prosecuted and 63 of them fined a total of RM1.05 million since the amendments to the Immigration Act to provide for imprisonment and whipping for errant employers came into force in August 2002.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, March 21, 2007
20 March 2007
16 TKI di Malaysia Terancam Hukuman Mati
Kompas
20 Maret 2007
Jakarta, Kompas - Jumlah buruh migran yang menghadapi ancaman hukuman mati di Malaysia tercatat paling tinggi, yakni 16 orang, sedangkan di Arab Saudi sebanyak lima orang dan di Singapura satu orang.
International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Migrant Care akan membawa persoalan tersebut dalam Sidang Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 20 Maret 2007.
Menurut analis kebijakan Migrant Care Wahyu Susilo kepada Kompas, Senin (19/3), INFID dan Migrant Care akan membacakan pernyataan tertulis sebagai bahan intervensi dalam sesi pembahasan laporan kunjungan UN Special Rapporteur on the Human Rights of Migrants Prof Dr Jorge Bustamante, 12-21 Desember 2006, ke Indonesia.
Dalam laporan kunjungannya, Bustamante merekomendasikan Indonesia harus segera melakukan langkah konkret untuk melindungi buruh migran dengan meratifikasi International Convention the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families of 1990.
Bustamante juga merekomendasikan peninjauan ulang nota kesepahaman antara Indonesia dan Malaysia mengenai buruh migran yang ditandatangani di Bali, Mei 2006. Kesepahaman itu telah menjadi instrumen hukum pelanggaran hak asasi manusia karena melegitimasi penyanderaan paspor buruh migran Indonesia oleh majikannya.
"Laporan Bustamante itu kami nilai masih ada yang kurang, seharusnya dilengkapi dengan kondisi-kondisi buruh migran yang saat ini sedang menghadapi ancaman hukuman mati," kata Wahyu.
Secara kebetulan, katanya, di Geneva sedang berlangsung sidang PBB, sementara di Malaysia sedang berlangsung sidang hukuman mati untuk Suhaidi bin Asnawi di Pengadilan Tinggi Seremban, Negeri Sembilan. "Jadi sekalian kami desakkan," katanya lagi.
Indonesia yang menjadi Dewan HAM PBB turut serta dalam sidang keempat ini. Selain Pemerintah RI yang mengirimkan delegasi resmi yang dipimpin Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin, sidang Dewan HAM PBB ini juga diikuti beberapa delegasi LSM Indonesia. Mereka melakukan pemantauan intervensi substansi serta menyampaikan pernyataan tertulis mengenai situasi HAM di Indonesia dalam perspektif masyarakat sipil. (VIN)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, March 20, 2007
Label: ancaman mati, Buruh migran, Kompas, VIN
Forum Nyeleni Suarakan Kaum Tak Bersuara
Kompas
20 Maret 2007
Sebanyak 600 anggota delegasi dari 98 negara yang disponsori La Via Campesina, sebuah organisasi petani internasional yang berkedudukan di setiap negara, pada 20 Februari 2007 berangkat ke Nyeleni, Mali, Afrika Barat. Mereka mewakili organisasi petani, buruh, perempuan, masyarakat adat, dan nelayan di negaranya.
Sekretaris Jenderal Koordinator La Via Campesina Indonesia Henry Saragih di Selingue, Mali, 24 Februari waktu Mali, menjelaskan, ada 120 organisasi petani, nelayan, buruh, perempuan, dan petani penggarap dari 98 negara menghadiri forum itu.
"Mereka mewakili kaum tak bersuara dari negara masing-masing," kata Saragih.
Ke-120 organisasi itu antara lain dari Indonesia (9), Brasil (6), Meksiko (8), dan Amerika Serikat (3). Mereka yang hadir adalah pimpinan organisasi, wakil, atau yang memiliki pengalaman unik dalam organisasi itu.
Organisasi dari Indonesia, antara lain, Serikat Buruh Migran Indonesia, Aliansi Buruh Yogyakarta, Walhi, Jaringan Advokasi Nelayan, Serikat Petani Mandiri, Bina Desa, Masyarakat Adat, dan PBHI.
Dari Brasil antara lain Commicao Pastoralle de la Terra (CPT), Persekutuan Peternak dan Tani Brasil, dan MST atau Movemento Sem Terra atau gerakan masyarakat tanpa lahan pertanian.
Sebagian besar pembicara mengungkapkan sederetan kebijakan pemerintah masing-masing yang tidak peduli terhadap hak dan nasib kaum petani, nelayan, perempuan, masyarakat desa, penggarap, kaum buruh, dan buruh migran.
Buruh perempuan migran asal Indonesia di Hongkong yang dipimpin Sumiati, misalnya, mengemukakan bahwa kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap buruh perempuan migran sangat merugikan kaum buruh.
"Pemerintah Indonesia bukan berupaya bagaimana melindungi kaum buruh perempuan Indonesia di Hongkong, tetapi hanya berupaya bagaimana memberangkatkan mereka. Di sini banyak ketimpangan terjadi karena hampir semua buruh perempuan diperas oleh PJTKI (perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia) selama tujuh bulan," ungkap Sumiati.
Perang dan HIV/AIDS
Mohammad Akbar dari organisasi lingkungan hidup Lebanon menambahkan, agresi Israel ke Lebanon pada musim kering 2006 menyebabkan ratusan orang tewas terbunuh, 25 persen penduduk kehilangan tempat tinggal, para petani dan peternak kehilangan lahan usaha karena bom dan pendudukan militer.
Sekitar 70 persen penduduk desa di Lebanon Utara mengalami kelaparan karena tidak dapat mengakses makanan. Akan tetapi, penduduk setempat hanya diam karena tidak memiliki kekuatan untuk mengubah situasi yang terjadi.
Agresi militer Israel ke Palestina telah menghancurkan lahan pertanian dan peternakan hampir mencapai 10 juta hektar. Jutaan petani, peternak, buruh, kaum perempuan, serta kaum muda dan anak-anak kehilangan tempat usaha, masa depan, dan orang-orang dekat akibat perang dan pembantaian.
Kelaparan terjadi di mana-mana. Tidak ada usaha ekonomi produktif di negara-negara Timur Tengah yang sedang dilanda konflik.
