SEOUL, April 30, 2007 (AFP) - Amnesty International urged South Korea
Monday to protect the rights of foreign workers, saying they can face serious
human rights violations and discrimination.
"Migrant workers remain at risk of a range of serious human rights
violations," the London-based watchdog said in a report.
There are about 400,000 migrant workers in South Korea, it said. Of these
at least 189,000, mostly from China and Southeast Asia, are staying illegally.
The migrants have helped fill labour-intensive positions often shunned by
locals due to low wages and harsh conditions.
South Korea two years ago introduced an Employment Permit System for
Migrant Workers (EPS).
This system bans discrimination, ensures access to health insurance and
recognises the right to a system of redress against employers in cases of
overdue wages or accidents.
"However, migrant workers, in reality, continue to have limited protection
against discrimination and abuse and few possibilities of obtaining redress,"
Catherine Kim, director of Amnesty's branch in South Korea, told reporters.
They often work excessively long hours for lower wages than Korean workers
in similar jobs, with their wages withheld, she said.
"Many arrive in South Korea already heavily indebted to recruitment
agencies in their own countries, only to find the jobs they are assigned are
more dangerous or poorly paid than they expected or were promised."
Fear of antagonising their employers and the risk of losing their jobs
makes many workers reluctant to report health problems or abuse, she said.
The EPS appears to have had "little positive impact" on health and safety
at work for migrant workers, Kim said.
From 2000 to 2004, more than a thousand migrant workers annually have
suffered from workplace accidents, but they have received "inadequate
compensation," she said.
Women, who account for a third of all migrant workers, sometimes faced
sexual harassment.
A survey in 2004 showed 12 percent of the women suffered sexual violence at
work, but many had not reported the abuses due to fear of losing jobs.
The EPS showed South Korea's "significant" attempt to protect the basic
rights of migrant workers, Kim said.
"However, its implementation reveals that migrant workers remain a
vulnerable community," she said.
lim/sm/skj
SKorea-labour-migrants
AFP 300921 GMT APR 07
30 April 2007
Amnesty urges SKorea to improve foreign workers' rights
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, April 30, 2007
Label: AFP, Buruh migran, In English, South Korea
2003-2005 Jumlah Pasar Modern Meningkat 2 Kali Lipat
Jumlah pasar modern meningkat pesat hampir dua kali lipat dari 4.977 (2003) menjadi 7.689 pada 2005. Sebaliknya, jumlah pasar tradisional nyaris berjalan di tempat sebanyak 13.400 sejak dua tahun itu. Di DKI Jakarta, pertumbuhan pasar tradisional justru minus.
-- Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia, dikutip dari Carunia Firdausy, Menengok pembangunan pasar tradisional, Media Indonesia, 30/4/2007
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, April 30, 2007
Label: Media Indonesia, pasar
2006: Sebanyak 813 Narapidana Tewas karena Narkoba
Media Indonesia
Selama 2006, setidaknya 813 narapidana yang menghuni Lembaga Pemasyarakatan dan rumah tahanan di Indonesia meninggal. Umumnya mereka tewas akibat penyalahgunaan narkoba.
Hingga akhir 2006 terjadi sebanyak 8.194 kasus HIV/AIDS di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu sebagian besar terjadi di Lembaga Pemasyarakatan. Angka kematian tahanan dan narapidana tertinggi terjadi di lima provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sumatra Utara dan Jawa Timur. Dari jumlah total yang tewas, sekitar 70% sampai 75% merupakan narapidana kasus narkoba.
-- Mochamad Sueb, Kepala Divisi Pemasyarakatan Kasus Wilayah Hukum dan HAM Sumatra Barat.
Dikutip dari Media Indonesia, 30/4/2007
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, April 30, 2007
Label: narkoba
Korban Narkoba di DKI Jakarta
Media Indonesia
30 April 2007
Dalam dua tahun terakhir tercatat sekitar 3-5 juta orang atau 1,5% dari jumlah penduduk Indonesia menjadi budak narkoba. Di antaranya, 5.000 merupakan pelajar DKI Jakarta, dan 400 di antaranya murid SD.
-- Kepala Pusat Dukungan Pencegahan Narkoba Brigjen Pol Mudji Waluyo
Dikutip dari tulisan Ary Ginanjar Agustian, berjudul "Belajar dari Kasus Cho", Media Indonesia 30 April 2007
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, April 30, 2007
Label: Media Indonesia, narkoba
28 April 2007
ILO: 2,2 juta orang meninggal akibat kecelakaan kerja setiap tahun
Media Indonesia
30 April 2007
Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat tidak kurang dari 2,2 juta orang meninggal akibat kecelakaan kerja setiap tahun. Dalam laporannya yang dikeluarkan bersamaan dengan peringatan Hari Keselamatan Kerja Dunia 28 April 2007, ILO menyebutkan akibat kecelakaan itu setiap negara bisa kehilangan 4% pertumbuhyan ekonominya per tahun.
ILO juga mencatat kecelakaan kerja telah menyebabkan 270 juta orang terluka saat bekerja dan 160 juta lainnya menderita sakit karena melakukan pekerjaan mereka. Jumlah ini membuat negara kehilangan 4% pendapatan domestik kotor setiap tahunnya.
Dikutip dari Media Indonesia 30 April 2007 yang melansir berita AFP.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Saturday, April 28, 2007
Label: korban, Media Indonesia
26 April 2007
Pioneering Organising Work of Supermarket Workers in Malaysia
UNI global union
26 April 2007
- Labour news from UNI global union - for trade unions in a global services economy.
Workers in the supermarkets do not have trade union rights, not covered by any social protection and do not have decent work. A situational analysis of their working conditions reflected that they are living in very adverse conditions. Ironically, there was a tight labour market in the country and there was a demand for commerce sector workers as there are many supermarket chains operating in the country. However due to influx of migrant workers from Indonesia, Nepal, Vietnam, China, Bangladesh and others the situation is reversed from short of supply to an over supply of workers which lead to the lowering of wages and employment conditions. Furthermore, the jobs are mostly low skill so they can be easily filled up by migrant workers. Incidentally, Malaysia has about two million migrant workers working in the country. To make matters worse rivalries and competition among the companies are leading to the race to the bottom and are dramatically lowering employment standards and working conditions. As the workers were not represented by trade unions they become victims to the situation and are at the mercy of un- enlightened employers.
A project planning workshop was held in UNI Head office on 10-11 April 2007 to address development and organising efforts for workers in supermarkets. The workshop was attended by representatives of HANDELS, UNI APRO, Global Union Commerce and UNI Development Region Department. The outcome of the workshop was the launching of the UNI APRO Organising Commerce Sector project which targeted workers in four supermarkets in Malaysia. Bro Shafie BP Mammal the President of UNI Malaysian Liaison Council (MLC) said that the commerce sector has a high potential for organising and with the right strategies and approach it can become the number one sector in the country. Among others, the meeting was attended by Raul Raquena Asst General Secretary UNI, Carin Andersson Project Manager DRD UNI, Marcus Petersson Policy Officer Global Union Commerce UNI, Roger Hemming Project Co-ordinator HANDELS, Dalama, Stiina Isaksson International Secretary HANDELS, Shafie Mohammad President UNI MLC and Hashim Lobe Director Trade Union Development Activities, UNI Apro
The meeting concluded that there should be greater cooperation and information sharing among the partners. They also realised and agreed on the need for greater involvement of solidarity support organisations in ithe project by providing resource persons and in areas of technical co-operation. The highlight of the meeting was the signing of the institutional framework of co-operation by all the project partners involved.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Thursday, April 26, 2007
Label: Buruh migran, In English, Malaysia
(Persamaan & Perbedaan) ANTARA BULOG DAN PJTKI
Parle Online
26/04/2007 11:11
Kok jauh amat sih mengaitkan Badan Urusan Logistik (BULOG) dengan Perusahaan Jasa TKI (PJTKI) yang sekarang disebut PPTKIS (Perusahaan Penempatan TKI Swasta). Permasalahannya bukan jauh atau dekat, tetapi permasalahan mereka dalam pengadaan materi yang diperlukan sama serupa. BULOG di bawah direktur utama yang baru, ……..Abubakar, sedang membuat gebrakan.
Selain meningkatkan harga penetapan tertinggi gabah kering panen (GKP) dari Rp.1.730. menjadi Rp.2.000, juga akan membeli gabah langsung dari petani. Hal ini dimaksudkan agar para petani langsung menikmati selisih kenaikan harga gabah kering tersebut. Jika petani memperoleh tambahan dari kenaikan harga gabah berarti daya beli petani akan meningkat.
Tetapi petani tidak serta merta menyambut gembira kebijakan pemerintah yang ingin membantu mereka. Pada prakteknya, para petani masih lebih suka menjual beras kepada tengkulak walau harganya di bawah yang ditetapkan oleh BULOG. Alasannya, tengkulak tidak banyak persyaratan dan uangnya dapat diterima pada saat itu. Sedangkan penjualan melalui BULOG harus memenuhi beberapa persyaratan. Dari mulai pemeriksaan mutu gabah hingga mekanisme pembayaran. Akibatnya, BULOG tidak memiliki akses langsung kepada petani karena BULOG membeli gabah dari para pedagang gabah alias tengkulak. Berarti, nilai kenaikan harga gabah tidak dinikmati petani tetapi dinikmati oleh pedagang gabah.
Permasalahan ini sama saja yang selalu dihadapi oleh perusahaan penempatan TKI swasta (PPTKIS). Mereka tidak dapat merekrut langsung para Calon TKI, tetapi harus melalui sponsor atau calo. Keterbatasan karyawan yang dimiliki PPTKIS sehingga mereka tidak memiliki akes ke sumber Calon TKI yang berada di pelosok desa. Jika tengkulak gabah mengambil keuntungan dari selisih harga gabah yang diperoleh petani dengan penjualan kepada BULOG melalui DOLOG, lain lagi dengan sponsor atau calo. Sebagai pemasok Calon TKI kepada PPTKIS, mereka memperoleh uang jasa, yang dihitung per kepala. Sponsor yang memasok Calon TKI ke neara Asia-Pasifik, memperolah uang jasa sekitar Rp.2.500.000. Sedangkan untuk calon TKI yang akan dikirim ke Timur Tengah, uang jasa berkisar Rp.1 juta. Itu khusus untuk TKW, yang tidak dipungut biaya rekruting. Sedangkan untuk TKI laki-laki harus mmbayar sendiri.
Jika petani tidak menikmati harga kenaikan gabah karena sudah “dirampas” tengkulak, PPTKIS juga harus menerima kelebihan uang jasa yang pas-pasan dan tidak melebihi yang diterama oleh para sponsor. Seharusnya jika PJTKI tidak membayar uang jasa kepada para sponsor keuntungan mereka cukup besar dan dapat digunakan untuk memberikan uang saku kepada keluarga yang ditinggalkan atau kepada TKI itu sendiri. Atau setidaknya akan meringankan potongan uah yang dilakukan oleh PPTKIS ketika mereka sudah bekerja. Akibat biaya operasional tinggi, biasanya PPTKIS akan memperpanjang potongan gaji pada TKI.
BULOG dengan karyawan di seluruh Indonesia yang berjumlah sekitar 60.000 orang, belum mampu mengakses langsung pada petani dalam hal pembelian gabah. Atau memang belum mampu mendayagunakan sebagian karyawan itu sebagai tenaga lapangan. Apalagi PPTKIS yang harus menggaji sendiri para karyawannya, kiranya sangat sulit kalau akan merekrut langsung calon TKI. Berbeda dengan BULOG yang semua karyawannya digaji dengan uang negara. Karena itu timbul pemikiran BP2TKI (Badan Penempatan dan Perlindungan TKI), yang mengatur perekrutan dan penempatan TKI di luar negeri, akan mendayagunakan kecamatan dan kelurahan sebagai tempat pendafatarn Calon TKI. Tentu saja berkordinasi dengan instansi yang mengurusi ketenagakeraan setempat. Nantinya, PTKIS tinggal minta calon TKI sesuai dengan job order dari luar negeri. Pemikiran bagus walau tak mudah melaksanakannya. Bagimana BULOG, juga sedang melakukan pengkajian agar dapat langung mengakses petani dalam hal pembelian gabah sesuai dengan harga tertinggi yang ditetapkan pemerintah. YATIM KELANA
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, April 26, 2007
Label: calo TKI, Opini, Parle Online, PJTKI
25 April 2007
Around 95 million Indonesians vulnerable to malaria, activists say
Earth Times
25 April 2007
Jakarta - Around 95 million Indonesians are vulnerable to contracting malaria due to a severe outbreak affecting more than two-thirds of the country's 441 districts, health activists said Wednesday. "Around 95 million people, or 42 per cent of the total population in Indonesia, are risk of malaria," said Ferdinand Leihad, deputy principal recipient of Global Fund against Aids, Tuberculosis and Malaria.
