15/11/2008 20:48 wib - Nasional Aktual Kuala Lumpur, CyberNews. Pengadilan Kuala Lumpur menjatuhkan hukuman mati kepada dua warga Indonesia yakni Mohd. Idris (32) dan Jainuddin (32) karena terbukti mengedarkan ganja 5,7 Kg enam tahun lalu. Hakim Zainal Azman Ab Aziz memutuskan hukuman mati kepada dua warga Indonesia karena jaksa penuntut umum berhasil membuktikan bahwa kedua orang itu merupakan pengedar ganja, demikian media massa di Malaysia, Sabtu. Kedua warga Indonesia mengaku tidak bersalah. Mereka hanya menjalankan perintah untuk membawa tas oleh "Tengku Yan", ke Taman City, tanpa mengetahui isi tasnya ternyata berisi ganja. Mereka juga tidak berhasil mendatangkan Tengku Yan itu sehingga dinilai sosok tersebut rekaan saja. Mereka ditangkap ketika mencoba menjual ganja di warung Yonming, Jalan Kepayang, Taman City, pada 10 September 2002, jam 7 malam. (Ant /CN05) |
28 November 2008
Dua WNI Dihukum Mati di Malaysia
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Friday, November 28, 2008
Wawancara dengan Erman Soeparno: Demo Bukan Solusi Krisis
Koran Tempo, 26 Nov 2008
Laksana menyulut rumput kering, terbitnya peraturan bersama menteri tenaga kerja dan transmigrasi, menteri dalam negeri, menteri perindustrian, dan menteri perdagangan yang, antara lain, mengatur upah minimum telah memicu gelombang demonstrasi buruh.
Para demonstran menilai peraturan bersama tersebut mengabaikan nasib buruh, terutama pasal 3, yang mengatur upah minimum diupayakan tidak melebihi pertumbuhan ekonomi nasional. Tahun depan pertumbuhan ekonomi diperkirakan 6 persen.
Dari Senayan, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono turut mendesak supaya keputusan yang diteken pada 22 Oktober 2008 itu dicabut saja.
Agar duduk perkaranya menjadi semakin terang-benderang, wartawan Tempo Nieke Indrietta, Efri Ritonga, dan Sudrajat menemui Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Soeparno di ruang kerjanya kemarin. Berikut ini petikan wawancaranya.
Apa alasan pemerintah mengeluarkan peraturan empat menteri?
Sebenarnya surat itu dikeluarkan karena kondisi darurat, tidak normal. Kalau keadaan normal, untuk apa kami terbitkan. Peraturan ini khusus dibuat bagi perusahaan yang kena dampak krisis global. Jadi tidak boleh dipukul rata.
Kami berpikir bagaimana perusahaan yang terkena pengaruh krisis bisa selamat, sehingga tidak perlu ada pemutusan hubungan kerja. Solusinya, pengusaha dan pekerja mesti berunding secara kekeluargaan dalam penentuan upah. Yang penting perusahaan tetap jalan.
Tapi, akibatnya, buruh berdemonstrasi menentang keputusan itu?
Sebetulnya tidak perlu demonstrasi. Memang demonstrasi tidak dilarang, tapi solusi krisis bukan demonstrasi. Sebaiknya semua pemangku kepentingan berembuk karena surat keputusan ini juga untuk menyelamatkan kepentingan nasional.
Bagaimana menjelaskan pasal-pasal "bermasalah" itu?
Saya sudah bicara dengan serikat pekerja dan pengusaha. Surat itu tidak melarang kenaikan upah minimum sesuai dengan kemampuan tiap-tiap perusahaan. Kalau memang bisa menaikkan, silakan menaikkan.
Memang ada di pasal 3 yang berbunyi gubernur dalam menetapkan upah minimum mengupayakan agar tidak melebihi pertumbuhan ekonomi nasional. Mengupayakan artinya tidak mengharuskan semua. Sekali lagi, pasal itu hanya untuk perusahaan terkena krisis, mencari solusi.
Dewan Perwakilan Rakyat meminta peraturan itu dibatalkan?
Saya sudah bicara dengan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono tadi malam. Dua jam saya jelaskan kepada beliau bahwa keputusan bersama ini adalah jaring pengaman untuk menjamin kelangsungan bekerja dan usaha.
Pada dasarnya peraturan itu tidak melarang terjadinya kenaikan upah. Kami (keempat menteri) merancang peraturan ini sebagai antisipasi, mencegah terjadi pemecatan karena krisis ekonomi. Jangan sampai sudah terjadi, baru menyiapkan.
Ada upaya menciptakan lapangan kerja baru secara cepat di tengah krisis?
Kami memang mencoba menciptakan lapangan kerja baru. Diprioritaskan untuk program-program padat karya, seperti infrastruktur pedesaan. Ada juga bantuan modal bergulir, program nasional pemberdayaan masyarakat, serta bantuan langsung tunai.
Departemen Tenaga Kerja mendapat pagu anggaran Rp 1,2 triliun pada 2009. Tahun ini, dengan dana kurang-lebih sama, dapat diserap tenaga kerja sebanyak 2,2 juta orang. Tahun depan, diperkirakan jumlah yang dapat diserap sama, kalau APBN stabil.
Kalau di luar negeri, apa ada pengurangan tenaga kerja Indonesia?
Saya sudah ke Malaysia, bertemu dengan Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia. Disepakati sektor-sektor yang tidak kena dampak langsung, karena juga didorong kebutuhan, tetap dipertahankan, terutama perkebunan dan industri minyak sawit.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Friday, November 28, 2008
Label: Bantuan, buruh, Erman Suparno, Kebijakan, Pemerintah
27 November 2008
Apjati Usulkan 18 Juli sebagai Hari Nasional TKI
27/11/08
Jakarta (ANTARA News) - Asosiasi Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati) mengusulkan tanggal 18 Juli sebagai Hari Nasional Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasa para TKI menyumbangkan devisa bagi negara.
Disela-sela acara silaturahmi Apjati dengan sekitar 20 ribu TKI dari Jabotabek di Jakarta, Kamis, Ketua Umum Apjati Komjen (Purn) Nurfaizi menyatakan bahwa usulan Hari TKI itu sudah disepakati seluruh anggota Apjati dan selanjutnya segera disampaikan kepada pemerintah untuk mendapat persetujuan.
Tanggal 18 Juli 1987 merupakan hari keluarnya surat ijin usaha penempatan TKI pertama dari Depnaker.
Karenanya sebagai bentuk apresiasi terhadap jasa-jasa para TKI yang telah menyumbangkan devisa dalam jumlah besar itu, tanggal 18 Juli layak diperingati sebagai Hari TKI.
Dalam acara silaturahmi yang dikaitkan dengan peringatan Hari Pahlawan 10 November itu, mantan Kapolda DKI Jakarta itu menyatakan bahwa keberadaan TKI yang tersebar di mancanegara itu telah berjasa pula memberikan nilai tambah yang signifikan tidak saja untuk keluarga mereka sendiri, tetapi juga masyarakat dan bangsa Indonesia.
Menurut Nurfaizi, dengan diterimanya jutaan TKI untuk bekerja di masyarakat internasional, hal itu sesungguhnya merupakan kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia.
"Ini bukti bahwa para TKI adalah insan-insan profesional Indonesia yang berkualitas Internasional. Mereka pejuang devisa dan duta-duta bangsa yang tersebar di berbagai pelosok belahan dunia," katanya.
Sebagai bentuk apresiasi atas jasa para pahlawan devisa itu, Apjati merasa perlu mengucapkan terima kasih dan hormat kepada seluruh TKI, baik yang berada di dalam maupun di luar negeri.
Acara silaturahmi Apjati bersama ribuan TKI dari kawasan Jabotabek itu dimeriahkan oleh puluhan artis ibukota dan pembacaan ikrar oleh dua orang perwakilan TKI.
"Kami sengaja ingin menghibur para pahlawan devisa ini sebelum mereka berangkat bekerja ke luar negeri," ujar Nurfaizi.(*)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, November 27, 2008
ME, Asia fail to halt maid abuse
Reuter/DAWN
BEIRUT, Nov 25: Migrant and domestic workers still face beatings, rape and sometimes even murder because laws in Middle Eastern and Asian nations do not protect them from abusive employers, a US-based rights group said.
Millions of women from countries such as Sri Lanka, the Philippines, Indonesia and Nepal are housemaids in Saudi Arabia, Kuwait, Lebanon, Singapore and Malaysia — many of which exclude domestic workers from protection under their labour laws.
“There are countless cases of employers threatening, humiliating, beating, raping and sometimes killing domestic workers,” said Nisha Varia, deputy director of the women’s rights division of Human Rights Watch from New York.
The report, published this week to coincide with Tuesday’s International Day for the Elimination of Violence against Women, said, “Most (Middle Eastern and Asian) countries exclude domestic workers from protection under their labour laws.”
Human Rights Watch said few domestic workers can utilise the justice system in the countries they work in and even those who manage to successfully complain rarely receive compensation.
One reason why housemaids’ are at increased risk of abuse is because employers often control a worker’s immigration status and ability to change jobs.
“Many employers exploit this power to confine domestic workers to the house, without pay, and commit other abuses,” HRW said in a statement.
“Governments need to punish abusive employers through the justice system, and prevent violence by reforming labour and immigration policies that leave these workers at their employers’ mercy.”
HRW also said governments should train law enforcement officials on how to appropriately investigate and collect evidence in response to housemaids’ complaints. “2008 marked a year of missed opportunities,” Varia said.—Reuters
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, November 27, 2008
Label: Buruh migran, DAWN.com, HRW, In English, Kekerasan, LSM, pemerkosaan, Reuters
Int’l labor group warns of wage cuts for migrant workers in 2009
KIMBERLY JANE T. TAN, GMANews.TV
11/26/2008
MANILA, Philippines - The threat of the global economic crisis might just come true as wage cuts await the millions of migrant workers worldwide, a recent report conducted by the International Labor Organization (ILO) said on Tuesday.
Referring to the report titled Global Wage Report 2008-2009, ILO Director General Juan Somavia said in a statement on Tuesday that difficult times lie ahead for the world’s 1.5 billion wage earners.
“Slow or negative economic growth, combined with highly volatile food and energy prices, will erode the real wages of many workers, particularly the low-wage and poorer households. The middle classes will also be seriously affected," he said.
Economists have warned the Philippines to brace itself for the effect of a worsening crisis considering that the economy is highly dependent on the remittances of more than eight million overseas Filipinos.
Government data show that in 2007 alone, overseas Filipinos remitted a total of $14.4 billion to the economy. Of the amount, $8.2 billion were remitted from the Americas, largely from the United States, which has been hit by recession.
Various migrant groups have also asked the Philippine government to prepare for the impending lay off of tens of thousands of Filipino workers as other foreign economies, notably the United Kingdom and Taiwan, are already reeling from the impact of the global crisis.
Based on figures obtained by the International Monetary Fund, the ILO said it forecasts a global growth in real wages at best reach 1.1 percent in 2009, compared to 1.7 percent in 2008.
However, it also said that wages are expected to decline in a large number of countries, including the major economies. It said that even wage growth in industrialized countries is expected to fall from 0.8 percent in 2008 to -0.5 percent in 2009.
The ILO report showed that this prediction is part of the global economic pattern that always fails to advance the wage of workers.
According to the report, each additional one percent in the annual growth of Gross Domestic Product per capita led to an average of only a 0.75 percent increase in the annual growth of wages between 1995 and 2007.
Moreover, it said that there was an “unsustainable growth in wage inequality."
Since 1995, ILO reported that the inequality between the highest and lowest wages has increased in more than two-thirds of the countries surveyed.
Among developed countries, Germany, Poland, and the United States are amongst the countries where the gap between top and bottom wages has increased most rapidly while inequality has also increased harshly in Argentina, China, and Thailand.
“If this pattern were to be followed in the rapidly spreading global downturn it would deepen the recession and delay the recovery", said Somavia.
However, some countries have succeeded in reducing wage inequality, particularly in France and Spain, as well as Brazil and Indonesia, though the last two countries still maintain a high level of inequality.
In addition, the report said that even the pay gap between genders is high.
“Although about 80 percent of the countries for which data are available have seen an increase in the ratio of female to male average wages, the size of change is small and in some cases negligible," said the ILO.
Having found out the information mentioned, the labor group encouraged governments to “display a strong commitment towards protecting the purchasing power of wage earners."