"Agresi militer Amerika Serikat dan sekutunya ke Irak selama puluhan tahun terakhir telah mengubah areal hutan dan lingkungan hidup secara keseluruhan menjadi padang gurun. Bom, mortir, dan berbagai senjata modern yang dilancarkan telah membuat daerah itu berubah menjadi arang dan daratan luas," papar Akbar.
Dalam perang yang dilancarkan Amerika Serikat dan sekutunya atas nama hak asasi manusia, perdamaian, dan melawan terorisme tidak pernah terpikirkan mengenai kondisi lingkungan, hak petani, peternak, nelayan, dan kaum migran yang ada. Tidak ada lagi hutan lindung, areal sawah, dan pusat peternakan. Ternak milik petani dan peternak pun dibantai tentara AS dan sekutunya untuk kebutuhan lauk mereka.
Edith Alilogo dari organisasi petani di Kamerun menambahkan, impor makanan parsel (dalam kemasan) untuk tambahan makanan bagi penderita HIV/AIDS di Kamerun dalam jumlah besar telah mematikan produk makanan lokal. Para petani semakin terdesak dengan kehadiran bahan-bahan makanan dari luar negara tersebut.
"Harga makanan kemasan (dari luar negeri) itu jauh lebih murah dibanding makanan lokal sehingga hampir sebagian besar penduduk terdorong mengonsumsi makanan ini. Padahal, sebenarnya produk makanan lokal dapat (juga) diolah menjadi sumber makanan bagi para penderita HIV/AIDS dan masyarakat pada umumnya di Kamerun," ungkap Edith.
Praktik transgenetik, rekayasa bibit tanaman dan ternak, serta program revolusi hijau yang dilakukan para pemilik modal di Kamerun dan Afrika lainnya telah mematikan kehidupan petani dan peternak lokal. Penduduk asli dan pemilik tanah tak berdaya menghadapi pemerintah setempat yang telah memberi izin bagi pengusaha asing masuk di wilayah itu.
Vijay Jawandhia dari organisasi petani India menambahkan, kehidupan para petani di India semakin tak berdaya karena harga pupuk naik, produk menurun, dan biaya yang dikenakan kepada para penggarap makin membebani kehidupan petani yang sebagian besar adalah kelompok masyarakat bawah.
Di samping itu, teknologi yang dikuasai kaum kapitalis menyebabkan harga kebutuhan pokok terus melonjak. Bahan bakar minyak terus meningkat, biaya hidup tinggi sehingga petani semakin tak berdaya.
"Sebagian besar sumber daya alam di India sudah habis karena dikuasai para kapitalis. Petani-petani India saat ini sedang depresi karena tidak ada pemasukan sama sekali," ungkap Jawandhia.
Tetapi, mengapa Indonesia justru mengimpor beras dari India? Jawandhia menegaskan, impor dan ekspor di India lebih bersifat politis, bukan sesuai kebutuhan dalam negeri. Ekspor beras India ke Indonesia karena India juga mengimpor minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia sampai 50 persen per tahun guna memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Sarah Ramdal dari organisasi nelayan komersial San Fransisco, Amerika Serikat, menambahkan, pencurian ikan, penggunaan pukat harimau, serta privatisasi dan liberalisasi perikanan membuat komunitas pesisir pantai kehilangan tempat usaha.
Masyarakat pesisir pantai selalu tak berdaya menghadapi kasus-kasus pencurian ikan, persaingan penangkapan dengan alat modern, dan kehadiran para tengkulak yang selalu memeras hasil jerih payah nelayan. Ramdal yakin, kasus-kasus di San Fransisco juga terjadi di Negara lain, bahkan lebih buruk. (KOR)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Tuesday, March 20, 2007
Label: Buruh migran, Kompas
Menakertrans : 16 TKI Terlibat Tindak Kriminal
ANTARA News
20/03/07
Jakarta - Menteri Transmigrasi dan Tenaga Kerja Erman Suparno mengatakan 16 Tenaga Kerja Indonesia di sejumlah negara saat ini sedang menjalani proses hukum dalam kasus kriminal.
"Ada 16 TKI, itu masalah lama dan memang kasus kriminal," kata Erman sebelum mengikuti sidang Kabinet di Kantor Kepresidenan Jakarta, Selasa.
Menurut dia kasus kriminal yang dihadapi 16 TKI yang ada di Malaysia, Singapura dan Timur Tengah tersebut kebanyakan kasus narkoba, selain itu ada yang menjadi tersangka membunuh majikan.
Dari 16 TKI, terbanyak bekerja di Malaysia, yaitu 11 TKI, dengan sembilan TKI di antaranya terait kasus narkoba. Sementara lima orang sisanya berada di Singapura dan Timur Tengah.
Menakertrans menegaskan pemerintah sudah memberikan bantuan hukum melalui kerjasama pengacara Indonesia dan pengacara setempat.
"Kita berusaha meringkankan hukuman, karena mereka warga negara Indonesia juga," katanya seraya menambahkan kebanyakan dalam kasus narkoba, mereka menjadi pengedar dan itu merupakan kasus yang berat.
Selain itu, pemerintah terus melakukan pendekatan antar-pemerintah. Erman mengaku telah berupaya menemui Perdana Menteri Malaysia menyangkut masalah para TKI tersebut.
"Tetapi kan kita tidak bisa memaksakan karena itu adalah bagian dari undang-undang negara setempat, sama halnya dengan undang-undang di negara kita," katanya. (*)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Tuesday, March 20, 2007
Label: depnakertrans, hukum, masalah BMI, Pemerintah
17 March 2007
TKI Selamat Setelah Jatuh dari Lantai III
ANTARA News
17/03/07
Singapura - Nia Wulandari, TKW Indonesia di Singapura selamat setelah terjatuh dari lantai tiga flat tempat tinggal majikannya di Singapura.
Nia (20) terpeleset dan jatuh saat sedang membersikan jendela rumah tempatnya bekerja itu pada Jumat, demikian laporan polisi setempat.
Dalam peristiwa sama yang terjadi pada Oktober dan Nopember 2006, dua pembantu rumah tewas setelah terjatuh dari gedung tempat tinggal majikan mereka di negeri jiran tersebut.
Selama tujuh tahun terakhir, lebih dari 100 pembantu rumah tangga tewas di tempat kerjanya di Singapura.
