The Star Online, Wednesday April 30, 2008
By HILARY CHIEW
KUALA LUMPUR: Soon, indigenous communities in Sarawak will not be able to feed themselves as their ability to grow their own food is severely cut by the aggressive conversion of their farmland into oil palm plantations.
The warning came from an international fact-finding mission led by five NGOs amid the current global concern over food security.
Most indigenous communities are self-sufficient entities as they farm in their semi-forested land and collect jungle produce for their own consumption and to sell them to city folks for some cash.
“With the imminent global food crisis, they will face further impoverishment and poverty.
“Besides the threat to food production, clear-felling for plantations, especially on peat soil, is contributing to carbon emission that aggravates global warming,” said the group leader Tenaganita director Irene Fernandez.
Fresh from the mission conducted last week in three major regions in the state, the group told a press conference here yesterday that the insatiable expansion of the monocrop had destroyed forests with the resultant loss of biodiversity that has even further affected the dependence of the native communities on forest for livelihood.
The group also felt that this strategy and action constitutes gross violation of indigenous peoples’ rights to Native Customary Rights land.
The group visited 70 villages and met with about 825 people and claimed that there was continued and systemic organised aggression on indigenous peoples land and rights with some cases of outright criminal intimidation.
The group, comprising both local and foreign NGOs like Tenaganita, Pesticide Action Network - Asia Pacific, Sarawak Dayak Iban Association and Rainforest Action Network of the United States called upon the state government to respect the native's customary rights as guaranteed under the Sarawak Land Code and cease the issuance of the 60-year provisional leases that is the source of all the land conflicts.
Fernandez said the mission’s report would form the basis for an international petition campaign to support the Sarawak natives struggle to protect their rights over their ancestral land.
30 April 2008
Kelaparan di Malaysia? -- Group: Plantations depriving natives of their livelihood
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Wednesday, April 30, 2008
Label: ketahanan pangan, Malaysia, The Star
Singapore advocacy groups campaign for days off for maids
The Associated Press, Singapore | Wed, 04/30/2008
Foreign domestic workers in Singapore, most of whom live with their employers, deserve a regular rest day just like anyone else in the city-state, said organizers of a new campaign starting Thursday.
The "Day Off" campaign sets out to raise awareness of the need for Singaporean employers to consider a weekly or monthly rest day a basic right of their domestic workers, said Saleemah Ismail, president of UNIFEM Singapore.
"This campaign is to educate Singaporean employers of the need to give foreign domestic workers a day off - which is the same benefit that they themselves are getting from their workplaces," Saleemah told The Associated Press on Wednesday.
The campaign will start with the unveiling of a new Web site carrying information on how to improve the working relationships between employers and their foreign domestic workers. Thursday is also May Day, a public holiday in Singapore.
One in six families hires a maid in Singapore, a wealthy Southeast Asian city-state of 4.5 million people, and about 170,000 migrant women, mostly from the Philippines and Indonesia, are employed here as domestic workers.
Rest days for maids are not mandatory in Singapore, and the government has in recent years come under pressure by employment watchdogs and rights groups like Human Rights Watch to legislate such days off.
Activists have argued that foreign domestic workers should be included in the city-state's Employment Act, which states how many days rest an employee is entitled to each week. But the Manpower Ministry in 2006 rejected such calls, arguing it would inconvenience families with special needs.
Instead, the government wanted consumer watchdog bodies and maid employment agencies to implement standard employment contracts that stipulate monthly or weekly rest days.
But many maids are still not getting any time off, according to Indonesian Embassy official Kemal Haripurwanto.
He told the AP that the embassy receives about 30 phone calls a day from Indonesian maids seeking help because they have not been given rest days. This is as frequent as before the official call to include days off in employment contracts two years ago, he said.
"There should be a socialization on what a day off means to domestic workers," Kemal said. "There should be equal protection for a foreign domestic worker's well-being."
The Manpower Ministry said in a statement that it is committed to ensuring the interests and welfare of maids are safeguarded.
It said the new campaign was "in line" with the ministry's efforts to ensure that maids are accorded adequate rest.
Co-organized by the Humanitarian Organization of Migrant Economics and the Transient Workers Count Too, the campaign is scheduled to run till the end of the year. (**)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Wednesday, April 30, 2008
Label: AP, Buruh migran, Day-off, In English, Singapore, UNIFEM
Dua TKI Banyuwangi Meninggal
Selasa, 29 April 2008 - 22:10 wib
Jenazah Sukiyem dijadualkan tiba di Banyuwangi hari ini. Kabar meninggalnya dua TKI ini disampaikan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Cabang Banyuwangi. Kordinator Penelitian dan Pengembangan (Litbang) SBMI Banyuwangi M Hairon mengatakan pihaknya mendengar kabar tersebut dari SBMI Jawa Timur dan beberapa jaringan organisasi advokasi buruh migran lainnya.
?Baru tadi siang kami dikabari dan sore ini jenazah Sukiyem rencananya tiba di rumah duka. Kami akan telusuri PJTKI yang memberangkatkan dan menanyakan ke Badan Pelayanan Penempatan TKI (BP2TKI),? ujarnya Selasa tadi (29/4).
Hairon menjelaskan bahwa Sukiyem sudah tiga tahun bekerja di Hongkong. ?Kami belum mengetahui secara pasti apakah ada unsur kekerasan atau tidak. Yang saya dengar, dia meninggal karena sakit,? jelasnya.
Menurutnya, pemulangan TKI yang bekerja di Hongkong lebih terjamin dan mudah. ?Karena hak tenaga kerja asing disana sama dengan tenaga kerja lokal,? katanya.
Bagaimana dengan Haniyah? Hairon mengaku belum mengetahui apakah jenazahnya sudah sampai di tanah air atau bahkan sudah dimakamkan. ?Informasinya belum jelas. Yang pasti saya mendengar kabar kematiannya sudah tiga hari yang lalu,? ujarnya.
Hairon mengatakan Haniyah sudah bekerja di Jeddah, Arab Saudi, selama enam tahun. Dia termasuk dalam ratusan TKI yang dipenjara dan akhirnya dideportasi karena tidak memiliki dokumen yang lengkap. Mereka kebanyakan lari dari majikannya karena mengalami perlakuan kekerasan.
SBMI juga berhasil mendapatkan informasi seorang TKI yang bekerja di Arab Saudi mendapat hukuman penjara selama dua tahun dan cambukan 500 kali. ?Kami masih mengkonfirmasi ke jaringan kami di Jakarta untuk mengetahui dia terlibat kasus apa,? ucapnya.