ILO said that minimum wages should “effectively protect the most vulnerable workers" and that it together with wage bargaining should be “complemented by public intervention through income support measures".
“Effective minimum wages – by providing a wage floor – can reduce wage inequality in the bottom half of the wage distribution, limit low pay, and reduce the gender pay gap," it said.
The ILO study also said that there has been a “reactivation" of minimum wages around the world in the past years in order to reduce social tensions because of obvious inequalities.
In 2001 to 2007, minimum wages have risen by an average of 5.7 percent yearly around the world. - GMANews.TV
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, November 27, 2008
Label: Filipina, GMA News Services, masalah gaji/upah
Malaysian woman jailed for abusing Indonesia maid
The Associated Press/IHT, November 27, 2008
KUALA LUMPUR, Malaysia: A Malaysian court sentenced a former flight attendant to 18 years in prison Thursday for scalding her Indonesian housemaid with hot water and an iron in one of the country's worst cases of domestic worker abuse.
Sessions Court Judge Akhtar Tahir found Yim Pek Ha guilty of using dangerous weapons to inflict injury on Nirmala Bonat at her Kuala Lumpur condominium on three separate occasions in early 2004.
Akhtar ordered Yim to start serving the sentence immediately.
Bonat said she was beaten and burned for mistakes she made during her five months in Yim's home. She said that on one occasion her employer took a hot iron and pressed it against her breasts after complaining that clothes had not been properly ironed.
The case sparked national outrage that focused attention on the plight of Indonesian migrant domestic workers after Malaysian newspapers published photographs in 2004 of a then 19-year-old Bonat showing burns and bruises over much of her body.
Akhtar rejected claims by defense lawyers that the injuries were self-inflicted and said he wanted to impose a "deterrent sentence" to show that "sadistic behavior ... cannot be tolerated in a civil society."
Yim, 40, was charged on three counts of causing injury to Bonat. She had faced prison sentences of up to 20 years on each count.
Yim sobbed uncontrollably and hugged her family after the judge read his verdict.
Yim's lawyer, Jagjit Singh, said they would appeal the verdict. He called the sentence "excessive" because there was "no loss of life, no disfigurement, no scars" in the case.
Bonat did not attend the hearing because she had returned to her hometown in Indonesia's East Nusa Tenggara province.
Shanti Utami Retnaningsih, an Indonesian Embassy official, said the verdict should send a "very strong message to other employers not to abuse their maids."
Indonesian officials and human rights groups have urged Malaysia's government to strengthen laws to protect some 300,000 Indonesian domestic workers.
Indonesian diplomats say at least 1,500 maids seek help at their offices across Malaysia each year. Most complain of unpaid wages, but some also claim they were physically abused.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, November 27, 2008
Label: AP, Buruh migran, hukum, IHT, In English, Kekerasan, majikan, Malaysia, masalah BMI, pengadilan, PRT
Endang Susilowati: Fighting for migrant workers' rights
Nov 27, 2008
Panca Nugraha, The Jakarta Post, Mataram
The past two decades have seen many residents from West Nusa Tenggara travel overseas to work, with the government offering little protection.
Poor treatment experienced by migrant workers has become a regular occurrence. Many have been cheated by middlemen during the recruitment process, trapped by debt and deported as illegal workers from countries they were legally working in.
Others have been tortured by their employers, sexually abused and even traded among employers.
"These are some of the facts about the suffering of some of our migrant workers abroad. It's so sad," said Endang Susilowati, 42, the director of Panca Karsa Organization.
"They are praised and portrayed as foreign exchange heroes, but the suffering they experience remains in the dark. There is little protection from the government."
The Panca Karsa Organization, which focuses on the protection of migrant workers, was established in the 1980s.
Every year, the organization records at least 500 cases of migrant worker mistreatment, mostly involving women.
The cases vary. They include being cheated by middlemen, not being paid by employers, suffering torture and sexual abuse at the hands of employers, not receiving insurance in the case of an accident sustained through work and not being given the permission to contact their families back home. There have also been human trafficking allegations.
Having fought for the protection of migrant workers for two decades, Endang is known to almost every migrant worker from Lombok and Sumbawa.
Every year, West Nusa Tenggara sends an average of 45,000 workers abroad with 80 percent going to Malaysia to work on palm plantations. The others are sent to Saudi Arabia and other Middle Eastern countries like Jordan, Iran, Iraq and Kuwait, and to a few Asian countries like Singapore and Japan.
Migrant workers from the region contribute significantly to national and regional foreign exchange. On average, their yearly remittance to the province reaches some Rp 500 billion (US$40 million) or half of the province's budget of around Rp 1 trillion.
In 1986, Endang, who had just completed her law degree at the University of Mataram, worked in the field for the Mataram chapter of the Indonesian Red Cross after a big quake rocked Lombok.
She was involved in a resettlement program for earthquake victims, which was carried out in cooperation with HIVOS, a Netherlands-based donor organization, and the West Nusa Tenggara regional development planning board, as well as a number of other NGOs.
Fed up with the existing organizations and decision makers in the region failing to pay enough attention to women's issues, Endang and four female friends established the Panca Karsa Foundation in 1988.
The foundation's initial program focused on empowering farmers and the families of fishermen through vocational training for the women and access to loans to start businesses.
"After intensive contact with the families of poor farmers and fishermen, we discovered that many women were forced to work overseas to help financially support their families," she said. "And numbers were increasing over the years."
With an increase in the number of women becoming migrant workers, and as the problems they faced became more and more complex, Endang and her foundation colleagues decided to change their focus to migrant worker issues.
They began by providing assistance for migrant workers from Lombok.
In 1996, the foundation turned into an organization that provided counseling, information, advocacy and training for women before they left to work abroad.
The staff conducted their activities directly in the workers' hamlets in West Lombok, Central Lombok and East Lombok.
"We learned of various kinds of problems and began to provide assistance and advocacy," she said. "Each case has its own characteristics. A personal approach is what is needed most."
The organization, which belongs to the Consortium of Indonesian Migrant Worker Defenders network, documented the cases they found and published them through the mass media.
The organization assisted victims and fought for their rights by confronting problems with the manpower agency and the manpower supplier, demanding they pay attention to the issues.
Endang and her staff not only investigated cases and revealed the more prominent ones to the public, they also initiated public meetings with various institutions, including the local administrations, to uncover the facts and find the solutions.
The organization, together with other parties concerned for migrant workers in the province, is fighting for the endorsement of a new bylaw on the protection of migrant workers, which has been drafted by the West Nusa Tenggara provincial administration. It is now being deliberated at the local council.
In the spirit of regional autonomy, Endang said, local authorities could implement the regulations on the protection of migrant workers in the regions they come from.
The bylaw could stipulate the migrant workers' recruitment system, from the standard tariff for administration and transportation fee charged by Manpower Suppliers, to the working contracts with the employers covering salary levels and insurance, guidance and skills training for those leaving to work abroad.
"I really wish that one day there will be a one-stop system that can help migrant workers, from the passport and visa application, to the management of their earnings upon returning home," she said.
"Until now, it has been like a continuous cycle. After their working contract ends migrants workers return home with their salaries, pay their debts and spend the rest. Once their money is gone, they go abroad again to work," Endang said.
"If they were more empowered, they could make best of the revenue as capital to start their own businesses so they wouldn't have to work overseas again."
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, November 27, 2008
Label: Buruh migran, LSM, NTB, The Jakarta Post
24 November 2008
Kelabui Aparat, Dua Tekong TKI Diamankan
Batam Pos,Jumat, 21 November 2008
TANJUNGPINANG (BP) — Jajaran Polsek KP3 Tanjungpinang berhasil mengamankan dua tekong Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang hendak mengirimkan TKI ke Malaysia melalui Pelabuhan Internasional Tanjungpinang menggunakan paspor pelancong. Dua tekong TKI itu, yakni, Krishnan alias Pichai, seorang pria berkewarganegaraan Malaysia dan Mun.
Menurut Kapolresta Tanjungpinang, AKBP Yusri Yunus melalui Kapolsek KP3 Tanjunpinang, AKP Aris Rusdiyanto Kamis (20/11) mengatakan, satu di antara mereka, yakni Pichi sempat mencoba mengelabui aparat dan petugas kepolisian saat berada di pelabuhan Internasional Tanjungpinang.
Dijelaskan Aris, Kamis (13/11) lalu, sekitar pukul 12.30 WIB Aloy, pria asal Pontianak, Kalimantan mengaku akan berangkat ke Malaysia dengan tujuan menemui saudaranya di Malaysia. Namun setelah pihak kepolisian beserta instansi terkait lainnya di pelabuhan melakukan interogasi lebih dalam, Aloy akhirnya mengaku dirinya akan ke Malaysia dengan tujuan sebagai TKI yang dijanjikan akan bekerja di perkebunan sawit oleh Pichai.
Sedangkan saat itu, Pichai sendiri telah berada di barisan depan bersama istrinya yang bernama Yunita. ”Karena tidak dilengkapi dokumen yang lengkap sebagai TKI, Aloy dan Pichai kami amankan,” kata Aris di ruangannya.
Selain mengamankan tersangka, polisi juga berhasil mengamankan barang bukti, di antaranya tiga paspor keluaran imigrasi Tanjungpinang atas nama Kamal Suryant, paspor imigrasi Tanjunguban atas nama Yunita. (cr10)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Monday, November 24, 2008
Label: Batam Pos, calo TKI, penangkapan, Polisi, Tanjung Pinang
Satu Menit Langsung Sampai
Batam Pos, Jumat, 21 November 2008
Pengiriman Uang di Western Union
WARGA Batam dan Kepulauan Riau yang akan mengirimkan uang ke luar negeri bisa menggunakan jasa cepat pengiriman uang. Melalui Western Union di Kantor Pos, Batam Centre, salah satunya.
”Pakai Western Union, dalam tempo satu menit, kiriman uang langsung sampai,” ujar M Syarkawi Marketing Manager PT Pos Indonesia Batam kepada Batam Pos, Selasa (18/11).
Syarkawi mengatakan Western Union merupakan cara cepat untuk mengirim dan menerima uang di seluruh dunia. Di kantor Pos sendiri, Western Union sebenarnya sudah ada cukup lama. ”Sejak 1999, tapi saat itu belum terlalu banyak warga Batam yang memanfaatkan Western Union untuk kirim uang ke luar negeri ataupun sebaliknya,” katanya.
Seiring berjalannya waktu, kini pengguna Western Union semakin banyak. Di 2008 saja, setiap bulannya rata-rata mencapai 2.500 transaksi. Jumlah transaksi ini jauh lebih besar dibanding tahun lalu yang cuma ratusan transaksi per bulannya. ”Untuk mengirim uang ke luar negeri, warga Batam biasanya mengirim uang untuk anaknya yang kuliah di luar negeri. Tapi ada juga mereka yang untuk bisnis travel,” ujarnya.
Western Union juga banyak dimanfaatkan TKI di luar negeri untuk mengirimkan uang kepada keluarganya yang ada di Batam. ”Setiap bulannya ada 1.800 transaksi kiriman uang dari luar negeri, nilainya sekitar Rp14 miliar. Sebagian besar kiriman uang didominasi dari Singapura. Sisanya kiriman uang dari Amerika, Korea, Dubai, dan lainnya,” ujar Syarkawi.
Tingginya animo warga Batam ataupun TKI mengirimkan uang melalui Western Union disebabkan karena selain Western Union prosesnya cepat, juga tidak rumit. ”Pencairannya juga tidak ribet. Si penerima tinggal menyerahkan kode MTCN (Money Transper Control Number) dan identitas pada petugas Western Union saat akan mengambil uang,” ujarnya.
Syarkawi juga menjamin kalau Kode MTCN terjaga kerahasiaannya, hanya si pengirim dan si penerima uang yang tahu. Kelebihan Western Union lainnya adalah biaya pengiriman yang relatif murah. Untuk pengiriman uang sampai Rp750 ribu biaya pengirimannya Rp112 ribu dan untuk pengiriman uang Rp750 ribu sammpai Rp1,5 juta biayanya Rp165 ribu. Sedangkan, pengiriman Rp71.250.000 sampai Rp75 juta, biaya pengirimannya Rp3,1 juta. (ann)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Monday, November 24, 2008
Label: Batam Pos, keuangan, remittance
Lagi, 300 TKI Dipulangkan
Batam Pos, Sabtu, 22 November 2008
TANJUNGPINANG (BP) — Deportasi TKI yang dipulangkan dari Situlang Laut Malaysia melalui pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjungpinang dari hari ke hari tak kunjung usai. Jumat (21/11), dipulangkan 300 TKI melalui pelabuhan ini.