An extraordinary outbreak in several provinces, mainly in eastern and western Indonesia, that began last year has killed at least 23 people and sickened more than 1,050 others, he said.
"In Indonesia, 310 out of a total of 441 districts are endemic areas," Leihad said, including on the islands of Sumatra, Maluku, Papua and several eastern islands within East Nusa Tenggara province.
Ferdinand, a former director of the malaria eradication agency at the Indonesian Health Ministry, said rapid mobilization of migrant workers around country and increasing urbanization were among several reasons for the outbreak.
Indonesia, an archipelago nation of more than 17,000 islands with a tropical climate subject to monsoons, provides an ideal habitat for the female Anopheles mosquito that spreads malaria, he explained.
Health officials have said malaria mosquitoes live in dense forests, swamps and beach areas and that there were as many as 80 species of the Anopheles mosquito in Indonesia. Many of them have built up resistance to certain insecticides, making it more difficult to eradicate them.
Ferdinand advised people who planned to travel to malaria-prone areas, such as Papua in Indonesia's easternmost region, should take malaria tablets beforehand.
Malaria is caused by a parasite carried by the mosquitoes, which usually bite at night, he said, urging people to use mosquito nets while sleeping.
"It is important that the most vulnerable people - pregnant women and children under the age of 5 years - sleep under mosquito nets to avoid malaria," Ferdinand told reporters during a briefing to mark the Africa Malaria Day.
He added said the United Nations Children's Fund had distributed more than 2.5 million mosquito nets to villages in East Nusa Tenggara.
Ferdinand said people suffering from shivers combined with headaches and vomiting may be infected and should immediately go to a nearby health centre.
More than 1 million people worldwide die of malaria yearly, 90 per cent of them in sub-Saharan Africa, according to the World Health Organization.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Wednesday, April 25, 2007
Label: Earth Times, In English, kesehatan
Malaysia Banyak Keluarkan Dana Bela TKI di Pengadilan
ANTARA News
25/04/07 13:02
Kuala Lumpur - Pemerintah Indonesia seharusnya malu kepada pemerintah Malaysia, karena negara tetangganya itu telah banyak mengeluarkan dana untuk membela WNI yang melakukan tindakan kriminal di Malaysia.
Hal itu dikemukakan oleh Saiful Aiman Sawari dan Made Jakfar Abdullah, keduanya adalah juru bahasa Indonesia pada Mahkamah Persekutuan Malaysia, di Kuala Lumpur, Rabu.
"Pemerintah Indonesia atau KBRI di Malaysia tidak perlu banyak komentar dan komplain soal perlakuan pengadilan terhadap WNI, karena pemerintah Indonesia tidak pernah mau keluar uang untuk membela warganya yang sedang menghadapi pengadilan di Malaysia. Sedangkan pemerintah Malaysia sudah banyak keluarkan uang untuk membela WNI di pengadilan akibat terlibat tindak kriminal," kata Made Jakfar Abdullah, penerjemah bahasa Indonesia bagi WNI yang menjadi terdakwa di pengadilan Malaysia.
Baik Made maupun Saiful mengemukakan hal itu karena seringnya KBRI menyampaikan keluhan soal lamanya pengadilan Malaysia dalam menangani kasus-kasus kriminal WNI.
Contoh kasus, Abdul Gani (26 ), WNI asal Aceh yang baru pertama kali disidangkan di Pengadilan Negeri Shah Alam Selangor, Selasa (24/4), tetapi karena tidak didampingi pengacara dan minta pengadilan melantik pengacara Malaysia, kemudian sidangnya ditunda hingga Maret 2008.
"Abdul Gani ditahan pada 11 Novermber 2006 dan baru disidangkan pada Selasa (24/4), oleh hakim kemudian ditunda hingga Maret 2008. Berarti ia harus mendekam lama untuk mendapatkan keadilan dan vonis. Ya itulah risiko jika tidak mampu bayar pengacara sendiri," katanya.
Menurut Made, pemerintah Malaysia sudah banyak keluar dana untuk membela WNI yang menghadapi pengadilan Malaysia karena dugaan tindak kriminal.
"Sebagai penerjemah bahasa Aceh, pemerintah Malaysia bisa mengeluarkan dana 600-700 ringgit per hari. Sebulan saya bisa terima 5.000-7.000 ringgit, tergantung banyak kasus yang ditangani. Cukup banyak bantu keuangan saya yang sedang ambil program S2," katanya, yang menjadi penerjemah sejak 2001.
Sementara itu, Saiful yang juga Ketua Umum Aliansi Buruh Migran Jawa Timur, mengakui sebagai penerjemah bahasa Jawa untuk terdakwa orang Jawa menerima 100 ringgit per hari jika sidang di pengadilan Kuala Lumpur dan menerima 600-700 ringgit per hari bila di luar Kuala Lumpur. Dalam sebulan saya bisa menerima 3.000 - 4.000 ringgit sebagai penerjemah saya," kata Saiful, yang menjadi penerjemah pengadilan Malaysia sejak 1992.
Belum lagi pemerintah Malaysia mengeluarkan dana untuk pengacara (peguam). Mereka dibayar per paket. Untuk satu kasus, Malaysia harus mengeluarkan dana antara 7.000 hingga 10.000 ringgit, kata Made.
Menurut catatan Saiful, di penjara Sungai Buluh, Selangor saja, ada 45 WNI keturunan Aceh yang menghadapi tuduhan pengedar Narkoba, pasal 39 B, yang dapat dikenai hukuman gantung atau mati. Ada tiga WNI menghadapi tuduhan pembunuhan, pasal 302, dan di Ipoh Perak ada satu WNI.
Menurut Saiful dan Made, para pengacara yang dibayar oleh pemerintah Malaysia, umumnya berjuang optimal dan penuh dedikasi serta profesional, walaupun ada beberapa yang kurang optimal. "Mereka walau dibayar rendah tapi para pengacara itu berjuang secara profesional," kata Made.
Saiful dan Made sangat kecewa, sedih dan malu terhadap pemerintah Indonesia, Departemen Luar Negeri, dan KBRI yang kurang membela WNI yang sedang berjuang di pengadilan Malaysia. "Pemerintah harusnya mengalokasikan dana besar untuk membayar pengacara guna membela warganya di Malaysia. Jumlah WNI di Malaysia sangat besar," kata Made.
Sementara itu, Saiful mengemukakan, KBRI Malaysia seharusnya tidak saja mendirikan Satgas Perlindungan WNI, tapi juga Satgas Pembelaan WNI di pengadilan. "Saya siap bergabung dengan tim Satgas KBRI untuk pembelaan WNI yang sedang menghadapi pengadilan walaupun tidak digaji sepeserpun demi membela WNI," katanya.
Berdasarkan data Imigrasi Malaysia, dari 1,8 juta pekerja asing di Malaysia, ada 1.174.013 tenaga kerja Indonesia. Dari jumlah itu, ada 294.115 orang merupakan PRT (pembantu rumah tangga) asal Indonesia. Ini berdasarkan jumlah yang resmi. Namun diperkirakan WNI yang bekerja di Malaysia mencapai sekitar 2 juta, baik legal dan ilegal. (*)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Wednesday, April 25, 2007
Label: ANTARA News, Bantuan Hukum, Malaysia, Malaysia positif
24 April 2007
KJRI Jeddah Terapkan Layanan “Jemput Bola”
KJRI Jeddah
24 Apr 2007
Tim KJRI Jeddah yang terdiri dari bidang Konsuler, Pensosbud, Imigrasi, dan Tenaga Kerja melakukan pelayanan Terpadu (Yandu) bertempat di hotel Genac Yanbu sebagai upaya jemput "bola" pada Kamis 19 April 2007. Sebanyak 108 WNI yang mayoritas adalah para tenaga kerja sektor informal dengan antusias mendatangi hotel tersebut untuk memperpanjang paspor, kekonsuleran dan konsultasi tentang ketenagakerjaan. Upaya jemput bola ini dilakukan untuk memberikan pelayanan yang maksimal kepada WNI yang berada di Kota Yanbu yang berjarak 380 km dari Kantor KJRI Jedah.
Dalam kesempatan tersebut KJRI Jeddah juka melakukan kunjungan ke Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Yanbu dan Kantor Royal Comission for Jubail dan Yanbu. Kunjungan tersebut dimaksudkan untuk mengidentifikasi potensi ekonomi yang dimiliki oleh kota Yanbu.
Seiring dengan pesatnya pembangunan di kota Yanbu terutama setelah diresmikannya pembangunan Mega Proyek Yanbu 2 yang menyerap investasi sebesar SR 115 milyar oleh Raja Abdullah bin Abdul Aziz pada 5 July 2005 yang lalu, maka jumlah WNI di kota tersebut pun terus bertambah. Hal ini membuat KJRI harus "menjaring" mitra perlindungan terhadap mereka. Untuk itu pada kesempatan yang sama KJRI melakukan kunjungan-kunjungan ke Maktab Jaliyat (Islamic Center) dan melakukan penjajakan pengacara mitra keluarga sekaligus penjajagan tempat untuk Sekretariat Satgas Yanbu.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, April 24, 2007
Label: Buruh migran, KJRI Jeddah, Saudi Arabia
23 April 2007
Tinggal 36 Daerah Belum Setor APBD
Tempo Interaktif
Senin, 23 April 2007 | 21:41 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan Mardiasmo mengungkapkan sampai hari ini tinggal 36 daerah yang belum menyetorkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ke pemerintah pusat.
"11 daerah belum ada respons dan 25 daerah lainnya menyatakan mungkin bakal terlambat setor APBD," kata Mardiasmo di Departemen Keuangan di Jakarta, Senin (23/4).
Menurut dia, pemerintah daerah kabupaten/kota yang belum merespon sebagian besar berasal dari Aceh dan Papua. "Masalah mereka karena sekarang sedang pemilihan kepala daerah (pilkada)," kata dia.
Dia mengatakan, beberapa daerah tersebut menjanjikan pada Mei mendatang bisa menuntaskan APBD-nya. "Mereka ada yang sudah selesai Peraturan Daerahnya tapi ada juga yang baru Rancangan Peraturan Daerah APBD dan April ini baru minta persetujuan DPRD-nya," kata dia.
Mengenai sanksi, kata dia, terserah Menteri Keuangan yang memutuskan.
AGUS SUPRIYANTO
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Monday, April 23, 2007
Label: APBD, Kebijakan, keuangan, Pemerintah
21 April 2007
Sudah Hedrocefalus, Gizi Buruk Lagi
RADAR JEMBER
Sabtu, 21 Apr 2007
BONDOWOSO - Malang benar nasib Samsul Arifin, putra pasangan Ilham Abdullah dan Sofi, warga Desa Sumbertengah, Kecamatan Binakal. Bayi berusia enam bulan ini diketahui menderita hedrocefalus sejak lahir. Ironisnya, Samsul juga menderita kurang gizi.
Diduga karena kurang gizi, kondisi kesehatan Samsul terus merosot sehingga dilarikan ke RSUD dr Koesnadi Selasa lalu. ’Dia tidak mau makan. Tubuhnya lemas," kata Sofi, yang mendampingi anaknya di ruang rawat inap RSUD dr Koesnadi kemarin.
Mernurut Sofi, kepala anaknya sejak lahir cukup besar. Kian hari, kepala Samsul kian membesar. Puncaknya, awal pekan ini nafsu makan Samsul tiba-tiba turun drastis. Ketika diberi pisang, Samsul tidak bersedia memakannya. Kontan, kedua orang tuanya panik dan membawanya ke RSUD dr Koesnadi.
Berbekal kartu JPS (jarring pengaman social), Sofi membawa anak keduanya itu ke Polianak di RSUD dr Koesnadi. Setelah diperiksa tim paramedis, disimpulkan Samsul menderita sakit hedrocefalus, infeksi saluran tenggorokan dan kurang gizi. Dari polianak, Samsul dipindah ke ruang anak untuk mendapatkan perawatan lebih intensif.