Dalam paspor TKI tersebut diketahui bernama Linda namun setelah ditelusuri, nama aslinya adalah Nur Hasanah, 36, warga Perumahan Giri Mulya No 5 RT 5 RW V Kel Klatak, Kec Kalipuro. Dia berangkat menjadi TKI tahun 2006. Sedangkan nasib TKI lain, Solekati binti Sani Hasan, 34, warga Dusun Mojoroto RT 03 RW 01, Desa/Kec Tegalsari, yang dianiaya di Madinah, Arab Saudi, hingga kini belum jelas keberadaannya.(Ishomuddin/Sindo/ahm)
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, April 30, 2008
Label: BMI meninggal, BMI Meninggal di HK
28 April 2008
Lima Juta Warga Miskin Rawan Pangan
Dr Tjuk Eko Haris Basuki menyampaikan hal itu saat menjadi pembicara seminar "Dampak Pemanasan Global terhadap Ketahanan dan Kedaulatan Pangan" mewakili Menteri Pertanian, di Universitas Pekalongan, Kota Pekalongan, Jateng, Minggu (27/4/2008).
Menurutnya, jumlah warga miskin rentan terhadap rawan pangan tergolong masih cukup banyak. Setidaknya tercatat hingga Maret 2007 masih ada 5,71 juta jiwa penduduk miskin yang rawan kekurangan pangan. "Namun angka itu jauh lebih menurun dibanding tahun sebelumnya,'' kata Tjuk Eko.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), ungkapnya, pada tahun 2006 masih tercatat 10,40 juta jiwa rawan pangan dari jumlah penduduk miskin sebesar 39,30 juta jiwa. Tahun 2005 terdapat 5,105 juta jiwa rentan rawan pangan dari total penduduk miskin 36,80 juta jiwa.
Dia menjelaskan, penurunan jumlah warga miskin rawan pangan itu salah satu penyebabnya terjadi karena stok produksi pangan tahun 2007 mencukupi. Misalnya untuk stok padi mencapai 57,05 juta ton, jagung 13,29 juta ton, kacang hijau 322,17 ribu ton, kacang tanah 788,55 ribu ton, ubi jalar 1,88 juta ton, dan ubi kayu 19,80 juta ton. "Jadi pada 2007 karena tercukupinya stok, konsumsi energi dan protein masyarakat Indonesia tercukupi,'' jelasnya. (M Masrukhin Abduh/Sindo/mbs)
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, April 28, 2008
TKI Disiram Air Mendidih di Riyad
Minggu, 27 April 2008 - 17:42 wib
Saat ditemui wartawan di Ruang Huud, Rumah Sakit Islam Karawang (RSIK), Minggu (27/4/2008), warga Dusun Baros, RT 12/02, Desa Panca Karya, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang itu masih dalam perawatan intensif Rumah Sakit Islam Karawang (RSIK).
Sekujur tubuh Tarwi mengalami luka bakar cukuo serius. Pasangan Husein Al-Abid dan istrinya acapkali menyiram Tarwi dengan air mendidih ketika Tarwi dianggap salah. Tidak hanya itu, Tarwi juga sering mendapat pukulan kayu dan cubitan di sekujur tubuhnya. "Saya juga pernah dipaksa minum air mendidih," ujarnya lirih.
Kondisi tubuh Tarwi sungguh memilukan. Selain disiksa, Tarwi juga jarang diberi makan oleh majikannya. "Saya tidak dikasih makan, makanya badan saya kelihatan kurus. Dulu, waktu saya berangkat ke Riyad, badan saya gemuk," tandasnya.
Tarwi juga mengatakan selama bekerja tidak pernah dibayar sesuai kesepakatan. Selama dua tahun bekerja, Tarwi hanya bisa mengirim Rp5 juta untuk keluarganya di Indonesia. "Selama saya bekerja disana, gaji saya hanya dibayar sebesar 8.000 Real untuk empat bulan," keluhnya.
Tarwi menceritakan penyiksaan yang dilakukan majikannya itu hanya dipicu persoalan-persoalan sepele. Majikannya marah melihat anaknya yang masih balita sering meronta ketika diasuh Tarwi.
"Ketika saya tiba di rumah majikan saya, anaknya masih 1,5 tahun. Saat itu, masih mau saya gendong dan saya urus. Namun, setelah si anak semakin tumbuh usianya, dia tidak mau lagi saya suapin saat makan. Bahkan, anak itu suka melawan. Itulah penyebabnya, saya dianiaya oleh majikan," kata Tarwi.
Meski demikian, Tarwi yang tiba di Bandara Soekarno Hatta pada Sabtu (26/4) dini hari lalu mengaku bersyukur masih diberi kesempatan hidup dan berkumpul bersama keluarganya.
"Saya dipulangkan ke Indonesia, karena majikan saya berharap saya akan mati dijalan. Ternyata, Allah berkehendak lain, saya masih bisa bertemu dengan keluarga, suami dan anak saya," ungkapnya.
Tarwi yang berangkat ke Riyad melalui Perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Luar Negeri (PPJTKLN) PT Alhijaz, Jakarta 22 Maret 2006 lalu berniat akan meminta pertanggungjawaban perusahaan penyalur TKI itu. (Raka Zaipul/Sindo/pie)
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, April 28, 2008
Kota yang Memihak Kaum Miskin
Oleh IVAN A HADAR
Tugas utama sebuah (perencanaan) kota adalah menjaga kebersamaan serta mengatur keseimbangan dari setumpuk perbedaan. Selain kriminalitas, masalah utama sebuah kota (besar) di negeri ini adalah tingginya angka kemiskinan warga dan manifestasinya dalam bentuk kekumuhan kota.
Cara efektif menanggulangi dengan melibatkan mereka, yang tak jarang merupakan mayoritas penduduk kota dan yang dalam kesehariannya adalah para pelaku yang "menghidupkan" kota, dalam proses pengambilan keputusan. Apakah hal ini sudah dilakukan?
Tampaknya belum banyak kota di negeri ini yang melakukannya, termasuk Jakarta sebagai panutan. Salah satu indikasinya, tiap tahun hanya seperempat total anggaran (APBD) yang dialokasikan untuk pembangunan. Tak banyak dari jumlah itu yang bisa dinikmati masyarakat miskin.
Indikasi berikutnya, tanpa banyak diketahui publik, DKI Jakarta memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2000- 2010 yang banyak menyimpan penyimpangan, seperti penghilangan berbagai jalur hijau kota dan reklamasi Pantai Indah Kapuk yang tidak memerhatikan dampak sosial ekologis.
Peran warga
Rencana itu juga "tidak membumi" karena masalah klasik permukiman kumuh dan pedagang kaki lima tidak tersentuh. Dalam praktik, penggalian dan pemecahan masalah perkotaan, kalaupun dilakukan, menjadi monopoli perancang kota dan penentu kebijakan. Padahal, banyak bukti menunjukkan, warga kota sering lebih mengetahui persoalan sebenarnya, bahkan mampu mengeluarkan ide-ide kreatif dan imajinatif segar. Asal, mereka diajak berembuk tentang kotanya, seperti pengalaman kota Porto Alegre, Brasil.
