-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

31 January 2008

Remaja Hong Kong Bunuh TKW

Sinar Harapan, 30/1/2008

Hong Kong – Dua remaja laki-laki Hong Kong berusia 16 tahun menikam hingga tewas seorang pekerja rumah tangga (PRT) asal Indonesia. Sebanyak 20 tikaman ditemukan pada tubuh perempuan bernama Fitriani tersebut.

Rekonstruksi terhadap tindak kejahatan tersebut digelar di lokasi kejadian perkara, Selasa (29/1). Kedua pelaku akan dibawa ke pengadilan, Rabu (30/1) ini. Sedangkan jenazah Fitriani dipulangkan ke Indonesia, Kamis (31/1) esok. Demikian laporan wartawan SH di Hong Kong, Fransisca Ria Susanti. Dugaan sementara, motif yang melatarbelakangi pembunuhan itu adalah masalah percintaan karena salah satu dari pelaku adalah mantan pacar Fitriani.

Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) menilai kerja polisi Hong Kong cukup cepat dalam menangkap pelaku pembunuhan. "Tak sampai seminggu, polisi sudah bisa menangkap pelaku," ungkap Konsul Ekonomi di KJRI-Hong Kong, Bambang Setia Budi, kepada SH, Rabu pagi.

Fitriani (24) ditemukan tewas pada Rabu (23/1) pagi di tempat pemeliharaan anjing milik North American Working Dog Association (Far East) di kawasan Fanling, New Territories, Hong Kong. Ia ditempatkan di situ oleh majikannya, setelah 1 Desember lalu ia diserang oleh empat orang bertopeng hingga babak belur dan masuk rumah sakit. Namun di lokasi baru itu, Fitriani justru menemui ajal. Perempuan kelahiran Malang, 3 Juni 1983 ini, menurut kontrak kerja yang ia tanda tangani tanggal 9 November 2006, diberangkatkan ke Hong Kong oleh PT Sentosa Karya Aditama dan disalurkan oleh agen AVMS Limited di Hong Kong.

Jenazah Fitriani akan diterbangkan ke Indonesia, Kamis esok, setelah dimandikan dan disalatkan. Salah seorang staf di KJRI Hong Kong akan mengantar jenazah hingga ke rumah keluarganya yang beralamat di Jalan Randu Putih No 420 RT 03/06, Laweyan, Sumberasih, Probolinggo.

Paling Sadis

Menurut Bambang, pembunuhan yang terjadi pada Fitriani merupakan pembunuhan paling sadis yang pernah terjadi dalam sejarah keberadaan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Hong Kong. "Bekas tikaman ada di sekujur tubuhnya. Di tangan, dada, punggung, dan juga empat tikaman di jantung," jelas Bambang yang diminta KJRI untuk melihat jenazah Fitriani sesaat setelah mendapat laporan dari pihak kepolisian.

Pihak polisi sendiri, sehari setelah menemukan jenazah, memastikan bahwa kejadian tersebut terjadi pada dini hari dan dilakukan oleh pihak yang tak profesional. Polisi juga menduga bahwa pelakunya adalah orang yang mengenal dekat lokasi tersebut karena anjing-anjing yang berada di lokasi itu sama sekali tak mengeluarkan suara ribut ketika peristiwa pembunuhan itu terjadi.Berbekal dugaan inilah, tak sampai sepekan, polisi bisa menangkap pelaku yang ternyata juga bekerja di tempat tersebut.

Read More...

Jumhur Hidayat: Indonesia Jadi Benchmark Gaji Minimum

Gatra, Kamis, 31 Januari 2008

Para TKI Mengurus Paspor & Berbagai Dokumen di KBRI Kuala Lumpur, Malaysia (GATRA/Miranti S Hirschmann)Bertahun-tahun "menekuni" masalah buruh membuat Jumhur Hidayat fasih melafazkan problematika tenaga kerja Indonesia (TKI). Kini sudah 10 bulan Jumhur menyandang jabatan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI). Bagaimana hasilnya? Berikut perbincangan wartawan Gatra Hendri Firzani dengan Jumhur, yang pada juga menjadi Ketua Umum Gabungan Serikat Pekerja Merdeka Indonesia.

Sejauh mana pembahasan soal TKI dengan Malaysia?
Secara umum, pemerintahan Perdana Menteri Abdullah Badawi sangat concern. Mereka mengaku prihatin atas kasus-kasus kekerasan terhadap TKI. Hanya saja, karena terkait masalah hukum, Pemerintah Malaysia mengaku tidak bisa campur tangan. Tapi kita tetap meminta dan mendesak agar ada kepastian hukum.

Anda punya usul mandatory consular notification (MCN). Bagaimana nasibnya?
Pemerintah Malaysia sudah setuju. Tapi mereka masih mempelajari teknis pelaksanaannya. Bisa dimaklumi, karena jumlah WNI di Malaysia ada 3 juta orang. Maksud adanya MCN, bagi setiap orang yang mendapat masalah hukum di negara tersebut, Pemerintah Malaysia wajib melaporkannya segera kepada kantor perwakilan Indonesia.

Bagaimana pemerintah mengawasi aktivitas TKI?
BNP2TKI sedang mendiskusikan dengan Malaysia untuk membentuk lembaga monitoring. Lembaga itu akan berfungsi layaknya call center. Pengawasan TKI akan dilakukan dengan menelepon, mendata, dan melakukan konseling. Konsepnya sedang kami susun. Jika berjalan, saya yakin bisa mengurangi kasus-kasus kekerasan terhadap TKI.

Di Malaysia, melalui Departemen Luar Negeri, sejumlah perubahan sudah dilakukan. Antara lain dalam pengurusan dokumen, dulu bisa mencapai 41 hari, tapi diperbaiki hingga 16 hari, sekarang cuma butuh tiga jam. Begitu juga ruang pelayanan, dulu antre dan berpanas-panas, sekarang di ruang ber-AC.

Soal gaji, Filipina bisa menetapkan gaji minimal buat tenaga kerjanya, kok Indonesia belum?
Saya rasa, bukan seperti itu. Malaysia tidak mengenal upah minimum. Adapun untuk Filipina, gajinya ditentukan oleh Pemerintah Filipina. Jadi, buat mereka yang hendak ke luar negeri, pemerintah menetapkan gaji minimum. Jika tidak, mereka tidak dapat ke luar negeri. Nah, itu kita lakukan di Timur Tengah. BNP2TKI berhasil menaikkan upah minimum TKI hingga 33%. Padahal, sudah bertahun-tahun tidak pernah naik.

Sekarang upah TKI minimal 800 riyal atau lebih dari Rp 2 juta per bulan. Sebelumnya hanya 600 riyal. Dan terbukti, permintaan TKI tak berkurang. Begitu pula di Singapura, kita naikkan 25%, dari S$ 280 menjadi S$ 350 per bulan. Ini luar biasa. Sepanjang sejarah Indonesia, baru kali ini kita bisa menetapkan gaji minimum bagi TKI di luar negeri. Bahkan negara lain menjadikan Indonesia sebagai benchmark.

Apa peran perusahaan pengerah jasa TKI (PJTKI). Kesannya, mereka fire and forget, mengirim TKI tapi soal perlindungan tidak bertanggung jawab?
Itu sebabnya, kami membangun lembaga pengawasan. Di Arab Saudi akan ditetapkan tambahan pelayanan dan perlindungan bagi TKI. Mulai 1 Maret 2008, setiap TKI yang dikirim ke Arab Saudi dan juga seluruh kawasan Timur Tengah diwajibkan menjadi anggota salah satu kantor pengacara yang ditunjuk. Jadi, user akan memperhitungkan betul tindakannya pada TKI.

Itu berarti lagi-lagi peran pemerintah. PJTKI bagaimana?
Memang, tapi agennya akan kami minta tanggung jawab untuk melakukan monitoring. Agen-agen di Malaysia bahkan mengaku sudah siap. Mereka malah berinisiatif akan mewajibkan user membawa TKI ke kantor agensi atau ke konsuler sebulan sekali. Namun lalu kami bilang, nggak usah, biar pemerintah yang mengawasi, tapi agen akan kami charge. Charge itu akan digunakan untuk membiayai operasional kantor pengawasan yang isinya ada lawyer, psikolog, dan call operator yang akan memantau seluruh TKI kita.

Bagaimana dengan kualitas TKI kita?
Tahun ini, kami menyebutnya sebagai tahun kualitas atau tahun formal. Dua pekan lalu, saya mengumumkan rating balai latihan kerja (BLK). Dari 181 BLK yang ada, saya hentikan 86 buah atau 42%. Mereka tidak boleh beroperasi hingga memperbaiki kualitas pelatihan dan sarana-prasarana BLK. Kami juga akan membuat bursa-bursa kerja hingga kecamatan untuk mengurangi peran calo yang kerap merugikan.

[Nasional, Gatra Nomor 12 Beredar Kamis, 31 Januari 2008]

Read More...

Pelabuhan Tanjung Priok Diduga Jalur Pengiriman TKI Ilegal

Jakarta -- MI: 31/1/2008

Pelabuhan Tanjung Priok diduga dimanfaatkan sebagai jalur pengiriman tenaga kerja anak-anak ke Malaysia.
 
Koordinator Embarkasi Terminal Penumpang Pelabuhan Tanjung Priok, Rajamin Sitanggang, Minggu (27/1), mengatakan dalam dua pekan terakhir, pihaknya beberapa kali menangkap anak laki-laki di bawah umur. Mereka ditangkap saat proses embarkasi.
 
Penangkapan terakhir, kata Rajamin, dilakukan Jumat (25/1) sore. Saat itu, sedang dipersiapkan keberangkatan kapal KM Dobonsolo menuju Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Ketika proses embarkasi, ia mencurigai beberapa kelompok anak-anak yang menjadi penumpang kapal tersebut. Salah satu kelompok diantaranya terdiri dari empat anak-anak berusia antara 11 hingga 14 tahun ditangkap dan dibawa ke ruang embarkasi untuk ditanyai.
Kepada petugas keempat anak tersebut mengaku berasal dari Flores dan Sumba Besar, Nusa Tenggara Timur. Mereka berangkat ke Tanjung Pinang untuk mencari kerja atas kemauan sendiri. Namun, keempatnya dilepas karena memang memiliki tiket.
 
"Kami mencurigai anak-anak itu akan diseludupkan Malaysia. Dalam dua pekan terakhir, kami sudah sering menangkap kelompok anak-anak yang akan berangkat dengan tujuan Batam dan Tanjung Pinang," jelas Rajamin. (Mhk/OL-06)


Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers

Read More...

Pacu SMK Pertanian, Siswa Diberi Beasiswa

29/1/2008

JAKARTA--MI: Untuk mengantisipasi melambungnya harga produk pertanian, Depdiknas pacu perkembangan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan pertanian.

Direktur SMK Ditjen Dikdasmen Depdiknas Joko Sutrisno mengatakan siswa yang mengambil jurusan pertanian, langsung mendapat bea siswa Rp65.000 per siswa per bulan.

"Saya berharap dengan beasiswa ini, anak-anak akan terangsang untuk mempelajari ilmu pertanian dan mengembangkan sektor pertanian kita," kata Joko Sutrisno di Jakarta, Selasa (29/1).

Mahalnya harga produk pertanian yang terjadi belakangan ini, menurut Joko tidak terlepas dari kurang majunya sektor pertanian kita. Kita lebih banyak bergantung pada pasokan pangan dari negara lain. Untuk itu perlu dipacu munculnya sekolah-sekolah pertanian, sehingga nantinya kebutuhan tenaga pertanian yang terdidik akan terpenuhi.

Saat ini jumlah SMK yang membuka jurusan pertanian tercatat 215 sekolah. Jumlah siswanya diperkirakan sekitar 200 ribu siswa.

Beasiswa untuk jurusan khusus ini, Depdiknas menyiapkan sekitar 36 ribu peluang. Selain beasiswa khusus itu, Depdiknas juga menyiapkan beasiswa bagi siswa miskin berjumlah 422.011, beasiswa khusus dari Yayasan Supersemar mencapai 15 ribu orang ditambah beasiswa dari masing-masing pemda yang jumlahnya bervariasi.

Membanjirnya tawaran beasiswa tersebut, diakui Joko mampu meningkatkan jumlah siswa SMK. Dalam kurun setahun terakhir ini terdapat penambahan siswa hingga 15%.

Selain jurusan pertanian, jurusan yang kini mendapatkan perhatian khusus dari Depdiknas adalah jurusan kesenian seperti seni tari, seni kriya, seni dalang, dan sebagainya. Menurut Joko, jurusan kesenian perlu mendapat dukungan agar lebih menarik mengingat seniman dibutuhkan untuk mempertahankan seni dan budaya asli bangsa. (Win/OL-03)

Read More...