Kekurangan gizi Samsul Arifin diduga akibat menurunnya selera makan, sehingga zat gizi yang masuk ke tubuh juga berkurang. "Dia menderita tiga penyakit. Saat ini dirawat intensif tim dokter di ruang anak,’ kata Direktur RSUD dr Koesnadi, dr Ngartjojo Hartadji M. Kes.
Ngartjojo Hartadji menegaskan hedrocefalus adalah penyakit bawaan sejak lahir. Diduga karena hedrocefalus tersebut membuat kondisi kesehatan Samsul menurun. Sehingga, Samsul menderita penyakit tambahan. Yaitu infeksi saluran pernafasan dan kurang gizi.
Kini, kondisi Samsul cukup baik di ruang anak RSUD dr Koesnadi. Ketika ditermui Erje, Samsul bersedia minum susu buatan yang diberikan Ibunya. Kondisinya pun cukup stabil. Selama dijaga ibunya, Samsul hanya diam saja. (aro)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Saturday, April 21, 2007
Label: busung lapar, Jember, kesehatan, Radar Jember
20 April 2007
Pemerintah Depok Akan Sebarkan 400 Leaflet Larangan Berdagang
TEMPO Interaktif
20 April 2007
Jakarta: Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Depok akan menyebarkan 400 lembar leaflet yang berisi soal larangan berjualan di trotoar jalan dan taman kota di sepanjang Jalan Margonda pada Ahad (22/4) mendatang.
Kepala Satpol PP Kota Depok Sariyo Sabani mengatakan penyebaran leaflet merupakan langkah persuasif kepada para pedagang. Selama ini tindakan penegakan peraturan oleh petugas lebih bersifat penanganan langsung berupa penertiban lapak pedagang. "Kami coba persuasif dulu," kata dia kepada Tempo di ruang kerjanya, Jumat (20/4).
Larangan ini lebih ditekankan pada penegakan peraturan daerah (Perda) Kota Depok Nomor 14 Tahun 2001 tentang Ketertiban Umum. Upaya tersebut juga searah dengan akan dilebarkannya Jalan Raya Margonda di tahun 2007 mulai dari pertigaan Kartini hingga Balai Kota Depok.
Endang Purwanti
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Friday, April 20, 2007
Label: Depok, Endang Purwanti, pedagang kaki lima, Penggusuran
The developing world's absent providers
On June 25, 1980, a good-natured Filipino pool-maintenance man gathered his wife and five children for an upsetting ride to the Manila airport. At 36, Emmet Comodas had held a job at a government sports complex for nearly two decades. On the spectrum of Filipino poverty, that marked him as a man of modest fortune. But a monthly salary of $50 did not keep his family fed.
Home was a one-room, scrap-wood shanty. He had borrowed money at usurious rates to start a tiny store, which a thief had plundered. His greatest fears centered on his 11-year-old daughter, Rowena, who had a congenital heart defect and who needed care he could not afford.
Emmet's boss had offered him a pool-cleaning job in Saudi Arabia.
Emmet would make 10 times as much as he made in Manila. He would also live 7,200 kilometers, or 4,500 miles, from his family in an Islamic autocracy where stories of abused laborers were rife. He accepted on the spot.
Two years later, Emmet walked off the returning flight with chocolate for the kids and earrings for his wife, Tita. His 2-year-old son, Boyet, considered him a stranger and cried at his touch. Emmet replaced the shanty's rotted walls and put on a new roof.
Then after three months at home, he left for Saudi Arabia again.
And again and again. And the Comodas children have copied Emmet's example. All five of them, including Rowena, grew up to become overseas workers. What started as Emmet's act of desperation has become his children's way of life: leaving in order to live.
About 200 million migrants from different countries are scattered across the globe. They sent home an estimated $300 billion last year - nearly three times the world's foreign-aid budgets combined. These sums - "remittances" - bring Morocco more money than tourism does. They bring Sri Lanka more money than tea does.
Growth in migration has roiled the West, but demographic logic suggests it will only continue. Aging industrial economies need workers. People in poor countries need jobs. Transportation and communication have made moving easier. And the potential economic gains are at record highs.
In the Philippines, local idiom stresses the uncertainty of the migrant's lot. An Overseas Filipino Worker - OFW - does not say he is off to make his fortune. He says, "I am going to try my luck."
Nearly 10 percent of the country's 89 million people live abroad.
About 3.6 million are contract workers. Another 3.2 million have migrated permanently - largely to the United States - and 1.3 million more are thought to be overseas illegally. There are a million OFWs in Saudi Arabia alone, followed by Japan, Hong Kong, the United Arab Emirates and Taiwan. They send home $15 billion a year, a seventh of the country's gross domestic product.
There is no anti-migration camp in Filipino politics. The political issue is migrant safety. Woe to the Filipino pol who appears not to have migrant welfare in mind. After a Filipino truck driver was kidnapped in Iraq in 2004, President Gloria Macapagal Arroyo not only banned all contract work there but also withdrew from the American-led military coalition.
Even state visits have the tenor of bail runs. The president triumphed in Saudi Arabia last spring when King Adbullah freed more than 400 workers who had been jailed for petty crimes.
I first met Tita and the kids in 1987, as Emmet was finishing his third contract. I had a fellowship from the Henry Luce Foundation to study urban poverty; a Leveriza nun, Sister Christine Tan, introduced us, and Tita agreed to let me move in.
Emmet returned a few months into my off-and-on stay. He had missed half the life of his 11-year-old, Roldan, and nearly all of 7-year-old Boyet's. He wanted to stay.
With jobs scarce, frustration rose all around. Tita got angry when she heard Emmet urge their oldest child, Rolando, to join the U.S. Navy, and furious when she caught him encouraging Rosalie to go abroad; Tita wanted her to be a nun. Emmet was back in Riyadh within a year.
One day he opened the door to find Rolando, who had quit tech school to try his luck as a driver for a Saudi family. Rolando's luck had proven mediocre. He quit after his second contract.
By then, Rosalie had finished nursing school in Manila. Four years after graduation, she still earned $100 a month. Saudi hospitals paid nearly four times as much. After borrowing the recruiters' fee from an aunt, Rosalie was Jiddaa-bound.
A baton was being passed. At 55, Emmet had given nearly 20 years to a succession of Arabian pools. Rosalie, renewing her contract, insisted he go home. The responsibility of supporting the family was hers.
As an Islamic state that bans socializing between unmarried women and men, Saudi Arabia held out few hopes for marriage or kids. Rosalie approached her 30th birthday resigned to a dutiful life alone. She celebrated at a Jidda restaurant with Filipino friends; one of them, knowing they had a private room, disregarded the gender rules by bringing along her nephew, a construction engineer. The nephew, Christopher Villanueva, took Rosalie for an after-dinner walk, trailing a few paces behind her in case the religious police happened by.
With both of them living in guarded single-sex dorms, their 18-month courtship occurred largely by cellphone. When they flew home in 2002 to marry, they had never been alone together.
In the Philippines the following year to deliver her first baby, Rosalie saw an ad seeking nurses in Abu Dhabi that offered twice the salary she had made in Jidda. And Abu Dhabi had no religious police. She caught another plane to the Middle East, this time as a mother. The baby, Christine, soon called her Aunt Rowena "Mama." When a second daughter followed, she considered Rowena her mama, too.
Overseas prosperity is a gift and an obligation. Rosalie paid to complete her parents' new house and sends them $400 a month. Capitalizing on permissive visa laws, Rosalie has now brought a cousin and three siblings to Abu Dhabi.
Once upon a time - say, five years ago - remittances were considered small potatoes. That began to change early this decade, when research by the Inter-American Development Bank showed that the amounts in Latin America were three or four times higher than supposed. Interest surged in 2003 when Dilip Ratha of the World Bank showed the eye-popping sums extended across the globe. Migration has been a prominent development topic ever since.
While the doubling of formal remittances in the past five years partly reflects improved counting, Dilip Ratha argues that most of the gain is real. There are more migrants; their earnings are growing; and plunging transaction fees encourage them to send more money home.
The Philippines, which received $15 billion in formal remittances in 2006, ranked fourth among developing countries, behind India ($25 billion), China ($24 billion) and Mexico ($24 billion) - all of which are much larger. Remittances make up 3 percent of the gross domestic product in Mexico but 14 percent in the Philippines. In 22 countries, remittances exceed a tenth of the GDP, including Moldova (32 percent), Haiti (23 percent) and Lebanon (22 percent).
Despite fears that the money goes to waste, a growing literature shows positive effects. Remittances cut the poverty rate by 11 percent in Uganda and 6 percent in Bangladesh, according to studies cited by the World Bank, and raised education levels in El Salvador and the Philippines. Being private, the money is less susceptible to corruption than foreign aid; it is also more precisely aimed at the needy.
The downside is the risk of dependency, whether among individuals waiting for a check or rulers who use the money to avoid economic reforms.
"Remittances can't solve structural problems," said Kathleen Newland of the Migration Policy Institute, a Washington research group. "Remittances can't compensate for corrupt governments, nepotism, incompetence or communal conflict."
Casting migration as the answer to global poverty alarms some people. It risks obscuring the personal price that migrants and their families pay. It could be used to gloss over, or even justify, the exploitation of workers. And it could offer rich countries an excuse for cutting foreign aid and other development efforts.
Certainly, soaring remittance tallies cannot measure social costs, to migrants or to those left behind. Among the biggest worries, in the Philippines and beyond, are the "left behind" kids, who are alternately portrayed as dangerous hoodlums and consumerist brats.
Researchers also speak of the "left out." Lacking the money or connections to go abroad, they are marooned on the wrong shore of what is, among the poor themselves, a growing divide.
The modest social science that exists on the issue offers some reassurance. At least three studies have examined "left behind" families in the Philippines. All found the children of migrants doing as well as, or better than, children whose parents stayed home.
The most recent, from the Scalabrini Migration Center in Manila, involved a national survey of 10-to-12-year-olds. The migrants' kids did better in school, had better physical health, experienced less anxiety and were more likely to attend church.
One theory is that remittances compensate for the missing parent's care. The study found migrants' kids to be taller and heavier than their counterparts, suggesting higher caloric intake, and much more likely to attend private school. The extended family can also act as a compensating force. And so can modern technology, in an age of cellphones and Webcams.
About 50 kilometers south of Manila, a dirt road ends at a residential compound carved from a small coffee farm. For decades it held nothing but the thatched hut where Tita and her 10 siblings were raised. Now a dozen cement blockhouses are clustered in a U.
One look at each home yields a fair guess of how long the owner worked abroad. Nine families in the compound sent workers overseas, and collectively those workers stayed for 131 years (and counting). A walk across the compound cuts through a century of rewards and regrets.
Tita's brother Fortz is one of two men in the family (by some counts, three) whose extramarital affairs overseas produced kids. Tita's sister Peachy learned that her husband had a girlfriend - and a son - when she received a package meant for them. The nine families of overseas workers raised 35 kids, some of whom scarcely saw their fathers.
By any measure, the price was high. Yet bookshelves sag with encyclopedia sets. More diplomas appear each year on freshly plastered walls. There are bunk beds, cellphones, stereos and big televisions.
"A good provider is someone who leaves," Peachy said, without ambivalence.
Tita and Emmet's cottage has a patio, a beamed ceiling, a tiled floor, two kitchens and two toilets that flush. It was built by Rosalie, thousands of kilometers away in Abu Dhabi. She hovers over the compound; no household there is heedless of her example or generosity.
Going abroad is difficult, but so is coming home. Since Emmet returned for good, the kids have noticed less tenderness between their parents and more quarreling. Each had grown accustomed to being the boss. One reason Rosalie left her second daughter, Precious Lara, in the Philippines is that she thinks her parents need a child to love.
In a guest bedroom there is a large framed photograph of Rosalie, taken on her wedding day. The woman in that picture shows no trace of a birthright of poverty. She turns to the camera wearing an enormous gown and a confident face. Two generations of labor migration have given her more education, more money, and more power and prestige than her mother could have dreamed of on her own wedding day.
Precious Lara rarely plays in that room and hardly knows the face, much less the sacrifices her mother has made for the blessings of a migrant's wage.
