Selasa, 28 Oktober 2008 | 10:05 WIB
Akhir pekan merupakan waktu yang ditunggu-tunggu para tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia di Singapura. Saat itulah mereka bisa menikmati "kebebasan".
Ada sejumlah tempat yang biasa mereka datangi untuk berkumpul menghabiskan akhir pekan. Salah satunya di City Plaza, Geylang.
Jauh dari keluarga dan tanah kelahiran, tak membuat para TKW kita di Singapura jadi terpasung. Sebagian dari mereka bahkan mengaku lebih kerasan tinggal di negeri itu, salah satunya Larra (23).
Wanita asal Lampung Selatan ini betah karena merasa menemukan kebebasan selama tinggal di Singapura. Selain merasa nyaman karena serba tertib dan aman, katanya, di sini ia bisa pakai baju terbuka di tempat umum. "Di tempat asalku mana bisa? Kebetulan majikanku orang bule, jadi enggak masalah," kata Larra.
Meski suka berpakaian "minim", Larra menegaskan, "Bukan berarti aku dan teman-teman bisa dibayar untuk yang macam-macam lho. Memang, kadang ada orang yang menganggap begitu, tetapi enggak banyak. Makanya kami juga harus tetap hati-hati."
Berhati-hati terhadap kaum lelaki, menurut Larra, harus ekstra dilakukan para TKW yang masih lajang. "Buat yang singgel, harus hati-hati juga memilih pacar. Soalnya, pria yang mendekati kita, belum tentu karena cinta. Cuma mau uang kita saja."
Larra rupanya punya pengalaman pribadi. Ceritanya, dua tahun lalu ia harus rela kehilangan uang yang jumlahnya lumayan banyak. "Biasalah, dimintai uang melulu oleh pacar saya yang asal Malaysia," terang gadis periang ini.
Ditemui di seputar City Plaza, Geylang, Singapura, Larra mengaku kerap menghabiskan waktu liburnya di akhir minggu di kawasan ini. "Aku memang suka kumpul-kumpul di sini dengan teman-teman asal Indonesia."
Meski tempat kerja mereka berjauhan, "Tapi sebisa mungkin tiap akhir pekan kami selalu kumpul di sini. Senang ketemu sesama orang Indonesia. Kami bisa ngobrol-ngobrol dari pagi sampai malam, jalan-jalan, atau makan bersama."
Selain Larra, masih banyak TKW asal Indonesia yang memilih kawasan Geylang sebagai titik berkumpul setiap akhir pekan. Sebut saja Tari, Ine, Anita, dan Ani. Bahkan, khusus Ani (38), sudah delapan tahun menjalani rutinitas berkumpul di Geylang.
"Kalau ketemu teman-teman kan bisa saling curhat. Karena sudah akrab seperti ini, kami saling membantu, misalnya kalau ada keluarga yang sakit di kampung, kadang teman-teman bantu kasih pinjam uang," ujar ibu satu anak asal Semarang ini.
"Nonton" Dangdut
Kumpul bersama diakui para TKW bisa membantu mengobati rasa kangen mereka pada kampung halaman dan keluarga. Ditambah lagi, bisa saling curhat. Para TKW ini biasa saling memberi masukan dan menghibur teman mereka yang mengalami kesusahan.
Ya, meski diwarnai banyak kebahagiaan, kehidupan para pahlawan devisa ini tentu tak luput dari duka. Seperti yang dialami Mili (32). Meski bahagia dengan gaji besar yang diterimanya setiap bulan, 380 dollar Singapura, ibu satu anak ini sebenarnya memendam kekecewaan hidup yang amat dalam.
Seperti pepatah air susu dibalas air tuba, niat baiknya membantu perekonomian keluarga dengan menjadi TKW, ternyata dibalas dengan pengkhianatan sang suami. "Saat itu, tahun 1999, kontrak saya bekerja di Singapura kebetulan sudah habis. Waktu pulang ke kampung, eh ternyata rumah yang saya bangun dengan uang yang saya kumpulkan selama bekerja di Singapura sudah ditempati suami dengan istrinya yang baru," bebernya.
Hati Mili pun langsung pecah berkeping-keping. "Padahal, waktu saya memutuskan jadi TKW itu demi membantu keluarga. Suami saya enggak kerja, sementara anak kami perlu makan dan sekolah. Namun, jadinya malah begini. Ya sudah akhirnya saya minta diceraikan saja," tambah wanita berambut ikal ini.
Lalu, bagaimana dengan nasib rumahnya tersebut? "Sudah saya berikan untuk anak saya yang sekarang sudah kelas II SMP. Saya sendiri masih bisa bekerja. Makanya setelah semua urusan cerai selesai, saya kembali lagi ke Singapura," ungkap wanita asal Cilacap, Jawa Tengah, ini.
Kebetulan pula majikan Mili yang asal Singapura masih memintanya kembali bekerja. "Keluarga majikan saya sangat baik. Selama bekerja dengan dia, beberapa kali saya diajak liburan ke luar negeri. Gini-gini saya sudah pernah beberapa kali ke Hongkong, Australia, dan Filipina lho," akunya seraya tersenyum.
Tiap kali diajak liburan, kata Mili, terbersit rasa sedih di hatinya. "Ingat anak saya satu-satunya di kampung. Kasihan dia, enggak bisa ikut merasakan kebahagiaan yang saya alami," sambung Mili yang berbincang dengan NOVA di dalam bus kota menuju Fort Canning, Cox Terrace, Singapura.
Kebetulan, Minggu (19/10) siang itu sebuah operator telekomunikasi asal Singapura mengadakan panggung hiburan di Fort Canning atau Taman Benteng yang dibangun sekitar tahun 1859. "Saya iseng saja, ingin senang-senang nonton dangdut. Kan artisnya dari Indonesia," ujar Mili.
Sekitar 30 menit perjalanan dengan bus, Mili pun tiba di lokasi tujuan. Di gerbang masuk benteng yang berwarna putih itu, terlihat beberapa rekan Mili sudah menunggunya. Begitu bertemu, kontan mereka bertukar cerita satu sama lain. "Saya senang kalau bisa bertemu teman-teman seperti ini. Selain saling curhat, yang pasti adalah karena kami bisa ngobrol menggunakan bahasa Jawa. Ngomong Jawa sampai puas," katanya seraya terbahak.
Edwin F. Yusman
http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/28/10054970/mengintip.akhir.pekan.tkw.di.singapura