Orcamento Participaivo (OP), dua kata berarti "Keterlibatan Warga Kota dalam penentuan APBD", adalah hal yang dilakukan secara konsekuen di Porto Alegre. Ketika Partai Buruh menang pemilu di negara bagian ini, dikembangkan OP yang bisa berarti "APBD partisipatif". Dalam kerangka OP, kota dibagi 16 subregion. Warga dalam forum-forum lokal dan regional berdiskusi tentang persoalan kota dan mencari solusinya.
Selain mendapat informasi tentang sistem baru, warga juga dibekali brosur 30 halaman tentang fungsi dan haknya sebagai warga kota. Konon, 85 persen warga Porto Alegre memahami OP dan sekitar 20.000 warga terlibat aktif dalam kepentingan dan melakukan konseling.
Dari ratusan delegasi forum, dipilih 40 orang sebagai perwakilan dan berhak meneliti penggunaan keuntungan pemerintah kota. Aneka usulan dari 21 forum kota dirangkum dalam rancangan APBD, diserahkan gubernur terpilih kepada dewan kota. Dewan kota, sebagai satu-satunya instansi yang berhak memutuskan APBD.
Dengan cara ini, sejak beberapa tahun terakhir, warga kota dapat memutuskan penggunaan dana APBD sekitar 750 juta dollar AS (sekitar Rp 8,5 triliun). Sebagian besar dana itu diinvestasikan bagi kemaslahatan lapis sosial bawah, misalnya untuk kawasan kumuh, sebagian besar terlayani infrastruktur kota, seperti air minum, kanalisasi, jalan, sistem pendidikan, pembuangan dan daur-ulang sampah, perbaikan alat transportasi kota, serta jaringan pembuangan air limbah.
"Model Porto Alegre" menjadi acuan ratusan dewan kota di Brasil. Dalam kaitan ini, model demokrasi representatif, di Brasil, kian kehilangan pamor.
Kebutuhan dasar
Selain partisipasi warga, pemenuhan kebutuhan dasar papan adalah salah satu syarat utama kota pro-poor. Sebenarnya, sebagai anggota Habitat International, Indonesia telah meratifikasi klausul rumah sebagai basic need. Konstitusi pun tegas menyatakan, "Negara wajib membantu mengadakan rumah yang layak bagi rakyat Indonesia" (UUD 45, Pasal 48 H). Begitu pula UU No 25/2000 tentang Propenas dan UU Bangunan Gedung 2003 (Pasal 43 Ayat 4) yang mewajibkan pemerintah daerah "memberdayakan masyarakat miskin yang belum memiliki akses rumah." Arahan konstitusi itu bertujuan memberi aksesibilitas rumah bagi rakyat Indonesia, terutama bagi kelompok lemah ekonomi.
Secara teknis, teori krisis perumahan dan solusinya bisa dibagi dalam dua kelompok. Pertama, melihat masalah perumahan sebagai "persoalan modal dan penghasilan". Kelompok dua, menganggapnya "persoalan kebersihan, kesehatan, dan keteraturan".
Bagi kelompok pertama, krisis perumahan dianggap identik tingginya harga lahan yang disebabkan pemilikan yang tidak produktif, spekulasi lahan dan bangunan, serta pengendalian stok rumah dan kapling oleh segelintir. Teori ini berhasil "menelanjangi" berbagai perilaku melenceng para developer perumahan.
Kritik terhadap spekulasi lahan dan properti ini banyak didukung pemikir progresif, perencana, dan politisi kota yang di beberapa negara berhasil memicu gerakan reformasi perumahan. Solusi yang ditawarkan berangkat dari aspek keuangan, seperti kurangnya dana bagi pembangunan rumah sederhana, tingginya bunga kredit perumahan, maraknya manipulasi hipotek yang diberikan untuk pelelangan lahan secara spekulatif, serta rendahnya penghasilan masyarakat.
Sementara itu, teori kelompok kedua, mereduksi masalah perumahan menjadi sekadar persoalan "renovasi dan peremajaan kampung", "budaya kemiskinan", serta "kurangnya pengawasan negara dengan akibat mekarnya perumahan kumuh". Berbagai asumsi itu mewarnai kebijakan perumahan di Indonesia.
Pelajaran dari mancanegara bermanfaat sebagai masukan. Jerman bisa menjadi contoh. Usai Perang Dunia II, negeri yang sebagian besar kotanya diluluhlantakkan bom sekutu, menjadikan pembangunan perumahan sebagai motor pembangunan ekonomi dengan memberi insentif pajak, kredit murah, dan sejenisnya kepada developer yang membangun perumahan bagi masyarakat menengah bawah. Meski tingkat keuntungan relatif kecil, tingkat kepastian mendapat keuntungan nyaris 100 persen. Tak heran, lebih dari 60 persen perumahan di Jerman dibangun developer jenis ini. Mereka yang menginginkan keuntungan lebih harus mengikuti aturan pasar yang berisiko.
Dari paparan itu, banyak peluang untuk menyelesaikan krisis perkotaan dan perumahan di Tanah Air. Kemauan politik pemerintah dan semua pihak dalam mencari keseimbangan di antara pemangku kepentingan merupakan syarat yang harus dipenuhi. Selebihnya masalah teknis.
IVAN A HADAR Koordinator Nasional Target MDGs (Bappenas/UNDP); Pendapat Pribadi
http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/04/26/01061992/kota.yang.memihak.kaum.miskin
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, April 28, 2008
TKW Karawang Disirami Air Mendidih
27/04/08 19:11
Karawang, 27/4 (ANTARA) - Seorang TKW asal Karawang, Jawa Barat, Tarwi binti Alim(28) mengalami luka bakar di sekujur tubuh karena disiram dengan air mendidih oleh majikannya di Riyadh, Arab Saudi.
"Saya juga pernah dipaksa minum air mendidih oleh majikan," katanya, saat ditemui di Rumah Sakit Islam Karawang, Minggu.
Menurut Tarwi, awalnya dia bertugas mengasuh seorang anak majikan yang berusia 1,5 tahun, namun setelah si anak bertambah usia, dia tidak mau lagi diasuh Tarwi dan sering melawan.
"Itulah penyebabnya, saya dianiaya oleh majikan," katanya lalu mengaku dirinya juga sering dipukul dengan kayu dan dicubit.
Tarwi mengatakan majikannya di Riyadh bernama Husein Al Abid dan Fatma.
Tarwi tiba di rumahnya di Dusun Baros, RT 12/02, Desa Pancakarya, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Sabtu (26/4) sekitar pukul 19.00 WIB dengan menggunakan kendaraan angkutan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) .