Jason DeParle, a senior writer for The New York Times, last wrote for the magazine about the aftermath of Hurricane Katrina.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Friday, April 20, 2007
Label: IHT, In English, Saudi Arabia, The Philippines
Pemerintah Depok Akan Sebarkan 400 Leaflet Larangan Berdagang
TEMPO Interaktif Jakarta
Jum'at, 20 April 2007
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Depok akan menyebarkan 400 lembar leaflet yang berisi soal larangan berjualan di trotoar jalan dan taman kota di sepanjang Jalan Margonda pada Ahad (22/4) mendatang.
Kepala Satpol PP Kota Depok Sariyo Sabani mengatakan penyebaran leaflet merupakan langkah persuasif kepada para pedagang. Selama ini tindakan penegakan peraturan oleh petugas lebih bersifat penanganan langsung berupa penertiban lapak pedagang. "Kami coba persuasif dulu," kata dia kepada Tempo di ruang kerjanya, Jumat (20/4).
Larangan ini lebih ditekankan pada penegakan peraturan daerah (Perda) Kota Depok Nomor 14 Tahun 2001 tentang Ketertiban Umum. Upaya tersebut juga searah dengan akan dilebarkannya Jalan Raya Margonda di tahun 2007 mulai dari pertigaan Kartini hingga Balai Kota Depok.
Endang Purwanti
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Friday, April 20, 2007
Label: pasar, pedagang kaki lima, Penggusuran
53 TKI Terancam Dihukum Mati
TEMPO Interaktif, Sumedang, Jum'at, 20 April 2007 | 19:32 WIB: Anggota Divisi Pembelaan Hukum Konflik dan Perdamaian Kontras, Ori Rahman, mendesak pemerintah lebih proaktif melindungi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Sebab saat ini 53 TKI sedang dalam proses persidangan dengan ancaman hukuman mati.
"Sampai detik ini tidak ada bantuan hukum apapun dari pemerintah untuk mereka," kata Ori dalam jumpa pers di Gedung Kontras, Jakarta, Jumat.
Bersama lima lembaga swadaya masyarakat (LSM) lainnya, ia juga meminta pemerintah membentuk tim investigasi untuk menyelidiki jumlah pasti TKI yang terancam hukuman mati di Malaysia. "Informasi tentang mereka biasanya justru lebih banyak dari media massa," katanya.
Ori menduga, selain 53 TKI tersebut, masih banyak yang bernasib sama namun tidak terdata.
Wahyu Susilo dari Migrant CARE, mengatakan sebagian besar TKI yang bermasalah di Malaysia tersangkut masalah narkotika dan pembunuhan. Namun ia menyangsikan keabsahan tuduhan tersebut. Sebab, menurut pengakuan para TKI itu, banyak dari mereka yang dijebak majikannya atau difitnah.
Dwi Riyanto Agustiar
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Friday, April 20, 2007
Label: Buruh migran
19 April 2007
Jumlah TKI Tak Terdaftar di Malaysia Sama dengan Terdaftar
ANTARA News
Tgl tdkt
Pontianak - Duta Besar RI di Malaysia, Drs KPH Rusdihardjo, SH, mengatakan jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) tidak terdaftar di Malaysia relatif sama dengan jumlah TKI terdaftar.
"Saat ini ada sekitar 725 ribu TKI terdaftar, sedangkan yang tidak terdaftar relatif sama angkanya," kata Rusdihardjo, kepada wartawan di Pontianak, Jumat.
Ia menjelaskan, Malaysia masih memerlukan banyak tenaga kerja asing, namun banyak TKI yang berada di negara tetangga itu pada kenyataannya tidak memiliki dokumen resmi sebagai tenaga kerja asing.
Karena itu, banyak masalah dihadapi TKI. Tidak sedikit dari mereka, mengadukan masalah kepada Kedutaan Besar RI di Malaysia. Dalam sehari, biasanya terdata sekitar 80 orang TKI dengan berbagai permasalahan mendatangi tempat penampungan yang ada di kedutaan besar RI di Malaysia.
Sementara itu mengenai kebutuhan tenaga kerja di Malaysia, paling besar untuk sektor formal di bidang perkebunan, ladang, binaan, dan sarikat, katanya seusai menghadiri temu bisnis investasi Indonesia Malaysia Business Council (IMBC) dengan Pemerintah Provinsi Kalbar.
Berkaitan dengan pertemuan itu, dalam sambutannya, Dubes Rusdihardjo mengatakan, kegiatan itu bertujuan mempromosikan Kalbar kepada para pengusaha Malaysia.
Selain itu, guna membangun hubungan kerjasama pengusaha kedua negara dalam menjajaki peluang investasi di sektor infrastruktur, pertanian, serta agrobisnis yang ada di daerah itu.
Sebanyak 20 pengusaha dari dua negara, berkumpul di Pontianak melaksanakan pertemuan guna membahas peluang bisnis dan investasi. Pengusaha asal Indonesia diketuai Tanri Abeng, sedangkan dari Malaysia diketuai Tan Sri Ahmad Sarji bin Abdul Hamid.
Berbagai penawaran investasi dilakukan, terkait dengan infrastruktur jalan dan pelabuhan, pertanian, perkebunan, pertambangan dan properti.(*)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Thursday, April 19, 2007
Label: ANTARA News, Buruh migran, Malaysia, Pemerintah
17 April 2007
Perluas Kewenangan MK
Suara Pembaruan
17 April 2007
Perlindungan HAM
[JAKARTA] Mahkamah Konstitusi (MK) sebaiknya diberi kewenangan yang lebih luas, agar lembaga ini bisa juga menguji peraturan di bawah undang-undang yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Hal itu perlu dimiliki MK karena banyak peraturan di bawah UU sekarang ini yang justru bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, MK juga bisa menguji putusan hakim yang bertentangan dengan HAM.
Demikian pendapat pakar ilmu hukum tata negara yang saat ini menjadi anggota Komisi III DPR Dr Benny K Harman SH dalam acara peluncuran buku The New Indonesian Constitutional Court karangan pakar ilmu politik asal Jerman, Petra Stockmann PhD di Jakarta, Senin (16/4).
Pembicara lain dalam acara itu adalah advokat senior, Dr Todung Mulya Lubis SH, aktivis Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Bivitri Susanti, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Patra M Zen, pakar ilmu politik dari Universitas Indo- nesia, Arbi Sanit, dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jerman, Jutta Limbach.
Dikatakan, Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 perubahan ketiga, berbunyi,“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.“ Bunyi pasal itu juga dijabarkan dalam Pasal 10 Ayat (1) UU 24/2003 tentang MK.
Menurut Benny, terlalu banyak aturan di bawah UU sekarang ini, dan mungkin ke depan yang melanggar UUD 1945. Benny menyebut contoh sejumlah peraturan daerah (Perda) melanggar hak asasi manusia (HAM), terutama hak-hak perempuan. „Perda Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang yang isinya melarang perempuan ke luar rumah pada malam hari. Ini kan melanggar HAM. Ingat dalam UUD 1945 perlindungan HAM dijamin,“ ujarnya.
Untuk memperluas kewenangan MK, katanya, UUD 1945 dan UU MK perlu direvisi. „Hal ini perlu kita lakukan demi tegaknya demokrasi di Indonesia. Negara demokrasi adalah negara yang menghargai HAM,“ katanya.
Sedangkan Todung mengatakan MK sebaiknya berfungsi tidak sekadar menjadi pengawal konstitusi, tetapi juga sebagai lembaga yang melindungi hak asasi individu dan hak kelompok masyarakat. Menurut Todung, ada banyak hak kelompok masyarakat dirampas atau dianiaya. Salah satu contoh adalah kelompok Ahmadiyah. „MK juga harus melindungi kelompok masyarakat, seperti Ahmadiyah itu,“ kata dia.
Sementara itu Petra Stockmann mengatakan MK harus memiliki reputasi tinggi, peduli terhadap kejujuran, keadilan, keterbukaan dan kemandirian. Hal-hal seperti itu, kata dia, merupakan modal dalam memperjuangkan HAM dan demokrasi yang lebih baik, sehingga masyarakat madani bisa terwujud.
Jabatan Anggota MK
Pada kesempatan itu Todung mengusulkan untuk menjadi hakim MK sebaiknya tidak melalui pengangkatan, tetapi melalui jalur tes, termasuk uji kelayakan dan kepatutan oleh DPR. Sebab, hakim-hakim MK yang ada sekarang menggunakan sistem pengangkatan. „Ini kan sangat politis. Tidak fair,“ kata dia.
Pengangkatan hakim MK itu dilakukan berdasarkan Pasal 18 Ayat (1) UU MK yang berbunyi,“Hakim konstitusi diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung (MA), tiga orang oleh DPR dan tiga orang oleh Presiden, untuk ditetapkan dengan keputusan Presiden.“
Todung juga mengusulkan usia jabatan hakim MK adalah seumur hidup. „Hal ini perlu dilakukan agar hakim-hakim MK itu tidak perlu tergoda dengan jabatan lain, seperti jabatan menteri atau bahkan maju untuk dicalonkan menjadi Presiden,“ kata dia.
Hal senada juga disampaikan Patra. Menurutnya, jabatan hakim konstitusi merupakan jabatan yang paling tinggi dan bergengsi. „Oleh karena itu, setiap hakim MK sebaiknya merasa direndahkan kalau ditawarkan jabatan lain,“ kata dia.
Oleh karena itu, Todung dan Patra mengusulkan sebaiknya orang-orang yang dipilih untuk menduduki jabatan hakim konstitusi sebaiknya negarawan. „Seorang negarawan ialah orang yang bebas kepentingan, seperti kepentingan partai, agama dan daerah. Hakim MK layaknya seperti dewa,“ kata Patra. [E-8]
Diunggah oleh Albert di Tuesday, April 17, 2007
Label: Perda, Suara Pembaharuan Daily
14 April 2007
Pedagang Kaki Lima Bekasi Tuntut Ganti Rugi
TEMPO Interaktif
14 Maret 2007
Jakarta: Sebanyak 38 pedagang kaki lima (PKL) di depan Pasar Baru dan Terminal Bekasi Jalan Djuanda unjuk rasa, hari ini. Mereka menuntut ganti rugi karena lapak mereka dibongkar.
"Kami pernah dijanjikan lokasi baru, tapi sampai sekarang tempat itu belum tersedia," kata Leni, 29 tahun, seorang pedagang. Menurut pedagang, selama berjualan di lokasi ini, setiap hari pedagang dimintai berbagai pungutan yang nilainya sekitar Rp 15 ribu.
Kepala Dinas Pengelolaan Pasar, Toto Ruchimat mengatakan PKL dilarang berjualan di sana karena mengganggu kelancaran arus lalu lintas. Mereka sudah disediakan tempat penampungan di selasar Blok III Pasar Baru Juanda, Bekasi. "Tapi, mereka malah balik lagi ke sini," ujar Toto.
Siswanto
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Saturday, April 14, 2007
Label: Bekasi, Penggusuran, Siswanto, tanggapan masyarakat, Tempo Interaktif
141 Rumah Ludes Diamuk Api
Pos Kota
14 April 2007
JAKARTA – Di saat warga tengah terlelap, si jago merah mengamuk dan melalap 141 rumah di Kebon Singkong, Jaktim, Jumat (12/4) dinihari. Diperkirakan, api berasal dari obat nyamuk bakar dari salah satu rumah warga.
Kobaran api terlihat sekitar Pk. 01:00 saat warga di permukiman padat penduduk itu tengah tidur lelap. Dalam tempo singkat, api menjalar ke bangunan di kanan kirinya. Melihat api, warga yang belum tidur kontan berteriak membangunkan tetangganya.
Kepanikan langsung terjadi, sebagian warga mengangkuti harta benda yang bisa diselamatkan. Separo lainnya, bahu membahu mengisi embernya dengan air lalu menyiramkannya ke jilatan api.
“Habis sudah semuanya, kami mau tinggal dimana..,” ucap seorang ibu yang tak bisa menyembunyikan kesedihan akibat kehilangan tempat tinggal.
Aeng, 22, memperkirakan api berasal dari obat nyamuk bakar yang dinyalakan warga. Alasannya, tak sedikit warga di kawasan itu menggunakan racun serangga tersebut untuk mengusir nyamuk. “Bisa jadi api dari obat nyamuk bakar mengenai kabel hingga terjadi kebakaran,” ujarnya.
Sebanyak 22 mobil pemadam datang ke lokasi itu. Dibantu warga, petugas memadamkan api, namun kobaran senyawa panas itu baru bisa dikendalikan empat jam kemudian.