Nia, yang diketemukan oleh tetangga dalam keadaan terbaring lemas, dibawa ke Rumah Sakit National University Singapura. Kedua tangan dan kakinya cedera berat.
Ia mengatakan kepada Straits Times bahwa dirinya sering memanjat ke bibir jendela untuk membersihkannya.
Direktur eksekutif Lembaga Perlindungan Pembantu Rumah Tangga, Jolovan Wham, menyatakan masih banyak upaya yang harus terus dilakukan demi mendidik majikan dan tenaga kerjanya agar tidak mengambil risiko maut hanya untuk membersihkan jendela.
Pada Oktober tahun lalu, Undang-Undang yang mengatur tentang majikan yang membiarkan pembantunya dalam keadaan bahaya telah dirumuskan.
Seorang majikan yang secara sadar membiarkan pembantunya mengerjakan sesuatu yang mengancam jiwa bisa dijatuhi hukuman penjara maksimal tiga bulan dan denda, serta secara permanen juga dilarang mempekerjakan pembantu dari luar negeri, demikian DPA.(*)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Saturday, March 17, 2007
Label: ANTARA News, Bunuh diri, masalah BMI, Singapore
15 March 2007
Dokter Malaysia Siksa TKI dengan Makan Puluhan Cabai
detikcom
15 Maret 2007
Laporan dari KL
Kuala Lumpur - Entah untuk keberapa kalinya, penyiksaan sadis terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia terus terjadi. Kali ini terjadi terhadap Sutimah Binti Nuh (30), pembantu asal Kendal, Jawa Tengah.
Bekas kulit terbakar jelas terlihat di sekujur tubuh Sutimah. Mulai dari leher, punggung, tangan dan kaki. Tidak hanya disiram air panas, dia juga disiram air keras dan beberapa kali dipaksa untuk mengunyah puluhan cabai dan menelannya di saat dirinya belum diberi makan seharian.
Belum lagi pukulan bertubi-tubi yang/dia terima. Wanita bertubuh kurus ini bekerja
dengan majikannya, Junaidi bin Ismail dan Sahidatul Rizan (Keduanya dokter), mulai pada 22 Oktober 2006. Ironisnya, majikannya ini berprofesi sebagai dokter yang
seharusnya merawat dan mengobati orang.
Namun nasib yang diterima Sutimah ternyata berbeda. Di saat dia bertugas merawat anak perempuan majikannya itu yang berumur 1,5 tahun, dia kerap kali mendapat penyiksaan.
Menurut penuturan Sutimah seperti dilaporkan koresponden detikcom di Kuala Lumpur, M Atqa, Kamis (15/3/2007), penyiksaan berawal pada 15 Januari 2007 di saat Sutimah memandikan anak majikan.
Tanpa alasan yang jelas, majikan perempuan itu masuk ke kamar mandi dan menyiram punggung Sutimah dengan air panas. Kemudian dia diperintah untuk mandi dengan air dingin dan diolesi dengan body lotion.
Majikan perempuannya itu juga seringkali menjambak dan menyeret Sutimah dengan menarik rambutnya. Sutimah tidak ingat lagi berapa kali majikannya itu memukul dan menampar pipinya. Dia pun pernah didorong hingga terjatuh dan terbentur keras dengan lemari es.
"Ketika puasa saya disuruh makan makanan Arab dan jika menolak saya dijambak, ditendang, disiksa, dan dipukul sampai hidung berdarah," kata Sutimah.
Hingga kini, Sutimah masih menetap di penampungan KBRI Kuala Lumpur untuk pemulihan. Rencananya, Sutimah akan kembali ke Indonesia minggu depan. Dari negosiasi antara pihak KBRI dan pengacara majikannya, Sutimah mendapat biaya ganti rugi sebesar RM 30 ribu (Rp 78 juta) dari majikannya itu.
"Pertama mereka hanya mau memberi RM 8 ribu, tapi kita tekan terus. Sutimah juga akan mendapat ganti rugi dari asuransi. Semuanya akan kita berikan kepadanya," tegas Kepala Bidang Konsuler KBRI, Tatang B Razak sambil menunjukkan lembar fotokopi cek uang. (nrl/nrl)
M Atqa
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, March 15, 2007
Label: Buruh migran, Kekerasan, Malaysia
10 March 2007
[Istijanah —Arab Saudi] Jenazah TKW Istijanah Tiba di Banyumas
ANTARA News
10 Maret 2007
Banyumas - Jenazah Istijanah (30), Tenaga Kerja Wanita (TKW) meninggal dunia di Arab Saudi 15 Nopember 2006, Sabtu pagi tiba di rumah orangtuanya, Abdul Salim, di Dusun Curu Gamping, Desa Kaliwangi, Kecamatan Purojati, Banyumas, Jateng.
Kedatangan jenazah Istijanah yang sudah lama dinanti, disambut dengan isak tangis keluarganya.
Istijanah berangkat diberangkatkan sebagai TKW ke Arab Saudi oleh PT Bidar Timur Jakarta pada September 2006 dan meninggal dunia pada 15 Nopember 2006, setelah terjatuh dari tangga di rumah majikannya.
Pemulangan jenazah mengalami banyak kendala, sehingga hampir empat bulan sejak Istijanah meninggal, jenazahnya baru tiba di Tanah Air untuk dimakamkan di kampung halamannya, Sabtu pagi.
Menurut Rois, orang yang diminta bantuannya untuk mengurus proses pemulangan jenazah, keterlambatan tersebut diakibatkan oleh perbuatan majikan korban yang tidak bertanggung jawab.
"Majikan tidak bersedia membayar biaya pemulangan korban dengan alasan belum lama bekerja, bahkan sang majikan sempat menahan paspor korban," katanya.
Namun, lanjut dia, setelah bernegosiasi, akhirnya jenazah dapat dipulangkan dengan biaya sepenuhnya ditanggung PJTKI yang memberangkatkannya.
Ia menambahkan, berdasarkan janji PJTKI, biaya pemulangan tersebut tidak mengurangi hak korban termasuk klaim asuransi yang akan diselesaikan 14 hari kemudian.
