-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

27 February 2007

10 Pasar di Jakarta Selatan Memprihatinkan

TEMPO Interaktif
27 Pebruari 2007

Jakarta: Kondisi 10 unit pasar tradisional di Jakarta Selatan memprihatinkan. Dari 15 pasar yang ada, hanya 5 unit yang memenuhi kategori baik.

Itu adalah hasil penilaian oleh Bangun Praja 2007 pada Februari ini. Terkait dengan penilaian Adipura, Bangun Praja melakukan penilaian itu mulai Juni 2006-Juni 2007.

Yang dinilai adalah indikator fisik dan non fisik. Pada asfek fisik, yang dinilai antara lain perumahan, sarana kota (terminal, rumah sakit, taman kota, jalan, pasar, dan lain-lain). Non fisik menilai institusi, kelembagaan, tingkat pelayanan, manajemen, dan lain-lain.

"Dari semua asfek itu, hanya penilaian pasar yang hasilnya paling jelek," kata Juru bicara Wali Kota Jakarta Selatan Chairul Zaidin. Rencananya pemenang Adipura akan diumumkan pada Juni mendatang.

Kondisi 10 pasar yang dinilai jelk, antara lain, Pasar Minggu, Pasar Lenteng Agung, Pasar Mede, Pasar Blok A, Pasar Radio Dalam, Pasar Cipete Selatan, Pasar Kebayoran Lama, Pasar Rumput, Pasar Mampang dan Pasar Tebet Timur.

Zhairul mengatakan pasar tersebut dinilai jelek karena lingkungannya tak tertata, seperti tak memiliki tempat sampah, tak ada ruang terbuka hijau, dan sistem drainasenya tak berjalan. Kondisi itu diperburuk dengan banyaknya lapak pedagang kaki lima di sekeliling pasar.

Marlina Marianna Siahaan

Read More...

23 February 2007

Pekerja Indonesia Disandera dan Disiksa di Malaysia

TEMPO Interaktif
23 Pebruari 2007

Kediri: Agustrianingtiasih alias Nining, 24 tahun, mengaku disiksa dan disandera majikannya bernama Lim Choon Pong di Malaysia.

Warga asal Desa Blaru, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, itu kini kondisi kesehatannya kritis.

"Kami menerima kabar penyiksaan dan penyanderaan anak melalui surat yang dikirim anak saya dari Malaysia," kata Buanto Agus, ayah kandung Nining, Jumat (23/2).

Menurut Buanto, Nining kini menderita sakit parah dan minta dibacakan didoakan segera sembuh. "Selain
muntah darah dan tangan kananya yang digigit
anjing belum sembuh serta badannya lemas," katanya.

Buanto Agus mengaku semula tidak yakin atas isi surat
itu. Untuk memastikan kebenaran kabar itu, dia
menelepon langsung anaknya. Setelah sempat gagal
beberapa kali, akhirnya telepon bisa tersambung.

"Ternyata lewat pengakuan langsung di telepon, anak
saya mengaku sakit parah karena sering mendapat
penganiayaan dan kini disandera di rumah majikannya di
Malaysia," kata Buanto Agus.

Nining berangkat ke Malaysia pada 5 mei 2006
melalui perusahan PT Panca Asma Tunggal yang beralamat di
Perumahan Wisma Asri Blok I Pesantren, Kota Kediri. Perusahaan ini berkantor pusat di Medan, Sumatera Utara.

Tempo mengecek ke kantor perwakilan PT Panca Asma
Tunggal di Kediri, dalam kondisi tutup. Tidak ada aktivitas karyawan di kantor tersebut.

Dwidjo U Maksum

Read More...

21 February 2007

Indonesia, Malaysia: Overhaul Labor Agreement on Domestic Workers

Migrant News Monitor

Proposed Malaysian Migrants Bill Would Violate Basic Freedoms

(New York, February 21, 2007) – At their meeting this week, Malaysia’s Prime Minister Abdullah Badawi and Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyuno should commit to stronger protections for Indonesian migrants working in Malaysia, Human Rights Watch said today. Abdullah is in Jakarta to receive an Indonesian award for heads of state, the Bintang Republik Indonesia Adipradana.

Approximately 2.5 million migrants work in Malaysia, and the majority are Indonesians working in plantations, construction and domestic service. Gaps in labor laws and punitive immigration policies have left many migrants at risk of abuse and labor exploitation by employers and recruitment agencies.