Warga yang kehilangan tempat tinggal mengungsi di lapangan tak jauh dari lokasi rumahnya yang hangus. Usai kebakaran, petugas mendata rumah yang tak bisa dihuni lagi. Tercatat, 20 rumah di RT 06/03 dan 121 rumah di RT 13/04 ludes. Siang hari, lokasi warga mengais barang yang masih bisa diselamatkan di bekas rumahnya.
Sementara itu, kebakaran juga terjadi di Sumur Bor RT 06/12 Kalideres, Jakbar, mengakibatkan Luki, 41, penghuni rumah, terluka. Tubuhnya menderita luka bakar saat ia berupaya memadamkan api yang berkobar sekitar PK. 08:00. Korban dilarikan ke RSUD Cengkareng, sedangkan api padam setelah dua mobil DPK tiba.
Selang satu jam kemudian, kebakaran menghanguskan enam rumah kontrakan di Jl. Raya Kembangan Utara RT 01/01 Kembangan, Jakbar. Api dijinakkan berkat pertolongan dua unit mobil DPK.
(harto/yahya/C7/warto)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Saturday, April 14, 2007
Label: C7, harto, Jawa Timur, kebakaran, PosKota, warto, yahya
Ratusan Kaki-5 Bakal Digusur
Pos Kota
14 April 2007
JAKARTA – Keberuntungan sepertinya belum berpihak kepada pedagang Kaki-5. Setelah ratusan pedagang ditertibkan di kawasan Tanah Abang, sejumlah pedagang Kaki-5 di Jakarta Pusat dan Jakarta Timur lainnya harus siap-siap angkat kaki.
Dua lokasi Kaki-5, di Jl. Diponegoro, Menteng dan Jembatan Tinggi, bakal menjadi target berikutnya untuk ditertibkan. “Kami ini pedagang kecil tolong lindungilah kami. Kami ini hanya sekadar cari makan, bukan penjahat,” ujar Sarmin, satu pedagang kawasan Tanah Tinggi. “Kalau digusur, kita ngalah. Besok-besok kita dagang lagi. Habis anak istri mau makan apa?” Ny Nuning, pedagang nasi menimpali.
Subandi, Kasudin Tramtib Jakpus, menjelaskan pihaknya tetap konsisten untuk menertibkan kawasan yang marak dengan Kaki-5. Seperti di Jl Diponegoro depan RSCM, trotoarnya dipenuhi dengan pedagang sehingga mengganggu para pejalan kaki.
Demikian juga Jembatan Tinggi, kembali penuh dengan kaki-5 padahal sudah berkali-kali ditertibkan. .Dikatakannya, saat ini fokusnya masih melakukan pengawasan di Jl. Kebon Jati, Tanah Abang yang baru saja ditertibkan. Hal ini untuk mengantisipasi agar Kaki-5 tidak lagi berjualan di kawasan itu. “Setiap harinya ditempatkan petugas antara 300-400 personil utnuk menjaga kawasan itu,” ujarnya.
Subandi menambahkan beberapa lokasi yang telah ditertibkan meliputi, Masjid Istiqlal, Pasar Senen, kawasan Tanah Abang, Pasar Baru, Pasar Gaplok dan lain-lain. “Sebagain besar, sudah tertib dan bersih. Hanya di Pasar Gaplok masih ada satu dua pedagang yang kembali, ini karena sulit melakukan pengawasan,” jelasnya.
Di Jakarta Timur sendiri kawasan yang sudah steril dari pedagang Kaki-5 ada di sepanjang Jl. Raya Matraman hingga depan Stasiun Jatinegara. Padahal sebelumnya kawasan ini paling banyak pedagang Kaki-5 dan sulit ditertibkan.
Penertiban bukan hanya dilakukan d lokasi yang dilarang tetapi untuk lokasi resmi pun seperti JT (istilah penampungan resmi di Jakarta Timur red-) untuk tahun ini ada yang ditutup dan tidak diperpanjang izinnya karena sudah dianggap mengganggu ketertiban umum.
Lokasi JT yang akan ditutup menurut Kepala Sudin Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) Jaktim Pria Arif ada di JT 06 Jl. Matraman Raya, JT 08 di Jl. Jatinegara Timur, JT 43 di Pasar Subuh Jl. Raya Bogor, JT 39 di Jl. Paus Pulogadung, JT 28 di Jl. Wisma Jaya dan JT 41 di Jl. Persahabatan.
“Untuk JT 06 akan dipindah lokasi ke dalam Rukan Mitra sedankan JT 08 dipindah ke belakang Pasar Regional Jatinegara di Jl. Mambo,” jelas Arif. Sedangkan saat ini dari pihak Tramtib tetap menjaga kawasan Jatinegara agar pedagang tidak kembali lagi dan bila ada pedagang yang membandel terpaksa diangkut.
(dieni/tarta)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Saturday, April 14, 2007
Label: dieni, Jakarta, Kebijakan, Penggusuran, PosKota, Tarta
Acara HUT Paguyuban TKI Dilarang Polisi Malaysia
ANTARA News
14/04/07
Kuala Lumpur - Peringatan acara hari jadi paguyuban tenaga kerja Indonesia (TKI) "Bocahe Dewe" ke-6, dengan anggota sekitar 30.000 orang, rencananya akan dilakukan, Minggu 15 April 2007 di Shah Alam, Selangor Malaysia, dilarang polisi dengan alasan yang kurang jelas.
"Larangan itu baru kami terima Sabtu pagi, sedangkan acara itu akan dilakukan besok Minggu. Kami mengalami kerugian besar. Undangan sudah dicetak dan disebar. Tempat sudah dibayar sewanya. Begitu pula dengan sound system," kata Ketua Umum paguyuban Bocahe Dewe, Ambar Setyo Wibowo, di Kuala Lumpur, Sabtu.
Menurut polisi Shah Alam, Selangor, daerah mereka tidak diperbolehkan untuk diadakan musik tapi itu hanyalah mengada-ada karena sebelumnya, pentas musim seperti Inul, Ratu dan Radja diadakan di daerah tersebut.
"Kemungkinan mereka takut acara itu menimbulkan keonaran," katanya.
"Jika polisi Selangor takut ada keonaran maka kami sanggup membayar penambahan biaya aparat polisi. Kami punya banyak dana," kata Ambar. Kegiatan kumpul-kumpul TKI memang banyak yang bersedia mensponsori. Salah satunya ialah Western Union, sebuah perusahaan jasa pengiriman uang asal Amerika Serikat.
Ia kecewa mengapa aparat kepolisian melarang acara tersebut satu hari sebelum dimulai dimana semua persiapan sudah dilakukan semuanya dengan baik.
"Kenapa larangan itu tidak dikeluarkan dua minggu sebelumnya sehingga kami tidak keluar dana dengan sia-sia," katanya dengan nada tinggi dan kesal.
"Saya malu dengan teman-teman dan mereka kecewa semua. Mereka semua sudah latihan dan gladi resik untuk mengisi acara besok ternyata tidak diizinkan oleh polisi setempat," katanya.
Menurut dia, acara tersebut sudah direncanakan tiga bulan sebelumnya. Western Union memproses izin dan mendanai sewa tempat dan sound system.
"Jadi kami menerima pembatalan itu dari Western Union, Sabtu pagi ini," tambah dia.
Tapi Ambar tidak putus asa. Ia akan tetap mengadakan acara HUT paguyuban Bocahe Dewe ke-6 di Sekolah Indonesia, Kuala Lumpur. Itu pun jika dapat izin dari kepala sekolah, ujar dia.(*)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Saturday, April 14, 2007
Label: Bocahe Dewe, Buruh migran, Kebijakan, Malaysia
12 April 2007
MK: Batasan Umur TKI Tidak Bertentangan dengan UUD 1945
detikcom
12 April 2007
Jakarta - Aturan pembatasan umur minimal 21 tahun bagi seseorang untuk menjadi TKI dianggap Mahkamah Konstitusi (MK) tidak bertentangan dengan UUD 1945.
"Aturan tersebut bukanlah merupakan penghapusan hak terhadap suatu pekerjaan, tetapi
merupakan persyaratan yang dapat dibenarkan dalam rangka pemenuhan kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya yang bekerja di luar negeri," kata hakim konstitusi I Dewa Palguna.
Hal tersebut disampaikan Palguna saat membacakan putusan permohonan uji materiil UU 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (12/4/2007).
Permohonan uji materiil ini dimohonkan oleh 9 calon TKI yang akan dipekerjakan ke luar negeri.
Namun keberangkatan mereka ditolak pemerintah, dengan alasan usia ke-9 calon TKI belum mencapai 21. Mereka rata-rata memiliki usia 20 tahun.
MK berpendapat bahwa ketentuan dalam pasal 35 huruf e UU PPTKI itu juga sudah diatur sebelumnya dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Aturan ini pun diratifikasi oleh pemerintah dengan menerbitkan UU 11/2005.
Menurut majelis, pembatasan usia itu juga harus diartikan untuk melindungi para TKI dari pelecehan seksual atau pengucilan yang didasarkan pada pembedaan SARA.
"Berdasarkan ketentuan tersebut, permohonan pemohon ternyata tidak beralasan, sehingga permohonan harus dinyatakan ditolak," ucap Ketua MK Jimly Asshiddiqie dalam persidangan.
4 Hakim DO
Putusan itu ternyata tidak diputuskan secara bulat. Empat hakim konstitusi, Laica Marzuki, Abdul Mukhtie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan Harjono menyatakan dissenting oppinion (DO/perbedaan pendapat).
Mereka menilai bahwa pelecehan seksual dapat saja menimpa TKI yang berusia di atas 21 tahun. "Secara realitas menunjukkan terjadinya pelecehan seksual terhadap TKI di luar negeri persentasenya sangat kecil dan tidak terjadi pada usia 18 tahun. Tapi justru pada usia di atasnya. Realitas juga menunjukkan pemerintah belum mampu menyediakan lapangan kerja bagi warga negaranya," papar Abdul Mukhtie Fadjar.
(ary/nrl)
Arry Anggadha
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, April 12, 2007
Label: ary, Buruh migran, detikcom, hukum, masalah BMI, nrl
Mahkamah Konstitusi Tolak Uji Materil UU TKI
ANTARA News
12/04/07
Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan sembilan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang meminta dibatalkannya aturan pembatasan umur bagi TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan.
Dalam keputusan yang dibacakan pada sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis, majelis hakim konstitusi yang diketuai oleh Jimly Asshiddiqie menyatakan, pasal 35 huruf a UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI (PPTKI) di luar negeri yang mengatur soal pembatasan usia itu bukanlah penghapusan hak terhadap suatu pekerjaan.
Aturan itu, menurut MK, merupakan persyaratan yang dapat dibenarkan dalam rangka pemenuhan kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya yang dipekerjakan pada pengguna perseorangan di luar negeri.
"Dari uraian itu, telah ternyata pula pasal 35 huruf a UU PPTKI tidak mengandung sifat diskriminatif sebagaimana didalilkan oleh para pemohon, dan tidak bertentangan dengan pasal 27 ayat 2 dan pasal 28D ayat 2 UUD 1945," kata Jimly.
Untuk itu, MK memutuskan permohonan yang diajukan oleh para TKI itu tidak beralasan dan harus dinyatakan ditolak.
MK berpendapat, pembatasan usia minimal seseorang untuk bekerja dan menjalankan pekerjaan tertentu termasuk hal yang diperbolehkan untuk melindungi pencari kerja secara moral, hukum dan kemanusiaan.
Keputusan MK itu diwarnai oleh pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat hakim konstitusi, yaitu Laica Marzuki, Abdul Mukhtie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan Harjono yang berpendapat permohonan para pemohon layak dikabulkan.
Keempat hakim itu berpendapat, menurut Laica, aturan pembatasan usia dalam UU PPTKI tidak memungkinkan para pemohon untuk mendapatkan pekerjaan layak bagi kemanusiaan dan hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja secara bebas menurut pilihan.
Mereka juga berpendapat, aturan pembatasan itu telah menciderai hak asasi, karena menghalangi para pemohon untuk mencari kerja, yang merupakan hal paling dasar bagi setiap manusia.(*)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, April 12, 2007
Label: ANTARA News, Buruh migran, hukum, tanggapan masyarakat, UU 39/2004 PPTKI
11 April 2007
Tragedi Buruh Migran di Taiwan: Kematian Pupuskan Rencana Menikah
Okezone.com
11 April 2007
JAKARTA- Kematian Eka Yuanita (23) tenaga kerja wanita asal Blitar Jawa Timur yang meninggal di Taipeh Taiwan menutup harapan Sudarmianto (35). Rencana menikah pun pupus.