Mengenai keadaan jenazah korban, menurut dia, dalam keadaan baik dan bahkan telah melalui dua kali pencucian, yaitu saat masih di rumah sakit (sebelum masuk lemari jenazah) dan sebelum diberangkatkan dari Jeddah (sekaligus pengkafanan).
Setelah keluarga korban melihat jenazah, mereka yakin dan percaya bahwa Istijanah positif jatuh dari tangga, dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan penganiayaan seperti dugaan selama ini.
"Kecuali bekas luka berupa keretakan tengkorak sebelah kiri akibat jatuh, bahkan jenazah tidak menimbulkan bau," katanya.(*)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Saturday, March 10, 2007
Label: ANTARA News, Banyumas, BMI meninggal
06 March 2007
179 TKI Bali ke 10 Negara
ANTARA News
06/03/07
Denpasar - Bali mengirim 179 tenaga kerja Indonesia (TKI) bidang pariwisata yang meliputi hotel, restoran dan kapal pesiar ke sepuluh negara di belahan dunia selama bulan Januari 2007.
"Mereka sebagian besar bekerja di Amerika Serikat (AS), yakni 112 orang, menyusul Singapura 43 orang dan Italia 13 orang," kata Kepala Sub-Dinas (Kasubdin) Penempatan dan Perluasan Kerja Dinas Tenaga Kerja Provinsi Bali, Drs I Ketut Necher, di Denpasar, Selasa.
Ia mengatakan, tujuh negara lainnya seperti Inggris, Monako, Maladewa, Filipina dan Malaysia juga menjadi sasaran pengiriman TKI asal Bali, namun jumlahnya hanya satu orang setiap negara.
Tenaga kerja terampil yang dikirim ke luar negeri itu dengan latarbelakang pendidikan Sekolah Menengah Umum (SMU) 45 orang, diploma 132 orang dan sarjana dua orang.
Kota Denpasar tercatat paling banyak mengirim TKI ke luar negeri yakni 52 orang, menyusul Badung 32 orang, Tabanan 21 orang, Buleleng 19 orang, Gianyar 18 orang dan Bangli 14 orang.
Sedangkan Kabupaten Jembrana, Karangasem dan Klungkung mengirim TKI di bawah sepuluh orang. Pengiriman TKI dari Bali dalam tahun 2007 diharapkan sedikitnya mencapai 2.000 orang.
Necher menjelaskan, Bali selama tahun 2006 mengirim 2.156 orang dengan tujuan antara lain Amerika, Belanda, Jerman, Arab Saudi, Spanyol, Jerman, Jepang dan Singapura.
Mereka bekerja di sektor pariwisata yakni hotel dan restoran, serta kapal pesiar. Generasi muda Bali, baik pria dan wanita dengan menguasasi berbagai jenis keterampilan, didukung kemampuan berbahasa asing telah mampu merebut peluang pasar kerja di mancanegara, kata Necher.
Di Bali terdapat dua Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) dan sebelas kantor cabang yang melakukan penyaluran TKI ke luar negeri.
TKI asal Bali yang bekerja ke luar negeri sebagian besar meraih sukses, terbukti mereka mampu mengirimkan gaji kepada pihak keluarganya masing-masing di Bali.
Selain itu belum pernah terjadi kasus TKI asal Bali bermasalah di tempat kerjanya. Citra yang cukup baik itu sangat memungkinkan yang bersangkutan kontrak kerjanya diperpanjang, jelas Necher. (*)
Copyright © 2007 ANTARA
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Tuesday, March 06, 2007
Label: ANTARA News, Bali, Buruh migran, disnaker, Pemerintah, penempatan
05 March 2007
Melahirkan di Pesawat, Kondisi Siti Memprihatinkan
Okezone.com
05 Maret 2007
MEDAN – Kondisi TKW asal Banyuwangi Jawa Timur, Siti Sumarni (39), yang melahirkan di atas pesawat Saudia Airlines memprihatinkan. Dia harus menanggung biaya pengobatan dan persalinan, dan tidak ditanggung maskapai itu.
Hingga saat ini masih menggunakan uang pribadinya. Ketua DPP Persatuan Pekerja Muslim Indonesia, Habib Hilal yang ditemui saat menjenguk Siti mengatakan, seharusnya pihak maskapai penerbangan bertanggungjawab terhadap biaya pengobatan dan persalinan.
"Seharusnya biaya perobatan dan persalinan Siti ditanggung oleh maskapai penerbangan karena Siti adalah penumpang," ucapnya di RSU Pirngadi, Medan, Sumatera Utara, Senin (5/3/2007).
Maskapai penerbangan internasional seperti Saudia Airlines, kata Habib,seharusnya sudah mengetahui segala sesuatu yang terjadi pada penumpangnya menjadi tanggungjawab perusahaan penerbang.
"Saya dapat kabar kemarin, sebelum tiba ke Medan biaya perobatan dan persalinan akan ditanggung pihak maskapai. Tetapi begitu tiba, ternyata menggunakan uang pribadi Siti, ini kan sudah tidak benar. Apalagi Siti dirawat ditempat seperti ini pula (ruang lima), seharusnya di ruang VIP," ujarnya kesal.
Dikatakannya, saat ini Siti sudah mengeluarkan uang sakunya sendiri sebesar Rp994.940, meliputi biaya persalinan, obat-obatan, rawat bayi di incubator, ambulans, selang infus, poliklinik, honor dokter, honor bidan, dan visit dokter.
�?Itu baru biaya ketika dia masih dirawat di RS Dr Boloni,belum lagi biaya di RSU Pirngadi Medan ini,�?ungkapnya. Dia mengharapkan pihak PT Gapura selaku ground handling atau badan pelayanan di darat pesawat udara yang berhubungan dengan pihak maskapai dapat segera menyelesaikan masalah ini. Karena menurutnya pihak PT Gapura yang bertanggungjawab melakukan koordinasi terhadap maskapai penerbangan Saudia Airlines, sebelum take off meninggalkan Bandara Polonia.
�?Kami mengharapkan pihak Gapura segera melakukan koordinasi dengan maskapai penerbangan Saudi Arabia Airlines mengenai biaya perobatannya tersebut,�? jelasnya.
Selain itu, Habib juga akan menghubungi PT Avia Aviaduta yang berada di Jln Bangun Tirta II No12 Pisangan Timur Jakarta Timur, selaku perusahaan penyedianya untuk meminta tanggungjawabnya.