Malaysia recently announced plans to introduce new legislation that would restrict migrants to their workplace or living quarters. Such measures violate workers’ right to freedom of movement. The resulting isolation would also put them at risk of other abuses, as demonstrated in the case of the approximately 300,000 migrant domestic workers in Malaysia. Many domestic workers already confront restrictions on their movement and communication.

“Instead of improving the situation, Malaysia’s proposed foreign worker bill will make it dramatically worse,” said Nisha Varia, senior researcher on women’s rights in Asia for Human Rights Watch. “It’s shocking that Malaysia is even considering a proposal that would give employers freedom to lock up workers.”

As Human Rights Watch reported in “Help Wanted: Abuses against Female Migrant Domestic Workers in Indonesia and Malaysia,” Indonesian domestic workers in Malaysia often work grueling 16 to 18 hour days, seven days a week, and earn less than 25 US cents per hour. Some suffer physical or sexual abuse. These workers are excluded from key protections in Malaysia’s main labor laws, and nongovernmental organizations and the Indonesian mission in Malaysia have received thousands of complaints from domestic workers in recent years.

In Indonesia, labor agents often subject prospective workers to extortion, discriminatory hiring processes, and months-long confinement in overcrowded training centers. In Malaysia, some labor agents turn a deaf ear to women’s complaints about abusive treatment and pleas to return home.

The two countries signed a Memorandum of Understanding (MOU) in May 2006 to regulate migration of domestic workers. Positive measures included the introduction of a standard contract and protections against cutting workers’ salaries to repay fees borne by the employer. However, it allows employers to keep workers’ passports, prohibits workers from marrying, and fails to introduce clear standards on a minimum wage, a weekly day off, or monitoring mechanisms for labor agencies.

“While creating the MOU was a step in the right direction, both Indonesia and Malaysia continue to drag their feet in guaranteeing the most important protections for these women,” said Varia. “Domestic workers have to rely on the whim of employers rather than the rule of law for decent working conditions.”

Human Rights Watch said that Indonesia and Malaysia should reform the MOU to, at a minimum, include:

· A commitment to pursue legislative changes to extend equal protection under Malaysia’s labor laws to domestic workers, specifically Section XII of the Employment Act of 1955 and the Workmen’s Compensation Act of 1952.
· The right of workers to hold their own passports. When employers or agents hold workers’ passports, this form of control makes it difficult for workers to escape abusive conditions or to negotiate better working conditions and full payment of their wages.
· A standard contract that ensures minimum labor protections, including: a 24-hour rest period per week; a fair minimum wage; a limitation on working hours per week; benefits; and safe working conditions.

· The creation of clear mechanisms to provide timely remedies for migrant domestic workers in cases of abuse, and to outline sanctions for employers and labor agents who commit these abuses. Migrant domestic workers with pending criminal cases or labor complaints should be allowed to work while waiting for their cases to be concluded.

· Stronger regulations governing recruitment agencies, with clear mechanisms to monitor and enforce these standards. Issues such as agency fees, standard contracts, provision of accurate information, and conditions of training centers should be addressed.
· Protection of workers’ ability to form associations and unions.
“Migration benefits both countries tremendously – by providing important services to Malaysia and needed income to Indonesian workers,” said Varia. “But, despite a long history of large migration flows, Malaysia and Indonesia have lagged behind other countries in ensuring basic protections for migrant workers.”

To view the July 2004 Human Rights Watch report “Help Wanted: Abuses against Female Migrant Domestic Workers in Indonesia and Malaysia” in English, please visit:
http://hrw.org/reports/2004/indonesia0704/
To view the report in Indonesian, please visit:
http://hrw.org/indonesian/reports/2004/indonesia0704/
To listen to broadcast-quality audio commentary by Nisha Varia, senior researcher on women’s rights in Asia for Human Rights Watch, on abuse against domestic workers, please visit:
http://hrw.org/audio/2007/wr2k7/english/essays/migrants.mp3

For more information, please contact:
In New York, Nisha Varia: +1-917-617-1041
In London, Brad Adams: +44-20-7713-2767

Read More...