“Sebelum berangkat, Yuyun (Eka Yuanita) mengatakan kepada saya bahwa nanti sepulangnya dari Taiwan akan menikah,�? kata Sudarmianto, kepada okezone, Rabu (10/4/2007).
Jenazah Yuyun sudah sebulan lebih 10 hari terbujur kaku di rumah sakit San Chong, Taipeh. Jenazah itu belum bisa dipulangkan, sebab kematian Yuyun masih menyisakan tanya bagi aparat kepolisian setempat. Saat ditemukan meninggal oleh seorang warga setempat, 1 Maret lalu, Yuyun tergeletak di atas lantai. Ada tanda bekas sengatan listrik di kaki kanannya. Polisi Taiwan masih menyelidiki, apakah kematian buruh migran Indonesia itu wajar atau tidak.
Kontak terakhir di antara Yuyun dengan kekasihnya di Indonesia terjadi pada 17 Februari 2007. Saat itu, kata Sudarmianto, Yuyun mengaku sudah pindah bekerja ke pasar, dikarenakan pekerjaan yang sebelumnya terlalu berat. Yuyun berangkat ke Taiwan pada 15 September 2006, melalui PT Danamon Wahana Tenaga Kerja, dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga untuk Hung Ruel Lin.
“Kalau menurut saya dia itu anak baik, bertanggung jawab. Kalau ingin bisa sesuatu, dia perjuangkan. Dan dia tidak pernah mau mengeluh di depan orangtuanya,�? kata Sudarmianto.
Kini, harapan Yuyun dan Sudarmianto untuk menikah pupus sudah. Sang kekasih kini hanya berharap agar jenazah Yuyun bisa segera dibawa pulang, dan hak-haknya sebagai buruh migran dapat diterima oleh pihak keluarga. Yuyun merupakan satu dari 9 buruh migrant yang tewas di tanah rantau, dalam tiga bulan terakhir ini. (adi)(Sholahudin Achmad)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Wednesday, April 11, 2007
Label: adi, Blitar, okezone, Pasca BMI Meninggal, Sholahudin Achmad., Taiwan
Jaringan Paspor Palsu Dibongkar
Pos Kota
11 April 2007
SURABAYA - Jajaran Polwiltabes Surabaya berhasil membongkar jaringan pembuat paspor palsu yang biasa digunakan para Tenaga kerja Indonesia.
Dari pengungkapan kasus ini, polisi mengamankan lima orang tersangka. Mereka kini diamankan di Mapolwiltabes Surabaya.
"Mereka kami tangkap Selasa (10/4) pul 22.00 di Jalan Asemrowo 3/10 Surabaya," ujar Kasat Reskrim Polwiltabes Surabaya AKBP Dedy Prasetya, Rabu (11/4).
Kelima tersangka itu yakni Taufik Habibie,20 warga Asemrowo 3/10 Surabaya, Ali Usman ,37 warga Simolawang Surabaya, Yayuk Purwati,32 Sukorejo Ponorogo, Iptiyah 22 warga Malang dan Samiin,26 warga Bangkalan.
Barang bukti yang berhasil diamankan berupa 200 paspor palsu dengan tujuan negara Malaysia, Thailand dan Hongkong. Selain itu polisi juga menyita materai, ijazah, akte kelahiran palsu, stempel Konsulat Jenderal Malaysia serta buku tabungan Bank Jatim palsu.(nurqomar)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, April 11, 2007
Label: calo TKI, masalah BMI, Pemalsuan, PJTKI, PosKota, Surabaya
Seorang TKW Luncurkan Buku Motivasi "Anda Luar Biasa"
ANTARA
11/04/07
Surabaya - Eni Kusuma, seorang TKW asal Banyuwangi, Jatim yang bekerja di Hongkong, menulis buku motivasi berjudul "Anda Luar Biasa" yang akan diluncurkan pada even Festival Sastra Buruh (FSB) 2007.
"Karya Eni ini memang luar biasa, karena merupakan buku motivasi pertama yang ditulis oleh seorang pembantu rumah tangga asal Indonesia di Hongkong," ujar salah seorang penanggung jawab FSB 2007, Bonari Nabonenar kepada ANTARA News di Surabaya, Rabu.
FSB yang baru pertama kali itu akan dilaksanakan di Kota Blitar, Jatim, 30 April-1 Mei mendatang. Sejumlah kegiatan dilaksanakan dalam even itu, antara lain pementasan sastra para TKW dan peluncuran buku.
Menurut Bonari, buku Eni yang diterbitkan oleh Fivestar Publishing, Tangerang itu, akan mampu menginspirasi generasi muda, para orangtua, para pejabat, dan siapa pun yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik dari keadaannya sekarang.
"Eni dengan cerdas memaparkan jalur-jalur menuju sukses, mulai dari mengenali potensi diri, memilih dan masuk ke dalam komunitas, mendapatkan `guru` dan terus berpikir dan melakukan tindakan-tindakan positif," paparnya.
Eni juga fasih bertutur tentang keutamaan puasa, yang antara lain dengan mengutip Agus Mustofa (mubaliqh yang juga sarjana nuklir). Ia juga fasih berbicara mengenai aset aktif dan aset pasif, karena tampaknya ia juga gemar membaca buku-buku Robert T. Kyosaki.
"Melalui penuturan yang sangat jernih dan cerdas, dalam rangka memotivasi pembacanya. Ia berkisah bagaimana harus merangkak dari bawah sebagai seorang anak yang terlahir di lingkungan keluarga miskin, dan pernah mendapatkan hukuman di sekolah, karena tidak mampu membeli sepatu jenis yang diwajibkan," ungkapnya.
Eni kemudian mengikis habis pikiran-pikiran negatifnya, untuk, antara lain, mengubah dirinya dari anak yang gagap menjadi gemar bercerita.
"Seharusnya buku setebal 154 halaman ini, juga dibaca oleh pejabat. Kita bangsa Indonesia harus bangga memiliki seorang warga biasa yang memiliki kualitas luar biasa. Apalagi, bulan April ini bersamaan dengan peringatan Hari Kartini," ucapnya.(*)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Wednesday, April 11, 2007
Label: Banyuwangi, budaya, Buruh migran, sastra
10 April 2007
Sering Dipukuli Majikan, TKW Loncat dari Lantai Lima
Okezone.com
10 April 2007
BANYUWANGI – Tenaga Kerja Wanita (TKW) bernama Nur Hidayah, asal Dusun Serampon Desa Segobang Kec Licin nekat melompat dari lantai 5 apartemen tempat kerjanya karena berusaha kabur dari perlakuan keluarga majikan yang kejam. Beruntung nyawanya masih bisa diselamatkan.
“Pokoknya dianiaya dan dikurung, nggak boleh keluar sama sekali,�? kata anak pasangan Airudin dan Ramlah ini kepada wartawan di Banyuwangi, Senin (9/4/2007). Wanita berusia 29 tahun yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga itu mengaku sering dimarahi dan dipukul isteri majikannya yang bernama Azizah.
“Kalau kerja saya dianggap ada yang salah ya dimarahi dan dipukul majikan perempuan," tutur wanita berparas cantik ini. Ia tidak mengetahui alamat pasti apartemen tempat bekerjanya. Yang jelas berada di ibu kota Arab Saudi, Riyadh, dan nama majikannya Abdul Aziz.
Karena merasa terkekang dan sering dianiaya, Nur berniat kabur. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan puasa tahun lalu. “Sekitar puasa dapat 10 hari," ujarnya.
Saat itu hari masih pagi dan Nur berniat kabur dengan berusaha keluar dari jendela apartemen di lantai lima. Sambil berpegangan tirai, ia berusaha merambat ke jendela di ruangan lain. Namun nahas, karena takut ketinggian, ia pingsan dan jatuh. Beruntung nyawanya bisa diselamatkan. “Karena deg-degan saya pingsan lalu jatuh,�? katanya. Setelah itu, Nur tidak ingat apa-apa lagi.
Informasi yang diperoleh dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Cabang Banyuwangi, Nur langsung dilarikan ke RS Al Imam di Riyadh dan dirawat selama 2,5 bulan. Lalu dipulangkan ke Indonesia akhir Desember 2006 dan dirawat di RS Polri Kramat Jati Jakarta Timur sekitar 4 bulan. “Sebelum tahun baru 2007, saya dibawa ke Indonesia�?.
Menurut Nur, Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang memberangkatkannya adalah PT. Amsie yang berkedudukan di Jl. Raya Condet Jakarta Timur. Sementara perantara di Banyuwangi adalah Haji Ahmad Yani, warga Desa Patoman Kec Rogojampi. “Sponsornya Haji Ahmad Yani, berangkat ke Jakarta naik bus Pahala Kencana,�? ungkapnya.
Keberangkatannya ke Arab Saudi ini merupakan yang kedua kalinya. Sebelumnya, ia berangkat pada tahun 2002 ke Jeddah melalui PT.Agrosin Jakarta dan bekerja selama 2,5 tahun. Lalu pulang dan tinggal di Indonesia selama delapan bulan dan berangkat kembali ke Riyadh pada 2005 melalui PT.Amsie.
Atas bantuan pemerintah dan jaringan serikat buruh migran, Nur kini sudah kembali ke kampung halamannya meski dalam kondisi yang menyedihkan. Hasil analisa dokter menyebutkan terdapat patah tulang punggung di delapan titik. Dokter tidak berani mengoperasi karena resiko cacat seumur hidup tetap tidak bisa dihindari. Akhirnya punggungnya cukup disangga dengan kayu.
“Tak hanya punggung, kaki dan dada saya juga sakit,�? tuturnya dengan mata berkaca-kaca. Kini Nur tidak bisa bergerak bebas dan lebih banyak berbaring. Nur adalah janda beranak satu. Anak perempuannya masih berumur 6 tahun. Beberapa tahun yang lalu, ia cerai dari suaminya.
Dibalik nasib sang TKW ini, SBMI cabang Banyuwangi melihat ada penipuan yang dilakukan Imam Wahyudi, pacar korban yang mendaftarkan Nur ke PT. Amsie. Nur sempat menyetor uang Rp1,25 juta ke Imam. Uang kiriman dari Arab Saudi yang dikirim ke Imam untuk keluarga ternyata juga ditilep.
Menurutnya, selain menuntut PT. Amsie yang dinilai tidak bertanggung jawab, SBMI juga meminta polisi mengusut kasus penggelapan uang yang dilakukan Imam.
“Kita menuntut PT. Amsie karena tidak bertanggung jawab dan melaporkan Imam dengan tuduhan menggelapkan uang kiriman Nur selama bekerja di Riyadh,�? ungkap Wakil Ketua SBMI Cabang Banyuwangi M. Khoiron. (ishomuddin/Sindo/uky)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Tuesday, April 10, 2007
Label: ancaman mati, Banyuwangi, Buruh migran, ishomuddin, Saudi Arabia, SINDO, uky
TKW Indonesia Meninggal di Taiwan, Pemerintah Diminta Bantu Pulangkan Jenazah Yuyun
Okezone
10 April 2007
JAKARTA - Keluarga Eka Yuanita (Yuyun) berharap pemerintah dapat membantu pemulangan jenazah TKW asal Blitar tersebut, yang meninggal dunia di Taipeh, Taiwan, pada 1 Maret 2007 lalu. Pasalnya, pihak perusahaan jasa tenaga kerja yang memberangkatkan Yuyun hingga saat ini, belum juga memulangkan jenazah TKW berusia 23 tahun itu.
“Padahal, kami sudah dimintai syarat-syarat untuk memulangkan jenazah Yuyun dan sudah kami penuhi. Tapi, sampai sekarang perusahaan (PT Danamon Wahana Tenaga Kerja) belum juga berhasil,�? kata Sudarmianto, juru bicara keluarga Yuyun, kepada okezone, Selasa (10/4/2007). -- Sholahudin Achmad
Sudarmianto bersama ayah Yuyun, Mudjito, dan pamannya, datang ke Jakarta meminta bantuan kepada pemerintah agar jenazah yang sudah 1 bulan lebih 9 hari itu dapat dipulangkan dari Taipeh, Taiwan, ke Blitar. Mereka meminta bantuan pendampingan pada Migrant Care, sebuah LSM yang bergerak dalam urusan tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
“Kami sudah menjadwalkan pertemuan dengan pihak Disnaker, namun pak Jumhur Hidayat (Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) masih sibuk,�? kata Anis Hidayah dari Migrant Care.