Kepala Hanggar Lintas Batas Imigrasi Pelabuhan Internasional Sri Bintan Pura Tanjungpinang, Ispaisah mengatakan, sejak Januari hingga 21 November 2008 sudah 31.169 TKI yang dideportasi melalui pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjungpinang. Di antaranya terdiri dari 22.347 laki-laki, 8.404 perempuan dan 415 anak-anak.
”Jumlah TKI yang dipulangkan kali ini relatif banyak,” kata Ispaisah kepada Batam Pos, Jumat (21/11).
Menurut Ispaisah, berdasarkan data, angka deportasi tertinggi terjadi pada Agustus dan September. Tingginya angka pemulangan TKI melalui Tajungpinang ini dibandingan kota-kota lainnya, karena lokasi Tanjungpinang yang terletak di daerah perbatasan negara Malaysia dan Singapura.
Adapun penyebab banyak WNI yang dideportasi itu, dikarenakan mereka yang bekerja di luar negeri tidaklah melengkapi syarat resmi sebagai pekerja. ”Mayoritas mereka menggunakan paspor pelancong,” tambahnya.
Dia juga menambahkan, belum mendapatkan laporan apakah masih banyak lagi WNI yang dipulangkan akhir tahun 2008 dan tahun 2009 mendatang atau tidak. ”Tugas kami hanya menerima kedatangan mereka,” ucapnya (cr10)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Monday, November 24, 2008
Label: Batam Pos, deportasi, illegal, Malaysia, Tanjung Pinang
Malaysia Makin Gencar Usir TKI; Sepekan Ini Sudah Empat Kali
Batampos, Minggu, 23 November 2008
Pemerintah Malaysia mengusir 151 orang TKI ilegal kembali ke Indonesia melalui Pelabuhan Sri Bintanpura Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepri, Sabtu (22/11) sore.
Kasubsi Lintas Batas Keimigrasian Kota Tanjungpinang Ispaisah menguraikan, TKI bermasalah tersebut terdiri dari 123 orang pria, 27 wanita dan seorang anak. ”Mereka diusir dari Pelabuhan Pasir Gudang, Malaysia, menuju Pelabuhan Sri Bintanpura, Tanjungpinang,” kata Ispaisah.
Jumat malam (21/11) Malaysia mengusir 152 orang TKI ilegal lainnya ke Indonesia melalui pelabuhan itu, terdiri dari 139 pria, 11 orang wanita dan dua orang anak, sedangkan Kamis malam (20/11) TKI yang diusir ada 146 orang yang terdiri dari 101 pria, 44 perempuan dan seorang anak.
”Mereka diusir karena tidak memiliki dokumen yang lengkap sebagai pekerja di Malaysia,” kata dia.
Setiap pekan Pemerintah Malaysia memulangkan TKI ilegal ke Indonesia melalui Pelabuhan Sri Bintan Pura sehingga dalam sepekan, pemulangan TKI ilegal bisa sampai empat kali.
TKI yang diusir Pemerintah Malaysia kemudian diinapkan sementara di penampungan Satgas TKI bermasalah di Tanjungpinang untuk kemudian dipulangkan ke kampung halaman mereka dengan menggunakan anggaran dari pemerintah pusat. ”Mereka dipulangkan ke kampungnya dengan menggunakan kapal,” kata Ispaisah.
Tetap Pulangkan Pemegang Tsunami Card
Sementara itu, pemerintah Indonesia sendiri terus berupaya untuk melobby pemerintah Malaysia agar melakukan pendekatan-pendekatan kemanusiaan dalam proses pemulangan tersebut.
Jubir Deplu Teuku Faizasyah menjelaskan bahwa prinsipnya pemerintah Malaysia tetap akan memulangkan para pengungsi bencana tsunami dari Aceh yang saat ini berada di Malaysia.
”Para pemegang tsunami card tetap akan dipulangkan. Indikasi awalnya mereka akan dipulangkan selambat-lambatnya pada Januari 2009,” ujarnya di Jakarta, kemarin.
Namun demikian, hingga saat ini memang belum ada pernyataan resmi dari Pemerintah Malaysia. ”Saat ini, upaya-upaya konsultasi dengan pihak Malaysia terus dilakukan, untuk melihat adanya fleksibilitas kembali pada waktunya nanti” ujar Kepala Biro Administrasi Menteri Luar Negeri tersebut.
Jubir Deplu juga menyatakan perwakilan RI di Malaysia juga akan terus melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah khususnya jika ada pemulangan dalam jumlah cukup besar untuk meyakinkan proses pemulangan tersebut tidak menimbulkan masalah. (ant/iw/jpnn)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Monday, November 24, 2008
Label: Batam Pos, deportasi, illegal, Malaysia, Tanjung Pinang
TKI Surahun, 41, asal Ponorogo, Meninggal Setelah Dideportasi dari Malaysia
Telah meninggal dunia seorang TKI deportasi dari Malaysia yang bernama Surahun asal Ponorogo Jawa Timur, pada hari Kamis, 20 November 2008 jam 15.20 WIB di Rumah Sakit Umum Daerah Koja, Jakarta Utara. Jenazah telah dimakamkan pada hari Jumat di TPU Budi Dharma Cilincing. Demikian dikabarkan oleh kelompok kerja "Peduli Buruh Migran".
Lily Pujiati dari kelompok kerja ini mengabarkan bahwa almarhum Surahun, 41 tahun, tiba di Pelabuahan Tanjung Priok Selasa 18 November 2008 bersama dengan sekitar 500 TKI. Karena kondisi luka dalam yang sangat parah maka oleh Kesehatan Pelabuhan langsung dirujuk ke RSUD Koja, Jakarta Utara. Setelah menjalani perawatan tiga hari Surahun meninggal dunia.
Sampai saat ini belum bisa ditemukan keluarga maupun alamat lengkapnya, karena almarhum Surahun tidak mempunyai identitas dan dalam kondisi koma, sehingga sulit berkomunikasi.
Mohon bantuan dari semua pihak yang merasa mengenal atau mengetahui nama almarhum Surahun TKI asal Ponorogo agar dapat menghubungi kami.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, November 24, 2008
Label: BMI meninggal, deportasi, illegal, Malaysia, Peduli Buruh Migran, TKI Mati di Malaysia
22 November 2008
AIDS kills 17 in Kediri
The Jakarta Post , Jakarta | Sat, 11/22/2008
The Kediri Disease Control and Environmental Health Agency (P2PL) disclosed Saturday that 17 HIV-positive and AIDS patients have died in the last decade.
Kediri P2PL chief Nur Munawaroh said the Central Java regency has had 90 reported HIV/AIDS cases between 1999 and 2008.
"HIV/AIDS patients in Kediri are dominated by migrant workers, sex workers, as well as intravenous drug users," Munawaroh told Kompas.com.
"Other high risk groups in the area include gays, drivers, housewives and toddlers," she said.
Within the last year, Munawaroh said, two housewives were reportedly infected by HIV, one of which had died after succumbing to the illness.
Despite the presence of several health clinics for those at high risk, Munawaroh argued that the agency has faced challenges in publicizing the dangers of HIV/AIDS with some high risk groups.
"The gay community here is an example. They tend to keep to themselves so it's hard for us to reach out and provide them with necessary knowledge and information," she said.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Saturday, November 22, 2008
Label: HIV/AIDS, Kediri, kesehatan, korban, masalah BMI
TWO DOWN
Panca Nugraha , The Jakarta Post , Mataram | Sat, 11/22/2008
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Saturday, November 22, 2008
Label: korban, NTB, TKI bangunan, TKI Mati di Malaysia
Appeal Court Enhances Jail Term From 16 To 32 Years For Chicken Seller Who Rape His Maid
Bernama, November 19, 2008
PUTRAJAYA, Nov 19 (Bernama) -- The Court of Appeal here today gave a stern warning to employers in the country not to abuse their maids, or face serious punishment by the law, like the chicken rice seller who had his sentence enhanced to 32 years jail and 18 strokes of the rotan for raping his Indonesian maid.
Seow Eng Aik's wife, Tan Seok Hoon, who abetted his husband by holding the maid's hands while her husband raped her and stuffed chilli and carrot into the maid's private part, was jailed for 6 years.
"Any potential employer who wishes to act the way you have acted will meet the same fate," said Justice Datuk Suriyadi Halim Omar who sat with Appeal Court judges Datuk Wan Adnan Muhamad and Datuk Ahmad Maarop.
The three judges not only unanimously dismissed the couple's appeal but also doubled Seow's punishment from 16 years imprisonment and 9 strokes to 32 years and 18 strokes for three counts of raping his maid.
"The reason (for the enhancement) is that this is a sadistic rape on somebody who should be protected. Instead, with the assistance of your wife, you raped her to satisfy your lust.
"The poor girl came all the way from Indonesian to earn an income but instead she met with terror and sexual abuse," Suriyadi said
Seow, 41, was convicted of three counts of raping the 19-year-old maid from Blora, Semarang, Indonesia, at his house in Tingkat Paya Terubong 3, Paya Terubong, Penang, in February, July and August 2004.
Tan, 36, was found guilty of abetting her husband in the July incident.
On June 23, 2005, Seow was sentenced to 12 years jail and three strokes of the rotan for each offence, the jail terms to run concurrently, while Tan was jailed six years.
The High Court, on March 31, 2006, dismissed their appeals against conviction and sentence and enhanced Seow's sentence to 16 years.
Seow was arrested on Oct 18, 2004 after his maid, who had fled the house a month earlier, lodged a report at the Kuala Lumpur police headquarters.
She had sought shelter at a Muslim orphanage in Paya Terubong for several weeks until Penang Tenaganita representatives took her to the Indonesian embassy in Kuala Lumpur.
Seow and Tan were represented by counsel R.S.N.Rayer and K.H.Chua, while deputy public prosecutor V.Shoba acted for the prosecution.
-- BERNAMA
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Saturday, November 22, 2008
Label: BERNAMA, Buruh migran, hukum, In English, Kebijakan, Malaysia, pemerkosaan, pengadilan
Court Doubles Penalty Of Indonesian Maid Rapist
MySinchew, 2008-11-20
JAKARTA, INDONESIA: An appeal court in Malaysia has doubled the penalty for an employer convicted of raping an Indonesian maid to 32 years' imprisonment.
The court also ordered the rapist, Seow Eng Aik, to be lashed 18 times with a cane, despite him having filed the appeal. Seow was previously sentenced in 2005 to 16 years' imprisonment.
Seow's wife, Tan Seok Hoon, was also found guilty by the appeal court for assisting in holding the hands of the maid while her husband committed the offence.
The court also found evidence that Tan had scrubbed chilli into the victim's private part following the rape. Tan was also sentenced to six years in prison.
The court made a public statement that anyone who committed such crimes would be punished severely.
"Our reason for adding to the penalty was because this was a sadistic crime against an innocent girl who was supposed to be protected. But you, with the aid of your wife, raped the victim to satisfy your lust.
"The poor girl came all the way from Indonesia to earn a living, but you sexually abused her," said judge Suriyadi Halim Omar, as quoted by Bernama newswire on Wednesday (19 Nov). (The Jakarta Post/ ANN)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Saturday, November 22, 2008
Label: Buruh migran, hukum, In English, Malaysia, masalah BMI, MySinchew, pemerkosaan, pengadilan, PRT
21 November 2008
Korupsi Depnakertrans: Sejumlah Pejabat Terima Mobil
|
VIVAnews - Sekretaris Direktorat Jenderal Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) Bachrun Effendi mengaku mengetahui pemberian sejumlah uang dan mobil kepada para pejabat di Depnakertrans dan rekanan.
"Saya mendapat laporan dari terdakwa Taswin Zein," kata Bachrun di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis 13 November 2008. Taswin adalah Kasubdit Pengembangan Sistem dan Inovasi di Ditjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Depnakertrans.
Keterangan Bachrun itu terungkap dalam sidang dugaan korupsi pengadaan alat di Balai Latihan Kerja Depnakertrans di 10 wilayah pada tahun anggaran 2004. Dia menjadi saksi. Kasus ini menyeret Taswin sebagai terdakwa.
Meski mengetahui ada aliran dana, namun Bachrun membantah memerintahkan untuk memberikan uang. Ia juga menyangkal pernah menerima uang dari Taswin. "Dana itu berasal dari dana taktis Depnakertrans," katanya di hadapan majelis hakim.