�?Kita juga akan menghubungi perusahaan penyedianya agar segera melakukan upaya terhadapnya,�? pungkasnya. Menurut habib, Siti Sumarni bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah Ali Abdullah Muhammad di ABHA. Dia pulang ke Banyuwangi untuk cuti melahirkan.
Siti sendiri, hingga kemarin, masih terbaring lemas. Sementara, petugas Pendamping Siti dari Badan Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BP2TKI) Sumut Siti Rolijah mengatakan, sampai saat ini pihaknya belum diperintahkan untuk menanggung biaya persalinan dan perobatan Siti selama di rumah sakit. "Belum ada koordinasi ke kita," ucapnya.
Menurutnya, hasil laporan yang kami terima biaya persalinan dan perobatannya selama di rumah sakit akan ditanggung oleh pihak maskapai penerbangan tersebut. "Kami dapat laporan dari tim bahwa biaya perobatan akan ditanggung penuh oleh maskapai," ujarnya.
Pihaknya juga sedang melakukan koordinasi PT Avia Aviaduta untuk memberitahu pihak keluarga dan melakukan koordinasi penanganan Siti berikutnya. Petugas Dinas Pelayanan Bandara Polonia Medan Djamal membenarkan biaya perawatan masih menggunakan uang Siti.
Belum ada kejelasan dari pihak maskapai penerbangan mengenai biaya pengobatannya tersebut. Selain itu, Lanjut Djamal, sampai kemarin,pihak PT Gapura sebagai ground handling, atau pihak yang bertanggungjawab terhadap pelayanan pesawat termasuk penumpang di Bandara Polonia Medan, juga tidak datang ke Rumah Sakit.
Berbeda dari sebelumnya, kondisi Siti Sumarmi setelah dua hari dirawat di RSU Pirngadi Medan mulai membaik dengan kondisi masih diinfus.
Sedangkan bayi perempuan masih berada di ruang incubator yang berada khusus di antara di ruang Perinatologi RSU Pirngadi Medan. Kondisinya terlihat masih lemah, tidak terlihat ada pergerakan tubuh baik tangan maupun kaki serta tangisan si bayi. Untuk itu, pihak petugas perinatologi terus berjaga-jaga sewaktu kondisinya berubah.
Keluarga Sunar (53), dan Supinah (48), meyakini Siti Sumarni sebagai anak kandung mereka. Meski nama yang disebut di koran Sumarni, mereka yakin yang bersangkutan adalah Sumarmi. Dalam kartu keluarga (KK), Sumarmi diketahui kelahiran Lumajang, 7 Agustus 1968. Mereka juga meyakini alamatnya bukan di Dusun Balekan, tapi Dusun Galekan, Desa Bajulmati RT 002 RW 003, Kec Wongsorejo, Kab Banyuwangi.
Keluarga tambah yakin karena di desa tersebut tidak ada warga yang bekerja di Arab Saudi selain Sumarmi. Menurut adik kandung Sumarmi, Suma’inah (33), kakaknya sudah empat tahun menjadi TKW dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Sehari-hari, dia tinggal di apartemen Saudi Abha Wakolat Asaula.
Selama bekerja di Arab, Sumarmi banyak membantu ekonomi keluarga. Hal yang mengejutkan, suami Sumarmi ternyata sudah meninggal sekitar 2 bulan lalu. Hingga kini, Sumarmi tidak dikabari jika suaminya meninggal. "Sengaja nggak dikabari, khawatir nanti kaget," ungkap Suma’inah.
Sumarmi sudah bertahun-tahun tidak pulang. Suma’inah enggan menjawab, kira-kira siapa bapak bayi yang dilahirkan kakak kandungnya itu. Pelacakan alamat keluarga Sumarmi itu sendiri dilakukan sejumlah anggota DPRD. Mulanya, Wakil Ketua DPRD Eko Sukartono, menghubungi anggota DPRD Cung Lianto yang kebetulan dari Daerah Pemilihan Kecamatan Wongsorejo. (SINDO/jri)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Monday, March 05, 2007
Label: Banyuwangi, Buruh migran, jri, okezone, Saudi Arabia, SINDO
Bolehkah Anak Bawah Umur jadi PRT?
Ranesi
05-03-2007
Diaz
Pertengahan Februari 2007, Amnesti Internasional menurunkan laporan tentang nasib pembantu rumah tangga-atau yang lebih tepat disebut sebagai pekerja rumah tangga- Indonesia di tanah air. Laporan itu berjudul "Kesewenang-wenangan dan penghisapan Indonesia: penderitaan pekerja domestik perempuan".
Walau memakai kata "perempuan", sebenarnya laporan ini meneliti secara umum nasib pekerja rumah tangga. Salah satunya tentang keberadaan pekerja rumah tangga anak bawah umur. Amnesti menemukan anak-anak usia 14 sampai 16 tahun bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Hukum internasional lewat konvensi perburuhan melarang anak bawah umur melakukan pekerjaan berat termasuk pembantu rumah tangga. Hukum Indonesia juga melarang hal serupa. Bolehkah anak bawah umur jadi PRT? tanggapan pendengar Ranesi.
'Kalau.menurut.sayapembantu.dibawah.umur.tidak.diperbolehkan.soalnya.yangsaya.tahu.
dimalasia.pembatu.dibawah.umur.terjadi.tidk.baik' 60133229...
'Sy seorang TKI/TKL,sangt tidak menyetujui apabila ada PRT berumur dbwah 14 th.apalagi lahan krjanya di Arab Saudi. Trim atas trbacanya SMS saya.' 966557142...
'Anak2 usia l5 th tdk boleh jd pkerja anak,krn usia itu adlh usia tmbuh kembang, n usia sekolah,yang mmpkrjkn anak ha nya exploitasi bagi oknum biro pnyalur pbt rmh tgga,yang mencari keuntung an diatas penderi taan org lain dan perlu ditindak ? Dari Ahmad Sulaiman,SE Kotab umi lampung utara' 628127280...
'Anak dibawa umur tak boleh jadi PRT. Mereka masih perlu waktu utk ikuti pendidikan persiapan masa depan. Perlakuan tak adil mudah terjadi pada mereka karena belum tahu hak2 mereka. Dari LAZARUS TARAPANDJANG- sumba Timur- Ntt' 6285230615...