Diketahui, Yuyun berangkat ke Taiwan pada 15 September 2006, melalui PT Danamon Wahana Tenaga Kerja. Dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga untuk Hung Ruel Lin. Namun, sejak 26 Januari 2007, dia melarikan diri dari rumah majikannya.
“Saat berkomunikasi dengan saya pada pertengahan Februari 2007, Yuyun bilang dia sudah pindah kerja karena pekerjaannya di restoran berat,�? kata Sudarmianto.
Tiba-tiba, pada 2 Maret 2007 lalu, Kepolisian San Chong melaporkan kepada Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taipei bahwa seorang TKW yang bernama Eka Yuanita telah meninggal dunia pada 1 Maret 2007.
Seorang pemilik rumah yang bermarga Ting secara tidak sengaja menemukan korban tergeletak di lantai dalam kondisi sudah tidak bernyawa. Pada kaki sebelah kanan korban terlihat bekas sengatan listrik yang diduga merupakan penyebab meninggalnya korban. Saat ini, jenazah Yuyun masih berada di RS San Chong, Taipeh Taiwan. (adi)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Tuesday, April 10, 2007
Label: Pasca BMI Meninggal, Pemerintah, PJTKI, Sholahudin Achmad, Taiwan
Kematian TKW Indonesia Masih Diselidiki Polisi Taiwan
Okezone
10 April 2007
JAKARTA - Tenaga kerja wanita Indonesia Eka Yuanita (Yuyun) yang ditemukan meninggal dunia di Taipei Taiwan, belum bisa dipulangkan ke kampungnya di Blitar Jawa Timur.
Hingga saat ini, pihak kepolisian San Chong Taipei, masih belum selesai menyelidiki penyebab kematian TKW berusia 23 tahun tersebut, yang ditemukan meninggal dunia pada 1 Maret 2007 lalu. Di kaki sebelah kanan jenazah Yuyun terlihat bekas sengatan listrik. Jenazahnya saat ini masih tersimpan di RS San Chong Taipei.
“Kami sudah menanyakan ke sana, dan hingga saat ini pihak otoritas setempat (polisi) masih belum selesai melakukan penyidikan,�? kata Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat, kepada okezone, Selasa (10/4/2007).
Jumhur menambahkan, pemerintah Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Taiwan, sehingga tidak dilibatkan dalam proses penyidikan tersebut. “Tapi kami yakin Taiwan itu Negara yang beradab, hukumnya lebih maju. Karena itu mereka sangat berhati-hati dalam pemulangan jenazah Yuyun, masih diselidik, apakah kematiannya wajar atau tidak,�? tukas Jumhur.
Pemerintah Indonesia, lanjut Jumhur, memantau terus kasus ini, melalui Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia yang berada di Taipei. Pihak keluarga yang meminta agar pemerintah Indonesia membantu pemulangan jenazah diharapkan dapat bersabar. (adi)(Sholahudin Achmad)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Tuesday, April 10, 2007
Label: Blitar, okezone, Pasca BMI Meninggal, Sholahudin Achmad, Taiwan
[Eka Yuanita —Taiwan] Jenazah TKW Indonesia Terkatung-katung di Taiwan
detikcom
10 April 2007
Jakarta - Jenazah Eka Yuanita (25), TKW asal Blitar, masih berada di Taiwan. Padahal telah 1 bulan 9 hari Eka Yuanita meninggal dunia. Keluarga korban yang berusaha
memulangkan jenazah itu hanya bisa pasrah.
"Tapi keluarga mencoba untuk meminta bantuan kepada pemerintah Indonesia agar segera memulangkan jenazah korban ke Indonesia dan memenuhi hak-haknya sebagai buruh
migran," kata Direktur Migrant Care, Anis Hidayah, dalam surat elektroniknya kepada detikcom, Selasa (10/4/2007).
Menurut Anis, Eka meninggal pada 1 Maret 2007, berdasarkan laporan Kepolisian San Chong kepada Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taipei. Kala itu seorang pemilik
rumah yang bermarga Ting secara tidak sengaja menemukan korban tergeletak di lantai dalam kondisi sudah tidak bernyawa.
"Pada kaki sebelah kanan korban terlihat bekas sengatan listrik yang diduga merupakan penyebab meninggalnya korban," ujar Anis.
Eka Yuanita berasal dari RT 02 RW 01 Desa Kembangarum, Sutojayan, Blitar, Jatim. Eka berangkat ke Taiwan 15 September 2006 melalui PT Danamon Wahana Tenaga Kerja dan bekerja sebagai PRT pada Hung Ruel Lin. Pada 26 Januari 2007, Eka Yuanita melarikan diri dari rumah majikan.
Kini Mudjito (ayah korban), Imam Safrudin (paman korban), dan Sudarmianto (kekasih korban) berada di Jakarta untuk meminta bantuan pemerintah Indonesia agar segera memulangkan jenazah Eka Yuanita.
"Kami menuntut pemerintah dalam hal ini kantor dagang dan ekonomi Indonesia di Taipei segera memulangkan jenazah korban ke Indonesia dan mengusut tuntas sebab-sebab kematian korban. Kami juga meminta agar BNP2TKI memberikan hak-hak korban meliputi gaji selama 5 bulan dan asuransi," jelas Anis.
Berdasarkan data Migrant Care, selama bulan Januari - April 2007, sekitar 9 orang TKI telah meninggal dunia di luar negeri, yaitu Atik Ekowati, Rumaikah, Utari Widia Astuti, Rujiatmi, Iri, Umi Kulsum, Susanti, Musdolifah, dan yang terakhir Eka Yuanita. (ndr/nrl)
Indra Subagja
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Tuesday, April 10, 2007
Label: BMI meninggal, Buruh migran, Jember, Taiwan
05 April 2007
Martini Lumpuh Sepulang dari Hongkong
Okezone.com
05 April 2007
MEDAN - Nahas dialami Martini Martini (33), TKI asal Kampung Empat, Kecamatan Bandar, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, sepulang dari bekerja di Hongkong. Tubuhnya mengalami lumpuh, yang diduga disebabkan penganiayaan.
Martini tiba di Bandara Polonia Medan Selasa 3 April lalu, sekira pukul 20.30 WIB, dengan menumpangi Silk Air M-1238 dengan nomor penerbangan 6617978. Dia tiba di bandara dengan menggunakan kursi roda, didampingi seorang perawat dan agen dari Hong Kong.
Informasi mengenai kedatangan Martini sudah diketahui wartawan saat itu. Namun pihak keluarga tidak ingin apa yang dialami Martini ini terekspos publik.
Saat ini, Kamis (5/4/2007) Martini terbaring tak berdaya di rumah saudaranya bernama Zulkarnaen, di Jalan Mangaan VIII, Lingkungan I, Kelurahan Mabar Hilir, Medan Deli, Kota Medan.
Menurut Zulkarnaen, Martini menderita lumpuh karena terjatuh di kamar mandi tempat dia bekerja di Hong Kong. Namun hingga saat ini keluarga belum bersedia memberikan keterangan apapun. (rijan irnando/SINDO/jri)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Thursday, April 05, 2007
Label: Buruh migran, Hongkong, Kekerasan, okezone, Simalungun
Martini Lumpuh Sepulang dari Hongkong
Okezone.com
05 April 2007
MEDAN - Nahas dialami Martini Martini (33), TKI asal Kampung Empat, Kecamatan Bandar, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, sepulang dari bekerja di Hongkong. Tubuhnya mengalami lumpuh, yang diduga disebabkan penganiayaan.
Martini tiba di Bandara Polonia Medan Selasa 3 April lalu, sekira pukul 20.30 WIB, dengan menumpangi Silk Air M-1238 dengan nomor penerbangan 6617978. Dia tiba di bandara dengan menggunakan kursi roda, didampingi seorang perawat dan agen dari Hong Kong.
Informasi mengenai kedatangan Martini sudah diketahui wartawan saat itu. Namun pihak keluarga tidak ingin apa yang dialami Martini ini terekspos publik.
Saat ini, Kamis (5/4/2007) Martini terbaring tak berdaya di rumah saudaranya bernama Zulkarnaen, di Jalan Mangaan VIII, Lingkungan I, Kelurahan Mabar Hilir, Medan Deli, Kota Medan.
Menurut Zulkarnaen, Martini menderita lumpuh karena terjatuh di kamar mandi tempat dia bekerja di Hong Kong. Namun hingga saat ini keluarga belum bersedia memberikan keterangan apapun. (rijan irnando/SINDO/jri)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Thursday, April 05, 2007
Label: Buruh migran, Hongkong, Kekerasan, Simalungun
Lending a hand
TIME
Thursday, Apr. 05, 2007
By Kathleen Kingsbury
When Melecio Penafiel wanted to expand his tailoring shop in Guayaquil, Ecuador, last May, he didn't go to the bank or ask his relatives for help. His seed money arrived via the Internet. Using the website Kiva.org a Bay Area software engineer named Nathan Folkert lent Penafiel the $500 he needed to buy two new sewing machines, fabrics and thread for higher-quality suits. Folkert has never met Penafiel but says making the loan "felt like I was giving him a shot
at the American Dream."
Folkert is what's known in the philanthropic world as a "microfinancier." Pioneered by last year's Nobel Peace Prize winner Muhammad Yunus, microfinance is the making of tiny loans to
credit-poor entrepreneurs. Yunus began in 1976, with $27 loans to impoverished farmers, financed from his own pocket. Today about 10,000 microfinance institutions hold more than $7 billion in outstanding loans. As Yunus told TIME last October, "At the rate we're heading,
we'll halve total poverty by 2015."
Yet there's surprisingly little evidence that promise can be met. No long-term study has measured how often borrowers graduate to the middle class. "Is microcredit a cure for entrenched poverty?" asks Northeastern University professor Rashmi Dyal-Chand, who focuses on microfinance. "There aren't the statistics to prove that yet."
Even without such hard data, microcredit has captured the imagination of philanthropists. The Bill and Melinda Gates Foundation, with an endowment of $33 billion, has pledged as much as 25% of its total spending to its "global development" program, including microfinance. Such programs account for only a small slice of the nearly $250 billion Americans gave to charity in 2006, but they're becoming more popular, partly because microfinance has a reputation for transparency and efficiency.
"Potential donors are worried that charity will be wasted or create dependence," says Jonathan Morduch, an economics professor at New York University. But the most influential microlenders--Yunus' Grameen Bank, FINCA, Acción International--are self-sustaining and profitable. They strip away the bureaucracy common to aid programs of governments
and large foundations, and repayment rates of 97% are the norm.
Unfortunately with so much money flowing into microfinance, many donors have lost patience with investing in long-term development infrastructure. Dyal-Chand estimates that at least half of development aid has been diverted to microlending over the past two decades. "There's nothing sexy about hospitals, schools, roads, sanitation projects," she says. "But those are all the things the truly poor desperately need."
Some development experts warn that microcredit programs do little to alleviate overall poverty, even in countries like Bangladesh, where they are well established. About 45% of the country's population lives below the poverty line, down just 2 points in the past two decades. In
southeastern Bangladesh, recipients often use microlending to pay off old debts or buy consumer goods, not to generate income, according to a 2004 study by the aid group CARE Bangladesh. When it came time to pay up, the study found, borrowers were often forced to go into further debt. "If these new philanthropists did their homework first," says Thomas Dichter, an aid worker who recently examined microfinance projects in 20 countries, "they would see microcredit doesn't do much good and may even be harmful."
In Bolivia, for instance, the attractive returns in microfinance have saturated the market with new consumer-credit providers that operate without strict controls. "Screening processes are much less careful, and people can find themselves drowning in debt," says Elizabeth Littlefield, director of the World Bank's Consultative Group to Assist the Poor. Microfinance investors, however, argue that the market isn't saturated enough. More lenders would bring down the interest rates that investors often must charge to cover costs--which are sometimes as high as 60%. "Scaling up will bring lower costs for all borrowers," says Geoff Davis, CEO of the microfinance fund Unitus.