Ia memaparkan, Direktur Jenderal Kirnandi pernah meminta agar disediakan uang 2,5 persen dari dana taksis. Rencananya, uang itu akan diberikan kepada Sekertaris Jenderal dan untuk dana pemeriksaan Inspektorat Jenderal dan Badan Pemeriksa Keuangan. "Untuk sekjen sebesar 1 persen dan sisanya untuk BPK dan Irjen," kata Bahrun.
Menurutnya, Auditor BPK Bagindo Aquirino menerima dana sebanyak Rp 350 juta dan Rp 300 juta. "Tapi saya tidak dilapori secara rinci siapa-siapa yang menerima," jelas Bachrun.
Mengenai pengadaan mobil, ia mengaku menerima laporan dari terdakwa bahwa Sekjen Tjeppy F Alwoie dan Dirjen Kirnandi yang memintanya. "Saya minta agar diajukan secara resmi, tertulis," kata Bachrun dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Kresna Menon. Mobil yang dimintakan berupa Nissan Xtrail dan Nissan Terano.
Terdakwa Taswin menyatakan keberatan atas keterangan Bachrun. Menurut Taswin, Bachrun menerima dana Rp 150 juta. "Saya serahkan langsung tunai Rp 100 juta," kata dia. Sisanya, Taswin mengaku menyerahkan 10 lembar travel cheque Rp 5 juta. "Saya serahkan melalui Monang Tambunan," kata dia.
Taswin berkukuh saksi mengetahui penyerahan dana ke rekanan. "Saya didampingi saksi ketika menyerahkan Rp 150 juta kepada Pompida," jelasnya. Pompida adalah menantu Fahmi Idris, mantan Menakertrans.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Friday, November 21, 2008
Label: BLK, depnakertrans, Korupsi, KPK, VivaNews
Korupsi Proyek Alat BLK Depnakertrans
Kamis 13 November 2008
JAKARTA (Pos kota) - Mantan Sekertaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans), Bahrun Effendi, mengaku tahu ada pemberian sejumlah uang dan mobil kepada para pejabat dan rekanan. Namun, dia membantah itu merupakan perintahnya.
“Saya mendapat laporan dari terdakwa Taswin Zein. Memang ada permintaan dana untuk permintaan mobil oleh dirjen,” katanya saat bersaksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat-alat Balai Latihan Kerja (BLK) Depnakertrans di 10 wilayah pada tahun anggaran 2004 atas terdakwa Taswin Zein, di Pengadilan Tipikor, Kuningan, Kamis (13/11).
Dalam kasus korupsi yang merugikan negara Rp13 miliar lebih ini, saksi juga mengetahui asal muasal dana tersebut. Menurut Bahrun, dana tersebut diambil dari dana taktis departemen. Awalnya, dia menjelaskan, Direktur Jenderal Kirnandi meminta agar disediakan dana sebesar 2,5 persen dari dana taktis.
“Rencananya, uang itu akan diberikan kepada Sekretaris Jenderal (sekjen) dan untuk dana pemeriksaan Inspektorat Jenderal (irjen) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), “ ucapnya sambil menyebutkan dana itu untuk sekjen satu persen dan sisanya untuk BPK dan Irjen.
AUDITOR TERIMA DANA
Saksi mengaku pernah menerima laporan bila auditor BPK BagindoAquirino menerima dana sebanyak Rp 350 juta dan Rp 300 juta. “Tapi saya tidak dilapori secara rinci siapa-siapa yang menerima,” jelasnya. Sedang soal pengadaan mobil, dia mengaku menerima laporan dari terdakwa, Sekjen Tjeppy F Alwoie dan Dirjen Kirnandi minta adanya pengadaan mobil Nissan Xtrail dan Nissan Terano.
Terdakwa Taswin Zein menyatakan keberatan kesaksian Bahrun yang menyebutkan menerima dana dari dirinya Rp150 juta. Menurut Taswin uang yang diserahkan secara tunai sebesar Rp100 juta dan sisanya, berupa travel cheque senilai Rp5 juta sebanyak 10 lembar.
(lina/st/g)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Friday, November 21, 2008
Korupsi Depnaker: Pejabat Depnaker Minta Mobil
Jumat, 21 November 2008
Jakarta, Kompas - Anggaran Belanja Tambahan rupa- rupanya tak cuma digunakan untuk memberikan uang, tetapi juga digunakan untuk membeli mobil oleh para pejabat Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau Depnakertrans.
Hal itu disampaikan terdakwa Taswin Zein yang menjadi Pemimpin Proyek Pengembangan Sistem Pelatihan dan Pemagangan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (20/11). Keterangan ini ia sampaikan saat diperiksa keterangannya sebagai terdakwa.
Taswin didakwa melakukan korupsi saat melaksanakan Proyek Pengembangan Sistem Pelatihan dan Pemagangan yang menggunakan Anggaran Belanja Tambahan (ABT) Daftar Isian Proyek 2004. Juga dalam Proyek Peningkatan Fasilitas Mesin dan Peralatan Pelatihan sebagai Tempat Uji Kompetensi yang menggunakan ABT Daftar Isian Kegiatan Suplemen 2004.
Menurut Taswin, uang ABT DIKS juga digunakan untuk membeli mobil para pejabat Depnakertrans. Awalnya saat ada permintaan mobil dari Sekjen Depnakertrans Tjepy F Aleowie, kata Taswin, selanjutnya Sesditjen Bachrun meminta Taswin untuk menyediakan mobil bagi dirinya dan pejabat-pejabat lain.
”Pak Sekjen dapat mobil Nissan XTrail, Dirjen Mobilitas Penduduk Ibu Diah mobil Nissan Terrano, Dirjen Binapendagri Kirnadi dapat Nissan Terrano, Sesditjen Bachrun Effendi dapat Nissan XTrail, Direktur Pengembangan Kesempatan Kerja Anshori dapat Nissan Terrano, Direktur Penyediaan dan Penggunaan Tenaga Kerja dapat Vios, dan saya sendiri mendapat Ford Everest,” kata Taswin.
Taswin menjelaskan, DPR juga mendapat jatah 5 persen. (VIN)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Friday, November 21, 2008
Label: depnakertrans, Kompas, Korupsi
Business in Asia: You still can't get the staff
The Economist, Nov 20th 2008 | HONG KONG AND SINGAPORE
Staff shortages persist, despite the slowdown in economic activity
DID the news that factory-output growth in China fell to a seven-year low in October, and reports of job losses across Asia, have a silver lining for managers in the region? Slowing growth ought, after all, to mean that pressure to grow quickly is finally waning, and their biggest headache—finding and retaining staff—should be easing. In China, thousands of factories have closed. Multinationals such as American Express and Motorola have announced lay-offs in India. Thousands of workers have been fired in the Philippines, and millions of Bangladeshi, Indian, Indonesian and Malaysian workers are being sent home from the Middle East, Singapore and Taiwan.
Yet managers say the shortage of staff is still not easing. This is partly because many of these job losses have been in industries such as toymaking, textiles and construction, which use migrant and unskilled workers. There was never any shortage of those to begin with. Another reason is that many troubled companies have chosen not to make staff redundant. Legal hurdles make it much harder to get rid of staff these days, especially in China and India. So some firms have instead cut wages and working hours, or extended holidays. CLSA, a financial-services firm in Hong Kong, recently announced that its top 500 staff would take pay cuts of 15-25%, and several banks in South Korea have also reduced pay. Chartered Semiconductor in Singapore has trimmed pay by up to 20%. Several carmakers in India and South Korea have asked staff to take unpaid leave.
Paradoxically, business leaders report that this has actually raised morale and contributed to another problem. In the past, companies suffered from very high rates of staff turnover—the average tenure of managers in Shanghai was barely 15 months. But economic uncertainty makes workers more inclined to stay put, and firms that want to hire find it harder to entice people to move. “The talent pool has grown—but only for banking staff,” says Greg Miller, managing director of Mersey Manufacturers Timex Group in China.
In many industries demand for workers continues to rise. Most of Asia’s domestic economies are still forecast to expand strongly in 2009. “Far from retrenching, we are redoubling our efforts to grow,” says the boss of one pharmaceutical firm. Companies in the region also expect a further boom in outsourcing from America and Europe as companies there try to cut costs. NASSCOM, a body which represents India’s software and computer-services firms, predicts that 200,000 additional jobs will be created next year.
This means that skilled workers’ wages are still going up. Heather Payne, head of the Asian division of Research International, a market-research firm, says she expects wage hikes of 14% in India and 9% in China next year, only marginally less than in 2008. There is “simply not enough talent to feed the growth”, she says. When any skilled workers are laid off they are instantly snapped up by other firms. Finding good managers who can work internationally is still especially hard. There is also an acute shortage of finance, research-and-development and engineering skills.
Managers of many multinational businesses in the region have another problem. Like their local competitors, they hope to increase regional sales in the next few years on the back of economic growth. But they have the additional pressure of having to expand even faster than local rivals, as they are told to compensate for sales declines in America and Europe. Worse, many are also being told to cut costs, in line with globally prescribed cutbacks. They must cope with rising wages for skilled workers, a shortage of suitable staff and pricing pressure from local competitors. “Next year will be especially hard,” says one regional boss. Except, presumably, for his skilled staff.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Friday, November 21, 2008
Label: Hongkong, krisis ekonomi, masalah BMI, Singapore
Illegal workers skip elections
The Jakarta Post, Nov 21, 2008
JAKARTA: Hundreds of Indonesian illegal migrant workers in Malaysia have refused to be listed as eligible voters for next year's legislative elections.
The General Elections Commission (KPU) said the workers feared deportation by Malaysian authorities if their whereabouts were uncovered.
"Of the 1.2 million eligible Indonesian voters in Malaysia, only 319,000 have been included on the preliminary voters list," KPU member Sri Nuryanti said here Thursday.
"The illegal migrant workers prefer not to cast their votes due to safety concerns."
The legislative elections law stipulates that only those on the final voters list are able to cast their ballots.
There are an estimated 1.6 million eligible voters living abroad, according to the KPU.
The body has called on the country's 171 embassies around the world to submit the names of eligible voters to Jakarta by Thursday. -- JP
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Friday, November 21, 2008
Label: illegal, Malaysia, masalah BMI, pemilu, The Jakarta Post
Gaji TKI Singapura Naik Bertahap
Jawa Pos, Senin, 17 November 2008
Kedubes RI di Singapura punya cara jitu melindungi dan memperbaiki nasib TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di negeri itu. Salah satunya, membuat ketentuan yang mengikat para majikan untuk mempertimbangkan kenaikan gaji para TKI yang bekerja kepada mereka secara bertahap.
TKI yang menjadi pembantu rumah tangga dikategorikan sebagai PLRT (penata laksana rumah tangga). Dari penelusuran wartawan Jawa Pos yang baru pulang dari negeri Singa itu, 80 ribu di antara 180 ribu PLRT (penata laksana rumah tangga), berasal dari Indonesia.
Itu adalah jumlah terbanyak, baru disusul Filipina (70 ribu PLRT) dan sisanya dari Myanmar dan Sri Lanka.
Sejak awal tahun ini KBRI (Kedutaan Besar RI) di Singapura membuat berbagai terobosan untuk melindungi para TKI. Terutama dari aspek hukum.
Di antaranya, petugas di KBRI Singapura memfasilitasi penandatanganan perjanjian kontrak antara PLRT dan majikannya. Dalam hal itu, KBRI mempertemukan langsung majikan dengan PLRT di hadapan petugas KBRI.
''Artinya, setiap perpanjangan kontrak harus ada perwakilan KBRI yang dilibatkan. Tempatnya juga harus di KBRI,'' kata Wardana.
Komponen penting dari kontrak kerja antara PLRT dan majikannya itu tentang off day (hari libur) dan kenaikan gaji secara bertahap. ''Gaji minimalnya SGD 350 (sekitar Rp 2,6 juta),'' ujar pria asal Klaten itu.
''KBRI hanya memastikan hak-hak PLRT tersebut dipenuhi majikan dan dituangkan dalam kontrak kerjanya,'' sambungnya.
Terobosan memfasilitasi perpanjangan kontrak itu tergolong baru. Di KJRI Hongkong memang ada legalisasi dokumen, tapi tidak mempertemukan majikan dengan PLRT secara langsung.
Kontrak kerja itu lantas disahkan di hadapan notaris publik. Dulu ada biaya SGD 140, namun kini digratiskan.