'sebaiknya PEmbantu Rumah tangga usianya 18 tahun dibawah usia itu belumlah dewasa bila ada agen yang mengirim ditutup atau dituntut' 6281931155...
'Sy Jimmy. Menurut sy boleh saja krn m'bantu ekonomi keluarga. Bgmn kl cara berpikirnya di balik, apa mau org2x yg atas memberi mereka makan?' 628161987...
'Tidak benar mempekerjakan anak umur 18 th ke bawah sebagai apapun juga. Dari Evert' 62811101...
'TIDAK BOLEH.DARI IGNAS KWURE,LEWO URAN NTT.' 628124644...
'Mat malam semua,: Menurut saya tdk dperbolehkan,kurang baik ag sianak seperti dperbudakkan saja.jadi
'Menurut saya penbantu rumah tangga di bawah umur gabisa, kalo ada pun di pihak majikan harus menolak nya. aceh' 6285276010...
'Sbenrnya ank di bh umr tdk blh. Tpi ini- ats kehndk org tua di sbpkn olh kdan-smta aja.! ' 6281917033...
'Saya tidak setuju dgn pekerja rumah tangga anak.Karena ini pekerjaan sangat berat dan sama dgn penganiayaan.hukum hrs melarang. Dan pemerintah harus menegakkan hukum masalah ini.ini pelanggaran hukum.(darju prasetya,semanding,TUBAN JATIM' 6281330765...
'JAB-Ranesi, pekerja anak dibawah umur, masalahnya adalah keterpaksaan hrs bekerja kalau mau hidup, krn pemerintah ndak dapat melindungi rakyatnya. Petrus' 628122361...
'J.A.B.Krna kmiskinan memaksa para orang tua mrlakan anak2nya dibwah umur bkrja sbg prt yg tdak jrang mndapat prlakuan bruk dri mjikan.mae riyadh ' 966502128...
'Mulyanes Yulius. Jl. Baung Gg.Ikhtiar No.18 Rt.01/Rt.03 Kebagusan kecil. Jakarta . 12250. Seharusnya tidak boleh, tapi anak yg diatas 18 thn sangat susah dicari karena diatas 16 th banyak yg sudah kawin dan tidak mau kerja.' 6281380276...
'Saya tdk setuju anak dibawah umur menjadi PRT krn tidak pantas. 2.mudah terjadi kekerasan thdp anak.3.tidak ada pengalanan kerja. 4.yg lebih parah lagi bila menjadi obsesi anak2 miskin utk jadi prt dan tdk mau lanjutkan sekolah dan cukup tamat sd saja. Dari capt simon wattileo di uni arab emirat.' 971503995...
'JAB-Ranesi, pekerja anak dibawah umur, masalahnya adalah keterpaksaan hrs bekerja kalau mau hidup, krn pemerintah ndak dapat melindungi rakyatnya. Petrus' 628122361...
'Saya amat sangat TDK SETUJU bila anak2 dibawa usia dijadikan Pembantu RT,tp mana mau pemerintah ngurus anak2 tdk ada Untung,mending ngurus Duit,nyolong sana sini,yg Kaya tamba kaya & miskin tamba miskin,dgn keadaan ini anak2 dibawa usia terpaksa jd Pembantu RT,utk membantu keluarga mrekaNona Waingapu NTT' 6281339414...
'ANAK TERPAKSA BEKERJA KARENA KEADAAN EKONO MI 0RTU. SEJAK U MUR 6TH SAYA MEMBANTU BEKE RJA,MENUMBUK KOPI DLL UNTUK BEAYA HIDUP & SEKOLAH. DARI SYAMSUL LAMPU NG.' 6281330688...
'Bang Dias, saya tak setuju. Tp apa boleh buat sistem yg memaksa kita jd bgni. Sjujurnya tak ada orang tua yg mnginkan anaknya jd PRT. Itu masa brmain. Jadi pmerintah hrs mmbangun kmbali sistem eknomi shingga ank2 bisa bebas dr blenggu "sapi perahan" waktu & uang. Salam saya Sarido Ambarita van Toba Meer.' 6281376653...
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Monday, March 05, 2007
Label: Anak, Buruh migran, news feature, PRT, Ranesi, Saudi Arabia
Banyak TKW di Hongkong "Nikah" Sesama Jenis
ANTARA News
05/03/07
Surabaya () - Sejumlah tenaga kerja wanita asal Indonesia (TKW) yang bekerja di Hongkong dalam setahun terakhir mulai banyak yang terjangkiti "pernikahan" sesama jenis (lesbian).
Tania Roos, salah seorang TKW asal Malang dalam surat eletroniknya kepada ANTARA News di Surabaya, Senin, menjelaskan bahwa perkawinan lesbian mulai marak setahun terakhir dan awalnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
"Bahkan memasuki acara mereka ada tanda khusus, apakah mereka kalangan sendiri atau orang lain. Saya bisa masuk ke perkawinan mereka dan mendapatkan fotonya karena saya berpura-pura menjadi pasangan lesbian," katanya.
Namun, katanya, saat ini perkawinan lesbian itu mulai dilakukan secara terang-terangan. Pada 25 Pebruari 2007 lalu dia mendapatkan undangan sebagaimana layaknya undangan pernikahan di Indonesia. Acara itu akan dilaksanakan pada 11 Maret mendatang.
Ia memperkirakan, mereka melakukan pernikahan lesbian secara tertutup karena takut diketahui oleh keluarganya di Indonesia.
"Menurut orang yang menjadi `penghulu`, sudah ada 12 kali pernikahan sesama wanita Indonesia. Itu baru satu penghulu dan kemungkinan ada penghulu lain. Yang menjadi penghulu adalah sesama TKW yang orangnya tomboi," katanya.
Mengenai proses pernikahan yang terang-terangan, mereka biasanya mengundang temannya menghadiri pernikahan dengan cara ditelepon dan baru kali ini dirinya mendapatkan undangan tertulis.
"Mengenai fenomena ini, ada yang cuek, ada yang prihatin dan ada yang menolak tetapi tak bisa berbuat apa-apa karena itu hak azazi mereka," kata TKW yang juga penulis cerita pendek (cerpen) dan puisi itu.