"Saya dipulangkan ke Indonesia oleh majikan karena dia berharap saya akan mati di jalan. Ternyata, Allah berkehendak lain, saya masih bisa bertemu dengan keluarga, suami dan anak," katanya.
Tarwi berangkat ke Riyadh pada 22 Maret 2006 melalui Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) PT. Alhijaz, Jakarta.
Selama dua tahun bekerja sebagai pembantu rumah tangga, ia mengaku tidak mendapatkan gaji sesuai dengan kontrak kerja.
Dalam kontrak kerja dengan PT. Alhijaz, dirinya dijanjikan gaji 10.200 Real per bulan, namun, selama bekerja ia hanya dibayar 8.000 Real untuk empat bulan.
Suami korban, Encim (31), mengakui,menerima kiriman uang sebesar Rp5 juta dari istrinya selama menjadi TKW.
Ia berharap agar PT. Alhijaz bertanggung jawab atas penderitaan istrinya.
"PT Alhijaz harus menyelesaikan sisa gaji isteri saya yang belum dibayarkan dan uang asuransi yang harus diterima istri saya," katanya.
Sementara itu, Kepala Bidang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja, Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Karawang RM. Adilhati Kosyungan mengaku akan berusaha membantu keluarga TKW asal Karawang.
"Perusahaan yang memberangkatkan korban ke Riyadh harus bertanggung jawab. Karena itu, saya akan meminta pertanggungjawabannya," katanya.(*)
http://www.antara.co.id/arc/2008/4/27/tkw-karawang-disirami-air-mendidih/
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, April 28, 2008
Label: Buruh migran
Lagi, TKI Disiksa Majikannya
Liputan6.com, Subang: Penyiksaan yang dialami tenaga kerja Indonesia oleh majikannya di luar negeri kembali terjadi. Ade Zubaidah, seorang tenaga kerja wanita asal Desa Sembung, Pagaden, Subang, Jawa Barat, yang bekerja di Malaysia memilih pulang kampung. Ia tak tahan disiksa oleh majikannya.
Ade sedikit lega, sebab gaji selama satu tahun bekerja telah dibayar sang majikan. Hanya saja, penderitaan Ade belumlah berakhir. Saat akan kembali ke kampung halamannya, gaji Ade harus dipotong oleh perusahaan yang memberangkatkannya. Ia dianggap tak memenuhi kontrak selama dua tahun.
Selama setahun bekerja sebagai pembantu di wilayah Delima, Kluang, Malaysia, Ade mengaku kerap disiksa majikan, baik majikan laki-laki maupun perempuan. Ade yang menjadi TKI sejak Februari 2007 ini tidak melaporkan kasusnya ke Konsulat Jenderal Republik Indonesia setempat karena selama bekerja dirinya tak diperbolehkan keluar rumah.(ANS/Syamsu Nursyam).
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, April 28, 2008
Puluhan PSK di Bogor Terjaring Razia
Liputan6.com, Bogor: Puluhan pekerja seks komersial (PSK) yang biasa mangkal di tempat-tempat keramaian di Bogor, Jawa Barat, terjaring razia pada Jumat (25/4) malam. Mereka tak dapat menunjukkan kartu identitas saat diperiksa puluhan aparat Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bogor.
Petugas Satpol PP tetap membawa para wanita "nakal" itu menuju kendaraan yang disiapkan meski ada yang berusaha keras meronta dan melepaskan diri. Sebagian besar dari mereka menolak dituding sebagai pelacur. Padahal, sejumlah wanita beberapa kali menjadi langganan razia.
Selain di titik keramaian, petugas Satpol juga menyisir beberapa rumah kos dan kontrakan yang ditengarai sebagai lokasi prostitusi terselubung. Dalam razia yang berlangsung hingga pukul 02.00 WIB, terjaring sedikitnya 34 wanita. Usai didata, mereka langsung dikirim ke panti rehabilitas di kawasan Cibadak, Sukabumi, Jabar.(RMA/Budi Santoso)
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, April 28, 2008
Puluhan Kios di Terminal Depok Terbakar
Liputan6.com, Depok: Si jago merah mengamuk di Terminal Depok, Ahad (27/4) malam, terbakar. Kobaran api dengan cepat menyambar dan melalap puluhan kios dan lapak yang berada di terminal tersebut. Petugas pemadam kebakaran dibantu para pedagang berupaya keras memadamkan api. Tak kurang 20 mobil pemadam kebakaran dikerahkan untuk menjinakkan api yang terus menjalar ke kios-kios yang sebagian besar bangunannya terbuat dari kayu.
Di tengah proses pemadaman, sejumlah pedagang berupaya mengangkut barang-barang yang masih dapat diselamatkan. Barang yang seharusnya menjadi dagangan ini mereka taruh di tempat yang aman. Menurut saksi mata, kuat dugaan api berasal dari hubungan pendek arus listrik di salah satu kios, rental playstation. Namun, padatnya letak antara rental tersebut dan kios lain membuat api cepat menyebar.
Api baru dapat dipadamkan sekitar empat jam kemudian. Sementara para pedagang tampak pasrah melihat kios dan lapak mereka dilalap si jago merah. Tak ada korban jiwa dalam kebakaran ini, namun diperkirakan kerugian yang diderita mencapai ratusan juta rupiah. Mengenai adanya kemungkinan sabotase, pihak kepolisian masih menyelidikinya.(ANS/Nahyudi)
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, April 28, 2008
27 April 2008
The Malaysian Bar: Plight of the ‘modern slaves’
The Malaysian Bar Website, Sunday, 27 April 2008
• What if an illegal is raped?
©New Sunday Times (Used by permission)
by R.S. Kamini
• Foreign workers trapped in a 'no-win' situation
• Harun - from legal to illegal overnight
KUALA LUMPUR:Foreign national Deluar Hossain loves Malaysia but he has bitter memories of the country that will haunt him for a long time.
The Bangladeshi worker, who is in his late 30s, came to Malaysia with the hope of helping his debt-stricken family back home but ended up with nothing to show for it.
Deluar came here in May last year, after having paid close to RM12,000 to an agency that promised him a well-paid job at a construction company in Rawang.
When he arrived in Rawang, he found that he had to share a house with 28 other workers. His first month’s pay was also withheld from him.
Then, he was moved to Johor where he worked for three months without salar y, though he was given RM200 every month that was used mostly to buy food.
Deluar said he had called his family back home to see how they were and became depressed when they asked him about his salary.
He approached his employer and asked for RM750 of his salary to be sent to his family in Bangladesh.
But neither his employer nor the local employment agent paid Deluar any heed.
Frustrated, Deluar sought legal help from Tenaganita but ended up with injuries on his face after some men beat him up for seeing a lawyer.