Paket Kebijakan Pangan bakal Menyeluruh

30/1/2008

JAKARTA--MI: Pemerintah mengindikasikan paket kebijakan pangan yang sedang digodok akan bersifat menyeluruh. Hal itu termasuk pemberian insentif dan subsidi untuk stabilisasi harga pangan.

"Tunggu dulu lah. Kita (Departemen Perdagangan) hanya memiliki porsi kecil. Akan tetapi yang jelas paket ini akan bersifat menyeluruh," ungkap Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu di Jakarta, Selasa (29/1).

Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan penyusunan paket kebijakan pangan. Rencananya paket ini akan diumumkan akhir pekan ini. Hal itu sebagai respon dari melonjaknya harga komoditas pangan dunia. Diawali dengan kenaikan harga minyak mentah, harga gandum, kedelai, minyak sawit, dan jagung. Kenaikan itu berimbas pada melonjaknya harga kebutuhan pokok di dalam negeri.

Meski begitu, Mari enggan mengungkapkan arah paket kebijakan baru ini. Pasalnya, penggarapan paket ini langsung diawasi Presiden dan dikomandoi para menteri koordinator di dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Namun, dia tidak membantah kemungkinan pemberian insentif dan subsidi bagi pangan.

Salah satu alternatif yang telah mengemuka di ataranya pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) ke sektor pangan.

Sementara itu, di tempat terpisah Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengatakan paket kebijakan ini kemungkinan akan diumumkan Jumat (1/2). Meski dia menolak untuk menjelaskan opsi dari kebijakan tersebut.

"Kan Presiden yang mengumumkan. Tidak etis lah kalau saya ngomong. Jadi tunggu saja," elaknya.

Tahun lalu, pemerintah telah menerbitkan paket kebijakan terkait empat kebutuhan pokok yakni beras, gula, minyak goreng, dan minyak tanah. Dalam paket ini, pemerintah menaikkan bea masuk beras dari Rp450/kg menjadi Rp550/kg.

Sementara itu, untuk minyak goreng diberlakukan pungutan ekspor progresif. Pemerintah juga menanggung pajak pertambahan nilai (PPN) dan memberikan subsidi bagi minyak goreng curah. Selain itu, untuk beras pemerintah juga membebaskan Bulog dalam menjalankan bisnis di komoditas beras premium. Sedangkan, untuk minyak tanah pemerintah menggenjot upaya konversi ke elpiji.

Namun, paket kebijakan itu tidak berhasil meredam gejolak di sektor pangan. Akibatnya, pemerintah kembali menurunkan BM beras menjadi Rp450/kg. Sedangkan, gejolak harga pangan justru melebar pada komoditas jagung, kedelai, dan terigu. Untuk itu, dalam paket kebijakan baru pemerintah kemungkinan akan mengakomodasi semua komoditas strategis yang termasuk kebutuhan pokok. (Toh/OL-03)

Read More...

Politik Beras Murah Korbankan Sektor Pertanian

30/1/2008

YOGYAKARTA--MI: Politik beras murah yang selama ini diupayakan pemerintah dinilai sebuah kebijakan yang tidak memikirkan nasib petani. Kaum petani yang sudah miskin dipaksa berkorban agar tetangganya bisa makan dengan murah.

Hal tersebut disampaikan Mochammad Maksum dalam pidato pengukuhananya

sebagai Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Rabu (30/1).

"Romantisme beras murah ini sudah kebablasan. Petani yang sudah miskin harus ikhlas untuk lebih miskin lagi, menerima harga murah supaya tetangga yang daya belionya terbatas bisa makan," kata Maksum.

Pemerintah, lanjut Maksum, terlalu didikte oleh lembaga keuangan seperti

Bank Dunia yang menyampaikan angka-angka yang menakutkan jika harga beras tinggi. Pada akhir 2006 misalnya, Bank Dunia mengatakan kenaikan harga beras telah menyebabkan penduduk miskin Indonesia bertambah hingga 3 juta orang. Angka kemiskinan naik dari 15,97 pada Maret 2005 menjadi 17,75 pada Februari 2006.

"Hal itu juga ditunjang dengan dramatisasi Bank Dunia yang mengatakan

angka kemiskinan 49 jika menggunakan garis kemiskinan 2 Dollar Amerika

perhari. Semua itu adalah pembenaran bagi dimurah-murahkannya beras,"

tegasnya.

Sekilas, lanjut Maksum, fakta yang disampaikan Bank Dunia tersebut masuk

akal. Meskipun sebenarnya pada saat itu kenaikan harga beras akibat kenaikan harga BBM. Sementara pada sisi permintaan lemahnya daya beli masyarakat kambing hitam. Padahal, rendahnya daya beli etrjadi akibat gagalnya pemerintah membuka lapangan kerja. "Akibatnya pertanian harus menjadi bemper dari ketenagakerjaan," katanya.

Maksum menegaskan sangat berbahaya dogma yang dikembangkan Bank Dunia bahwa untuk mengatasi kemiskinan tidak dilakukan dengan peningkatan daya beli, tetapi dengan memurahkan pangan. Seharusnya lemahnya daya beli masyarakat harus diatasi secara pragmatisme fiskal dan kebijakan tersendiri tidak melalui dengan memurahkan beras bagi siapa saja.

Kondisi seperti ini, ditambah dengan rendahnya produktifitas pertanian

domesktik yang mendorong pemerintah memutuskan impor bahan makanan yang

menjadikan sektor pertanian kian terpukul.

"Kebijakan pembangungan sangat dikotomis menempatkan sektor pertanian sebagai sesaji sektor industri," katanya.

Untuk itu Maksum menyerukan program Kembali ke Desa (KkD). Kalaupun harus

mengembangkan sektor industri maka harus berbasis pada agro industri yang sebenarnya potensinya sangat besar.

"Akhirnya mari kita buka mata betapa pas-pasan daya tawar politis sektor

pertanian sehingga segalanya ditentukan oleh pihak lain hingga akhirnya

pertanian ditempatkan sebagai pelayan saja," kata Maksum. (AZ/OL-2)

Read More...

Hanya Rp285 jt untuk TKW malang

BBC Indonesia - 30 Januari, 2008

Gaji TKW Indonesia asal Flores yang mengalami perlakuan buruk dari diplomat Yaman di Berlin, akhirnya akan dibayar sebesar lebih-kurang 21,000 ero.

Jumlah yang setera dengan Rp285 juta ini hanya upah minimum di Berlin selama 29 bulan Dewi Hasniati (nama samaran) asal Flores bekerja untuk majikannya seorang diplomat Yaman.

Menurut pengakuan Dewi kepada LSM yang membela wanita terlantar, Ban Ying, yang berkantor di Berlin, TKW berusia 30 tahun ini bekerja tujuh hari seminggu dan harus siap 24 jam menjalankan perintah majikannya, tanpa bayaran.

Sebaliknya dia disiksa, dikurung setiap hari di rumah, dengan hanya memakan nasi plus tomat, sampai akhirnya badan Dewi kurus-kering dan terkena penyakit TBC.

Dibayar kedutaan Yaman

Sekarang, Kedutaan Besar Yaman di Berlin setuju membayarkan gaji, seperti dijelaskan oleh kordinator Ban Ying, Nevedita Prasad.

"Uang itu adalah gaji dia yang dijanjikan akan dibayar kepadanya. Tidak ada ganti rugi dan tidak ada uang lembur yang dibayarkan, melainkan hanya upah minimum yang harus dibayar," kata Nevedita.

Menurut koordinator Ban Ying ini, pihaknya sudah mendapatkan pernyataan tertulis dari pengacara kedutaan Yaman bahwa mereka siap menyerahkan uang gaji Dewi itu.

"Kami sepakat untuk tidak menyebutkan jumlahnya; yang bisa saya katakan ialah besarnya 750 ero per bulan, dan Hasniati bekerja dari November 2004 sampai Mei 2007."

Dari penjelasan tadi bisa diperoleh angka minimum yang akan diterima Dewi Hasniati yaitu lebih-kurang 21,000 ero atau sekitar 285 juta rupiah.

Menurut Nevedita, pembayaran gaji ini sekaligus akan menutup kasus Dewi karena memang tidak bisa diteruskan proses hukum lebih lanjut sebab diplomat Yaman itu memiliki kekebalan diplomatik.

Sebelum bekerja dibawa ke Berlin pada bulan November 2004, Dewi sudah lebih-kurang dua tahun bekerja dengan diplomat Yaman tersebut.

Read More...

30 January 2008

Fitriani Ditemukan Tewas Akibat 20 Tusukan di Hong Kong

Detik.com 25/01/2008

Arfi Bambani Amri - detikcom

Jakarta - Satu lagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) meninggal di rantau orang. Adalah Fitriani (24), ditemukan tewas akibat 20 tusukan pada Rabu 23 Januari 2008 lalu.

"Jenazah TKI tersebut ditemukan oleh majikannya pada pukul 08.25 waktu
setempat di pekarangannya," ungkap Kepala Pusat Humas Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, Sumardoko, secara tertulis ke redaksi detikcom, Kamis
(24/1/2008).

Informasi penemuan jenazah wanita kelahiran Malang, 3 Juni 1983,itu didapatkan Konsulat Jenderal RI Hong Kong padA Rabu (23/1/2008) pukul 11.00 waktu setempat. Lalu KJRI Hong Kong mengirimkan Konsul Ekonomi untuk
mengidentifikasi jenazah pada Kamis ini.

"Dugaan sementara, pelaku pembunuhan adalah seorang pria yang mempunyai
hubungan pribadi dengan almarhum," kata Sumardoko.

Fitriani yang memiliki alamat asal Jalan Randu Putih No 420 RT 03/06 Laweyan, Sumberasih, Probolinggo, itu pada 1 Desember 2007 lalu pernah juga didatangi 4 pria bertopeng. Fitriani yang masuk ke Hong Kong melalui agensi AVMS Limited itu digebuki, sampai akhirnya diselamatkan tetangga majikannya.

Jenazah Fitriani yang memiliki majikan bernama Wong King-Kwok itu akan
disemayamkan di Universal Funeral Parlour Co. Pada 31 Januari nanti,
jenazah akan disucikan menurut agama yang dianutnya dan akan dibawa
pulang ke Indonesia pada pukul 16.15 waktu setempat dengan didampingi staf
KJRI Hong Kong.
( aba / aba )

Read More...

Kondisi Hasniati Baik, Kata KBRI Berlin

29/01/08 10:02 Berlin- Kedutaan Besar Indonesia (KBRI) di Berlin, Jerman, mengungkapkan saat ini kondisi tenaga kerja wanita (TKW) dengan nama samaran Dewi Hasniati (30 tahun) berada dalam kondisi baik dan tinggal dalam penampungan yang disediakan LSM Ban-Ying.


"Dia telah dua kali datang ke KBRI dan saat ini kondisinya baik-baik saja. Yang jelas dia sudah tidak lagi bekerja pada diplomat asal Yaman itu karena dia tinggal di penampungan Ban-Ying. Kita terus memantau keadaannya," ungkap sumber di KBRI kepada ANTARA, Senin.

Dikatakannya KBRI telah meminta perhatian dari Kementerian Luar Negeri Jerman atas kasus tersebut, meskipun diperkirakan tidak akan ada tindakan tertentu terhadap majikan TKW yang telah bekerja sebelum diplomat itut ditempatkan di Berlin.

"Pihak Ban-Ying sendiri telah meminta agar diplomat itu dipersona nongratakan," kata sumber tersebut.

Pihak KBRI juga menegaskan bahwa saat Hasniati mendapat perawatan dari rumah sakit pada awal April tahun lalu, dia memiliki izin tinggal yang berlaku selama satu tahun. "Kita telah membuatkannya paspor saat itu karena paspornya ditahan oleh majikannya," ungkap sumber itu.

Hasniati, katanya, tidak memiliki kemampuan berbahasa Jerman atau Inggris, sehingga diperkirakan sulit baginya untuk memperoleh pekerjaan di Jerman.

Sebelumnya, diberitakan bahwa seorang TKW asal Indonesia dengan nama samaran Dewi Hasniati disiksa majikannya, seorang diplomat Yaman yang ditugaskan di Berlin, Jerman. (*)

COPYRIGHT © 2008

Read More...

Penderita Gizi Buruk di Lebak Tewas

26/01/08 21:13 Lebak- Seorang anak usia di bawah lima tahun (balita) penderita gizi buruk di Kabupaten Lebak, Banten, meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Adjidarmo Rangkasbitung.