Kontrak kerja tersebut harus diketahui Departemen Tenaga Kerja Singapura (Ministry of Man Power -MoM), meski tidak menjadi syarat untuk membuat work permit bagi PLRT yang akan bekerja di Singapura.
Wardana menjelaskan, perjanjian kerja itu menjadi acuan bagi otoritas Singapura ketika ada masalah antara PLRT dan majikannya. ''Kalau ada dispute antara majikan dan PLRT-nya, kontrak kerja itu menjadi acuan,'' tuturnya.
Sang majikan juga harus menyetor SGD 5 ribu (Rp 37 juta) sebagai security deposit. Dana itu akan disita jika ada hak-hak PLRT yang tak dipenuhi majikan.
Menurut Wardana, permasalahan PLRT memang kompleks. Namun, dia meminta agar yang diekspos ke publik bukan hanya terkait kasus-kasus hukumnya. Sebab, kenyataannya, jumlah PLRT yang berhasil jauh lebih banyak daripada yang gagal. ''Biar keluarga mereka di kampung juga tenang dan tidak selalu waswas dengan nasib PLRT di luar negeri,'' tuturnya.
Upaya terobosan yang dilakukan KBRI Singapura itu dirasakan sangat bermanfaat bagi TKI, terutama yang menjadi PLRT. Seperti penuturan Emiyanti, salah seorang PLRT di Singapura yang mengaku kini bergaji Rp 5 juta per bulan.
''Dari gaji saya itu, saya sekarang sudah punya warung makan dan usaha jual beli pasir di kampung,'' kata wanita 29 tahun asal Prabumulih yang sudah 12 tahun bekerja di Singapura itu.
Emiyanti adalah contoh kisah PLRT yang bernasib baik di Singapura. Meski demikian, masih saja ada yang bernasib tak sebaik Emi. Shelter TKI di Negeri Singa itu masih saja dipenuhi TKI dengan beragam kasus, mulai penganiayaan hingga TKI yang terluka akibat kabur dari majikan.
Sebagai gambaran, tahun lalu terdapat 1.387 kasus yang membelit TKI. Jumlah itu hanya 1,6 persen dari jumlah TKI. ''Bedanya dengan Malaysia, di Singapura tak ada TKI yang berstatus ilegal,'' katanya.
Organisasi PLRT di Singapura
Di Singapura, para PLRT kini punya wadah untuk berorganisasi. Namanya, Himpunan Penata Laksana Rumah Tangga Indonesia di Singapura (HPLRTIS).
Di wadah organisasi itu para PLRT bisa saling berbagi dan meningkatkan keterampilan. Namun, langkah itu pun bukan tanpa kendala. ''Tapi, ada juga majikan yang sulit menerima kalau PLRT-nya ikut organisasi,'' kata Sumarni Markasan, ketua HPLRTIS.
''Kamu datang ke Singapura untuk bekerja, bukan untuk berorganisasi,'' kata Mary -panggilan karib Sumarni- menirukan pernyataan sejumlah majikan yang sering didengarkan dari cerita teman-teman sesama PLRT.
Namun, dia tak patah arang. Mary dan teman-temannya terus membuka pandangan para majikan. ''Saya presiden asosiasi, apakah Anda lebih suka pekerjamu keluar (rumah) tanpa tujuan yang jelas, atau keluar untuk berorganisasi,'' demikan Mary berkata kepada majikannya.
Akhirnya, pelan tapi pasti, HPLRTIS terus berkembang. ''Memang, jumlah anggotanya masih belum banyak. Pelan-pelan coba kita tingkatkan,'' kata Mary. Saat ini sudah ada 500 PLRT yang terdaftar resmi menjadi anggota. ''Tapi, formulir anggota baru sudah numpuk, Mas. Sekarang masih kami masukkan datanya,'' kata Mary.
Mary memang bukan PLRT biasa. Gaya bicaranya runtut, apa adanya, dan ceplas-ceplos, tapi tetap terkesan hati-hati agar tak ada salah kata yang terucap. Kemampuan berbahasa Inggrisnya di atas rata-rata. Dia pun mahir mengoperasikan komputer.
Pengorbanan Mary untuk rekan-rekannya juga tak diragukan. Dalam wawancara di tempat terpisah, Dubes RI untuk Singapura Wardana bercerita, Mary pernah secara spontan menggunakan uang pribadi Rp 10 juta untuk mendukung partisipasi rekan-rekannya sesama PLRT dalam sebuah acara festival budaya.(eri/iw/kum)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Friday, November 21, 2008
Label: Dubes RI di Singapura, Jawa Pos, KBRI Singapura, keuangan, masalah gaji/upah, PRT, Singapore
BII Tangani Pengiriman Uang TKI Malaysia
detikcom, 20/11/2008
Indro Bagus SU
Jakarta, Maybank telah menunjuk Bank Internasional Indonesia (BII) untuk menangani transaksi pengiriman uang (/remittance/) tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia ke Indonesia. Kontribusi terhadap /fee based income/ mencapai jutaan dolar. Maybank merupakan pemegang saham mayoritas di BII.
"Remittance ke Indonesia melalui Maybank akan ditangani oleh BII," ujar Wakil Presiden Direktur BII, Sukatmo Padmosukarso usai paparan di Intercontinnental, Jl Jend Sudirman, Jakarta, Kamis (20/11/2008).
Sukatmo menjelaskan tadinya /remittance/ ke Indonesia yang dilakukan melalui Maybank masuk ke Indonesia langsung ke bank-bank yang memiliki fasilitas remittance di Indonesia.
"Dengan penunjukan ini, remittance dari Maybank masuk ke BII terlebih dahulu, baru kemudian disebar ke bank-bank lain," ujar Sukatmo.
Transaksi pengiriman uang dari Malaysia ke Indonesia melalui Maybank, yang notabene kebanyakan berasal dari TKI-TKI yang berada di sana, mencapai 40 ribu transaksi per harinya.
"Nilai pastinya kami belum tahu, tapi mencapai miliaran dolar per tahunnya. Kontribusi ke fee based income BII bisa jutaan dolar setahun," jelas Sukatmo.
Saat ini BII sudah memulai secara bertahap penanganan remittance dari Malaysia. Namun masih dalam persiapan infrastruktur.
"Kita sudah mulai, tapi masih dalam persiapan infrastruktur jaringan dan sebagainya. Mungkin fasilitas ini beroperasi secara penuh sekitar tahun depan. Tidak ada investasi yang signifikan untuk ini. Hanya persiapan jaringan saja, tidak banyak," ujar Sukatmo.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Friday, November 21, 2008
Label: bank, detikcom, keuangan, Malaysia, remittance
Adverts target abuse of domestic workers
The National, November 19. 2008 - Anne Marie Queen
A new public service campaign aimed at better treatment for domestic workers such as maids and drivers began airing throughout the Arab world on MBC last week. The campaign also includes provocative print ads, which are running in several newspapers in Saudi Arabia.
A campaign focusing on the abuse of domestic workers has been launched on television, imploring employers to show compassion to their staff.
MBC, the Saudi-owned satellite station based in Dubai, is bearing the cost of three adverts being broadcast to the Middle East and North Africa.
In one of the adverts, an employer unleashes a torrent of abuse at his driver and maid over a request for unpaid wages.
“You should thank God it’s only two months,” screams the angry head of the household. The scene is followed by the message: “He who has no mercy will not receive mercy”.
The adverts were created by Full Stop Advertising, a Saudi company that has also produced a print campaign to appear in several Saudi newspapers. One of the print adverts shows a maid on her hands and knees before a dog food bowl, while another depicts her wearing a dog collar and leash.
Kaswara al Khatib, the company founder, said domestic abuse of foreign workers in Arab countries was an issue that needed to be addressed. The message in the advertisement, a quote from the Prophet Mohammed, was used in reproach “to remind people that this is what Islam is all about”.
“Eventually someone has to speak up and raise their voice. These people need someone to stand up for them.”
The three adverts started last week. They cost about US$100,000 (Dh367,340) to produce and were financed by a non-profit subsidiary of the Saudi Binladin Group.
“It’s a noble cause, certainly,” said Mazen Hayek, MBC Group’s director of marketing. “As a consumer, when I watch it, it calls for good treatment of housemaids... it’s basic human rights.”
The commercials were originally due to start during Ramadan but were postponed so as to not dilute their message. They are expected to continue showing for two to three months.
In another of the adverts, a happy gathering of women is interrupted as the hostess screams at her Filipina maid to “get out of my sight”. In the third one, viewers see the maid on her hands and knees scrubbing a kitchen floor. The woman of the house yells at her “not to sleep until the house is spotless”. The maid slumps and looks at the floor, continuing to move her brush back and forth.
“Situations like this I have seen around me,” said Mr Khatib. “I might have exaggerated a little bit, but that’s what is happening.”
MD Moniruzzaman a labour counsellor at the Bangladesh Embassy in Abu Dhabi, said he hoped the campaign would hit home for some Emiratis.
“Of course it’s a good idea,” he said. “They will understand better if they see it on television.”
Mr Moniruzzaman said his office had received as many as 80 complaints a year of domestic abuse – and those were only the cases the embassy knew about. The latest, this month, involved a maid who reported being beaten with kitchen utensils by her female employer. The office changed the maid’s sponsorship and she was reassigned to work in a different home.
“It’s one of the biggest problems. These people’s behaviour is very injurious and alarming. It’s not everyone, but people who do, it is dangerous.”
Human Rights Watch has received consistent reports of mistreatment during the process of recruiting domestic workers, with agencies charging exorbitant fees, confiscating passports and changing destinations with little or no notice, said Nisha Varia, acting deputy director of the women’s rights division.
Physical and emotional abuse also happen, she said, but by far the most common complaints the organisation has found were about unpaid wages or confinement in the workplace.
“These are adult women and they’re treated like children,” she said.
That the adverts are allowed at all in the UAE indicates the Government is acknowledging the issue, Ms Varia said.
“It’s a movement forward when a government admits that the way to respond to a problem is not to deny it, but to address it.”
In September the Government submitted its first assessment of the UAE’s human rights record to the UN as part of the Human Rights Council’s Universal Periodic Review. The report addressed the issue of domestic workers, including the adoption last year of mandatory work contracts requiring proper health care and rest periods. The UAE is to appear before the council for the first time next month.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Friday, November 21, 2008
Label: Buruh migran, In English, Kebijakan, PRT, The National, Uni Emirat Arab
20 November 2008
Indonesia Berjuang Pulihkan Status TKI Ilegal
15/11/08
Mataram (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia terus berupaya meningkatkan diplomasi dengan berbagai negara untuk memutihkan status Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal, demikian Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) Moh. Jumhur Hiday usai berkoordinasi dengan Gubernur NTB, KH. M. Zainul Majdi, Sabtu.
"TKI yang ada di berbagai negara mencapai enam juta orang, sebanyak 4,5 juta merupakan TKI legal dan 1,5 juta ilegal yang sedang diperjuangkan pemutihan statusnya," terangnya.
Ia mengatakan, upaya diplomasi akan terus dilakukan agar semua TKI ilegal bertatus legal karena TKI mendatangkan devisa banyak untuk negara.
Devisa dari TKI pada 2007 mencapai Rp110 triliun dan diperkirakan mencapai Rp130 triliun pada 2008 dari jumlah TKI di Malaysia dan Singapura yang totalnya mencapai 33 persen dari angkatan kerja di dunia negara itu.
Pemulihan status TKI ilegal menjadi legal itu memerlukan perbaikan berbagai bidang mulai dari proses pemberangkatan hingga pemulangan.
"Harus ada perbaikan pelayanan TKI secara menyeluruh semenjak pemberangkatan hingga pemulangan dan upaya itu ditempuh," ujarnya.
Diakuinya, upaya diplomasi pemutihan status TKI ilegal dengan Pemerintah Malaysia karena Malaysia tampaknya melunak, bahkan bersedia memberi amnesti kepada hampir satu juta TKI ilegal.
Kebijakan pemutihan status TKI ilegal di Malaysia berlaku efektif awal Agustus 2008 telah berhasil menyelamatkan ribuan TKI ilegal dari kemungkinan deportasi pihak imigrasi Malaysia.