Deluar’s agent also warned him against going to the authorities and told him that he would not be receiving any pay since he had tried to “act smar t”.
With his visa expiring in two months’ time, Deluar is bent on getting some justice and compensation for all his work and pain.
Deluar is just one of the many foreign workers being victimised by ruthless foreign and local agents that the Migration Working Group (MWG) is trying to help.
MWG, in a forumheld at the Kuala Lumpur Chinese Assembly Hall yesterday, said every migrant worker, asylum seeker and refugee had the right to redress.
Through the forum entitled “The Right to Redress for Migrant Workers and Refugees” the group’s co-ordinator, Alice Nah, said the right to redress for non-citizens was only possible when three rights were recognised, namely the right to be heard, the right to stay and the right to work.
Nah said Malaysia is estimated to have one to two million non-documented workers, in addition to the 2.2 million documented foreign worker s.
“There are also an estimated 100,000 asylum seekers and stateless persons seeking protection but since Malaysia has no legislation on asylum and statelessness, most of these people are treated as non-documented migrants.” Nah said it was difficult for non-documented migrants to get redress.
“Even those with documents find it hard to obtain redress.
“In many cases, when a migrant worker files a suit against his employer, the employer cancels the work permit and he ends up losing his right to stay and work here.” Tenaganita director Irene Fernandez said foreigners who had been forced into prostitution, bonded labour and were smuggled or trafficked or were foreign brides were all considered “moder n day slaves”.
Most had no proper documentation and were being taken advantage of, she said.
Another speaker, Bar Council human rights committee member Renuka T. Balasubramaniam, said language problems and ignorance of human rights were the main barriers for migrant workers seeking redress for injustice.
The government, she said, should also consider setting up a special court for migrants that gives them the right to be heard.
The forum also came up with several proposals, such as recognising refugees through a special card issued by the United Nations High Commissioner for Refugees.
Ivy Josiah, the executive director of Women’s Aid Organisation, said her support group and MWG were hoping to meet government officials soon to discuss the status of migrant workers and forward their proposals.
Foreign workers trapped in a 'no-win' situation
TWENTY per cent of Malaysia's workforce are foreign workers. But what happens when a foreign worker is exploited?
Their rightful redress is the Labour Court, but in reality, this avenue is not one of justice for foreign workers.
Bar Council Legal Aid Centre chairman Ravi Nekoo said that while the law allows a foreign worker to stay in the country pending the disposal of his case, the worker is without a job.
Ravi said although foreign workers could file a case at the Labour Court or lodge police reports against their employers, this usually results in their work permits being cancelled by the employers.
"This leaves the migrant worker in a dilemma as he has no right to continue to be in the country without work and the capacity to earn a living," he said.
Yes, Ravi agreed that the foreign worker could apply for a special pass while waiting for his case to be settled. However, he said, the pass did not allow a foreign worker to work in the country.
"So how is he supposed to survive?"
Tenaganita programme officer Florida Sandanasamy said not only does the pass forbid a worker from working, it is only valid for 30 days.
The application for the special pass itself takes months, during which the foreign worker's status is illegal.
The application hits a dead end if the foreign worker does not have his passport.
Sometimes, says Florida, the passport is held by the former employer, which complicates matters.
"Most of them file cases because they have not been paid, and then this," said Florida.
"How can they sustain themselves if they can't work? What is worse is that the special pass costs RM100 a month.
"As a local, I can work while my case is pending. Why shouldn't this apply to foreigners?
"So is justice served? That is the big question."
Florida said the authorities had to stop living in denial, thinking all agents and employers are good.
Ravi said the statistics released by the Bureau of Democracy, Human Rights and Labour (United States) on March 6, last year, quotes figures given by the Internal Security Ministry as 42,483 individuals incarcerated in prisons and illegal migrant detention centres in the country.
People, said Ravi, failed to see the contribution foreign workers make to the economy.
"What is their offence? They come here to earn money for their loved ones. They should not be in this country if our economy cannot sustain them. The laws have to be more compassionate."
Immigration Department enforcement director Datuk Ishak Mohamed said they do not allow foreign workers with special passes to work in the country as this would create a loophole for illegals to work.
"I cannot allow them to use the special pass to work and stay for as long as their case is being heard because there are hundreds of thousands of illegals in the country," said Ishak.
"If we allow it, everyone would settle for that option, including refugees, because it is an easy way to get work. We have found a few cases filed in court just for them to obtain a special pass."
Ishak said a special pass is valid for 30 days and renewable up to three times.
"Our position is that 90 days is sufficient for them to file a case, engage a lawyer to represent them and then return to their homes.
"If they want, they can return anytime for their cases."
But how would they survive 90 days without working?
"As far as the Immigration Department is concerned, the 90 days is given on the understanding that the worker's family, good friends, non-governmental organisations, embassies, high commissions or any other person would support him during this period."
Harun - from legal to illegal overnight
HE sold his land for RM7,000 and bid his family goodbye, promising to support his parents and nine siblings in Bangladesh.
He received his visa and work permit before leaving his homeland in 1996.
And after contributing to the Malaysian economy for seven years, he now has sleepless nights and lives in fear of every knock on his door.
This is because 40-year-old Harun (not his real name) has become an illegal immigrant overnight. And all because of the due process of law.
Harun was employed in a plastic moulding factory along with 10 others from Bangladesh.
His salary was first paid to his agent, and after deductions were made, the agent passed what was left to him.
The workers worked for 12 hours a day, and virtually seven days a week. They were not paid overtime or bonuses, and were not allowed annual leave.
They were also deprived of company benefits that were enjoyed by local employees.
This feeling of injustice motivated the 11 employees to take their case to the Labour Court in 2002. But instead of getting what they were owed, their employer cancelled their work permits, rendering them illegal and jobless.
With the help of the Bangladesh High Commission and Tenaganita, Harun and his friends were then granted a special pass, which was renewed continuously until 2006.
Then the Immigration Department stopped renewing the pass.
Harun and his friends are now illegal immigrants, even though their case is on appeal to the High Court.
Now, Harun wants only one thing -- a temporary work permit to survive until his case is settled. But so far, there is no sign of a work permit or the money due to him.
"If I win my case today, I will return home tomorrow. I'm suffering here with no work permit and no job. I live in fear daily," he said.
"At least, when I had the permit I was not so afraid. But of what use is the special pass? To jalan-jalan (roam about)? What do I eat? Air?"
Harun, who has been in Malaysia for 13 years, said he has not done anything wrong since he arrived.
"I am not stealing. I'm just working to survive. I like Malaysia. I love working here, and I have done nothing wrong."
One of the workers in Harun's group, Muhammad, wanted to return to Bangladesh after his special pass had expired. His 80-year-old mother wanted to see him.