"Balita yang meninggal dunia itu bernama Adriansyah (7 bulan) warga Kampung Pasir Gondok, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak," kata Humas RSUD Adjidarmo Rangkasbitung, Hj Rostarina, Sabtu.

Ia mengatakan, pasien gizi buruk yang meninggal dunia itu disebabkan penyakit penyerta yakni tuberkulosis, paru-paru, ispa, demam tinggi dan diare.

Menudut dia, pasien itu dibawa ke rumah sakit dalam kondisi sangat parah sehingga petugas medis mengalami kesulitan untuk menyelamatkan nyawa korban.

Saat ini, katanya, sebagian besar penderita gizi buruk menimpa anak-anak balita karena himpitan ekonomi orangtua, sehingga tidak dapat memberikan makanan yang bergizi. Apalagi, terkait kenaikan harga-harga sembako dipastikan penderita gizi buruk akan meningkat.

Selama tiga pekan terakhir, lanjut Rostarina, sudah puluhan pasien gizi buruk yang dirawat rumah sakit.

"Saya berharap masyarakat peduli untuk menuntaskan gizi buruk, sehingga dapat menekan angka kematian balita dari kalangan keluarga miskin," katanya.

Supriyadi (2 tahun) penderita gizi buruk yang kini dirawat di ruangan Belimbing RSUD Ajidarmo Rangkasbitung, tampak lemas akibat terserang penyakit tuberkulosis (TBC).

"Selama seminggu Suryadi belum bisa makan karena kondisinya parah," kata Hj Tuti (50) petugas ruangan Belimbing RSUD Adjidarmo Rangkasbitung.

Sementara itu, Kasi Gizi, Subdin Kesejahteraan Keluarga, Dinas Kesehatan, Kabupaten Lebak, Tata Sudita, mengatakan, jumlah penderita gizi buruk berdasarkan pemantauan status gizi (PSG) pada 2007 tercatat 1.278 balita.

Menurut dia, penanganan gizi buruk tidak akan tuntas selama ekonomi masyarakat belum membaik, sehingga perlu adanya pemberdayaan lembaga usaha yang dapat mensejahterakan mereka.

"Saat ini banyak pengrajin makanan yang ada di masyarakat bangkrut akibat kenaikan bahan baku, sehingga terjadi jumlah pengangguran baru," katanya.(*)

COPYRIGHT © 2008

Read More...

Kiriman Uang TKI Kabupaten Sukabumi Capai Rp501 Miliar

28/1/2008

Sukabumi (ANTARA News)
- Jumlah kiriman uang dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri asal Kabupaten Sukabumi pada tahun 2007 mencapai Rp501 miliar karena tingginya jumlah TKI yang bekerja di luar negeri sebanyak 7.686 orang.

"Jumlah kiriman itu meningkat sekitar Rp200 miliar dibandingkan tahun 2006 yang mencapai Rp300 miliar," kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Sukabumi, Acep Barnasah, di Sukabumi, Senin.

Menurut dia, dengan kenaikan sangat signifikan itu, Pemkab Sukabumi meminta pemerintah pusat agar merubah kebijakan yang lebih memperhatikan nasib para TKI karena meski telah memberikan kontribusi kepada negara, namun masih kurangnya perlindungan terhadap nasib TKI tersebut.

Perubahan yang harus menjadi perhatian pemerintah pusat dalam masalah pengiriman TKI, kata Acep, yakni memberikan perlindungan kepada para TKI di luar negeri, karena pada tahun 2007 saja jumlah TKI yang bermasalah asal Kabupaten Sukabumi mencapai 26 kasus karena penyiksaan, gaji yang belum dibayar dan lainnya.

Selain itu, jaminan asuransi para TKI pun harus diperbaiki dan upah para TKI di luar negeri juga harus dinaikan karena selama ini masih jauh dari harapan.

Acep menyebutkan, pemulangan TKI di terminal tiga yang diwarnai pungutan harus ditiadakan dan diubah.

"Pemerintah pusat harus menerapkan aturan Inpres Nomer 6 tahun 2006 tentang pelibatan daerah dalam pengiriman para TKI. Jika melalui daerah, pendataan TKI akan lebih lengkap," katanya seraya mengatakan sehingga memudahkan Pemkab Sukabumi dalam menghadapi kasus TKI yang bermasalah di luar negeri.

Acep menuturkan, dari 26 kasus TKI bermasalah yang masuk ke Disnakertrans Kabupaten Sukabumi, 20 diantaranya sudah diselesaikan, adapun sisanya masih dalam proses penyelesaian.

Ia menambahkan, jumlah TKI asal Kabupaten Sukabumi yang bekerja di luar negeri hingga awal tahun 2008 mencapai 26.000 orang lebih.(*)

Read More...

Anggota Rela perlu jaga tingkah laku

Utusan Online, 30/1/2008

KUALA LUMPUR - Orang awam yang menyertai Ikatan Relawan Rakyat
Malaysia (Rela) diminta supaya menjaga tingkah laku dan mematuhi etika
penugasan supaya masyarakat tidak menyalah anggap tugas mereka.

Ahli Parlimen Bandar Tun Razak, Datuk Tan Chai Ho berkata, setiap
anggota Rela perlu menjadi contoh yang baik kepada masyarakat dan
menjaga nama serta imej Rela.

``Selain daripada menjaga keamanan dan kesejahteraan penduduk, anggota
Rela juga perlu berdisiplin serta menjalankan tanggungjawab dengan
penuh komitmen.

``Apabila seseorang anggota Rela berpakaian seragam, masyarakat akan
memandang mereka sebagai individu yang membawa contoh yang baik kepada
masyarakat.

``Jadi saya amat berharap anggota Rela akan berkelakuan baik dan
jangan biarkan masyarakat hilang kepercayaan kepada tugas anggota
Rela,'' katanya ketika berucap pada Majlis Perasmian Penubuhan Platun
Rela Pangsapuri Permai, Sungai Besi baru-baru ini.

Tambahnya, bagi memudahkan anggota Rela menjalankan tugas dengan lebih
komprehensif, satu rang undang-undang Akta Rela akan digubal tahun ini.

``Rang undang-undang ini akan membolehkan anggota Rela melaksanakan
tugas dengan lebih baik

``Selain itu, Kementerian Hal Ehwal Dalam Negeri (KHDN) juga berhasrat
untuk menjadikan Rela sebagai sebuah Jabatan bagi membolehkan Rela
membuat perancangan yang lebih jitu,'' katanya.

Sementara itu, Ketua Platun Rela Pangsapuri Permai, Sazali Bakar, 44,
memberitahu, penubuhan Rela di kawasan berkenaan dapat mengurangkan
aktiviti jenayah di kawasan itu.

``Dengan adanya Rela, kami harap masalah jenayah dapat dikurangkan di
kawasan penempatan seperti ini," katanya.

Read More...

Perbudakan TKI: Aksi Kejam Sang Diplomat

Gatra.com - 30 Januari 2008

TKI Sedang Mengurus Paspor di KBRI Kuala Lumpur (GATRA/Miranti Soetjipto-Hirschmann)Penganiayaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) kembali terjadi. Selama empat tahun bekerja di rumah majikannya, Hasniati --sebut saja demikian-- mengalami tekanan fisik dan mental yang luar biasa. Tubuh perempuan 28 tahun itu kurus akibat kekurangan gizi dan mengidap penyakit tuberkolosis (TBC) akut. Pelakunya seorang diplomat berkebangsaan Yaman yang hidup menduda.

Hasniati bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sebuah apartemen di Ibu Kota Jerman, Berlin. Selayaknya, pada akhir pekan ia bisa berjalan-jalan menikmati atraksi seniman jalanan di Postdamer Platz, dekat apartemen majikannya. Namun, yang ia alami justru kejadian memilukan. Perlakuan yang diterimanya sungguh di luar batas kemanusiaan.

Hasniati berasal dari Labuan Bajo, Flores. Pada usia 25 tahun, ia menjadi janda cerai dengan satu anak. Karena beratnya beban hidup yang harus ditanggungnya, pada 2002, ia terbuai rayuan agen tenaga kerja yang menawarinya bekerja di luar negeri. Oleh agen tenaga kerja itu, Hasniati dijanjikan bakal dikirim ke Timur Tengah. Setelah tiga hari berada di penampungan di Jakarta, ia diterbangkan ke Kairo, Mesir, dan langsung bekerja untuk seorang diplomat asal Yaman yang hidup menduda, sebut saja bernama Mahmud.

Perlakuan Mahmud terhadap Hasniati begitu buruknya, sampai membuat hari-harinya penuh dengan ketakutan. Baru satu minggu bekerja, Hasniati sudah kena pukul karena dianggap tak becus bekerja. Namun perempuan bertubuh kecil itu tak berani melawan sang majikan, apalagi paspor dan barang barang berharga miliknya ditahan. Pada 2004, ia mengikuti Mahmud yang berdinas di Berlin. Selain itu, putra Mahmud sedang kuliah di sana. Hasniati punya sedikit harapan, mudah-mudahan, di negeri Barat itu, perlakuannya jadi lebih baik.

Ternyata sami mawon. Hasniati praktis disuruh bekerja selama 24 jam. Nonton televisi dan menggunakan telepon diharamkan majikannya. Ia wajib bangun pukul 6 pagi, membersihkan apartemen, dan menunggu majikannya bangun pada pukul 9.30. Barulah ia diizinkan masuk dapur untuk mempersiapkan makanan khas Timur Tengah. Makan siang setiap pukul 5 sore, dan malam pukul 1 dini hari.

Meski setiap hari harus membanting tulang, Hasniati hanya mendapat jatah makan satu lembar roti dan secangkir teh. Majikannya membatasi makannya. Hasniati hanya boleh makan nasi, tomat, dan cabe. Jangan coba-coba membuka lemari es. Kalau tidak, pukulan melayang di badannya yang ringkih. Selain hanya untuk menyiapkan makan majikannya, ia sama sekali tak diizinkan masuk dapur. Jadi, Hasniati harus berdiam di kamar mungilnya yang dilengkapi kamar mandi, dan harus segera datang bila diperlukan.

Bila sang majikan pergi berlibur dengan putranya, Hasniati ditinggal sendiri di apartemen dalam keadaan terkunci, selama berhari-hari!

Cuaca musim dingin merupakan neraka baginya. Selimut, kaus kaki, mantel, atau baju hangat tidak didapatnya selama tinggal di Jerman. Tak mengherankan bila ia menderita batuk tiada henti. Karena kondisi tubuhnya yang makin lemah, Mei 2007, Hasniati diantar supir keluarga untuk diperiksakan ke dokter. Dokter mendiagnosa perempuan malang itu kekurangan gizi dan menderita tuberkolosis akut. Seketika itu juga, dokter mengharuskan Hasniati diisolasi dan dikirim ke rumah sakit untuk dirawat.

Beberapa hari dalam perawatan, seorang pemuda Arab kerap datang ke rumah sakit tempat Hasniati dirawat. Pemuda itu terus mendesak pihak rumah sakit untuk memulangkan Hasniati, karena harus kembali bekerja.

Seorang petugas sosial di rumah sakit itu mulai mencium ada ketidakberesan, karena Hasniati terus-terusan dituntut pulang oleh pemuda Arab itu. Apalagi Hasniati mengalami penyakit yang jarang diderita warga Jerman, berat tubuh yang jauh di bawah normal, pakaian yang tak layak musim, hanya bisa sedikit berbahasa Arab, dan tak tanpa membawa dokumen. Petugas sosial itu lalu menghubungi LSM Ban Ying, yang bergerak dalam penanganan kasus perdagangan manusia dan perlindungan perempuan asal Asia Tenggara. Dengan berbagai upaya, LSM yang berpusat di Berlin itu akhirnya bisa menampung, mengurus kesehatan Hasniati, sekaligus mengupayakan penyelesaian kasus yang menimpanya hingga sekarang.

Selama Hasniati berada dalam perlindungan LSM itu, semakin terungkap kekejaman majikannya. Ternyata, tak satu sen pun upah Hasniati selama 4 tahun bekerja, dibayarkan Mahmud. Padahal, salah satu syarat pemerintah Jerman bagi para diplomat yang membawa pekerja rumahtangga diwajibkan menaati standar jam kerja dan standar gaji, bekerja 40 jam dalam seminggu (atau 5 hari kerja), mendapat asuransi kesehatan, menyediakan makanan dan tempat tinggal, serta digaji minimal 750 Euro per bulan. Seharusnya, selama tinggal di Jerman, Hasniati berhak menerima upah 23.250 Euro. Ini belum termasuk upah dua tahun bekerja di Kairo yang dijanjikan sebesar 150 dolar AS per bulan.

Meski pelanggaran HAM yang sudah dilakukan Mahmud begitu jelas, polisi tak dapat menangkapnya, karena Mahmud memiliki kekebalan diplomatik.