Development experts also worry that the stream of international money supporting microfinance is crowding out locally owned banks that might serve the poor. Citigroup, ABN Amro and HSBC, for example, have pumped a combined $200 million into microfinance groups that offer saving accounts, insurance and mutual funds. This influx of capital is "preventing the creation of a sustainable, savings-based financial system in poor countries," says Littlefield. Microlenders counter that the costs of starting a bank are so high that without them, the poor
would have no alternative. "To build a bank in Africa, you need $5 million to start, and then another $3 million in minimum equity capital," says Chris Crane, CEO of Opportunity International, an Illinois-based Christian microlender. Crane's network of 12 microbanks
worldwide has nearly $160 million in savings accounts and insures more than 3 million lives.
Whatever its limitations, supporters of the microcredit sector say its power to help individuals is real. "Women who come out of poverty spend extra income on health care, housing or sending their children to school," says Gowher Rizvi, a former Ford Foundation exec who gave Grameen its first grant. "That's worthwhile if it's even one family." Back in Ecuador, Penafiel was able to pay back his Kiva.org loan five months later, and had a little left over to cover his six kids' school
fees. It isn't quite the American Dream, but it's a start.
With reporting by With Reporting by Ishaan Thandoor / Hong Kong
Click to Print
Find this article at:
http://www.time.com/time/magazine/article/0,9171,1607256,00.html
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Thursday, April 05, 2007
Label: Buruh migran, In English, Re-integration, TIME
KBRI Kembali Pulangkan 52 TKI dari Malaysia
ANTARA News
05/04/07
Kuala Lumpur - Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) kembali memulangkan 52 tenaga kerja Indonesia (TKI) ke daerah asalnya, sehingga selama 2007 lebih dari 200 TKI dipulangkan dengan nilai kompensasi yang diperoleh sekitar Rp1,2 miliar dari para majikan.
"Para TKI ini jumlahnya 52 orang dipulangkan ke daerah masing-masing, ada yang ke Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat dan Jawa Timur," kata Wakil Duta Besar RI untuk Malaysia, A Mohamad Fachir, Kamis, di Kuala Lumpur.
Menurut Fachir, mereka dipulangkan karena ketidakcocokan antara TKI dan majikan, menjadi korban perdagangan manusia (trafficking), lari dari majikan, dan TKI ditinggalkan begitu saja di tengah jalan oleh majikan.
Ketidakcocokan dengan majikan meliputi majikan kurang puas dengan kemampuan TKI, majikan Malaysia tidak bayar gaji TKI, majikan Malaysia tidak memberikan waktu istirahat, TKI menolak untuk mengasuh anak karena dalam kontrak kerja tertulis merupakan sebagai pembantu rumah tangga dan lain-lainnya.
Ditambahkannya selama 2007 saja, ada lebih 200 TKI terpaksa dipulangkan dan KBRI berhasil menagih kompensasi kepada majikan sekitar Rp1,2 miliar dan sudah diberikan langsung kepada TKI.
Langkah pemulangan itu dilakukan karena kapasitas tempat penampungan TKI mencapai sekitar 70-80 orang dan kini KBRI menampung sekitar 170 TKI.
"Setiap minggu, ada 10-20 TKI masuk ke penampungan di KBRI akibat perselisihan dengan majikannya," kata Fachir.
Menurut data kantor imigrasi Malaysia tahun 2006, jumlah pekerja Indonesia menduduki rangking teratas sebanyak 1.174.013 orang, disusul Nepal 213.551, India 138.313 orang, dan Myanmar 109.219 orang. (*)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, April 05, 2007
Label: ANTARA News, deportasi, KBRI, Malaysia, masalah BMI
Malaysia Deportasi 829 TKI Bermasalah
ANTARA News
05/04/07
Batam - Kerajaan Malaysia, Kamis-Jumat pekan ini mendeportasi 829 tenaga kerja Indonesia (TKI) bermasalah melalui Tanjung Pinang setelah selesai menjalani hukuman di penjara-penjara Semenanjung Malaysia.
"Mayoritas dari mereka ilegal dan mendapatkan hukuman cambuk menggunakan rotan di Malaysia," kata Didik Trimardjono, kabid Konsuler Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Johor Bahru (KJRI-JB) usai pertemuan dengan pemerintah Kota Batam di Batam, Kamis.
Menurut Didik, sebanyak 829 TKI bermasalah tersebut berasal dari beberapa penjara di antaranya 135 TKI dari penjara Kluang.
"Sisanya dari koordinasi dengan beberapa perwakilan RI di Malaysia," katanya.
Ia mengatakan, pemulangan tersebut dibagi menjadi dua tahap, 379 orang Kamis (5/4) dan 450 orang Jumat (6/4).
"Bertahap, karena kendala transportasi dan tenaga konjen yang terbatas," katanya.
Sementara itu, Kepala Kantor Pemberdayaan Perempuan Batam Nurmadiah menyayangkan pemulangan TKI bermasalah tidak melalui Batam, melainkan Tanjung Pinang.
"Kami sudah buat MoU, Satgas juga sudah dibentuk, secara prinsip Batam siap," katanya.
Ia mengatakan, seharusnya KBRI dan KJRI memulangkan para TKI melalui Batam, karena pemerintah kota telah mempersiapkan segala kebutuhan para TKI agar tidak terlantar selama masa menunggu kapal laut ke kota masing-masing.
"Shelter ada, dan siap memberikan dukungan moral kepada para TKI bermasalah dan korban trafficking," katanya.
Data kantor imigrasi Malaysia tahun 2006 menyebutkan jumlah pekerja Indonesia menduduki rangking teratas sebanyak 1.174.013 orang, disusul Nepal 213.551, India 138.313 orang, dan Myanmar 109.219 orang.(*)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, April 05, 2007
Label: deportasi, Malaysia, masalah BMI
Belasan TKI Hamil di Penjara Malaysia
ANTARA News
05/04/07
Batam - Belasan Tenaga Kerja Indonesia yang ditahan di beberapa penjara Malaysia kedapatan sedang mengandung anak, kata Konsul Jenderal Konsulat Jendral Republik Indonesia Johor Bahru Renvyannis Gazali.
"Belasan hamil, saya juga melihat belasan bayi di sana," kata Renvyannis, di Batam, Kamis.
Namun ia tidak memastikan apakah para pekerja perempuan itu hamil di dalam penjara atau telah hamil sebelum ditahan kepolisian Malaysia.
Konjen yang baru satu bulan menjabat, mengatakan, sering mengunjungi penjara-penjara Malaysia melihat kondisi para TKI yang ditahan.
Ia mengatakan keadaan para pekerja asal Indonesia di sana memprihatinkan.
Pemulangan TKI bermasalah yang dilakukan KBRI juga ia nilai tidak layak karena pulang dalam keadaan menggunakan baju dengan nomor panduan.
"Saya merasa terhina, ini masalah martabat bangsa," katanya.
Menurut Renvyannis, para pekerja datang ke Malaysia bukan sebagai pengemis, namun dengan tekad besar mencari rezeki sehingga layak mendapatkan penghargaan.
"Kalaupun ada over stay (kelebihan masa tinggal), itu jadi perhatian kita," katanya.
Ia mengatakan, pemerintah yang memiliki tanggungjawab bagaimana perekrutan TKI sebelum mereka sampai di Malaysia, agar mereka tidak bernasib buruk. "Saya tidak ikhlas melihat mereka begitu," katanya.(*)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, April 05, 2007
Label: KBRI, Malaysia, masalah BMI
03 April 2007
Terminal Baru TKI Terkendala Akses Jalan
TEMPO Interaktif, Jakarta:
Selasa, 03 April 2007 | 20:30 WIB
Kepindahan terminal III TKI Bandara Soekarno Hatta ke Terminal IV di Selapajang, Tangerang terkendala pembebasan lahan untuk jalan.
"Bila akses jalan tak juga dibuka akan menimbulkan masalah yang lebih kompleks," kata Jumhur Hidayat, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI, Selasa (3/4).
Padahal sejak tahun 2006 di lokasi itu telah dibangun gedung untuk melakukan pelayanan terpadu menggantikan terminal III yang sudah tak memadai. Jumhur menuturkan, bila akses jalan tak juga dibuka akan menyebabkan kemacetan parah di Selapajang.
Jarak dari Terminal II untuk penerbangan internasional yang menjadi tempat kedatangan TKI menuju Terminal IV mencapai 8 kilometer. Berdasarkan pengamatan Tempo, akses jalan menuju Terminal IV memang sempit dan jauh. Terminal khusus TKI itu letaknya di luar komplek bandara.
Ninin Prima Damayanti
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, April 03, 2007
Label: Buruh migran, Terminal
[NN (laki-laki)—Malaysia] Seorang WNI Tewas di Malaysia
ANTARA News
03/04/07
Kuala Lumpur - Seorang lelaki yang diduga Warga Negara Indonesia (WNI), 32 tahun, ditemukan meninggal di Petaling Jaya, Malaysia, kemarin, dengan kondisi perutnya robek dan kemaluannya hampir putus.
Media massa di Malaysia, di antaranya Harian Metro dan Berita Harian, Selasa, memberitakan, berdasarkan keterangan polisi, laki-laki itu merupakan buruh kontruksi asal Indonesia yang tewas dengan kondisi mengenaskan di jalan Masjid, Kampung Sungai Ara, Petaling Jaya.
Masyarakat menemukan mayat yang belum diketahui namanya itu kemudian melaporkan kepada polisi. Korban meninggal diduga akibat perkelahian dengan rekan sekerja dan senegara.(*)
Copyright © 2007 ANTARA
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Tuesday, April 03, 2007
Label: ANTARA News, BMI meninggal, Malaysia, TKI Mati di Malaysia
1500 Pedagang Mendatangi DPRD Bandar Lampung
Tempo Interaktif
Selasa, 03 April 2007
Sekitar 1500 pedagang kaki lima yang tergabung dalam Aliansi Pedagang Kaki Lima mendatangi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandar Lampung, Selasa (3/4). Mereka memprotes rencana Pemerintah Kota Bandar Lampung yang akan melakukan penggusuran pada 15 April mendatang.
"Pedagang tidak pernah dilibatkan dalam setiap pembicaraan rencana relokasi dan penertiban," kata Agus Franata Siregar, Ketua Pedagang Kaki Lima Tanjungkarang.
Aksi dimulai dari Pasar Bambu Kuning, Bandar Lampung, dengan berjalan kaki menuju kantor DPRD Bandar Lampung. Perwakilan pedagang selanjutnya diterima beberapa anggota dewan.
Sementara Pemerintah Kota melalui Asisten III, Syahirul Alam, berjanji merespon tuntutan pedagang dengan memanggil Kepala Dinas Pasar Bandar Lampung tentang rencana tersebut. "Yang paling mengetahui persoalan ini Pak Walikota dan Kepala Dinas Pasar," kata Syahirul.
Nurrochman
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, April 03, 2007
01 April 2007
Singaporean neighbours were not feeding their maid ..
The Straits Times
April 1, 2007
THE other day over lunch, my friend described how her Singaporean neighbours were not feeding their maid. The maidwas literally begging for food, so my friend began feeding her through the back gate. Unfortunately, the neighbour found out and has forbidden the to go anywhere outside or talk to anyone. We discussed what we could do to help the poor woman but found that our choices were limited if we did not want to risk getting her deported.
Two days later, I discovered that the same thing was happening in the apartment next to mine. The Singaporean neighbours had gone through three maids in six months, all of whom were denied food, not allowed a single day off, and had their passports kept from them. When the maids finally quit, the employers refused to "release" them for employment elsewhere, so they were forced to return home. The current maid is also begging for food through the back window. She has lost weight and looks pale. She does not have a single day off and is forced to work from 5am until after midnight. She lives in fear that her employer will find out that we are giving her food, as the employer had threatened to beat her if she communicates with anyone. I called the Ministry of Manpower, which offered me no solution that would protect her from deportation.
It is astonishing that this could occur in such a wealthy and educated country. Singaporeans should be outraged at this behaviour and also concerned about the stereotypes that have emerged. In my heart I know that Singaporeans do not all behave like this. But why are they not standing up against this immoral treatment and demanding that their Government take action – such as setting up a special division to deal with these complaints and protect the maids involved? Clearly not enough is being done.
Laura Thornton-Olivry (Ms)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Sunday, April 01, 2007
Label: Buruh migran, In English, Singapore, Straits Times