Muhammad went to the Immigration Department. He was detained.
They kept him for 12 days before he was deported. He was not allowed to take any of his belongings or savings and returned to Bangladesh, penniless.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Sunday, April 27, 2008
Label: HAM, masalah BMI, The Malaysian Bar
Foreign workers trapped in a ‘no-win’ situation
NST Online, Apr 27, 2008
TWENTY per cent of Malaysia’s workforces are foreign workers. But what happens when a foreign worker is exploited?
Foreign workers could file a case at the Labor Court or lodge police reports against their employers, this usually results in their work permits being cancelled by the employers. This leaves the migrant worker in a dilemma as he has no right to continue to be in the country without work and the capacity to earn a living. Foreign worker could apply for a special pass while waiting for his case to be settled. However, the pass did not allow a foreign worker to work in the country. It is only valid for 30 days.
The application for the special pass itself takes months, during which the foreign worker’s status is illegal. The application hits a dead end if the foreign worker does not have his passport.
We do not allow foreign workers with special passes to work in the country as this would create a loophole for illegal’s to work. We cannot allow them to use the special pass to work and stay for as long as their case is being heard because there are hundreds of thousands of illegal in the country. We have found a few cases filed in court just for them to obtain a special pass. A special pass is valid for 30 days and renewable up to three times. As far as the Immigration Department is concerned, this 90 days is given on the understanding that the worker’s family, good friends, non-governmental organizations, embassies, high commissions or any other person would support him during this period.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Sunday, April 27, 2008
Label: Buruh migran, krisis ekonomi, Malaysia, NST Online
26 April 2008
Mother's agony over suicide bid
Gulf Daily News, 26 April 2008
A MAID who slashed her wrist has told of the misery that drove her to try to take her own life.
Indonesian Sri Wahyuningsih B T Mustaki is divorced, with three children cared for back home by her ailing, elderly mother, who is no longer able to cope.
Ms Mustaki, 32, was found by her Bahraini sponsor's daughter after slashing her wrist in the family's East Riffa home, on April 18.
She was taken first to BDF Hospital at around 6am, then transferred to Salmaniya Medical Complex about three hours later.
Ms Mustaki was released from the SMC after about four hours, once doctors were sure there was no serious harm done and she has since pledged for her children's sake never to harm herself again.
She said she was already deeply worried about her family, but a phone call from her mother tipped her over the edge.
"I got a call from my mother at night saying she was unable to take care of my children anymore, as they were very demanding," said Ms Mustaki.
"At that moment, I hated myself and thought of ending my life. First of all, I have so much of work to do here and on top of that, I am getting calls from my family, which are really disturbing and intolerable.
"I got divorced from my husband when I came to Bahrain and my mother is the only person who is looking after my children.
"I am sending her the money for the children's education, but she always complains that she has no money.
"I want someone to take care of my children as they are growing now, but my mother is also aged and sick."
She said she came to Bahrain in 2000 to earn money to support the children and her mother.
"My former husband worked as a farmer and I left him because he was not so caring," said Ms Mustaki.
"He always cared about himself and sometimes left me and my children to starve.
"I was really fed up living such a life."
But she said that since cutting her wrist, she had realised the harm her death would have caused her children and would never try it again.
"I never thought of my children at that time, but I feel guilty now, as no one would have been there to take care of them," said Ms Mustaki.
She said she had been with the same Bahraini family since she came here and was happy with them.
"I don't have any problem with my sponsor or his family, as they are kind and very helpful," said Ms Mustaki.
She was saved by one of the sponsor's daughters, who woke up when she heard her cry out in pain and found her bleeding near the kitchen.
aneeqa@gdn.com.bh
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Saturday, April 26, 2008
Label: Bahrain, Bunuh diri, Buruh migran, In English, masalah BMI, stress
25 April 2008
Singapore employer cleared in maid's fall case
Asia News Network
First Posted 04/25/2008
SINGAPORE -- A human resource manager in Singapore was cleared of failing to provide a safe working environment for an Indonesian maid, who fell down three storeys while cleaning windows.
A Ministry of Manpower prosecutor withdrew the charge against Tan Puay Cheng, 37, who was given a discharge amounting to an acquittal on Friday.
The prosecutor told the court that the matter had been compounded.
Tan was originally accused of failing to comply with the conditions of a work permit issued to her maid, Nia Wulandari, 23, by telling her to clean the windows of her flat in Choa Chu Kang North by standing on the kitchen sink or using a ladder.
The alleged offence took place between February 25 and March 16 last year.
The maid apparently fell from the third-floor unit and fractured her spine in the early hours of March 16 last year.
Tan, who came to court with her husband, looked relieved. By Elena Chong, The Straits Times-ANN
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Friday, April 25, 2008
Label: Asia News Network, Buruh migran, hukum, In English, masalah BMI, Singapore
Bayi Kembar di Parigimoutong Alami Gizi Buruk
TEMPO Interaktif, Parigi:Lutfiah dan Lutfiana, bayi kembar berusia 6 bulan asal Desa Donggulu Kecamatan Kasimbar, Kabupaten Parigimoutong, Provinsi Sulawesi Tengah, menderita gizi buruk.
Putri kembar pasangan Amaluddin (34) dan Evi (24) tersebut mengalami kelainan pertumbuhan. Selain berat badannya yang tidak normal, ukuran keduanya pun dianggap tidak sesuai dengan ukuran badan bayi normal seuisanya.
Berat badan Lutfiah hanya sekitar 3,5 kilogram, dan lutfiana 2,9 kilogram, sangat jauh dari batas normal
dari berat badan bayi usia enam bulan yang rata rata
berkisar antara 5 hingga 6 kilogram.
Orang tua Lutfiah Amaluddin yang dijumpai di ruang
bougenville IIIa RSUD Anunataloko Parigi tempat
anaknya dirawat, menuturkan, kelainan pertumbuhan kedua
putri kembarnya tersebut sudah terjadi sejak berusia
tiga bulan.
Namun Puskesmas tempat memeriksa tidak pernah memberikan keterangan jelas mengenai penyakit yang diderita putrinya. "Kami hanya selalu dikasih obat," ujarnya Kamis siang ini.
Saat ini, Lutfiah dan Lutfiana tengah menjalani
perawatan intensif dari pihak rumah sakit sejak tiga
hari lalu. Biaya Pengobatan Gratis.
Sementara itu, Kepala Badan Rumah Sakit Daerah
Anuntaloko Parigi, Anshayari Arsyad mengaku
untuk pasien gizi buruk ini pihak rumah sakit akan
memberikan perhatian serius. Misalnya kata kata dia
melakukan kontrol ketat terhadap asupan gizi pasien.