Dengan bantuan LSM Ban Ying, Hasniati kini didampingi pengacara dan telah memperoleh visa izin tinggal khusus seumur hidup di Jerman. Visa ini diberikan oleh otoritas tertinggi kota Berlin, dengan pertimbangan, Hasniati mengalami penganiayaan hak sipil. Di samping itu, Hasniati mendapat paspor yang telah diperbarui dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Berlin.

Pihak KBRI, yang diwakili Kepala Konsuler Sihar Nadeak, membenarkan terjadinya kasus yang menimpa TKI itu. "KBRI telah memberikan paspor untuk lima tahun, dengan pengertian, jangan sampai (Hasniati, Red) berstatus ilegal dalam penyelesaian masalah di Jerman," ungkapnya, saat dihubungi Gatra.com lewat telepon, belum lama ini. Kasus ini telah dilaporkan ke Jakarta. Meski bekerja untuk diplomat asing, Hasniati tidak pernah difasilitasi untuk lapor diri ke KBRI.

LSM Ban Ying juga mengupayakan pembicaraan dengan kedutaan Yaman dan Kementrian Luar Negeri Jerman di Berlin, guna penyelesaian kasus tersebut. Saat pertemuan, Duta Besar Yaman untuk Jerman menanggapi kasus itu dengan serius. Namun hingga kini, negosiasi itu belum menunjukkan perkembangan berarti, meski kedutaan Yemen berupaya membayarkan tiga bulan gaji Hasniati. Ketua LSM Ban Ying, Nivedita Prasad, berharap agar Pemerintah dan masyarakat Yaman diinformasikan mengenai hal tersebut.

Desember 2007, dokter menyatakan bahwa Hasniati dinyatakan telah pulih sepenuhnya. Hasniati menyatakan rasa syukurnya karena kasusnya ditangani dengan baik oleh para aktivis Ban Ying. Apalagi sekarang ia diberi fasilitas untuk mengikuti kursus bahasa Jerman. Namun Hasniati belum berkeinginan pulang ke kampung halamannya, "Kasus saya belum selesai. Dan kalau pulang, saya bawa apa?" keluhnya. Sedangkan Mahmud hingga kini tenang-tenang berdinas di Berlin, hukum setempat tak mampu menyentuhnya. Miranti Hirschmann

Read More...

29 January 2008

TKW disiksa selama 4 tahun

 BBC Indonesia, 25/1/2008

 
Seorang TKW asal Flores mengalami perlakuan yang sangat buruk dari majikannya seorang diplomat Yaman yang bertugas di Berlin, Jerman.

Wanita dengan nama samaran Dewi Hasniati itu saat ini berada dalam lindungan Ban Ying, yaitu LSM di Berlin yang mengurusi masalah-masalah pembantu rumah tangga dan wanita yang diperdagangkan.

Ban Ying, yang berarti "Rumah Wanita" dari bahasa Thailand, sudah lima bulan ini menampung dan merawat Dewi. Dalam wawancara dengan BBC Siaran Indonesia, Jumat malam, jurubicara Ban Ying, Nevedita Prasad, menjelaskan kondisi pembantu rumah tangga itu ketika pertama kali mereka jumpai.

"Sangat buruk sekali. Dia kena TBC, kemudian dirawat di rumah sakit, dan badannya sanga kurus kering," katanya.

Nevedita tidak tahu berapa berat badan Dewi dulu, tapi waktu mereka jumpai beratnya hanya sekitar 30 kilo.

"Betul-betul kurus dan sangat ketakutan. Sakitnya parah ketika dirawat di rumah sakit dan tidak bisa melakukan apa-apa. Dia tidak mau lagi pulang ke rumah diplomat tempat dia bekerja."

Lolos karena sakit

Menurut Nevedita lagi, Dew Hasniati bisa lolos dari perlakuan tak manusia dari diplomat Yaman itu ketika kondisi badannya sudah sangat parah dan akhirnya dia dibawa ke dokter oleh sang diplomat.

Dokter memutsukan bahwa Dewi harus dirawat di rumah sakit. Dokter kemudian memberitahukan kasus Dewi ini kepada LSM Ban Ying, yang kemudian membawa Dewi ke rumah penampungan.

Nevedita menceritakan pengalaman Dewi selama bekerja empat tahun lebih dengan diplomat itu.

"Diplomat itu mengurung dia di rumah, tidak dibolehkan keluar sama sekali. dia bekerja tujuh hari seminggu selama empat-setengah tahun. Diplomat itu akan memukuli dia kalau salah dalam bekerja atau terlambat menjalankan perintah," kata Nevedita.

Dia menambahkan lagi, "Makanan untuk dia tidak layak, hanya sepiring nasi dengan tomat dan cabe. Itu saja. Dan itu pun satu kali sehari. Dia tidak dibolehkan pergi ke dokter meskipun dia sakit parah."

Di musim dingin yang sangat ekstrem di Jerman, kata Nevedita, Dewi tidak diberi pakaian atau selimut yang layak.

"Walaupun suhu Jerman sangat dingin, dia tidak punya pakaian musim dingin. Jadi dia kedinginan sekali di malam hari. Perlakuannya betul-betul buruk."

Membaik

Ban Ying sampai saat ini masih merawat dan melindungi pembantu asal Flores itu.

"Syukurlah kesehatannya sekarang lumayan, mulai pulih. Badannya mulai berisi karena dia sangat kurus sekali ketika di bawa ke tampat kami."

Kata Nevedita lagi, "Dewiberharap, kalau pun dia tidak bisa mendapatkan keadilan, setidaknya dia akan mendapatkan uang gajinya sebab dia tidak dibayar selama empat tahun.

"Tidak dibayar sepersen pun juga. Kami harapkan diplomat itu setidaknya akan membayar gaji Dewi."

Menurut Nevedita, sang diplomat Yaman itu tidak bisa diadukan ke penegak hukum karena kekebalan diplomatik yang dimilikinya.

Tetapi menurut laporan media, Departemen Luar Negeri Jerman akan memanggil dutabesar Yaman di Berlin hari Senin (27 Jan) untuk membicarakan masalah ini.

Read More...

Hama Belalang Menyerang Tiga Kabupaten di NTT

Selasa, 29 Januari 2008

TEMPO Interaktif, Kupang:Hama belalang yang menyerang tanaman pertanian dan perkebunan di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur, pekan kedua Januari lalu semakin meluas.

Lebih dari 2.000 hektare sawah, jagung dan areal pertanian di tiga kabupaten, yakni Timor Tengah Utara, Belu dan Timor Tengah Selatan rusak total akibat serangan hama belalang sepekan terakhir.

Di Kabupaten Belu, total lahan yang terserang mencapai 400 hektare yang tersebar di Kecamatan Tasifeto Barat, Tasifeto Timur, Kobalima, Lamaknen, Raihat, Kota Atambua, Lasiot, Malaka Timur, Rinhat, Raimanuk dan Sasitamean.

Beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk melokalisir serangan belalang, yakni mendata luas dan tingkat kerusakan areal komoditi pertanian pada lokasi yang dilanda serangan hama belalang, menyiagakan petugas teknis untuk mendampingi para petani dalam mengendalikan hama.

"Upaya penanganan yang sudah dilakukan yakni melakukan penyemprotan untuk mencegah meluasnya hama, memberikan dan mengendali hama," kata Kepala Biro Bina Sosial Setda NTT, Sentianus Medi, Selasa (29/1).

Jems de Fortuna

Read More...

28 January 2008

Suharto: Twilight of the God

TIME - Sunday, Jan. 27, 2008 By JASON TEDJASUKMANA/JAKARTA

The modern-day visitor to the thousand-year-old temple complex of Prambanan in central Java may be surprised by sculptures with a familiar face or, rather, a familiar smile. And suddenly comes the revelation: the slightly bemused yet severely serene expression on every face of the antique gods of Java, the heart of what has become Indonesia, was perfected by a 20th century general who would rule the country for more than 30 years, as if he himself were a god with the right to parcel out prosperity and peace, a heaven-sent arbiter of life and death. Even after he was forced to relinquish power, Suharto dwelt among his countrymen as if invulnerable to mortal retribution, as if Indonesia could not act against the man who was once its infallible, singular autocrat. When he died on Sunday, January 27 in Jakarta, at the age of 86, the islands of Indonesia shuddered.

The years since a popular uprising forced him to resign the presidency have not brought Indonesia quiet. The predominantly Muslim country's Islamic extremists, long repressed by Suharto's military, came roaring to life, some finding common cause with al-Qaeda, fomenting attacks not once but twice on Indonesia's paradaisical enclave of Bali — the last refuge of the islands' old Hindu gods.

Stability had been Suharto's gift to his country. He had come to power at the head of a junta of generals in 1965, overthrowing the country's flamboyant and charismatic first president, Sukarno, whose friendship with Beijing and predeliction for Communists in the government had brought the country to the brink of economic collapse and civil war. Ensconced in power, Suharto proceeded to purge the country of Communism and anyone suspected of Communist sympathy. No one knows how many died. One estimate has it at 500,000 — among them many Indonesians of Chinese descent. The Communist Party was outlawed and Indonesian citizens banned from having Chinese names.

The result was a cowed and pacified country ruled by a new President —Suharto — with a practiced beatific smile, anti-Communist credentials which a Cold War–obsessed America would reward, a secular philosophy that tamped down religious extremism, and a military that no one could question. He brought an end to the hyperinflation of Sukarno's reign and eradicated the country's widespread hunger by establishing Indonesian self-sufficiency in rice. Stability attracted billions of dollars in foreign investment. "Suharto built Indonesia and we have him to thank for modern buildings, ports and harbors," says Kuntoro Mangkusubroto, a former mines and energy minister under Suharto. "He has made mistakes, and there were consequences for many, but he used that centralistic form of government to build things as fast as possible."

But the new Indonesia also made it possible for a small group of Suharto family members and cronies to earn billions of dollars from monopolies on everything from cars to cloves. Foundations set set up during the New Order regime, as his reign was known, are alleged by anti-corruption watchdogs to have amassed billions of dollars. The Suharto family's wealth was estimated by TIME in 1999 at $15 billion. Transparency International, a group monitoring government corruption around the world, reported his personal wealth at closer to $35 billion.

Meanwhile, the regime brooked no opposition. Behind the President's smile were very sharp teeth. Student activists would vanish, dissident writers and journalists jailed. Thousands were killed in Aceh, where a separatist rebellion simmered for 29 years; and more than 200,000 are believed to have perished in East Timor after Indonesia invaded the tiny Portuguese enclave in 1975. (East Timor has since established its independence from Indonesia.)

But economic cataclysm struck in 1997 and, in spite of all of Suharto's soldiers and all of his money, Indonesia was inundated by the Asian financial crisis. Currency speculation had led to the collapse of Thailand's currency, which started a chain of events that swamped Indonesia's rupiah. The devaluation sent company profits dramatically downward; Jakarta's stock market crashed. Food prices spiked upwards, leading to rioting in the streets and the death of perhaps hundreds of people clamoring for food in the capital. The country's divisions re-emerged: Muslims vs. non-Muslims; Malay-Indonesians vs. Chinese-Indonesians; secular Muslims vs. orthodox Muslims. The ghosts of the old Indonesia that Suharto thought he had exorcised had returned to haunt the country.

Instability now led the repressed opposition to gain an audience not just with the besieged middle class but among the military and Suharto's own ruling Golkar party as well. He exacerbated the crisis by hubristically reminding the country of his mandate, running for reelection in March 1998 — unopposed, as was his practice. The country would have none of it. Once street demonstrations and riots started, Suharto could not stay in power without causing bloody chaos. He resigned in May 1998.

After the overthrow, Suharto spent most of his time living at home with his family in an upscale neighborhood in central Jakarta even as allegations of ill-gotten wealth percolated through the press. Citing declining health and diminished mental capacity, Suharto managed to stay out of court despite a 1998 legislative decree ordering an investigation in all corruption, collusion and nepotism charges involving Suharto. He was constantly in and out of hospitals after suffering strokes and undergoing kidney dialysis.

When it became clear that he would not survive the latest hospitalization, the new rulers of the archipelago came to pay homage and to pray for his recovery. The Golkar party, which Suharto founded and retains the largest bloc in parliament, called for all pending graft charges —pending for a decade now — be dropped. As the ex-strongman lay dying, the health minister instructed all hospitals to provide their best equipment to Pertamina hospital, where Suharto was being treated. But after three weeks, he died of multiple organ failure. He will be buried next to his wife in the central Java city of Solo. It is not clear what will happen to the civil suit brought against him by Indonesia's attorney general for allegedly siphoning off more than $1.4 billion from one of the many foundations set up during his rule.