17 February 2007

Indonesia Harus Ubah Konsep Soal TKI

ANTARA News
17 Februari 2007

Jakarta - Pemerintah Indonesia harus mengubah konsep dasar soal Tenaga Kerja Indonesia (TKI), agar dapat melindungi mereka dari hukuman berat di Malaysia, kata Pengamat Hubungan Asia Tenggara, Alfitra Salam.

"Konsep dasar hubungan tentang TKI dengan Malaysia sejak awal sudah salah," kata Alfitra Salam di Jakarta, Sabtu.

Alfitra mengatakan hubungan yang terjalin selama ini dengan Malaysia untuk masalah TKI bukan hubungan antara "government to government".

Selama ini hubungannya hanyalah swasta dengan swasta, sehingga sering terdapat kesulitan untuk melindungi TKI Indonesia jika mereka menghadapi masalah di sana.

Dia mengatakan masalah lainnya adalah jumlah TKI ilegal di Malaysia cukup banyak, dan secara hukum mereka memang tidak dilindungi oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia.

Namun, dia mengatakan, secara kemanusiaan sudah menjadi tugas KBRI untuk melindungi mereka semua baik yang legal maupun yang ilegal.

"Sebenarnya KBRI disana mungkin juga merasa lelah mengurusi masalah ini, karena memang sering terjadi. Tetapi mereka mau tidak mau harus melindungi TKI yang bermasalah di sana," ujar dia.

Selain itu, menurut dia, akibat masuknya TKI secara ilegal ke Malaysia membuat pihak KBRI kesulitan untuk mendata jumlah dan keberadaan mereka. Sehingga sering kali pihak KBRI terlambat untuk mendampingi TKI jika terkena masalah.

Pemerintah Malaysia sendiri, menurut Alfitra, seharusnya mau melaporkan ke KBRI keberadaan TKI di sana. Sehingga merekapun tidak kesulitan mengatasi TKI ilegal di sana.

Alfitra juga mengatakan seharusnya pemerintah Malaysia segera memberitahu KBRI jika ada salah satu buruh migran Indonesia mendapat masalah dan harus menghadapi hukum di sana.

"Sering kali mereka tidak memberitahu KBRI disana sehingga tidak jarang KBRI terlambat mendampingi mereka," ujar dia.

Selain itu, Alfitra juga menyalahkan Kedutaan Indonesia di Malaysia yang kurang pro-aktif meminta data siapa-siapa saja yang ditangkap. Sehingga KBRI terkesan lambat dalam menyediakan pengacara.

Menurut data dari Migran CARE, saat ini 16 buruh migran asal Indonesia sedang menghadapi hukuman gantung di Malaysia. Kebanyakan dari mereka didakwa atas tindak pembunuhan terhadap majikan atau rekan kerja.

Selain itu, pemerintah Malaysia juga telah mendeportasi 7.500 buruh migran ilegal asal Indonesia pada Januari 2007 lalu melalui Johor Baru, Serawak, dan Tawau.(*)

Read More...

15 February 2007

Pemerintah Akan Gusur Warga Bantaran Cisadane

Tempo Interaktif
Kamis, 15 Pebruari 2007

Pemerintah Kabupaten Tangerang akan menggusur paksa ribuan bangunan di sepanjang bantaran Sungai Cisadane. Bupati Ismet Iskandar mengatakan pemerintah tak akan memberikan ganti rugi atau memindahkan pemilik bangunan. "Semua bangunan melanggar aturan," kata Ismet kemarin.

Menurut Ismet, bantaran Sungai Cisadane akan dikosongkan selebar 50 meter di sisi kiri dan kanannya. Sebelum penggusuran besar-besaran, aparat akan meminta warga pindah secara sukarela. Tapi, jika warga tak kunjung pindah, aparat akan memaksa mereka hengkang. "Kami tak akan menunggu sampai banjir tahun depan," ujar Ismet.

Setelah kosong, menurut Ismet, bantaran Cisadane akan ditanami pohon-pohon besar agar berfungsi sebagai pagar sungai sekaligus lahan resapan. Pemerintah Tangerang pun akan mengeruk bagian sungai yang mendangkal.

Saat ini ribuan bangunan berderet di bantaran Cisadane, dari kawasan Karawaci hingga Pakuaji. Sebagian warga sudah menempati bangunan itu sejak puluhan tahun silam.

Mendekati muara Cisadane, di wilayah Teluk Naga dan Pakuaji, berdiri puluhan perusahaan galangan kapal berskala kecil dan besar. Pemilik galangan juga memakai badan sungai sebagai jalur masuk bahan baku kapal dan jalur pengiriman kapal yang sudah jadi.