Moh Darlis
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/sulawesi/2008/04/24/brk,20080424-121938,id.html
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Friday, April 25, 2008
Label: Anak, Gizi Buruk
Surat Izin Bekerja TKI ke Luar Negeri Diperketat
Bandung, Kompas - Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan memperketat pemberian surat izin bekerja bagi tenaga kerja Indonesia atau TKI asal Jabar yang ingin bekerja di luar negeri. Rencana kebijakan tersebut untuk menekan praktik perdagangan perempuan dan anak di wilayah Jabar yang belakangan ini semakin marak terjadi.
Hal itu mengemuka dalam pembahasan usul Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Anak dan Perempuan pada sidang paripurna DPRD Jabar, Rabu (23/4) di Bandung. Sidang itu dipimpin Ketua DPRD Jabar HAM Ruslan dan dihadiri Wakil Gubernur Jabar Nu'man Abdul Hakim serta 51 anggota DPRD.
Berdasarkan penelitian Institut Perempuan, pada Januari-Juni 2007 terdapat 12 kasus perdagangan manusia yang menimpa 43 korban asal Jabar. Sebanyak 29 orang di antaranya adalah anak-anak. Korban terbanyak berasal dari Kota Sukabumi, Bekasi, Indramayu, Subang, Karawang, Depok, Cirebon, dan Kuningan.
Ketua Komisi E DPRD Jabar Nur Supriyanto mengatakan, tingginya kasus perdagangan perempuan dipicu oleh kemudahan mendapatkan izin bekerja ke luar negeri. Bahkan, perizinan itu semata-mata hanya terfokus pada penyedia jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI). "Surat izin bekerja selama ini hanya terfokus pada PJTKI yang tidak bisa ditelusuri kebenarannya. Ini salah satu penyebabnya," ujar Nur.
Pada raperda tersebut, pembahasan akan lebih ditekankan pada pencegahan perdagangan perempuan. "Kasus perdagangan perempuan dan anak di Jabar kerap menimpa buruh migran atau tenaga kerja wanita. Oleh karena itu, pencegahan harus dilakukan dengan memperketat pemberian izin bekerja," Nur menegaskan.
Salah satu klausul raperda mengatur tentang pemberian surat izin bekerja di luar daerah (SIBD) yang dikeluarkan oleh aparatur pemerintah tingkat daerah, seperti camat dan kepala desa. "Pemberian izin harus jelas dipastikan, apakah warga yang hendak menjadi TKI benar-benar terjamin mendapat pekerjaan di negara penerima," kata Nur.
Anggota DPRD dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Diah Nurwitasari, berpendapat, klausul SIBD dalam raperda ini bahkan mengatur perizinan ke luar daerah antarkota atau antarprovinsi.
"Wilayah Jakarta, Bandung, dan Tangerang sering kali dijadikan kantong-kantong transit sebelum diberangkatkan ke luar negeri. Sesampainya di luar negeri, warga kita justru ditelantarkan dan terancam dideportasi," kata Diah.
Sanksi bagi aparatur
Sementara itu, Wakil Gubernur Jabar Nu'man Abdul Hakim berpendapat, upaya pencegahan melalui SIBD yang diatur dalam raperda tidak akan efektif bila tidak disertai dengan sanksi tegas bagi aparatur pemberi izin SIBD. Menurut dia, dalam raperda harus diatur sanksi bagi aparatur pemerintah daerah, misalnya camat dan kepala desa, yang mengeluarkan SIBD sembarangan. Sanksi ini dapat berupa peneguran, skorsing, hingga pemecatan dari jabatan.
"Ini merupakan bentuk pencegahan sehingga aparatur turut bertanggung jawab karena mengeluarkan perizinan bekerja yang menyebabkan terjadinya perdagangan perempuan dan anak. Jadi, tidak hanya si pelaku saja yang dihukum," ujar Nu'man. (A15)
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Friday, April 25, 2008
Label: Buruh migran
24 April 2008
Malaysia claims influx of illegal workers but none found
Malaysia News.Net
Thursday 24th April, 2008 (IANS)
Despite Malaysian claims that an influx of illegal immigrants was causing a job shortage for locals, an ethnic Indian minister who conducted a surprise check at tourist destinations here found no foreign worker, even the legitimate ones.
Deputy Federal Territories Minister M. Saravanan visited the tourist spots Wednesday at the peak hour of 6 p.m. along with two lawmakers who had complained that parts of the city had been converted into 'Bangladeshi towns', the Star newspaper said Thursday.
After the raid, Saravanan said: 'I didn't see any illegal traders, I don't even know what's illegal here. We're very concerned, but so far it looks all right.'
However, 86 illegal immigrants were nabbed during a separate midnight operation in Parit Jawa and Kuala Lumpur. Also, 64 Indonesians and 22 Bangladeshis were detained at factories and workers' hostels.
Malaysian authorities have said there are over three million foreign workers, both legal and illegal, in the country and that this was reducing employment opportunities for locals.
Home Minister Syed Hamid Albar has said the government will gradually remove foreign workers from places frequented by tourists to give the industry 'a Malaysian face'.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, April 24, 2008
Label: illegal, Kebijakan, Malaysia, Pemerintah, razia
86 illegal immigrants rounded up in Muar
Star Online, Thursday April 24, 2008
MUAR: Police here rounded up 86 illegal immigrants, including 10 women, during an operation from midnight to 5am in Parit Jawa and here yesterday.
The operation, comprising four senior police officers, 40 policemen, 30 Rela members and four Immigration Department officers, was aimed at curbing crime in the district.
Muar police chief Asst Comm. Mohamad Nasir Ramli said that the immigrants – 64 Indonesians and 22 Bangladeshis – were detained at factories and workers' hostels.
“We will question them to determine if they have any criminal record before surrendering them to the Immigration Department for the next course of action.
“Our aim is to flush out every illegal immigrant who has entered the country and is working without valid documents,” he told reporters at his office yesterday.
ACP Mohamad Nasir said police had started ongoing operations to round-up illegal immigrants found working in factories, plantations and construction sites to curb crime.
Besides illegal immigrants, the department also targeted drug addicts as many were suspected to be involved in house break-ins, motorcycle and snatch theft cases.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, April 24, 2008
Standardise policy on hiring foreign labour
Thursday April 24, 2008
PUTRAJAYA: The policy on the recruitment of foreign workers should be standardised regardless of the source country.
Foreign Workers Management and Supplier Firms Association (Tekam) pro tem president Datuk Baharom Abd Ghani said that a standard measure would have prevented the oversupply of labour from Bangladesh.
“Previously, the policy regarding intake of foreign workers from Bangladesh differed from those put in place for the 13 (other source) countries.
“This has led to many Bangladeshi workers being stranded here after failing to find work,” he said.
As a result, the intake of workers from Bangladesh was frozen in the middle of last year.
“We are asking for the recruitment policy to be standardised for all countries,” he told reporters at his office here yesterday.