An era of democracy has now replaced Suharto's despotic rule. And yet, he leaves behind an edifice as sturdy as that millennium-old temple in Prambanan. The way things are done in Indonesia is the system of patronage he set up and it remains firmly in place to this day.

With Howard Chua-Eoan/New York

Read More...

Gizi Buruk, Ancaman Hilangnya Satu Generasi

Jumat, 25/1/2008

Naila Putri Mawadah (3 bulan) tergolek di boks kecil di bangsal anak di Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang, Kamis (24/1). Di kaki kanannya terpasang jarum infus untuk memasukkan cairan makanan ke tubuhnya yang kecil. Kedua kaki dan tangannya terlihat sangat "ramping".

Berat badan Naila memang hanya 3,7 kilogram, naik satu kilogram sejak dibawa ke RSDK 18 hari lalu. Dengan berat badan lahir 2,7 kg, berat badan Naila idealnya 5 kg. Karena berat badannya di bawah rata- rata, ia dikategorikan balita dengan status gizi buruk.
"Sejak lahir badan Naila kecil, minumnya susah. Kalau minum ASI (air susu ibu) atau susu formula sering mutah. Makan juga mutah, bahkan sering mutah lewat hidung. Ketika saya periksakan ke dokter, oleh dokter disarankan dibawa ke Kariadi yang peralatannya lengkap. Katanya anak saya kurang gizi," kata Marfuah (21), ibu Naila.

Warga Kelurahan Candisari, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak, tersebut hanya bisa berharap anaknya cepat sembuh dan diperbolehkan pulang agar ia dapat ikut membantu suaminya, Juwahir (24), mengerjakan sawah yang mereka sewa. "Sekarang sudah lumayan, oleh dokter Naila sudah boleh disusui," katanya.

Naila hanyalah satu dari ribuan balita dengan status gizi buruk di Jawa Tengah. Data Dinas Kesehatan Provinsi Jateng, jumlah balita dengan status gizi buruk pada 2007 sebanyak 9.482 balita dari total sekitar 2,6 juta balita di Jateng.

Konsultan gizi anak di RSDK Semarang, dr JC Susanto SpA (K), mengatakan, balita dengan status gizi buruk bisa disebabkan karena faktor makanan, pola asuh, sakit, atau gabungan ketiga faktor itu. "Sakit itu bisa karena akses kesehatan kurang, bisa juga karena faktor lingkungan, sedangkan pola asuh terkait dengan tingkat pendidikan masyarakat, dalam hal ini orangtua si balita," katanya.
Untuk kasus Naila, ia mengalami gizi buruk karena menderita infeksi paru-paru sehingga tidak dapat optimal menerima makanan yang diberikan kepadanya. Karena asupan gizinya kurang, ia mengalami hambatan pertumbuhan dan berlanjut ke status gizi buruk.

Agar balita tidak sampai mengalami gizi buruk, kata Susanto, pertumbuhannya harus dipantau. Hal ini dilakukan dengan cara ditimbang secara rutin di pos pelayanan terpadu (posyandu) dan diberi asupan gizi yang cukup. Tumbuh kembang anak ini dicatat di kartu menuju sehat (KMS).

"Begitu T atau timbangannya (berat badan) tidak bertambah, harus diperiksa penyebabnya. Jika dua kali T, harus dirujuk ke rumah sakit. Namun, ini tidak jalan. Seharusnya di posyandu terjadi proses DDTKB atau Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita, tetapi yang terjadi Datang Daftar Timbang Kue Bubar," kata Susanto.

Oleh karena itu, ia mengimbau agar orangtua memerhatikan tumbuh kembang anak sejak anak lahir. Hingga anak usia dua tahun adalah masa emas, di mana perkembangan otak anak terbentuk. Jika masa ini terlewatkan karena anak kekurangan gizi, satu generasi hilang. (yovita arika)

Read More...

Aliansi Rakyat Miskin Tolak Pengibaran Bendera Setengah Tiang

Kompas.com - Senin, 28/12008

JAKARTA, SENIN- Tidak semua warga Jakarta antusias berbelasungkawa atas meninggalnya mantan Presiden Soeharto. Hal ini terbukti dari sedikitnya warga yang memasang bendera setengah tiang di depan rumah atau kantornya.

"Kami menolak imbauan pengibaran bendera setengah tiang untuk Pak Harto. Kami juga mengecam semua media yang membesar-besarkan jasa baik Pak Harto dan sengaja mengecilkan semua dosa-dosanya kepada rakyat. Bagaimanapun, ia dan kroninya harus bertanggungjawab atas kesengsaraan rakyat selama puluhan tahun Pak Harto berkuasa," kata Heru Suprapto, Koordinator Aliansi Rakyat Miskin, Senin (28/1).

Hal senada rupanya juga dirasakan sebagian warga Jakarta. Hanya segelintir orang yang memasang bendera setengah tiang. Beberapa kantor dan sekolah-sekolah juga sepertinya alpa melaksanakan imbauan resmi pemerintah itu. (NEL)

Neli Triana

Read More...

TKW asal Nagekeo diduga dianiaya

POS KUPANG, 28/1/2008

KUPANG, PK -- Yasinta Moy (21), tenaga kerja wanita (TKW) asal Desa Danga, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Malaysia, tiba di Kupang, Senin (21/1/2008) dalam keadaan depresi. Yasinta diduga telah dianiaya majikannya.

Keberadaan Yasinta Moy ini diketahui ketika tim Buser Dit Reskrim Polda NTT yang dipimpin Iptu Jack Mak melakukan operasi ke tempat-tempat penampungan TKI milik PT Al Kurniah Sentosa Internasional, di Jalan Timor Raya, Jumat (25/1/2008) siang. Operasi ini bertujuan mencari calon TKW di bawah umur yang direkrut Perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) untuk menjadi TKW di luar negeri.

Tim operasi yang beranggotakan Aiptu Salim Elias, Bripka Joni Boro, Bripka Agus Nguru dan Aipda Marselus Hale, menemukan Yasinta Moy sedang terbaring di tempat penampungan tenaga kerja milik PT Al Kurniah Sentosa Internasional.
Kepada aparat kepolisian, korban mengaku menderita sakit, tetapi tidak dapat memberitahukan penyakit yang dideritanya.
"Kita heran karena tubuh korban gemetaran kalau memegang sesuatu benda di tangannya. Bahkan terkadang dia tidak mengingat lagi apa yang dikatakan sebelumnya. Korban kemungkinan mengalami depresi," kata seorang anggota tim buser kepada wartawan.

Melihat kondisi Yasinta Moy, kata anggota tim itu, mereka akhirnya membawanya ke Rumah Sakit Bhayangkara (RSB) Kupang untuk mendapat perawatan. Sebelum dipulangkan ke Kupang, Yasinta Moy sempat menjalani perawatan di Rumah Sakit Sukamto, Jakarta.

Dalam rekam medik yang dikeluarkan RS Sukamto yang ditandatangani dr. Henny, SPKJ yang diperoleh Tim Buser Polda NTT dari PT Al Kurniah Sentosa Internasional-Kupang, diketahui bahwa Yasinta Moy mengalami gangguan phsikotik.
Ketua APJATI NTT, Ir. Paul Liyanto yang ditemui secara terpisah mengatakan, apabila Yasinta Moy menjadi korban penganiayaan yang dilakukan majikanya di Malaysia Timur, maka pihaknya akan mengontak pihak Deplu dan Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia untuk menangani persoalan itu.

"Ini masalah kemanusiaan sehingga perusahaan yang merekrut TKI ini harus bisa menangani persoalan ini secara baik. Sesuai aturan, korban harus mendapatkan asuransi selama dia menjalani perawatan apabila korban ini dikirim secara legal ke Malaysia," kata Paul. (ben)

Read More...

Saudi Arabia deports 2,700 Indonesians

01/26/08 18:11

Jakarta (ANTARA News) - At least 2,700 Indonesian nationals have been
deported from Saudi Arabia, and some 267 of them arrived here with
Vice President Jusuf Kalla and his entourage on Friday.

Kalla and his wife Madame Mufidah arrived at Soekarno-Hatta
international airport aboard a Garuda Boeing 747-400 jetliner after
performing a minor hajj pilgrimage and witnessing the washing of the
Kabah in the holy land.

Earlier, there had been no certainty about the time of the deportation
but Kalla`s visit to Saudi Arabia helped expedite the expulsion of the
Indonesian migrant workers and the minor hajj pilgrims who had
overstayed in Saudi Arabia.

"I am happy to have returned to Indonesia on the same aircraft as the
vice president. Otherwise. I would have come under extreme stress and
desperation," said Nasitoh, a female worker hailing from Sukabumi,
West Java.

Nasitoh ran away from her Saudi Arabian employer who had not paid her
salary for more than one year.

During the flight from Riyadh to Jakarta, Kalla and Immigration
official Muhammad Indra took a few minutes of their time to greet and
patiently listen to the complaints of the deported Indonesians. .

According to Nasitoh, more than 600 Indonesian problematic migrant
workers had been taken into custody by Saudi Arabian police and
Immigration officials at an accommodation for foreigners.

She said most of them were under great stress because they had no
money at all and wanted to return home soon but did not know when.

Meanwhile, Rina, another worker who returned with the vice president,
said she ran away from her employer because she could not stand the
repeated instances of sexual harassment she was subjected to by her
employer.

"I was afraid of my employer because he frequently insulted and chased
me," Rina said. (*)

Copyright (c) 2008 ANTARA

Read More...

Peringkat kesiapan anak Indonesia terendah

Kompas, Rabu, 23 januari 2008
Riset dan Kebijakan Pendidikan

Elin Driana

Hasil The Programme for International Student Assessment atau PISA, yang menilai kesiapan siswa berusia lima belas tahun untuk mengaplikasikan pengetahuan dan life skills yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari, menempatkan capaian siswa Indonesia di lapisan bawah di semua bidang studi (membaca, matematika, dan sains).

Tidak sekadar memberi peringkat, penyelenggaraan PISA sebenarnya ditujukan untuk memberi informasi berharga bagi para pengambil kebijakan pendidikan di berbagai negara guna menentukan langkah strategis yang tepat bagi pemenuhan hak anak akan pendidikan bermutu.

Faktor sosial ekonomi

Salah satu penelitian penting yang memanfaatkan kekayaan data PISA dilakukan J Douglas Willms (2006) dari UNESCO Institute for Statistics. Selain menggunakan data PISA tahun 2000 dan 2002 dengan memfokuskan pada kemampuan membaca, Willms juga menggunakan data tahun 2001 dari The Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) yang bertujuan menilai kemampuan membaca siswa kelas IV SD. Willms menelaah kontribusi faktor sosial ekonomi—baik kondisi sosial ekonomi siswa, sekolah, maupun negara—terhadap kemampuan membaca. Ia menggunakan salah satu metode statistik paling mutakhir saat ini, Hierarchical Linear Modeling (HLM), yang amat tepat digunakan pada data bertingkat (multi-level data).

Dengan HLM, kontribusi kondisi sosial ekonomi sekolah maupun negara terhadap prestasi belajar siswa, di luar kondisi sosial ekonomi siswa, dapat dijelaskan. Kondisi sosial ekonomi siswa, antara lain, meliputi tingkat pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, struktur keluarga, dan ketersediaan fasilitas pendidikan di rumah, termasuk buku-buku dan komputer. Kondisi sosial ekonomi sekolah diukur oleh kualitas infrastruktur sekolah, seperti ketersediaan alat-alat penunjang proses pembelajaran, kondisi gedung sekolah, kualifikasi guru, ketersediaan komputer, dan perangkat lunak penunjang proses pembelajaran, rasio guru dan murid, waktu yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam membaca, disiplin, dan rasa aman di sekolah, serta dukungan orangtua terhadap sekolah.

Hasil penelitian itu menegaskan kembali fakta, faktor sosial ekonomi amat dominan dalam menentukan keberhasilan siswa, meski bukan satu-satunya. Secara umum, kemampuan membaca siswa di negara-negara yang tergabung dalam The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), yang berpendapatan tinggi lebih baik ketimbang di negara-negara non-OECD, yang mayoritas berpendapatan rendah, kecuali Singapura dan Hongkong. Ditunjukkan pula, kesenjangan prestasi siswa di negara-negara non-OECD lebih lebar ketimbang di negara-negara OECD. Bahkan, prestasi siswa dari keluarga berpenghasilan tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah masih tertinggal dibanding siswa dari keluarga berpenghasilan tinggi yang tinggal di negara-negara makmur.