Menurut dia, TKI ingin mendapatkan pemutihan status ilegalnya dan setelah itu mereka akan difasilitasi pihak perwakilan RI di Kuala Lumpur maupun di Konjen seluruh Malaysia, untuk mengurus pemutihan status ketenagakerjaannya. (*)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, November 20, 2008
Label: ANTARA News, BNP2-TKI, illegal, Jumhur Hidayat, Kebijakan
Didukung Keinginan Indonesia Agar TKI Pegang Paspor
16/11/08 12:14
Kuala Lumpur (ANTARA News) - Keinginan pemerintah Indonesia agar paspor dipegang oleh TKI (tenaga kerja Indonesia) yang bekerja di Malaysia banyak didukung oleh pekerja, LSM dan Ormas.
Direktur Migrant Care Malaysia, Alex Ong Kian, Ketua Pasomaja (paguyuban solidaritas masyarakat Jawa) Machrodji Maghfur, dan Ketua Bocahe Dewe, Ambar secara terpisah mengatakan kepada Antara di Kuala Lumpur, Minggu, mereka mendukung upaya pemerintah Indonesia agar paspor di pegang oleh TKI.
"Paspor dipegang oleh majikan itu sebenarnya merupakan penghinaan dan takluknya kedaulatan pemerintah Indonesia terhadap majikan Malaysia, karena paspor adalah dokumen negara yang harusnya dipegang oleh warganya sendiri," katanya.
Alex meminta pemerintah Indonesia serius untuk memperjuangkan hal ini karena paspor boleh dipegang majikan Malaysia adalah kebijakan pemerintah Indonesia yang menggadaikan kedaulatannya sendiri yang tertuang dalam MOU Indonesia-Malaysia tahun 2006.
"Jika majikan Malaysia memberikan iklim kerja yang nyaman untuk membantu mengapa harus takut pekerjanya kabur. Kalau seluruh majikan Malaysia tidak mau menerima atau menggaji pekerja ilegal maka tidak akan ada pekerja yang lari karena tidak ada yang mau menampungnya," tambah warga Malaysia yang menjadi aktivis untuk pekerja migran.
Lagi pula, lanjut dia, tidak ada istilah pekerja ilegal dalam istilah ILO. Yang adalah adalah majikan ilegal karena ada majikan maka ada pekerja. Oleh sebab itu, dalam menangani pekerja ilegal di Malaysia harus sudah diubah. Fokus penegakan hukum lebih kepada majikan yang senang menggunakan pekerja ilegal seperti yang dilakukan negara-negara maju, bukan kepada pekerja asing ilegak.
"Paspor dipegang majikan lebih menguntungkan agensi-agensi pemasok pekerja asing di Malaysia yang kerjanya hanya menjual biodata pekerja asing atau sebagai broker, padahal kondisi dan kontrak kerja yang dibuat sangat merugikan pekerja asing," tambah dia.
Sementara itu, Ketua Pasomaja Machrodji Magfur mengatakan paspor TKI dipegang majikan Malaysia itu punya dampak baik (positif) dan buruknya. "Baiknya itu, resiko hilang, resiko rusak karena kena air, tercuci atau rusak karena dibawa para TKI yang bekerja di kontruksi relatif kecil."
Sedangkan buruknya, jika TKI ingin pergi atau jalan-jalan hanya membawa foto kopi paspor kemudian kena razia imigrasi atau polisi Malaysia akan langsung ditangkap dan dijebloskan penjara dulu, baru dikontak majikannya. Ada majikan yang peduli dan ada yang tidak peduli.
"Saya mendukung sekali paspor dipegang TKI dan meminta pemerintah Malaysia agar serius mengurus kartu pekerja asing sebagai pengganti paspor. Jangan hanya lip service saja," kata Magfur, ketua PKB dan sudah memiliki permanent residence (PR) di Malaysia karena sudah tinggal sekitar 25 tahun.
Ia juga menuntut agar pemerintah Malaysia mengubah fokus kebijakan penegakan hukum agar lebih menitikberatkan kepada majikan dibandingkan pekerja. "UU Imigrasi Malaysia kan UU warga Malaysia. Jadi warga Malaysia sendiri harus patuh pada aturannya. Jangan ada yang mau mempekerjakan pekerja ilegal. Kenyataannya mereka sendiri yang suka menggaji pekerja ilegal,"tambah dia.
Senada dengan itu, Ketua Bocahe Dewe, Ambar mendukung langkah pemerintah Indonesia tapi ia juga berharap agar pengadilan perburuhan Malaysia juga berfungsi dan berjalan dengan cepat atas kasus-kasus perburuhan untuk mengatasi masalah pekerja asing di Malaysia.
"Banyak kasus perselisihan pekerja asing yang tidak bisa ditangani pengadilan perburuhan Malaysia karena prosesnya lama sehingga banyak pekerja yang tidak tahan dan kembali ke tanah air. Akibatnya, pengadilan perburuhan tidak bisa menjadi alternatif penyelesaian perburuhan bagi pekerja asing," kata Ambar, ketua Bocahe Dewe dengan jumlah anggota sekitar 25.000 pekerja.
Kedatangan Menaker
Ketika bertemu dengan Menteri Sumberdaya Manusia Malaysia Subramaniam di Putrajaya, Menteri tenaga kerja dan transmigrasi Erman Suparno mengatakan telah minta kepada agar paspor TKI yang bekerja di Malaysia tetap dipegang oleh pekerja.
"Saya katakan dunia internasional mengkritik keras kebijakan Indonesia-Malaysia yang membolehkan majikan Malaysia memegang paspor TKI. Oleh sebab itu, kami minta paspor tetap dipegang pekerja," kata Erman ketika mengunjungi Asean Skill Competition di Kuala Lumpur, Sabtu.
Tapi jika majikan Malaysia ingin tetap memegang paspor TKI harus ada kesepakatan dua pihak, majikan dan pekerja yang diikat dalam suatu kontrak. Majikan juga wajib menjaga dan mengurus perpanjangan ijin kerja TKI setiap tahun.
"Kami juga meminta agar ribuan pekerja ilegal yang tidak ada dokumen atau ilegal diputihkan atau dilegalisasi karena ada pekerja ilegal karena ada majikan yang suka menggunakan pekerja ilegal," katanya.
Menteri Erman Suparno juga menanyakan bagaimana menangani majikan Malaysia yang nakal misalkan karena tidak bayar gaji atau memotong gaji TKI. "Kejadian kan di wilayah Malaysia, lalu bagaimana mengatasi majikan yang nakal." tambah dia.
Ia juga minta kepada pemerintah Malaysia agar tidak membedakan gaji pekerja asing berdasarkan negara. Pertemuan para menteri tenaga kerja di Doha sepakat bahwa gaji tidak boleh dibedakan berdasarkan negara karena diskriminasi, yang boleh perbedaan gaji berdasarkan sektor pekerjaan.
"Nanti Indonesia-Malaysia akan membentuk joint committee dalam waktu dekat ini. Begitu pulang, saya juga akan segera membentuk tim yang terdiri dari berbagai instansi dan datang ke Kuala Lumpur untuk rapat," katanya. (*)
COPYRIGHT © 2008
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, November 20, 2008
Label: ANTARA News, depnakertrans, Kebijakan, LSM, Migrant care, ormas, paspor, tanggapan masyarakat
Da`i Bachtiar: Solusi TKI Ilegal di Malaysia Belum Ditemukan
20/11/08 04:13
Medan (ANTARA News) - Pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur, Malaysia menyatakan hingga kini solusi untuk mengatasi permasalahan TKI ilegal di Malaysia belum ditemukan.
Duta Besar RI untuk Malaysia, Da'i Bachtiar, di Medan, Rabu, mengatakan, dalam waktu dekat pihaknya kembali membahas masalah TKI ilegal melalui kelompok kerja untuk mencari solusi terakhir bagi ratusan ribu warga Indonesia di negeri jiran itu .
Menurut dia, dalam pembahasan sebelumnya pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menteri Tenaga Kerja dan pemerintah Malaysia yang diwakili oleh Menteri Sumber Daya Manusia telah melakukan pembicaraan beberapa waktu lalu.
Dalam pembahasan itu terdapat beberapa kesepakatan yang diambil oleh kedua belah pihak terkait keberadaan TKI ilegal, namun pihaknya belum mengetahui solusi apa yang ditempuh untuk mengatasi permasalahan itu.
"Ada beberapa langkah-langkah konkrit melindungi TKI ilegal, apakah diputihkan atau mendapat tindakan sehingga tidak menjadi illegal selamanya atau dipulangkah ke tanah air. Tapi kita belum tahu langkah apa yang diambil," ujarnya.
Dewasa ini diperkirakan ratusan ribu TKI illegal bekerja di Malaysia dan sebagian besar diantaranya juga bekerja pada sektor informal seperti kontruksi atau kuli bangunan.
Sementara itu, Kapolda Sumut, Irjen Pol Nanan Soekarna, mengatakan, penanggulangan masalah TKI ilegal perlu ada komitmen bersama untuk melakukan tindakan oleh instansi terkait termasuk penyalur jasa TKI.
"Makanya sewaktu saya ditantang untuk melakukan penertiban maka yang saya perlukan adalah komitmen bersama. Jika nanti kita lihat ada komplek penampungan TKI di Sumut yang tidak tertib maka akan kita tutup begitu juga yang berangkat sendiri-sendiri secara ilegal akan ditindak," tegasnya usai melepas Da'i Bachtiar.(*)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, November 20, 2008
Label: ANTARA News, Dai Bachtiar, illegal, KBRI Kuala Lumpur, Malaysia
Polisi Gerebek Penampungan TKI
Liputan6.com, Jakarta: Puluhan anggota kepolisian dari Mabes Polri menggerebek tempat penampungan tenaga kerja Indonesia milik PT Mutiara Putra Utama di kawasan Sunter, Jakarta Utara, Rabu (5/11). Di tempat ini, polisi menemukan 30 puluh calon tenaga kerja yang rata-rata masih di bawah umur dan belum layak untuk dipekerjakan.
Rencananya calon tenaga kerja tersebut akan diberangkatkan ke Singapura dan Taiwan. Pihak perusahaan memungut biaya hingga enam juta rupiah ke setiap calon tenaga kerja ini. Polisi menuduh selain akan memberangkatkan TKI dibawah umur, pihak penyalur jasa TKI tersebut menyalahi izin operasi. Guna membongkar adanya dugaan jaringan perdagangan manusia, polisi akan terus menyelidiki kasus ini.(IAN/Deden Yulianes)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, November 20, 2008
Label: illegal, Jakarta, Jakarta Utara, Liputan6-SCTV, penangkapan, PJTKI, Polisi
TKW di Malaysia Tewas Terjatuh
Liputan6.com, Ngawi: Seorang tenaga kerja Indonesia tewas setelah terjatuh dari lantai 17 gedung apartemen tempatnya bekerja di Kuala Lumpur, Malaysia. TKI bernama Rayem kini sudah dipulangkan ke rumah keluarga di Desa Rejomulyo, Karangjati, Ngawi, Jawa Timur. Keluarga korban tak kuasa menahan tangis saat melihat jenazah Rayem.
Pihak keluarga mengaku belum tahu secara pasti penyebab jatuhnya korban. Kasusnya ini masih dalam penyelidikan kepolisian Malaysia. Meski jenazah sudah datang, hak-hak korban selama bekerja hingga kini belum diterima keluarga. Pihak keluarga mengaku baru menerima santunan sebesar Rp 1 juta dari PT Anto Bintang Permai Sidoarjo, PJTKI yang memberangkatkan korban.
Keluarga korban berharap PJTKI yang memberangkatkan segera memenuhi hak-hak korban yang semestinya diterima. Sementara itu PT Anto Bintang Permai Sidoarjo berjanji akan memenuhi semua hak-hak korban selama bekerja di Malaysia paling lambat dua bulan mendatang termasuk asuransi sebesar Rp 40 juta.(RIO/Dirgo Suyono)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, November 20, 2008
Label: Buruh migran, Kuala Lumpur, Liputan6-SCTV, TKI Mati di Malaysia
Menata Kampung Kumuh di Solo: Betulkah Tanpa Master Plan?
Laporan KBR 68H, 13-11-2008
Pemerintah kota dan warga miskin itu seperti anjing dan kucing. Nyaris selalu kejar-kejaran, terlebih soal penggusuran permukiman warga miskin. Hunian warga miskin dianggap mengganggu ketertiban dan pemandangan kota. Tapi di Surakarta, Jawa Tengah, yang terjadi justru sebaliknya. Hunian warga miskin di bantaran kali ditata rapi, menjadi rumah yang nyaman. Seperti apa program rehabilitasi rumah tak layak huni bagi si miskin di sana?