Seperti bangunan lain, menurut Ismet, galangan kapal itu pun akan digusur. Alasannya, bisnis milik pengusaha asal Jakarta itu tak memberi sumbangan apa pun bagi Tangerang. "Izinnya saja tak jelas. Lokasinya di Tangerang, izinnya dari Banten," kata Ismet.
Joniansyah

Read More...

14 February 2007

Indonesia 'ignoring' maid abuses

Caption: Indonesia's 2.6 m maids do not enjoy the same rights as workers in other sectors Amnesty says [EPA]
Al Jazeera
WEDNESDAY, FEBRUARY 14, 2007
6:50 MECCA TIME, 3:50 GMT; NEWS ASIA-PACIFIC

The Indonesian government is failing to protect millions of domestic workers in the country at risk of extreme physical and sexual abuse, a human rights report has said.

London-based Amnesty International says many maids live in harsh conditions and several have even been beaten to death by their employers.

The report, released on Tuesday, said many maids suffered inadequate standard of living and were restricted in their movement, communication and the practice of their faith.

It said many of the country's 2.6 m domestic workers were treated by the government as second-class citizens.


Amnesty report: Exploitation of Indonesian maids

The report on the plight of Indonesian domestic workers detailed cases of women and girls as young as 12 who were allegedly abused, raped and beaten to death by their employers.

It accused the government of "leaving millions of women vulnerable to abusive employers" and urged the government to ensure that maids are given the same protection afforded to other workers.




"Like every other human being, domestic workers have rights, including the right to be free from violence, the right to rest and the right to be paid an adequate wage"

Natalie Hill,
Amnesty International




Amnesty said a draft Indonesian law on maids failed to limit working hours and a minimum wage, both basic rights enjoyed by other workers.

International labour rules stipulate a minimum requirement for legal protection covering clearly-defined hours of work and rest and a minimum wage, the group said.

The report said maids were often ashamed to relate their experiences such as economic exploitation and poor working conditions, as well as gender-based discrimination.

Deadly job

"Many are subjected to physical, psychological and sexual violence. Some are even killed," the report said.

"By contrast, the plight of Indonesian domestic workers in other parts of Southeast Asia and the Middle East often make headlines in Indonesia."

Natalie Hill, Amnesty's Asia director, said the government "needs to stop viewing domestic workers as inferior" and should "educate police, the courts, employers and recruitment agencies" that violence against maids was a criminal offence.

"Like every other human being, domestic workers have rights, including the right to be free from violence, the right to rest and the right to be paid an adequate wage," she said.

"The government is currently failing to protect these rights."

Al Jazeera is not responsible for the content of external websites

Read More...

Tangerang Akan Gusur Permukiman Liar di Cisadane

Tempo Interaktif
Rabu, 14 Pebruari 2007

Pemerintah Kabupaten Tangerang akan menggusur ribuan bangunan liar yang dibangun di bantaran sungai Cisadane. Rencana itu bagian dari normalisasi sungai untuk penanganan banjir. “Tidak boleh ada bangunan di bantaran sungai Cisadane, semua harus segera dikosongkan,” ujar Bupati Ismet Iskandar, di Pendopo kabupaten Tangerang, hari ini.


Ismet mengatakan mereka tidak akan merelokasi penghuni atau memberikan ganti rugi. “Semua bangunan itu melanggar aturan dan tidak berijin,” katanya.

Ismet mengatakan penggusuran akan dilakukan sebelum banjir terjadi lagi tahun depan. Rencananya bantaran sungai selebar 50 meter di masing-masing sisi akan dibersihkan sebelum ditanami pepohonan.

Sungai Cisadane yang kini mengalami pendangkalan karena proses sedimentasi, menurut Ismet, akan dikeruk. “Tapi membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit,” katanya.
JONIANSYAH

Read More...