Kondisi sosial ekonomi sekolah juga berpengaruh terhadap kemampuan siswa dalam membaca, di luar kontribusi faktor sosial ekonomi siswa. Secara umum, siswa akan memiliki peluang lebih besar untuk berprestasi bila sekolah mereka memiliki kondisi sosial ekonomi lebih baik. Sebaliknya, mereka cenderung berprestasi lebih rendah dari yang semestinya, bila sekolah memiliki kondisi sosial ekonomi lebih lemah. Dalam hal ini, kelompok yang paling dirugikan adalah siswa dari keluarga berpenghasilan rendah yang belajar di sekolah-sekolah yang memprihatinkan. Orangtua mereka tidak memiliki kemampuan ekonomi memadai untuk mengompensasi rendahnya mutu pendidikan yang diterima anak-anak mereka di sekolah.

Kebijakan yang tepat

Dengan melihat lebih teliti data PISA dan PIRLS, pendapat berdasar pengetahuan umum (common sense) bahwa status sosial ekonomi siswa, sekolah, maupun negara yang bersangkutan merupakan salah satu faktor dominan dalam menentukan prestasi siswa mendapat bukti empiris yang kian kokoh. Kemampuan negara maupun sekolah dalam memberi peluang bagi siswa dari kelompok yang lemah secara sosial ekonomi untuk mendapat akses pendidikan berkualitas, merupakan kunci penting untuk meningkatkan prestasi siswa di suatu negara secara keseluruhan dan mengurangi kesenjangan mutu pendidikan.

Dalam konteks ini, kebijakan UN dan menaikkan standar kelulusan semata-mata, tidak efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan, meski sedikit banyak dapat memacu motivasi belajar siswa. Kebijakan itu tidak mengarah pada dua faktor penting yang berhubungan erat dengan kualitas pendidikan, yaitu kualitas sekolah dan kemiskinan.

Untuk peningkatan kualitas sekolah, pemenuhan amanat konstitusi agar 20 persen APBN dialokasikan untuk pendidikan, tidak dapat ditawar lagi. Status sosial ekonomi sekolah, seperti ditunjukkan dalam analisis lebih saksama terhadap PISA dan PIRLS, berperanan penting meningkatkan prestasi siswa.

Kualitas hasil pendidikan juga ditentukan kondisi sosial ekonomi siswa. Karena itu, memerangi kemiskinan menjadi faktor penting. Meskipun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkeras untuk berpatokan pada angka kemiskinan yang dikeluarkan BPS (16,6 persen) ketimbang angka kemiskinan dari Bank Dunia yang lebih spektakuler (42,6 persen), pemerintah hendaknya berani menilai apakah dengan standar BPS itu sebuah keluarga dapat memenuhi kebutuhan minimal sehari-hari di tengah kian tingginya biaya hidup. Bukti-bukti empiris penelitian kualitas pendidikan menegaskan, pemerintah tak dapat berkelit dari tanggung jawab untuk memerangi kemiskinan. Jangan biarkan lemahnya kondisi sosial ekonomi menjadi penghalang anak Indonesia mewujudkan potensi maksimal mereka.

Elin Driana Koordinator Lembaga Konsultasi Pendidikan Lazuardi Global Islamic School, Wakil Koordinator Education Forum

Read More...

Gizi Masyarakat dan Kualitas Manusia Indonesia

Jumat, 25/1/2008 | 03:44 WIB | Opini

Siswono Yudo Husodo

Tanggal 25 Januari setiap tahun kita peringati sebagai Hari Gizi, dan seyogianyalah dapat meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa kualitas gizi masyarakat adalah salah satu penentu kemajuan bangsa-negara kita ke depan.

Krisis ekonomi yang telah berlangsung lama telah meningkatkan angka kemiskinan dan diikuti dengan penurunan kualitas gizi masyarakat. Indikatornya, di berbagai daerah terus ditemukan kasus busung lapar, gizi buruk, dan aneka penyakit rakyat karena melemahnya fisik serta menurunnya daya tahan tubuh karena kualitas gizi yang rendah, yang disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan dan ketidakberdayaan ekonomi. Banyak keluarga menghabiskan uang untuk rokok daripada untuk susu bagi anaknya.

Kualitas pangan rakyat kita selama ini telah meningkat cukup baik melalui kampanye intensif 4 Sehat 5 Sempurna. Empat sehat: nasi, jagung, ubi kayu (sumber karbohidrat), daging, telur, ikan (sumber protein dan lemak), sayur dan buah-buahan (sumber serat, vitamin dan mineral); dan sempurna dengan ditambah susu. Namun, bangsa-bangsa lain asupan gizinya meningkat jauh lebih baik, akibatnya secara relatif kualitas pangan rakyat kita menjadi kurang baik jika dibandingkan dengan banyak negara lain.

Di mana pun, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) ditentukan oleh kualitas pangan yang dikonsumsi rakyat yang akan menentukan tingkat pertumbuhan fisiknya, termasuk kecerdasannya, di samping pendidikan yang bermutu dan pelayanan kesehatan yang baik.

Makan seadanya

Terlalu lama kita membiarkan bangsa ini makan seadanya. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, kecuali beras, tingkat konsumsi per kapita tiap tahun Indonesia untuk berbagai produk pangan penting masih sangat rendah. Tingkat konsumsi rakyat Indonesia untuk telur 3,48 kg/kapita/tahun, Malaysia 17,62 kg, dan Filipina 4,51 kg. Konsumsi rakyat Indonesia untuk daging 7,1 kg/kapita/tahun, Malaysia 46,87 kg, dan Filipina 24,96 kg.

Sebagai negara yang 75 persen wilayahnya berupa lautan yang luasnya 5,8 juta km persegi, konsumsi ikan rakyat kita juga masih rendah, baru 26 kg/kapita/tahun, di bawah Malaysia yang 45 kg dan jauh di bawah Jepang yang 70 kg/ kapita/tahun. Konsumsi sayuran bangsa kita 37,94 kg/kapita/tahun, sementara standar FAO 65,75 kg dan tingkat konsumsi susu rakyat Indonesia baru 6,50 liter kapita/tahun, sementara India telah mencapai 40 liter.

Tak akan ada peningkatan kualitas SDM bangsa kita tanpa peningkatan kualitas gizi makanan sehari-hari masyarakat, terutama protein, mineral, dan vitamin.

Tantangan untuk mengupayakan perbaikan gizi rakyat tidaklah kecil. Pertumbuhan penduduk Indonesia yang tinggi, sekitar 1,4 persen per tahun, dan kondisi gizi masyarakat saat ini yang masih rendah menyebabkan Indonesia menghadapi tantangan ganda; memerlukan peningkatan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan akibat pertambahan penduduk yang tinggi dan peningkatan konsumsi per kapita.

Dunia tempat kita tinggal berkembang ke arah kompetisi yang semakin ketat. Semua negara di Bumi ini berlomba mencapai standar hidup dan kualitas manusia yang semakin tinggi. Tinggi rendahnya harkat, derajat, dan martabat suatu bangsa semakin diukur dari tingkat kesejahteraan, budaya, dan peradabannya.

Dahulu, tahun 50 dan 60-an, di bidang olahraga kita dapat unggul bersaing di tingkat Asia, kini di tingkat ASEAN pun kita kalah dibandingkan dengan Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Padahal, sampai tahun 1997 kita selalu memegang juara umum. Buruknya kualitas gizi masyarakat kitalah yang sesungguhnya menjadi penyebabnya, di samping sistem pembinaan yang kurang baik dan kurangnya sarana olahraga.

Daya saing nasional

Laporan Human Development Index (HDI) tahun 2005 menunjukkan bahwa kita ada di peringkat 107, sementara Malaysia 63 dan Singapura 25. Peringkat daya saing nasional kita juga memperlihatkan posisi yang terus merosot. Posisi daya saing Indonesia tahun 2001 ada di peringkat 46 dunia, dan terus menurun hingga tahun 2006 ada di posisi ke-60. Berbeda dengan China yang tahun 2001 ada di peringkat 26, tahun 2006 naik ke posisi 19; atau India yang tahun 2001 ada di posisi 42, tahun 2006 naik ke peringkat 29.

Tanpa langkah-langkah sistematis untuk memperbaikinya, dalam waktu singkat bangsa-bangsa lain akan lebih tinggi, lebih kuat, dan lebih cerdas dari bangsa kita. Tugas kita meningkatkan kualitas pangan rakyat, termasuk untuk memodernisasi kualitas rasa, tampilan, dan cara penyajian aneka produk kuliner tradisional, banyak terabaikan.

Kita memiliki sumber pangan karbohidrat berupa sagu yang terbesar di dunia. Namun, cara penyajiannya perlu disesuaikan dengan selera masyarakat era kini. Makanan Thailand tidak jauh beda dengan banyak makanan tradisional kita, tetapi segi tampilan dan penyajiannya memikat orang-orang berselera kosmopolitan.

Untuk meningkatkan kualitas anak-anak kita, sumber pangan yang bergizi tinggi sepatutnya dicari solusi yang bersifat lokal dan inovatif serta berbiaya murah. Sebagai negara kepulauan dengan potensi perikanan yang amat besar, amatlah logis kalau peningkatan gizi rakyat kita bersumber dari hasil laut. Sejak lama Jepang melakukan hal ini, menjadi bangsa dengan konsumsi ikan per kapita yang tertinggi di dunia.

India berhasil, melalui Revolusi Putih, meningkatkan konsumsi susu dengan penyediaan susu murah di desa-desa. Tiap KK petani yang punya kelebihan waktu dapat memiliki dua sapi perah yang dibeli dengan kredit berbunga sangat murah.

Membangun pangan sesungguhnya adalah memperkuat identitas sebuah bangsa di dunia yang semakin menyatu ini.

 

Siswono Yudo Husodo Ketua Yayasan Pembina Universitas Pancasila

Read More...

27 January 2008

Number of migrant workers approaching 360,000: CLA (Taiwan)

Number of migrant workers approaching 360,000: CLA

Friday, January 25, 2008
CNA

TAIPEI, Taiwan -- The number of migrant workers approached the 360,000
mark by the end of last year, but over the long term that figure will
gradually decline, the country's top labor administrator said
yesterday.

At the end of 2007, Taiwan had 357,937 legal foreign workers, Council
of Labor Affairs (CLA) Minister Lu Tien-lin said, adding that the
number marked an increase of about 20,000 over the year-earlier level.

Lu attributed the increase to a combination of factors, including a
steady increase in the demand for caregivers as Taiwan's population
continues to age.

The upward swing was further augmented last year by a rising labor
demand in the manufacturing sector thanks to the return of expatriate
Taiwanese businessmen to launch new investment projects at home, Lu
said. CLA tallies also show that the number of migrant workers
increased by 13,426 in the manufacturing sector as compared with the
2006 level, while the number of caregivers increased by 8,311.

By nationality, Indonesians formed the largest national group,
according to CLA statistics.

With Taiwan's elderly population continuing to rise, Lu said, the
number of caregivers has increased by 8,000 to 10,000 annually. As for
the number of migrant workers in the industrial sector, Lu said the
number is expected to begin a downward trend over the next four years
as major investment projects are gradually completed.

Meanwhile, he went on, the CLA is set to extend Labor Standards Law
coverage to all manual laborers, including local and foreign
caregivers, within two years.

Acknowledging that this coverage could increase the financial burden
on local employers, Lu said the CLA will refer to measures in place in
the U.S. and in European countries to confine the coverage to certain
categories of family helpers or maids.

Read More...

TNI Ringkus Belasan TKI Ilegal

17/01/2008 07:09 TKI
Liputan6.com, Tanjungpinang: Sebanyak 17 calon tenaga kerja Indonesia
asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, Jumat (11/1), diamankan aparat
Pangkalan Utama Angkatan Laut IV Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Sebab,
mereka hendak menuju Sungai Rengit, Malaysia melalui Desa Berakit,
Kabupaten Bintan, Kepri, secara ilegal. Para calon TKI ini ditangkap
karena tidak memiliki paspor maupun dokumen resmi sebagai persyaratan
bekerja di luar negeri.

Dalam penyergapan, aparat TNI AL juga menahan seorang agen. Sedangkan
seorang agen lainnya kabur dengan membawa uang yang mencapai puluhan
juta rupiah milik calon TKI.

Desa Berakit memang selama ini digunakan para TKI ilegal memasuki
Malaysia. Kawasan tersebut banyak memiliki pelabuhan rakyat dan secara
geografis berdekatan langsung dengan Malaysia. Masyarakat setempat
biasanya hanya menempuh perjalanan laut selama 30 menit untuk memasuki
Negeri Jiran.(RMA/Humala Nasution)

Read More...