Ia menceritakan, meskipun pasangan itu "resmi menikah", namun mereka tidak bisa hidup satu rumah, melainkan hidup di rumah majikannya masing-masing.
"Biasanya mereka menyewa hotel untuk berkumpul pada hari-hari libur, lalu kalau waktunya jam pulang libur, ya berpisah kembali," kata Tania.
Menurut dia, diperkirakan mereka melakukan pernikahan sejenis, selain karena jarangnya teman laki-laki asal Indonesia di Hongkong, kemungkinan juga disebabkan karena tersakiti laki-laki, baik suami maupun pacarnya.(*)
Copyright © 2007 ANTARA
19:54
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Monday, March 05, 2007
Label: ANTARA News, budaya, Buruh migran, Hongkong
04 March 2007
Buruh Migran Punya Hak
Kompas
03 Mei 2007
Jakarta, Kompas - Meskipun bekerja di sektor informal, seperti sebagai pembantu rumah tangga, buruh migran seharusnya diperlakukan sama seperti pekerja. Mereka juga berhak memperoleh pesangon, hari libur, cuti melahirkan, serta bersosialisasi.
"Mereka memiliki hak yang sama dengan pekerja lainnya yang juga memiliki hak pensiun, asuransi, serta hari libur," tutur Koordinator Human Rights Working Group Rafendi Djamin saat dihubungi, Rabu (2/5) di Jakarta.
Namun sayang, selama ini perlindungan terhadap mereka lemah. "Bahkan, Undang-Undang tentang Tenaga Kerja Indonesia masih mengesankan mereka sebagai komoditas karena berorientasi devisa," tuturnya.
Tidak hanya itu, sejak masa perekrutan hingga pemulangan, nasib para buruh migran itu juga rentan. Rafendi mengemukakan, pemerintah sebenarnya dapat melindungi mereka dengan membuat nota kesepahaman dengan negara tujuan yang berisi klausul-klausul yang melindungi buruh migran. "Misalnya, pengguna jasa buruh migran tidak diperbolehkan mengambil paspor para buruh itu," kata Rafendi.
Kampanye perlindungan terhadap buruh migran itu dengan gencar juga dilakukan oleh Caram Asia. Memperingati Hari Buruh Internasional, kemarin siang di Jakarta mereka meluncurkan campaign toolkit dengan tujuan membangun kapasitas dan memberdayakan kelompok buruh migran. Hadir, antara lain, Wakil Ketua Komnas HAM Zoemrotin K Susilo dan Pelaksana Tugas Deputi Penempatan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Ade Adam Noch. (JOS)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Sunday, March 04, 2007
Label: Buruh migran, Law, PRT
Bayi TKI yang Lahir di Pesawat Alami Sesak Nafas
ANTARA News
04/03/07 19:46
Medan - Bayi Siti Sumarni, tenaga kerja Indonesia yang melahirkan di pesawat Saudi Arabian rute Jeddah-Jakarta, Sabtu terpaksa diberikan alat bantuan pernapasan (Head Book) setelah Minggu pagi mengalami sesak nafas.
Rumiati, perawat di ruang Perinatologi Rumah Sakit Umum (RSU) Pirngadi Medan tempat bayi itu dirawat, mengatakan, bayi Sumarni yang belum diberi nama itu menggunakan Head Book karena belum bisa menggunakan alat bantu pernapasan selang.
"Penggunaan Head Book dilakukan juga untuk menghindarkan kemungkinan pendarahan dari hidung kalau menggunakan alat selang," katanya.
Sementara itu, pemberian makanan untuk bayi perempuan yang lahir dengan berat badan 1,9 kilogram dan panjang 48 centimeter itu dilakukan melalui infus.
Pernafasan menggunakan alat bantu itu baru akan dicabut setelah bayi itu tidak sesak lagi, kata Rumianti.
Sementara itu, ibu bayi, Sumarni asal Jawa Timur tersebut terlihat masih dalam keadaan lemas di ruang V RSU Pirngadi Medan.
Dia menolak ketika ANTARA News mengajaknya berdialog tentang keadaannya dan menanyakan apakah suaminya juga TKI di Arab Saudi sudah mengetahui tentang kelahiran bayi pertamanya itu.
"Besok saja ya mas, saya masih lemas," katanya .
Petugas Balai Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BP2TKI) Sumut, Siti Rolijah yang mendampingi Siti Sumarni di rumah sakit itu menyebutkan, Sumarni pulang untuk menghabiskan masa cuti setelah diizinkan majikannya di Arab Saudi, Ali Abdullah Muhammad.
Usia kandungan Sumarni sendiri masih berumur tujuh bulan sehingga dia tidak menduga akan melahirkan dalam pesawat.
"Kami masih akan terus mendampingi Sumarni hingga kondisinya stabil," katanya.
Pihak BP2TKI juga sedang menghubungi pihak keluarga Sumarni di Banyuwangi agar mereka mengetahui kondisi dan bisa melihat serta mendampingi Sumarni.
Warga Dusun Belekan RT 002/003 Desa Bajulmati Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur itu melahirkan bayi perempuan di atas Pesawat Saudi ketika berada di toilet sekitar pukul 09.45 Lokal Time.
Akibat kejadian itu, maskapai tersebut melakukan pendaratan darurat di Bandara Polonia dan setibanya di bandara, Sumarni dan bayinya langsung ditangani tim medis dan dibawa ke Rumah Sakit Boloni yang lokasinya tak jauh dari bandara.
Setelah mendapat perawatan di RS itu, Sumarni dan bayinya kemudian dirujuk ke rumah sakit Pirngadi Medan.(*)
Copyright © 2007 ANTARA
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Sunday, March 04, 2007
Label: ANTARA News, budaya, Buruh migran, masalah BMI, perempuan
03 March 2007
TKI di Arab Saudi Dominasi Transfer Uang Masuk
ANTARA News
03/03/07
Kediri - Para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi yang berasal dari eks karesidenan Kediri dan Madiun, Jawa Timur, mendominasi transfer uang masuk (incoming remittance) selama Triwulan ke-4 tahun 2006.