12 February 2007

Pulang dari Malaysia, Kondisinya Mengenaskan (Ari Utari)

Kedaulatan Rakyat
12 February 2007

(Komentar dari blog Deshinta)

TKW Asal Sokaraja Disiksa Majikan

BANYUMAS (KR) - Tindak kekerasan terhadap tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri, terus terjadi, Ari Utari (23) warga Desa Sokaraja Lor, Sokaraja, Banyumas yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Johor Baru, Malaysia, Kamis (8/2) tiba di rumah orang tuanya dalam kondisi mengenaskan. Ia hanya bisa terbaring, dan pada bagian kepala banyak benjolan akibat terkena pukulan. Perutnya keras jika dipegang terasa sakit, serta wajahnya penuh memar, dan jari-jarinya menghitam.

Korban pulang diantar oleh Rohadi warga Desa Buntu, Kemranjen, Banyumas karena merasa kasihan, melihat kondisi Ari Utari yang diduga telah dianiaya oleh majikan selama bekerja 5 bulan di Johor Baru , Malaysia. Taswin (52) orang tua korban yang mendapati anak gadisnya dalam kondisi seperti itu, terus membawanya ke Puskesmas I Sokaraja. Bahkan ada kemungkinan, lantaran sakit yang diderita korban cukup serius, pihak Puskesmas I akan merujuknya ke rumah sakit yang fasilitasnya lebih lengkap.

Kedua orang tua korban, Taswin dan Turyati (50), saat dihubungi sejumlah wartawan menjelaskan korban pulang dari Johor Baru, Malaysia pada Rabu (7/2) dengan menggunakan kapal feri ke Batam. ”Menurut pengakuan anak saya ia hanya diberi uang Rp 300 ribu dan 10 ringgit. Ia juga mengaku tiap hari dipukul majikan pakai kayu,” kata Taswin yang dibenarkan oleh istrinya.

*Bersambung hal 22 kol 7

Saat sampai di Batam, korban yang kondisi menggenaskan bertemu dengan Rohadi warga Desa Buntu, Kemranjen, Banyumas. Karena merasa kasihan lelaki yang masih se daerah itu memberikan pertolongan dengan menemani korban naik pesawat terbang turun di Jakarta , yang diteruskan ke Yogyakarta. Dari Yogyakarta ke kampungnya di Sokaraja dengan menumpang mobil travel.

Sedang gaji korban yang tiap bulannya sebesar 450 ringgit, selama 5 belum jelas kemana raibnya . Keterangan yang dihimpun KR, korban berangkat bekerja pada 24 September 2006 melalui jasa seorang calo dari Desa Kedondong, Sokaraja, yang kemudian diberangkatkan melalui PJTKI dari Purbalingga.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertran) Kabupatan Banyumas Suyatno SS MHum saat dihubungi, Minggu (11/2) kemarin mengatakan pihaknya sudah mengecek. Korban yang menjadi PRT di Malaysia tidak melalui kantor Disnakertran Kabupaten Banyumas. Meski begitu pihaknya akan melaporkan kejadian tersebut ke pemerintah pusat. (Dri)-z

Read More...

Sebanyak 138 Ribu TKI Bermasalah

TEMPO Interaktif
Senin, 12 Pebruari 2007

Jakarta: Direktur Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Marjono, memgungkapkan dari 3 juta Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri, terdapat 4,6 persen atau 138 ribu TKI yang bermasalah.

"Setiap tahun jumlahnya berkurang, tahun 2004 sekitar 16 persen yang bermasalah, 2005 menjadi 11 persen, dan 2006 turun jadi 4,6 persen," Marjono menjelaskan.

Ia mengatakan berbagai cara dilakukan untuk mengurangi masalah TKI, termasuk penandatanganan nota kesepahaman dengan Kepala Polri, Senin (12/2).

Pada tahun 2006 lalu, Indonesia menempatkan 600 ribu tenaga kerja baru di luar negeri. Tahun ini Departemen Tenaga Kerja menargetkan 750 ribu tenaga kerja baru akan dikirimkan kembali.Reh Atemalem Susanti

Read More...

07 February 2007

SBY Minta Majikan TKI Ilegal Dihukum

Tempo Interaktif
7 Pebruari 2005

Bogor: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta agar pemerintah Malaysia bersikap adil dalam penanganan kasus tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal. Menurut dia, jika pemerintah negara itu memutuskan merazia para pekerja ilegal, semestinya juga memberikan hukuman kepada para majikan yang mempekerjakan mereka.

"Mereka juga semestinya dianggap melakukan pelanggaran hukum dan tidak disiplin," kata Presiden Yudhoyono seusai dialog dengan petani di Desa Sukamanah, Jonggol, Bogor, Jawa Barat, kemarin.