Eksekusi Yanti Langgar Konvensi Wina

Selasa, 15 Januari 2008 | 06:25 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia
dan Bantuan Hukum Indonesia Teguh Wardoyo mengatakan pemerintah Arab
Saudi tidak memberikan notifikasi kepada Kedutaan Besar RI di Arab
Saudi tentang pelaksanaan eksekusi Yanti, tenaga kerja Indonesia.

Konsulat Jenderal RI di Jeddah mengetahui rencana eksekusi melalui
Satuan Tugas Konsulat Jenderal RI di Mahayiil, tempat Yanti dipenjara
pada malam menjelang eksekusi.

"Tindakan tidak memberikan notifikasi kepada kita itu kan melanggar
Konvensi Wina," kata Teguh kepada Tempo, Senin petang. Pemerintah
melalui Kedutaan Besar RI di Arab Saudi telah menyampaikan nota protes
kepada pemerintah setempat terkait dengan kejadian ini.

Kepada anggota staf yang sempat menemuinya sebelum Yanti dieksekusi,
kata Teguh, Yanti hanya mengatakan bahwa dia menitipkan anak-anaknya
kepada suaminya.
Titis Setianingtyas

Read More...

Presiden Minta Nirmala Bonat Diberi Modal Usaha

Jum'at, 11 Januari 2008 | 03:46 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta
Menteri Tenaga Kerja Erman Suparno agar memperhatikan dan membimbing
Nirmala Bonat supaya mendapat pekerjaan. Permintaan disampaikan
menanggapi rencana Nirmala untuk kembali ke tanah air dan melanjutkan
kehidupannya.

"Kita akan berikan bantuan modal, tergantung mau usaha apa," kata
Erman yang tengah berada di Kuala Lumpur saat dihubungi Tempo melalui
telepon, Kamis petang.

Nirmala adalah tenaga kerja asal Desa Tuapakas, Kecamatan Kualin,
Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang
dianiaya majikannya, Yim Pek Ha. Meski kasus itu terungkap pada 2004
lalu, tapi persidangan baru dimulai 3 Januari lalu.

Menurut Erman, Presiden bersyukur pengadilan menyatakan majikan yang
telah menyiksa Nirmala dinyakatan bersalah. "Pada dasarnya presiden
bersyukur proses pengadilan Nirmala dimenangkan."

Presiden bertemu Nimala selama setengah jam di hotel J.W. Marriot
Kuala Lumpur, Malaysia. Presiden didampingi Ibu Ani Yudhoyono berpesan
kepada Nirmala agar mentaati proses hukum yang sedang berlangsung.
Pemerintah selalu memantau supaya pemerintah Malaysia dapat
mempercepat meski diakui proses hukum tidak dapat diintervensi.

Kepada presiden, kata Erman, Nirmala menyampaikan terima kasih karena
telah membantu penyelesaian kasusnya. Nirmala juga bersyukur kasusnya
dimenangkan sehingga keadilan dan kebenaran dapat terwujud. Aqida
Swamurti

Read More...

TKW Asal Flores Dianiaya Secara Keji

Sabtu, 26 Januari 2008

TEMPO Interaktif, Kupang:Seorang TKI asal Nusa Tenggara Timur
mengalami gangguan jiwa setelah dianiaya secara keji oleh majikannya
di Malaysia. Korban adalah Yasinta Mooy, asal Kabupaten Ngada-Flores.
Dia berada di Malaysia selama dua tahun dengan profesi sebagai
pembantu rumah tangga.

TKI berusia 21 tahun yang dikirim ke Malaysia oleh PT Al Kurnia
Sentosa Internasional ini ditemui wartawan di Kupang, Sabtu (26/1). Ia
mengaku sering dipukul dan dianiaya. Akibat penganiayaan itu, sebagian
besar anggota tubuh Yasinta gemetar dan kadang-kadang bergerak sendiri
dan sering hilang ingatan.

Menurut Yasinta, dirinya berhasil kembali ke Indonesia akhir 2007 lalu
setelah difasilitasi oleh seorang agen ketenagakerjaan. "Saya sempat
dimasukkan ke rumah sakit jiwa di Surabaya."

Kanit Buru Sergap Polda NTT, Inspektur Satu Jack Maak, yang dihubungi
terpisah mengatakan, berdasarkan hasil diagnosa yang dilakukan oleh
tim dokter di RS Soekamto Kramat, Jakarta, Yasinta menderita gangguan
psikotik dan gangguan bipolar. "Saat ini korban masih menjalani
perawatan di RS Bhayangkara Kupang," kata Jack.

Ketua Asosiasi Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia Paul Liyanto yang
dihubungi di Kupang, meminta kepada perusahaan tenaga kerja yang
mengerjakan Yasinta ke Malaysia untuk bertanggung jawab.

"Perusahaan perlu mengurus asuransi dan hak-hak korban. Sesuai aturan,
apabila ada TKI yang mengalami musibah, maka dia harus menerima haknya
sesuai dengan ketentuan yang berlaku," katanya.

Jems de Fortuna

Read More...

26 January 2008

Girl reunited with family

The Star Online
Saturday January 26, 2008

PENANG: A farmer in Balik Pulau is walking on air after reuniting with his 12-year-old daughter who was abducted and taken to Sulawesi, Indonesia.

Siadin Rashid, 45, said he felt like “flying” after his daughter Maslina Siadin was brought home safely on Tuesday after being missing for more than a month.

Maslina, the fifth of six siblings, was taken from her Kampung Pondok Upeh home on Dec 16 by an Indonesian teenager believed to have worked at a nearby construction site.

Her father discovered Maslina’s disappearance after he returned from his field at the back of the house in the evening.

“She was taken between 6pm and 6.30pm. When I found out she was gone, I searched for her with the help of other villagers and lodged a police report that same evening.

Siadin’s brother Jalil Rashid, 50, an immigration officer at the Penang International Airport said they finally managed to traced her whereabouts and found out about her location through their own sources. “We lodged a second police report on Jan 10 and contacted the Indonesian Embassy in Penang.

“We learnt that she was taken to south-eastern Sulawesi to a village called Ramaraja by her kidnapper,” Siadin told pressmen at his home.

Siadin and Jalil both left for Indonesia on Jan 17 to find Maslina. They were first reunited with her on Jan 20 at the southeast Sulawesi district police station.

“The man suspected of abducting Maslina was arrested. We believe he took her because he wanted to marry her. After all the paperwork was completed, Maslina was finally sent back to Malaysia on Jan 22,” Jalil said.

Although still weak, Maslina is just looking forward to get on with life and start secondary school next Monday.

Balik Pulau MP and Finance Ministry parliamentary secretary Datuk Seri Dr Hilmi Yahaya, who was also present, commended Siadin and Jalil for their efforts in searching for Maslina.

“This is a very unfortunate incident but thankfully, it ended well with the child returned safely to her family.

“I hope other parents will also learn from this incident,” he said.

By LOOI SUE-CHERN suechern@thestar.com.my

Read More...

TKW Asal Flores Dianiaya Secara Keji

Sabtu, 26 Januari 2008

TEMPO Interaktif, Kupang: Seorang TKI asal Nusa Tenggara Timur mengalami gangguan jiwa setelah dianiaya secara keji oleh majikannya di Malaysia. Korban adalah Yasinta Mooy, asal Kabupaten Ngada-Flores. Dia berada di Malaysia selama dua tahun dengan profesi sebagai pembantu rumah tangga.

TKI berusia 21 tahun yang dikirim ke Malaysia oleh PT Al Kurnia Sentosa Internasional ini ditemui wartawan di Kupang, Sabtu (26/1). Ia mengaku sering dipukul dan dianiaya. Akibat penganiayaan itu, sebagian besar anggota tubuh Yasinta gemetar dan kadang-kadang bergerak sendiri dan sering hilang ingatan.

Menurut Yasinta, dirinya berhasil kembali ke Indonesia akhir 2007 lalu setelah difasilitasi oleh seorang agen ketenagakerjaan. "Saya sempat dimasukkan ke rumah sakit jiwa di Surabaya."

Kanit Buru Sergap Polda NTT, Inspektur Satu Jack Maak, yang dihubungi terpisah mengatakan, berdasarkan hasil diagnosa yang dilakukan oleh tim dokter di RS Soekamto Kramat, Jakarta, Yasinta menderita gangguan psikotik dan gangguan bipolar. "Saat ini korban masih menjalani perawatan di RS Bhayangkara Kupang," kata Jack.

Ketua Asosiasi Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia Paul Liyanto yang dihubungi di Kupang, meminta kepada perusahaan tenaga kerja yang mengerjakan Yasinta ke Malaysia untuk bertanggung jawab.

"Perusahaan perlu mengurus asuransi dan hak-hak korban. Sesuai aturan, apabila ada TKI yang mengalami musibah, maka dia harus menerima haknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku," katanya.

Jems de Fortuna

Read More...

25 January 2008

Indonesian maid convicted of breaking baby boy's arm in Hong Kong

Earth Times.org
Fri, 25 Jan 2008

Hong Kong - An Indonesian maid was Friday awaiting sentence after being convicted of breaking the arm of a four-month-old baby boy in her care. Siti Fatimah, 33, was convicted of child abuse despite claiming in court that the injury may have happened when she grabbed the baby after he wriggled and almost slipped out of her arms.

The infant's broken arm was discovered in March last year by his grandmother after the boy's parents went away on holiday, leaving him in Fatimah's care.

The boy spent one week in hospital where doctors found signs of earlier fractures to his arm and thighs which they said appeared not to be accidental but rather caused by forceful pulling or twisting.

Prosecution lawyers said Fatimah admitted to police she suspected the baby had been injured but failed to seek help because she feared she would lose her job.

At a magistrates court hearing Thursday, Fatimah was convicted of child abuse despite pleading not guilty. She will be sentenced on February 6.

Hong Kong is home to around 220,000 live-in foreign domestic helpers mostly from the Philippines and Indonesia who do housework and child care duties for a government-set minimum wage of around 420 US dollars a month.

Author : DPA

Read More...

Maid facing jail for abuse of baby boy

The Standard, January 25, 2008

An Indonesian domestic helper was found guilty yesterday of ill-treating the four-month-old son of her employer.

However, District Court judge Merinda Chow Yin-chu adjourned sentencing to February 6 pending a background report on Siti Fatimah, 34, and a medical report on the baby.

Chow also denied the defense counsel's request that Fatimah remain on bail and remanded her in custody.

Fatimah told the court in an earlier hearing that she had accidentally hurt the baby while grabbing his left hand to stop him from falling from her arms on March 2.

However, Chow said the injuries could not have been self-inflicted and that the incident could not have happened as related by Fatimah.

ADVERTISEMENT
Chow believed Fatimah had intentionally abused the baby.

She noted that, prior to the incident, Fatimah was on good terms with the Leungs who, she said, had shown understanding over the difficulties in taking care of a baby.

The baby was left with Fatimah and his grandmothers from March 2-5 when his parents went on vacation overseas.

On March 2, one of his grandmothers heard screaming. The maid eased the grandmother's fears by saying the baby was hungry, but it took them hours to put the baby to sleep as he kept crying and refusing to have his milk.

Two days later, when one of the grandmothers was bathing the infant, she noticed his left arm was swollen like "a carrot."

When the parents returned, they took the baby to a doctor who ordered his confinement for eight days in a hospital. At that time, Fatimah admitted to police she had accidentally hit the baby's arm against a door in February.

The family had earlier also found a bite bruise on the baby on February 18 last year but dismissed it when Fatimah denied knowing anything about it.

Nickkita Lau

Read More...

The politics of food security

The Jakarta Post
Editorial - January 22, 2008

The way the Indonesian government reacted to the steep soybean price hike last week was similar to the pathetic manner in which it tried to address the sky-high oil price rises.

When international oil prices hit US$100/barrel for several days last month, the government announced after a cabinet session a set of contingency measures to maintain fiscal sustainability.

However, none of the measures were designed to cut wasteful fuel use and slash fuel subsidies. A plan to stop subsidized gasoline sales to private car owners was immediately abandoned as soon as the oil prices were again down to below $100.

Private cars continue to burn billions of dollars in taxpayers' money, in traffic jams in Jakarta and other major cities.

And the country, as a net oil importer, remains highly vulnerable to the wildly volatile oil prices. So fasten your seat belt for another turbulence of tremendous inflationary pressures as most analysts have predicted that oil prices will not likely go down again below $80.

Likewise, when tempeh producers went on strike last week in protest against the doubling of the price of soybean -- -the basic material for the fermented soy-cake and tofu -- the government convened a special cabinet session to address that soybean debacle. But again the measures announced to cope with the problem consisted only an ad hoc measure to lift the 10 percent import duty on soybean and a greatly doubtful plan to expand soybean crop acreage to more than 700,000 hectares this year from around 598,000 ha last year.