Puluhan warga Kragilan Kadipuro Banjarsari, Surakarta, sibuk bergotong royong memperbaikirumah bambu1.jpg rumah Mulyono. Rumah yang semula berdinding anyaman bambu, kini berdinding bata. Ini semua berkat bantuan Pemerintah Kota Surakarta. Kalau harus mengandalkan kocèk sendiri, jelas tak sanggup. Mulyono hanyalah tukang parkir dengan penghasilan Rp. 20 ribu per hari. Langsung habis untuk kebutuhan sehari-hari. Karena itulah Mulyono senang. Rumahnya, juga rumah 30 orang lainnya, dipermak lewat program perbaian rumah kumuh Surakarta.
Mulyono: "lebih enak sekarang daripada dulu. Dulu masih gubug reyot, dinding bambu, kalau mau membangun itu sukar sekali soalnya pendapatannya itu pas-pasan. Aku gak tahu program, tahu-tahu éntuk bantuan sekian mau diperbaiki rumahé. MCKnya juga direnovasi jadi bagus..yang gak ada MCK dikasih MCK..ya dari program 2 juta itu.."
Kini Kragilan jadi kawasan tertata rapi. Rumah si miskin dibenahi sehingga lebih layak huni. Di sana dibangun sarana Mandi-Cuci-Kakus, MCK, jalan juga diperbaiki.
Hal serupa juga tampak di Kampung Totogan, Kelurahan Kètèlan, Banjarsari, Surakarta. Dulu, di bantaran Sungai Pépé ini terdapat ratusan rumah kumuh. Sekarang, itu semua masa lalu. Setelah turun bantuan Pemerintah Kota Surakarta, rumah-rumah kumuh diperbaiki. Di deretan ini, tampak dua rumah yang terlihat masih bercat baru. Yang satu coklat tua, satunya lagi coklat muda.
Rumah kumuh direnovasi
Sembari menyusuri deretan rumah yang baru direnovasi, Ketua RW 6 Kelurahan Kètèlan Susi Sarehati bercerita, ada 44 rumah yang dipugar. Kètèlan lantas dinobatkan sebagai kawasan percontohan pemugaran rumah tidak layak huni.
Susi Sarehati: "Ini patoknya. Sebenarnya enggak sama besarnya, jadinya dulu rumahnya ini terus dibangun. Dulu ini gedhèg, bambu, yang pojok itu malah gedhèg semua"
kampung kumuh1.jpgKampung Totogan dan Kampung Kragilan adalah kawasan percontohan program rehabilitas kawasan kumuh yang diusung Pemerintah Kota Surakarta. Wakil Walikota Surakarta Hadi Rudyatmo mengatakan, sejak dimulai tahun 2006, sudah enam ribuan rumah kumuh direnovasi. Artinya, sekitar separuh rumah kumuh di seantero Surakarta sudah dipermak. Cita-citanya, kata Hadi, Kota Surakarta bebas rumah kumuh pada tahun 2010.
Hadi Rudyatmo: "Jadi program rumah tak layak huni, itu adalah program pengentasan kemiskinan. Solo bebas rumah kumuh 2010. Itu sudah kita kerjakan setiap tahunnya sekitar sekian ribu rumah. Pemerintah koto ini bisa melakukan efisiensi secara tidak langsung, namun dengan melakukan pembenahan perubahan lingkungan. Anggaran APBD berapa? APBD kalau untuk tahun 2007 ini nanti sekitar 6 miyar, untuk 3 ribu rumah, sedangkan di Solo ada 6 ribu rumah kumuh."
Kata Rudy, tak semua rumah beruntung mendapat rehabilitasi gratis. Ada 14 syarat yang harus dipenuhi. Yang utama, punya KTP Surakarta. Rumah juga wajib memiliki sertifikat tanah. Kalau rumah dibangun di atas lahan pemerintah atau lahan sengketa, jangan harap bisa mendapat dana perbaikan.
Hadi Rudyatmo : "Rumah tidak layak hni itu kan ada 14 kriteria dari warga miskin itu. Yang pertama lantainya masih tanah, dinding masih bambu, terus genting dan lain sebagainya itu masih minim. Jadi kalau hujan tampyas atau bocor, akhirnya itu kita lakukan renovasi. Pertama lantainya kita beton, dinding sudah tidak bambu lagi tapi sebagian sudah ditembok dan sebagian tripleks dan ada jendela untuk keluar masuknya sinar matahari dan udara. Itu bentuk yang kita bangun"
Program rehabilitasi rumah
Untuk program rehabilitasi rumah kumuh ini, pemerintah menggelotorkan dana APBD sekitar Rp. 6 milyar. Targetnya, tiga ribuan rumah diperbaiki, dengan alokasi dana 2 juta rupiah tiap rumah. Cukupkah uang ini? Rupanya tidak, kata Ketua RW 6 Kètèlan, Susi Sarehati.
Susi Sarehati: "Dua juta kan ga cukup, permasalahannya ya masih kurang itu..dalem rumahnya masih banyak yang bocor dan perlu diperbaiki..lha kenapa? Kan 2 juta gak cukup mas, kadang-kadang saya juga kasihan lho mas. Kelihatan luarnya bagus, dalemnya belum jadi.
Wakil Walikota Surakarta Hadi Rudyatmo berharap ada dana tambahan untuk melanjutkankampung kumuh2.jpg program rehabilitasi rumah tidak layak huni.
Hadi Rudyatmo: "Kenaikan BBM ada pegaruhnya ke program RTLH ga? program RTLH jelas-jelas terpengaruh..2 juta biasanya bisa untuk beli semen 10 sak, tripleks 10 lembar, jadi gak sampé segitu..berkurang..nah sehingga kalo swadaya itu yang lebih dioptimalkan ya cukup.. tapi kalo gak ya musti ada perhatia lebih dari pemkot dan legislatif untuk memberikan dana tambahan ada program itu....pengaruh sekali.."
Pusat Studio Tata Kota dan Pengembangan Wilayah Universitas Sebelas Maret Surakarta mendata, paling tidak, ada 18 titik permukiman kumuh di Kota Surakarta. Lokasinya merata di lima kecamatan di Surakarta. Pengamat tata kota dari UNS Winny Astuti pesimistis, Pemerintah Kota Surakarta bisa mencapai target bebas permukiman kumuh pada 2010.
Winny Astuti: "Itu memang tugas berat, kalau menurut saya. Karena artinya setiap tahun harus ada dua ribu rumah kumuh yang harus ditingkatkan kualitasnya, tinggal 2 tahun lagi ya? Mungkin belum 100 persen ya, kalau Solo bebas rumah kumuh. 2010 menurut saya tidak bisa 100 persen. Memang kami masih melihat ini masih bersifat by project ya, karena selama ini master plan pemukiman di kota Surakarta ini belum ada. Kalau tidak nyambung menjadi sepotong-sepotong, jadi di sini rumah layak huni, kemudian di sana juga minta layak huni lagi. Tapi itu jadi sepotong-sepotong, tidak satu kesatuan yang bisa bergerak bersama-sama."
Bantuan dana
Winny juga menilai, program rehabilitasi rumah kumuh punya kelemahan. Salah satunya, longgarnya pemilihan rumah untuk direnovasi. UNS juga menemukan lonjakan angka rumah kumuh di Surakarta. Seperti berlomba ingin direnovasi.
rumah bambu2.jpgWinny Astuti "Ketika kami ke kecamatan Lawéyan saja, di situ sudah terdaftar 16 ribu RTLH, itu baru satu kecamatan, belum kecamatan-kecamatan lainnya. Jadi 51 kelurahan di kota Surakarta dianggap memiliki rumah tak layak huni. Padahal kalau dari kajian kami, di Solo itu ada 18 titik kumuh, di 18 kelurahan. Artinya kan kemudian menjadi aneh toh. Jumlahnya sekian, tapi data itu bisa diciptakan sesuai dengan keinginan. Mestinya kalau itu ada semacam pemetaan kan kemudian bisa dilihat secara objektif, mana yang membutuhkan penanganan, mana yang tidak dan sebagainya. Tidak didasarkan pada keinginan saja, tetapi benar-benar berdasar kebutuhan."
Meski begitu, Wakil Walikota Surakarta Hadi Rudyatmo tetap optimis, program renovasi rumah kumuh di Surakarta akan berhasil. Ini didukung rencana yang matang, kata Hadi.
Hadi Rudyatmo: "Justru kalau ada tanggapan yang pesimis itu bagian dari motivasi pemerintah kota. Karena planningnya mungkin belum matang? Ya kalau bicara planning kita suda ada planning, namun saya berpikir positif saja. Jadi kalau pihak UNS pesimis tentang pencanangan program pemerintah Solo tahun 2010 bebas lingkungan kumuh, justru itulah yang kita nantikan. Karena kita butuh motivasi-motivasi dari elemen-elemen yang ada. Tanpa ada yang mengkorek hal itu, ya namanya nanti pemerintah kota akan tidur."
Wakil Walikota Surakarta Hadi Rudyatmo meminta masyarakat bergotong royong dan menggelontorkan dana masyarakat demi menyukseskan program ini. Supaya rumah layak huni bisa terus dibangun.
Hadi Rudyatmo "Jadi yang jelas, program Rumah Tidak Layak Huni terus kita jalankan. Dengan bantuan dua 2 juta mungkin yang dilakukan dalam proses membangun lebih dari empat juta. Karena tenaga kan tidak dihitung, namun lebih kepada gotong royong. Kalau kita uangkan, kira-kira mencapai 4-5 juta rupiah."
Kini tinggal memastikan, supaya rumah-rumah yang direnovasi Pemerintah Kota Surakarta tak hanya indah di luar, tapi juga nyaman di dalam.
Sri Makarti: "lho ini tempaté saya ditutupi sarung supaya bisa ketutup. Kan masih blak-blakan, masih paké spanduk juga ya bu? Iya, lha wong belum tutupé, belum ada uangé. Dari luaré kan kelihatan bagus, tapi dalemé lagi berantakan, masih ditutup spanduk-spanduk. Sampèk sarungé anak saya kalau dingin enggak dipakai buat nutup"
Tim Liputan KBR68H melaporkan untuk Radio Nederland Wereldomroep di Hilversum.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, November 20, 2008
Label: 68H, Kebijakan, kemiskinan, Kota, Pemerintah, Penggusuran, Solo
Tekan TKI Ilegal, APJATI Teken MoU dengan Polda
Kamis, 20/11/2008 10:53 WIB
Rois Jajeli - detikSurabaya
Surabaya - Banyaknya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal membuat Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI) dan Polda Jatim melakukan penandatanganan MoU meminimalisir kasus tersebut.
"Dengan adanya kerjasama ini, banyak yang harus dikerjakan bersama antara polisi dengan APJTKI dan instansi terkait menindaklanjuti dan menginventarisir masalah yang terjadi dalam TKI," ujar Kapolda Jatim Irjen Pol Herman S Sumawiredja kepada wartawan usai penandatanganan MoU dengan PJTKI di ruang rapat utama (Rupatama) Polda Jatim Jalan Ahmad Yani, Kamis (20/11/2008).
Sementara Ketua APJATI Jatim, Eddy Windarto mengatakan, dari data yang didapat pejabat pemerintahan bahwa TKI yang ada di Malaysia jumlahnya sekitar 2,4 juta.
"Sedangkan yang illegal kami tidak mengetahui jumlah pasti jumlah TKI. Namun jumlahnya hampir sama dengan yang legal," kata Eddy kepada wartawan.
Eddy menambahkan, tiap bulannya TKI yang legal dari Jatim berjumlah 5 ribu orang. Dari 5 ribu orang itu, 50 persennya bekerja informal seperti pembantu rumah tangga (PRT). Sedangkan sisanya bekerja formal atau perusahaan-perusahaan negara tersebut.
"Dengan adanya MoU ini kita harapkan TKI mendapatkan perlindungan, keamanan dan kenyamanan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Serta memperjelas mana TKI legal dan illegal," tambahnya.
Dia menjelaskan, MoU ini dapat menekan dan melindungi para TKI dari Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) fiktif.
"Untuk perusahaan TKI yang memberangkat ke negara yang dituju harus ditertibkan oleh aparat penegak hukum," tegasnya.(fat/fat)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, November 20, 2008
Antisipasi TKI Ilegal, Polda Jatim Akan Sweeping PJTKI Fiktif
Kamis, 20/11/2008
Rois Jajeli - detikSurabaya
Munurut Eddy Windarto Ketua Apjati Jatim, banyak TKI yang berangkat ke luar negeri tanpa melewati izin dan prosedur, karena mereka diberangkatkan oleh perseorangan atau perusahaan fiktif.