Yudhoyono berpendapat, keberadaan tenaga kerja Indonesia yang tidak memiliki dokumen legal di Malaysia tidak lepas dari keberadaan para majikan di negara itu. Para pengusaha ini, kata Presiden, tahu bahwa pekerja mereka tidak memiliki surat lengkap.

Mereka, kata Yudhoyono, berdasarkan laporan yang masuk kepadanya, memilih mempekerjakan TKI ilegal karena dapat menekan biaya tenaga kerja. Majikan tersebut juga ada yang menahan gaji para TKI. Presiden mengaku menerima banyak masukan bahwa banyak TKI ilegal tak bisa pulang atau mengurus dokumen resmi karena tak punya uang. "Alasan mereka, gaji ditahan majikan," katanya.

Atas dasar itu, Presiden meminta Malaysia memberi sanksi kepada majikan seperti itu. Indonesia mempersilakan pemerintah Malaysia menindak TKI ilegal yang melanggar hukum, tapi sanksi yang fair juga harus diberikan kepada para majikan.

Pemerintah Indonesia, kata Yudhoyono, akan membicarakan persoalan TKI dengan pihak Kuala Lumpur dalam pertemuannya dengan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi. Mereka dijadwalkan bertemu di Kuala Lumpur pada 14 Februari. "Kami akan membicarakan sungguh-sungguh soal TKI ini," katanya.

Yudhoyono menegaskan, Indonesia tetap memegang tiga perjanjian dengan Malaysia untuk penanganan masalah TKI. Ketiganya dijadikan dasar memorandum of understanding tentang TKI yang akan ditandatangani pekan depan. Menurut Presiden, sebenarnya ketiga kesepakatan itu sudah disetujui kedua negara, hanya pelaksanaannya kurang tegas.

Ketiga perjanjian itu, kata Presiden, menyangkut penyelesaian TKI ilegal di Malaysia, dengan memberikan kesempatan kembali ke negara itu bagi yang sudah melegalisasi dokumennya; pelayanan satu atap dalam proses penempatan TKI di Malaysia; dan penegakan hukum yang seadil-adilnya, baik terhadap TKI ilegal maupun majikan mereka. "Saya berharap ketiga kesepakatan ini menjadi dasar penyelesaian permasalahan TKI ilegal," katanya.

Dari Malaysia, Datuk Azmi Khalid, Menteri Hal Ehwal Keselamatan Dalam Negeri Malaysia, mengaku akan menangkap dan menghukum majikan yang terbukti mempekerjakan pekerja ilegal. Menurut dia, majikan yang mempekerjakan lebih dari enam pekerja ilegal akan dikenai hukuman cambuk. Namun, "Bagi yang kurang dari enam orang, hanya akan dikenai hukuman penjara dan denda uang," katanya kepada Tempo di kantornya di Kuala Lumpur akhir pekan lalu.

Pernyataan senada disampaikan Kepala Imigrasi Pusat Putrajaya Datuk Ishak bin Mohammad. "Majikan yang nakal adalah penyebab utama banyak pendatang asing tanpa izin di Malaysia," ujarnya di Port Klang.

Menurut dia, selama operasi nasihat, TKI ilegal tidak akan ditangkap. Mereka hanya akan diperiksa dan data-data pribadinya diambil. "Kemudian akan dinasihati supaya pulang sebelum pemerintah memberlakukan operasi buru sergap."

Namun, pendapat kedua pejabat itu dibantah terpisah oleh Dr Irene Fernandez, Koordinator Tenaganita, LSM yang aktif membela kepentingan TKI ilegal di Malaysia. Menurut Irene, sangat sedikit majikan yang didenda karena kesalahan mempekerjakan TKI ilegal. Menurut dia, jika rasio satu majikan mempekerjakan 10 TKI ilegal, "Kalau 300 ribu TKI ilegal tertangkap, seharusnya ada 30 ribu majikan yang juga ditangkap dan didenda."

Irene mengaku, selama ini ia belum pernah mendengar ada 10 ribu majikan yang ditahan atau dipenjara karena mengabaikan tanggung jawab terhadap pekerjanya. Kalaupun ada, hanya beberapa orang. "Di sinilah timbul ketidakadilan pemerintah Malaysia dan ketidakbecusan pemerintah Indonesia melindungi warganya di luar negeri," katanya.

deffan purnama/th salengke

Read More...