These measures would most likely be futile to plug the domestic soybean deficit which now amounts to two thirds of national consumption. Any plan to increase the output of soybean and other food commodities is simply not realistic without any concrete program to ensure fair prices for the farmers.

The problem, though, is it is rather impossible to guarantee fair prices for producers of soybean and other food commodities if they remain entirely at the mercy of global market fluctuation.

The steady decrease in soybean acreage from 1.6 million ha in 1992 to 621,000 ha in 2005 and 456,000 ha in 2005 should be blamed largely on cheap soybeans dumped by American producers on the domestic market.

But when international soybean prices began to rise in early 2007 due mainly to the biofuel craze in the U.S., many Indonesian farmers, traumatized by their previous losses, continued to stay away from soybeans, thereby increasing our dependence on imports.

A similar trend has been taking place in food commodities since 2006, but especially since January 2007 when the U.S. stepped up its energy diversification into biofuel with the support of huge fiscal subsidies.

The most remarkable change in food markets since late 2006 is that sky-high food prices have been taking place amid abundance, not at a time of scarcity caused by crop failure. That means the steep price hikes have been driven mostly by demand.

Wheat, soybean and palm oil prices have doubled last year alone, maize by more than 50 percent and rice by almost 20 percent, while sugar gained the lowest price hike of less than 5 percent. The problem is that we depend on imports for almost 12 percent of our maize need. Our import dependence for soybean is 70 percent, for sugar almost 38 percent and for beef 30 percent.

Indonesia has especially been more vulnerable to food price hikes because almost 50 percent of its population live on less than US$2 a day and poor households, on average, spend more than 75 percent of their income on food alone.

The devastating impact of these food price rises further increase, because more than 70 percent of our animal and poultry feed is derived from corn and soymeal.

One factor behind the surge in the demand for food is the increasing wealth among the 2.5 billion people in India and China which has stoked demand for meat, which, in turn, boosted the demand for cereals to feed livestock.

The biggest factor certainly is the big expansion of ethanol production in the U.S. where farmers, eager to take advantage of the subsidies, converted their crops from soybean and wheat to maize.

Analysts estimate the demand of the U.S. subsidized ethanol program alone accounts for over half the world's unmet need for cereals.

The clearest message of this trend is that, like oil, the era of cheap food has ended.

Saddening though is that we depend heavily on imports for most food commodities and oil fuel.

Food security is impossible without adequate protection of the farmers from the international price fluctuations and this in turn requires a political consensus to allocate adequate funds for the building and management of strategic food reserves by the State Logistics Agency.

It is this such political commitment that has enabled governments in developed countries to allocate huge sums of taxpayers' money to support their farmers. It is also a similar commitment to pro-poor growth that enabled the Soeharto administration to stabilize the prices of main food commodities.

Read More...

First-ever migrant worker elected Chinese national legislator

Xinhua, January 21, 2008

A migrant worker in south China's Guangdong Province was elected on Monday as deputy to the country's top legislature, the National People's Congress.

Hu Xiaoyan was elected at the provincial people's congress Monday afternoon as the first migrant worker-turned national legislator. Her qualification still needs the assessment of the NPC.

Source: Xinhua

Read More...

24 January 2008

Jordan 'abuse' spurs Filipino ban

BBC News, Amman
24 January 2008

The Philippines has banned its citizens from going to Jordan to work amid claims of widespread abuse of domestic staff by Jordanian employers.

The move affects Filipinos who want to go to Jordan for the first time, not those already working in the country.

The ban, which came into force on Monday, is only now becoming public.

Inside the Philippine embassy in the capital, Amman, more than 150 Filipino workers, most of them women, have taken refuge from abusive employers.

The notice posted on the front door of the embassy is clear: no more workers will be allowed to come from the Philippines to Jordan until further notice.

Unpaid wages

The crimes committed against them include non-payment of wages, physical abuse and even rape.

Meetings between officials from the Philippine embassy and the Jordanian government are being held to try to solve the problem.

According to Jordanian government statistics, there are 70,000 foreign domestic workers in the country.

About 15,000 of them come from the Philippines.


Thursday, 24 January 2008, 14:07 GMT
Jordan 'abuse' spurs Filipino ban
By Crispin Thorold

Read More...

Egyptian man and Indonesian housemaid arrested for immoral act

Arab Times - Kuwait

KUWAIT : Police have arrested an Egyptian man and an Indonesian housemaid for engaging in an immoral act inside the maid's room in her sponsor's house in Sulaibikhat.
A security source disclosed the maid's sponsor heard strange noises inside her room when he came home. He immediately checked the maid's room where he found the Egyptian man and the maid in a compromising position. He then called a nearby police station, which led to the arrest of the 'lovers'.

Read More...

Indonesia near the bottom in SE Asia clean-toilet survey

January 23, 2008

The Jakarta Post, Jakarta

Nearly all of Indonesia's 220 million citizens lack access to proper sanitation, an official at the Public Works Ministry said Tuesday.

The director general for Housing, Building and Planning, Budi Yuwono, said 76.15 percent of the total population already had access to basic sanitation, such as toilets, but only 2.21 percent had access to proper sanitation with sewage and wastewater treatment.

"Compared to other Southeast Asian countries, Indonesia ranks sixth in terms of sanitation services, with only 69 percent of the urban population and 46 percent of the rural population receiving adequate services," Yuwono told a discussion organized by USAID's Environmental Services Program (ESP).

He quoted 2005 data from the National Development Planning Board (Bappenas) that ranked Indonesia below Singapore, Thailand, the Philippines, Malaysia and Myanmar, and above only Vietnam, Laos and Cambodia in sanitation infrastructure.

Bappenas director for Settlement and Housing Budi Hidayat said Indonesia produced 6.4 million tons of human waste per year, and around 30 percent of it was neither collected well nor processed.

ESP reported that in urban areas, 35 percent of toilets channeled human waste directly into rivers instead of into septic tanks, while 70 percent of groundwater had been contaminated with fecal bacteria.

The poor sanitation, said Hidayat, caused potential economic losses of US$6.34 million and led to the deaths of 100,000 children under the age of five every year.

Tjatur Saptoedy, a member of the House of Representatives' Commission VII on environmental affairs, said such conditions were a result of the government's lack of commitment to improving sanitation infrastructure.

"The sanitation sector received only Rp 500 billion (US$52.88 million) of the total Rp 36.1 trillion the government allocated for infrastructure development in 2008," he said.

He said the government allocated around Rp 7.7 trillion for the sanitation sector over the past 30 years, a number that worked out to Rp 200 per citizen per year. The minimal budget needed to provide adequate sanitation facilities, he said, is Rp 47,000 per head per year.

Yuwono said providing proper sanitation was not only the central government's responsibility, but that local administrations, too, played important roles.

However, he said the regions' commitments to improving sanitation in their areas was even poorer, with most allocating less than 2 percent of regional budgets to the sector.

"Some regions, like Surakarta (Central Java), Bontang (East Kalimantan) and Pontianak (West Kalimantan), are very committed to improving their sanitation, but others need continuous urging," said Yuwono.

Erna Witoelar, former UN Millennium Development Goals Ambassador to Indonesia, said efforts to improve the country's sanitation conditions should also involve communities, whose negligence had worsened problems.

"Communities must continuously urge the government to improve sanitation, besides taking part in improvement efforts themselves," she said.

Tjatur added that "large-scale efforts are needed to build awareness in communities".

Indonesia is not the only country facing sanitation problems. The UN Development Program's 2006 Human Development Report revealed that almost half the people living in developing countries lack access to proper sanitation.

The UN has declared 2008 the International Year of Sanitation. (wda)

Read More...

Study warns RI is behind in development

January 23, 2008

The Jakarta Post, Jakarta

A recent study indicates that poverty alleviation programs will fall short of the United Nations Millennium Development Goals because they don't make capital and production means available to the poor.

"The government has been concentrating on providing the poor with cash, cheap rice and free schooling. This will help them survive on a daily basis, but it doesn't touch the real issues of poverty," Sugeng Bahagijo, a researcher with the Indonesian Movement for Anti-Impoverishment of People (GAPRI), told a forum on Tuesday.

GAPRI's Participatory Poverty Assessment is based on interviews with representatives from poor communities in 17 municipalities and regencies in Southeast Sulawesi, South Sulawesi, East Nusa Tenggara and Madura island in East Java.

According to Central Statistics Agency data, the national poverty rate stood at 16.68 percent, or 37.17 million people.

As such it lags behind the target of 11.6 percent or 26 million people set out in the government's mid-term development plan.

The plan was formulated in line with the MDGs, including the goal of reducing poverty to half of 1990 levels by 2015.

Sugeng said the government should provide assets, capital and the means of production to the poor because these were essential to enable self-sufficiency. Cash, cheap rice and free schooling, on the other hand, only addressed symptoms of poverty, he said.

"The government should ask why the poor can't afford to send their children to school or even to feed themselves. The roots of poverty lie in fact that the poor do not have access to capital or the means to develop small-scale businesses."

He added that the poor were trapped in a vicious circle of borrowing money from loan sharks because they couldn't provide collateral for bank loans.

"It's a vicious circle because the poor spend the money they earn to pay back their loans."

He said the government would not necessarily have to introduce new financing institutions to help the poor. Instead, he said, existing non-formal finance bodies could be modified. He gave as examples community-based banking groups and the arisan, a regular gathering at which every participant contributes a certain amount of money.

Sugeng also said the government should provide business management training to poor people because without it borrowed money would be harder to properly manage.

"Group control is also important to make sure the poor don't misuse the loans for other things," he said.

"We also need to protect the poor and help them brace against external changes which can affect their lives, such as the appropriation of their land or property."

Dwi Astuti, another GAPRI researcher, said the government should have seriously considered the voice of the poor in formulating poverty alleviation programs.

"The government tends to ignore the role of the poor in policy and this is dangerous because these policies can later turn out to miss the target," she said in the study.

Present at an event marking the completion of the study were former military chief Gen. (ret.) Wiranto, former House of Representatives speaker Akbar Tandjung and Democrat Party legislator Angelina Sondakh. (lln)

Read More...

Indonesia - Qatar Tandatangani Perjanjian Ketenagakerjaan

KBRI QATAR
22 Jan 2008 15:53

Pada 20 Januari 2008, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Erman Suparno telah berkunjung ke Qatar dan mengadakan pertemuan dengan mitranya Menteri Perburuhan dan Sosial Qatar Sultan bin Hassan Al Dhabett Al Dossary. Selama pertemuan, kedua menteri membahas upaya-upaya peningkatan hubungan bilateral negara, khususnya di bidang ketenagakerjaan. Pada kesempatan itu, juga telah dilakukan penandatanganan Perjanjian Ketenagakerjaan antara Indonesia dan Qatar oleh kedua Menteri tersebut.

Hadir saat pertemuan dari pihak Indonesia, Dubes Indonesia untuk Qatar  Rozy Munir, anggota delegasi Menakertrans dan staf Kedutaan besar Indonesia. Sementara dari pihak Qatar,  Wakil Menteri Perburuhan dan Sosial Qatar Hussain Yousuf Al-Mulla, Wakil Direktur Hubungan Masyarakat Kementrian Perburuhan dan Sosial Ali Abdulla Ashkanani.

Dalam Perjanjian Ketenegakerjaan yang ditandatangani diantaranya digarisbawahi pentingnya penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di Qatar, yang jumlahnya meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir ini, karena pesatnya (booming) pembangunan diberbagai sektor di Qatar.

Berdasarkan Perjanjian dimaksud kedua pemerintah akan membentuk Komite Bersama Bidang Kerjasama Ketenagakerjaan yang berfungsi mencari peluang-peluang bagi pasaran tenaga kerja Indonesia di Qatar. Selain itu, Komite Bersama ini akan membahas isu-isu terkait persiapan penempatan tenaga kerja Indonesia agar tenaga kerja yang dikirimkan sesuai kualifikasi persyaratan yang diminta. Apabila terjadi permasalahan antara pekerja dan majikan, Komite Bersama akan mencari jalan keluarnya. Yang lebih terpenting lagi, kedua pemerintah sepakat untuk melanjutkan kerjasama melalui penanaman modal dalam pembangunan pusat pelatihan di Indonesia untuk memenuhi permintaan Qatar.

Pada saat bertemu dengan mitranya, Menakertrans telah mengundang yang bersangkutan untuk mengunjungi pusat pelatihan di Indonesia. Penandatanganan Perjanjian dalam waktu singkat ini dimungkinkan, karena inisiatif dan peran aktif  Duta Besar Indonesia. (Sumber: KBRI Qatar).


Read More...