Kepala Bidang Ekonomi Moneter Perbankan Kantor Bank Indonesia (KBI) Kediri, Marlison Hakim dalam siaran persnya, Sabtu mengatakan, transfer uang masuk para TKI di Arab Saudi dalam tengat waktu tersebut, tercatat mencapai Rp76,732 miliar.
"Jumlah ini berarti telah mencapai 30 persen pangsa transfer uang masuk TKI dari berbagai negara yang selama periode tersebut, seluruhnya tercatat Rp252,711 miliar," ujarnya.
Jumlah transfer uang masuk dari Arab Saudi ini meningkat sebesar 4,63 persen dari triwulan sebelumnya, yang hanya tercatat sebesar Rp73,339 miliar.
Hal ini sekaligus mematahkan transfer uang masuk dari para TKI di Malaysia yang selama beberapa tahun terakhir ini selalu mendominasi.
Pada Triwulan ke-4 tahun 2006 transfer uang masuk dari TKI di Malaysia tercatat hanya Rp58,724 atau sekitar 23,24 persen pangsa transfer uang masuk dari berbagai negara.
Padahal, lanjut Marlison, transfer uang masuk dari Malaysia pada Triwulan ke-3 2006 mencapai Rp73,809 miliar. Itu berarti pada Triwulan ke-4 mengalami penurunan 20,44 persen.
Marlison memperkirakan, penurunan transfer uang masuk dari Malaysia ini dipengaruhi oleh deportasi besar-besaran para TKI dari negeri jiran tersebut, selama beberapa waktu terakhir ini.
Namun demikian, secara keseluruhan transfer uang masuk dari berbagai negara tujuan TKI pada Triwulan ke-4 meningkat 0,94 persen dari Rp250,368 miliar menjadi Rp252,711 miliar.
"Peningkatan tersebut secara umum terkait adanya perayaan hari besar keagamaan seperti Lebaran, Natal dan Tahun Baru pada bulan Oktober-Desember 2006, sehingga banyak TKI yang mengirim uang ke daerah asalnya guna memenuhi berbagai keperluan," ujarnya menjelaskan.
Sementara dilihat dari pangsanya menurut kota/kabupaten, Kabupaten Tulungagung menjadi penerima transfer TKI terbesar dengan pangsa 28,28 persen atau mencapai Rp252,711 pada Triwulan ke-4 2006.
Disusul kemudian Kabupaten Madiun tercatat mencapai Rp60,562 miliar atau pangsanya mencapai 23,96 persen. Tempat ketiga diduduki Kabupaten Kediri Rp48,525 miliar (pangsa 19,20 persen).(*)
Copyright © 2007 ANTARA
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Saturday, March 03, 2007
Label: ANTARA News, Kediri, remittance, Saudi Arabia
01 March 2007
DISCLAIMER
Blog ini berisi kumpulan berita-berita yang terkait dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob). Blog ini tidak berupaya menyebarluaskan lagi berita-berita yang kami pilih menjadi interest di sini, tapi melulu untuk pelayanan informasi hak-hak dasar manusia. Dalam blog ini tidak kami aktifkan fungsi-fungsi komunikasi virtual yang terbuka seperti ping, trackback, social bookmarking, dsb.
Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 2.5 License
Berita-berita ini berasal dari berbagai media dan bentuk-bentuk komunikasi lain tepercaya yang diharapkan membantu Anda untuk mendapatkan gambaran perkembangan keadaan pemenuhan hak-hak tersebut. Ada tiga pokok yang menjadi sorotan di sini: Pertama, keadaan pemenuhan hak-hak pangan, kedua, keadaan buruh migran Indonesia, dan ketiga, tentang kaum miskin kota.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Thursday, March 01, 2007
LSM Indonesia Adukan Malaysia ke PBB
TEMPO Interaktif
Kamis, 01 Maret 2007
Jakarta:Migrant Care, Lembaga Swadaya Masyarakat yang mengurusi masalah buruh migran, akan membawa masalah Rancangan Undang-undang Tenaga Kerja Asing di Malaysia dalam sidang Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa di Jenewa, Swiss, 20 Maret mendatang.
Analis kebijakan Migrant Care, Wahyu Susilo, menilai rancangan itu akan sangat membatasi pekerja asing, termasuk buruh migran Indonesia, di Malaysia. “Aturan itu menginjak-injak hak asasi manusia. Padahal, Malaysia juga menjadi anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB,” katanya kepada Tempo, Rabu (28/2).
Menurut Wahyu, pembatasan itu antara lain terlihat dari ketentuan bahwa buruh migran akan ditampung dalam satu perkampungan dekat industri. Buruh migran juga dilarang memasuki daerah perkotaan. Selain itu, Aktivitas buruh migran diawasi oleh polisi. “Mobilitas buruh migran akan sangat dibatasi,” katanya.
Ia menilai, alasan penyusunan rancangan tersebut, bahwa naiknya angka kriminalitas di Malaysia disebabkan tenaga kerja asing, tak tepat. Beberapa pengacara di Malaysia, katanya, mengatakan angka kejahatan yang dilakukan oleh pekerja asing hanya lima persen. “Satu persen dilakukan oleh tenaga kerja asal Indonesia,”katanya.
Wahyu menyesalkan pemerintah terkesan tak peduli pada nasib buruh migran. Ketidakpedulian pemerintah, kata dia, terlihat dari pertemuan Presiden Yudhoyono dengan Perdana Menteri Ahmad Badawi pekan lalu yang tak menyinggung masalah tenaga kerja. Padahal, jumlah tenaga kerja Indonesia cukup banyak. Dari 2,2 juta pekerja asing, 1,2-1,7 juta berasal dari Indonesia. Jumlahnya bisa lebih besar lagi karena banyak pekerja Indonesia yang tak tercatat. “Tanpa tenaga kerja Indonesia, perekonomian Malaysia tak akan semaju sekarang,” katanya.
Pemerintah, kata dia, harus segera bertindak mencegah pemberlakuan undang-undang itu. Caranya, dengan melakukan dialog antar menteri atau pemimpin negara. Indonesia juga bisa menyelesaikan masalah ini melalui forum ASEAN. “Malaysia dan Indonesia sama-sama menandatangani deklarasi perlindungan buruh migran dalam forum ASEAN,” katanya.
PRAMONO
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Thursday, March 01, 2007
Label: Buruh migran, HAM, LSM, Malaysia, Migrant care, PBB