"Akibatnya, ada yang gajinya tidak dibayar. Menjadi korban trafficking dan masalah lainnya," kata Eddy kepada wartawan usai penandatanganan MoU antara Polda Jatim dan Apjati di Rupatama Gedung Tribrata Mapolda Jatim, Jalan Ahmad Yani, Surabaya, Kamis (20/11/2008).
Ia mengakui, selama ini banyak warga asing yang merekrut langsung enaga kerja Indonesia dan ditempatkan di luar negeri. Sehingga keberadaanya sulit dideteksi oleh pemerintah.
Padahal, kata Eddy, perusahaan yang memberangkatkan TKI harus mempunyai perwakilan perusahaan di negara yang dituju. "Dengan adanya perwakilan di negara tersebut dan membantu kesulitan atau permasalahn yang dihadapi pekerja," tuturnya.
Sementara itu, Kapolda Jatim Irjen Pol Herman S Sumawiredja menyadari banyak masalah yang dihadapi pekerja. Sehingga untuk penanganannya diperlukan kerjasama semua pihak untuk menginventarisir masalah yang dihadapi pekerja.
"Sebagai polisi nanti kita akan mengacu pada hukum-hukum yang berlaku, misalnya, trafficking in person, perpajakan dan lain-lain," katanya.
Saat ditanya apakah akah melakukan sweeping terhadap penampungan TKI yang diduga fiktif di Jawa Timur. "Saya rasa tindakan kongkritnya seperti itu," ujarnya.
Data yang didapat Apjati, jumlah TKI ilegal terutama di Malaysia hampir sama dengan legal sekitar 2,4 juta orang.
Setiap bulan TKI legal yang berangkat ke luar negeri sekitar 60 ribu orang, dan di Jatim sekitar 5 ribu orang. 50 persen bekerja di sektor formal (bekerja di perusahaan) dan 50 persen di informal (bekerja sebagai pembantu rumah tangga).
Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang resmi di Jatim sekitar 67 perusahaan. Sedangkan yang ilegal jumlahnya diperkirakan banyak dan sulit dideteksi.(roi/bdh)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, November 20, 2008
Tiga Milyar Rupiah Hasil Jerih Payah TKI Berhasil Diselamatkan KBRI
Berita KBRI - 13/11/2008
Oleh : Shanti Utami Retnaningsih
Kuala Lumpur, 13 Nopember 2008, Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia tidak hanya memerlukan dokumen dan permit kerja saja, tetapi yang juga penting adalah keahlian dan kesiapan mental untuk bekerja. Demikian disampaikan Duta Besar RI Da’i Bachtiar saat melepas sekitar 28 orang TKW di Aula KBRI Kuala Lumpur pada hari Kamis, tanggal 13 Nopember 2008. KBRI Kuala Lumpur melalui tim Satuan Tugas Pelayanan dan Perlindungan WNI secara terus menerus berupaya memaksimalkan penyelesaian kasus dan pemulangan TKI bermasalah yang ditampung di shelter KBRI.
Dalam periode bulan Januari-13 Nopember 2008, sebanyak 646 orang TKW telah dipulangkan KBRI ke tanah air dan dana kompensasi sejumlah Rp. 3.113.521.502 telah berhasil diselamatkan. Baru-baru ini KBRI juga telah menyerahkan santunan asuransi untuk 19 TKI asal Lombok dan Jawa Tengah yang meninggal dunia yang diperoleh dari Jabatan Tenaga Kerja Malaysia sebesar Rp. 1.033.309.057,66.
Prosedur penyelesaian kasus TKI tidak terlepas dari kerjasama KBRI dengan dengan instansi Pemerintah Malaysia (Kementerian Dalam Negeri, Imigresen, Jabatan Buruh dan Polis), Perwakilan RI lainnya di Malaysia, organisasi Pemerintah maupun non-Pemerintahan serta Organisasi Internasional yang diarahkan untuk terciptanya mekanisme perlindungan warga yang lebih baik.
Dalam rangka mengoptimalkan kepedulian dan perlindungan kepada TKI, KBRI telah menempuh langkah pencegahan dengan menugaskan staf Protokol di 2 bandara internasional di Kuala Lumpur untuk memantau TKI yang terlantar karena tak kunjung dijemput oleh majikan yang akan mempekerjakan mereka, demikian juga kasus WNI yang kehilangan paspornya saat mendarat di bandara Kuala Lumpur, yang banyak terjadi dan selanjutnya menjadi fokus peningkatan keberpihakan KBRI terhadap TKI.**
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, November 20, 2008
Label: Buruh migran, illegal, KBRI Kuala Lumpur, remittance
19 November 2008
Gizi Buruk: Tumor Merampas Keceriaan Fadiyah
Kompas/Cokorda Yudistira / Kompas Images Fadiyah (digendong), putri pasangan Sukewi dan Maryadi, warga Kampung Pondok Ranggon, Kelurahan Jatiranggon, Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi, diduga menderita tumor ganas dan gizi buruk, Senin (17/11). |
Angin bertiup dingin. Mendung di langit tampak semakin tebal. Tak lama kemudian hujan turun di Kampung Pondok Ranggon, Kelurahan Jatiranggon, Jatisampurna, Kota Bekasi, Senin (17/11) sore.
Fadiyah menggelayutkan tangannya ke leher Sukewi. ”Bu... jajan,” rengek Fadiyah ke ibunya itu. ”Iya, sebentar lagi,” jawab Sukewi berusaha menenangkan putri bungsunya.
Setelah Fadiyah tenang, Sukewi lantas bertutur. Fadiyah waktu itu berusia setahun ketika titik putih muncul di pupil mata kirinya. Lama-kelamaan biji mata kiri Fadiyah membengkak. Berselang dua tahun kemudian, biji mata kiri Fadiyah semakin menonjol keluar.
”Umurnya baru tiga tahun lebih sedikit ketika dia dioperasi di Cipto (Rumah Sakit Cipto Mangkunkusumo/RSCM, Jakarta),” tutur Sukewi ibu tiga anak ini. Sukewi mengutip keterangan dokter, mata kiri Fadiyah kena tumor mata yang ganas.
Dokter mengangkat bola mata kiri Fadiyah. Mata kiri Fadiyah ditutup kain kasa yang setiap hari harus diganti. Meski sudah diangkat, ternyata masih ada tumor yang bersarang. Tumor itu terus membesar, terutama di bagian kiri wajah Fadiyah. Pipi kirinya membengkak sampai-sampai hidung dan bibir Fadiyah bergeser ke sisi kanan.
Fadiyah pun menjalani penyinaran dan kemoterapi. Akibat tindakan itu, rambut bocah tersebut rontok. Kulit pipi kirinya kering dan mengelupas.
”Di belakang telinga kirinya tumbuh benjolan,” kata Sukewi mengenai kondisi putrinya. ”Dokter sudah tidak berani mengoperasinya lagi. Dokter hanya menyarankan Fadiyah dikontrol tiap dua minggu,” ujarnya.
Gizi buruk
Fadiyah adalah anak ketiga dari pasangan Sukewi (32) dan Maryadi (40), warga Kampung Pondok Ranggon, Jatiranggon, Jatisampurna, Kota Bekasi. Kakak Fadiyah adalah Aji Satrio (12) dan Taufik Hidayat (7). Fadiyah genap berusia empat tahun pada Februari lalu. Di usianya itu, Fadiyah seharusnya menikmati masa kanak-kanaknya dengan penuh keceriaan.
Namun, tujuh bulan setelah itu, tepatnya pada bulan September, Fadiyah harus diopname di RSCM, Jakarta. Sebulan lamanya bocah perempuan yang masih berusia di bawah lima tahun itu dirawat di rumah sakit.
Saat itu Sukewi mendapat informasi dari dokter tentang kondisi anaknya. ”Dokternya bilang, Bu, anak Ibu kena gizi buruk. Saya kaget. Memang, berat badan Fadiyah turun dari 10,5 kilogram menjadi 9,6 kilogram, tetapi dia makannya lahap,” tutur Sukewi.
Tidak hanya mengalami gizi buruk, Fadiyah juga tidak mampu lagi berjalan. Kedua betisnya mengecil. Kaki-kakinya tak lagi kuat menopang tubuh Fadiyah yang juga sudah kurus.
Salah seorang kader pos pelayanan terpadu di Kampung Pondok Ranggon, Sulasih, menerangkan, kasus yang dialami Fadiyah sudah dilaporkan kepada pihak Puskesmas Jatisampurna. Pihak puskesmas sudah merespons dengan mengirimkan bidan untuk memeriksa kondisi Fadiyah.
”Fadiyah menjadi kasus gizi buruk karena berat badannya terus menurun. Hasil penimbangan, berat badannya memang di bawah batas garis merah,” kata Sulasih.
Karena kondisinya itu, kata Sulasih, Fadiyah pernah diliput beberapa stasiun televisi. Bantuan pernah mengalir untuk keluarga Sukewi. ”Namun, itu sudah lama,” kata Sulasih lagi.
Ditemui terpisah, Kepala Sie Kesehatan Keluarga dan Gizi di Dinas Kesehatan Kota Bekasi Pusporini mengatakan, Fadiyah dapat dirujuk untuk dirawat di rumah sakit tanpa dibebani biaya. Sepanjang Fadiyah mengalami gizi buruk berupa marasmus atau kwashiorkor.
”Kami harus tahu dulu kondisi (anak ) balita itu. Kalau ada penyakit, penyakitnya dulu yang harus disembuhkan, baru gizinya diperbaiki,” kata Pusporini.
Keluarga miskin
Maryadi dan empat anggota keluarganya tinggal berdesakan dalam rumah mungil yang tidak lagi dapat digolongkan ke dalam tipe rumah sangat sederhana (RSS). Luas rumah Maryadi tidak lebih dari 15 meter persegi dengan lebar rumah kira-kira dua meter. Temboknya dibuat dari papan tripleks dan beratap seng. Rumah itu menempel di tembok belakang rumah orangtua Maryadi.
Maryadi tergolong keluarga tidak mampu. Maryadi termasuk satu dari sejumlah warga yang mendapat bantuan langsung tunai (BLT). Kondisi itu dibenarkan oleh Karnamih, istri Ketua RT 03. Maryadi sendiri kerja serabutan sebagai kuli bangunan, upahnya Rp 30.000 per hari.
Oleh sebab itu, Keluarga Maryadi sangat mengandalkan kartu jaminan pemeliharaan kesehatan untuk keluarga miskin (gakin). Dengan kartu itu, Maryadi mendapatkan fasilitas gratis untuk berobat ke RSCM.
”Meskipun ada jaminan bebas biaya berobat, tetapi tetap berat juga. Untuk pergi kontrol ke RSCM butuh ongkos. Sekali berangkat ke sana bisa habis Rp 100.000. Buat kami berat sekali, enggak mungkin itu,” kata Sukewi. (Cokorda Yudistira)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Wednesday, November 19, 2008
Label: Anak, Gizi Buruk, Jakarta
Two Indonesians sentenced to death in Malaysia
Wednesday, November 19, 2008
Hotli Simanjuntak , The Jakarta Post , Banda Aceh | Sun, 11/16/2008 4:55 PM | National
A court in Kuala Lumpur sentenced two Indonesians to death by hanging for marijuana dealing on Friday. Drug crimes are punishable by death in the country.
Mohammad Idris (32) and Zainuddin (40), both from Aceh, were caught trying to sell marijuana at a kiosk in the city in September last year. Local police confiscated 5.7 kilograms of marijuana from them.
Both defendants pleaded not guilty in the charges, claiming they were told by a man call Yan to deliver a bag to the kiosk, and denied knowing what was inside the bag.
The court, however, rejected their defense, saying the defendants were never able to bring Teungku Yan forward as a witness.
According to Sabri, Zainuddin's younger brother, Malaysian police had previously jailed his brother on marijuana possession charges in 1993.
"I am hoping for the government's help so my brother can have his penalty reduced," he told The Jakarta Post on Sunday.
There are at least 300 Acehnese detained in Malaysia on drug-related charges. They are either being investigated or awaiting trial. (dre)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Wednesday, November 19, 2008
Label: BMI meninggal, hukum mati, Malaysia, The Jakarta Post