05 February 2007

90 TKI Bertahan di Malaysia

TEMPO Interaktif
5 Pebruari 2005

Malaysia:Sekitar 90 tenaga kerja Indonesia (TKI) tetap memilih bertahan di Malaysia -- meski terancam hukuman cambuk--karena belum menerima gaji hingga kini.

“Keadaan mereka sangat menyedihkan. Bedeng untuk menginap sudah dirobohkan kontraktor, sehingga TKI tersebut mulai malam ini harus tidur dengan kotak kardus,” kata Alex Ongky, Koordinator Migrant Care Malaysia tadi malam

Para TKI tersebut bekerja di proyek kondominum Damansara Damai, di Selangor. Alex menduga perobohan bedeng tersebut merupakan bagian dari upaya pemusnahan bukti-bukti bahwa kontraktor proyek tersebut mempekerjakan TKI ilegal. Sebab, tindakan kontraktor proyek merekrut TKI ilegal melanggar pakta Imigrasi, tindakan 2002/A-1154.

Para TKI tersebut sebenarnya sudah mengetahui pemerintah Malaysia memberikan pengampunan kepada pendatang haram pada bulan Desember. “Mereka kemudian meminta gaji kepada majikannya untuk bekal pulang. Namun, majikannya selalu mengelak dengan berbagai alasan,” jelas Alex.

Migrant Care dan Lukman, pemimpin para TKI, tersebut sudah menghubungi KBRI di Malaysia untuk meminta bantuan. “Namun, mereka tidak bisa membantu. Alasannya karena itu perkara perdata.”

Saat ini mereka dalam keadaan yang terdesak dan tidak bisa pergi begitu saja karena selama di Malaysia mereka bertahan hidup dengan utang.

Bahkan, lanjut Alex, Lukman telah siap dicambuk untuk menguji sistem hukum di Malaysia. Sebab, jika Lukman dianggap tenaga kerja ilegal, tentunya para majikannya akan menghadapi ancaman hukuman yang sama.

“Saya siap dicambuk. Saya akan tetap di sini apapun yang terjadi. Saya merasa tertipu, majikan tidak mau bayar gaji kami, total sekitar Rp 500 juta.”

Para TKI tersebut, ujar Lukman berasal dari Madura, Jawa, Sumatra dan Flores. “Untuk makan sekarang, kalau ada beras satu kilogram, ya..kami bagi ramai-ramai.” mohamad teguh

Read More...

04 February 2007

Indonesia Ingin Malaysia Bantu Biaya Pemulangan TKI

TEMPO Interaktif
04 Pebruari 2005

Jakarta: Indonesia berharap pemerintah Malaysia membantu biaya pemulangan (deportasi) Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal ke Indonesia. Ini terkait masih banyaknya TKI ilegal yang tidak bisa pulang ke Indonesia karena tidak memiliki biaya.

Yuri Thamrin, juru bicara Departemen Luar Negeri (Deplu) mengatakan, untuk TKI terlantar, pemulangannya akan dibiayai Departemen Sosial. Tetapi anggarannya hanya sedikit, “sehingga kami berharap pemerintah Malaysia membantu pembiayaan,” ujar Yuri dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (4/2).

Untuk menyelesaikan pemulangan TKI ilegal ke Indonesia, pemerintah sedang melakukan pembicaraan dengan Malaysia. Kedua negara akan menerapkan sistem satu atap pemulangan TKI. Mekanisme ini diterapkan, menurut Yuri, untuk mempercepat proses legalisasi TKI sehingga mereka bisa kembali bekerja ke Malaysia. Disamping itu dengan adanya data administrasi kependudukan, pemerintah bisa tahu dengan jelas asal TKI dan dapat memberikan perlindungan yang baik.

Saat ini Deplu sudah mengirim stafnya, yakni Direktur Bantuan Hukum Indonesia Deplu Feri Adamhar ke Malaysia. Ia bertugas memonitor situasi di Malaysia terkait pemulangan TKI tanpa ijin. Sedangkan Malaysia dalam waktu dekat akan mengutus pejabat tingginya ke Indonesia. "Mudah-mudahan dalam kunjungannya akan dijelaskan pelaksanaan pemulangan TKI secara manusiawi dan bermartabat," ujar Yuri.

Sunariah

Read More...