This proposal, added Baharom, would be among those the association hoped to forward to the Home Minister.
“We are seeking an appointment with Datuk Seri Syed Hamid Albar soon,” he said, adding that he had submitted an application on April 7 for the association to be set up.
There are 270 outsourcing firms supplying foreign workers to various companies.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, April 24, 2008
Label: Buruh migran, Kebijakan, Malaysia
23 April 2008
Gizi Buruk Hambat Pertumbuhan Tika
Liputan6.com, Temanggung: Tika, gadis berusia delapan tahun ini hanya memiliki berat badan delapan kilogram. Bahkan, bocah malang ini belum bisa bicara, berdiri, dan berjalan. Tika tak bisa tumbuh dengan normal lantaran menderita gizi buruk akibat faktor kemiskinan. Ia hanya bisa tersenyum saat dikunjungi SCTV, Kamis (17/4), di rumah orang tuanya, Desa Pongangan, Kecamatan Bulu, Temanggung, Jawa Tengah.
Penderitaan Tika bermula ketika berumur setahun. Saat itu ia terjatuh hingga sempat dirawat di salah satu rumah sakit terdekat. Tika kemudian dibawa pulang karena kedua orang tuanya, Marsidi dan Komariyah tidak mampu membayar biaya perawatan. Namun, keadaan Tika justru memburuk. Sebab, selama di rumah ia tidak mendapat asupan makanan bergizi sehingga menderita gizi buruk. Pertumbuhannya pun terhambat.
Sebagai buruh tani, Marsidi serta Komariyah belum sanggup memberi makanan yang lebih baik bagi Tika. Penghasilan pas-pasan mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sangat sederhana untuk seisi rumah.(RMA/Yon Daryono)
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, April 23, 2008
Bangunan Liar di Bantaran Kali Dibongkar
Pembongkaran bangunan ini dilakukan karena Pemerintah Kota Jakarta Barat akan memperdalam dan memperluas sungai di belakang bangunan yang digunakan warga sebagai tempat tinggal maupun tempat usaha dalam upaya mengatasi banjir.
Tidak hanya bangunan liar, bangunan yang diakui warga memiliki IMB (ijin mendirikan bangunan) juga ikut dibongkar. Masnah, seorang warga mengaku IMB ini telah diperolehnya sejak tahun 1954.
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, April 23, 2008
Enam Bulan di Taiwan, TKW Tewas Misterius
JAKARTA, SENIN-Merantau enam bulan di Taiwan, Lamah binti Amat (26) tewas misterius akhir Maret 2007 dan jenazahnya baru diterbangkan ke Jakarta, Senin (21/4).
Amat bin Bontot (50) ayah Lamah yang ditemui di kamar jenazah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) mengatakan, dirinya menuntut diadakan otopsi menyeluruh terhadap jenazah anak kedua dari tiga bersaudara itu."Perusahaan yang mengirim Lamah menutup-nutupi kematian putri saya. Saya curiga ada yang tidak beres dalam kematian putri saya," kata Amat.
Dia menjelaskan, selama lima bulan bekerja sebagai pengasuh orang tua di keluarga Cuo Tong Yuan di Taipei, Taiwan, putrinya baru sekali mengirim uang. Uang senilai Rp 7 juta dikirim Lamah yang alumni Universitas Empat Lima (Unisma) Bekasi awal Maret. Lamah dikabarkan meninggal akibat gantung diri. Tetapi kepastian kematian Lamah baru diterima keluarga bulan April.
Padahal, Santi seorang TKW teman Lamah sudah mengabari keluarga tanggal 20 Maret 2008, Lamah sudah meninggal.Karena berita kematian dinilai ditutupi, keluarga Amat pun menuntut dilakukan otopsi terhadap jenazah Lamah. (ONG)
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, April 23, 2008
Label: BMI meninggal, Buruh migran
Da'i Janji Perjuangkan Hak-hak TKI di Malaysia
JAKARTA, SENIN - Mantan Kapolri Jenderal (Purn) Da'i Bachtiar yang ditunjuk sebagai Duta Besar Republik Indonesia di Malaysia berjanji akan memprioritaskan memperjuangkan hak-hak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) diteraniaya maupun yang belum dibayar oleh perusahaan di Malaysia.
Selain itu, mantan orang nomor satu di Polri ini juga berjanji akan menyelesaikan berbagai permasalahan yang selama ini dihadapi TKI di Malaysia, termasuk memberikan bantuan hukum dan perlindungan bagi TKI yang bermasalah di Malaysia.
"Hak-hak karyawan yang tidak dibayarkan sesuai aturan yang berlaku, akan kami bantu untuk bisa diselesaikan dengan baik," tegas Da'i Bachtiar kepada wartawan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta, Senin (21/4).
Menurut Da'i Bachtiar, banyak sekali permasalahan yang dihadapi TKI di Malaysia, termasuk masalah hukum. "Selama ini TKI sering pada posisi yang lemah dalam segi hukum, makanya kita harus memberikan bantuan," tegasnya.
Da'i melihat, banyak kasus hukum yang harus dihadapi para TKI di wilayah Malaysia. TKI lebih banyak pada posisi yang 'kalah' dan tidak punya pilihan lain. Kekalahan para TKI, apalagi mereka adalah TKI ilegal, akan semakin memberatkan mereka. "Karena itu, bantuan hukum akan kami berikan," katanya.
Menyangkut rencana pemulangan besar-besaran TKI dari Malaysia, Da'i mengungkapkan, jika itu menjadi kebijakan pemerintah Malaysia, semuanya harus mendukung. "Kita mendukung kebijakan itu, tetapi kita tetap memberikan perlindungan. Agar semuanya berjalan secara aman," ujarnya.
Terkait kemungkinan terjadinya jatuh korban, karena banyaknya TKI yang dipulangkan, menurut Da'i, semuanya akan dikonsolidasikan lebih dulu dan berbagai langkah antisipasi perlu disiapkan. "Karena itu, semua kekurangan yang ada akan kami perbaiki dan kita lakukan pembenahan," terangnya.
Da'i bertekad akan melanjutkan kebijakan Dubes yang lama dan sudah berjalan dengan baik. "Semuanya tentu menginginkan adanya pelayanan di kedutaan yang baik bagi masyarakat Indonesia di Malaysia dan yang sudah baik itu akan kita tingkatkan agar bisa menjadi lebih baik lagi," katanya.
Informasi di Mabes Polri menyebutkan, Da'i Bachtiar akan lebih mudah melakukan koordinasi terkait masalah hukum karena posisinya selaku mantan Kapolri. Dengan jabatan lamanya, menurut sumber di Mabes Polri itu, Da'i bisa berkoordinasi dan mengambil langkah-langkah hukum dengan Ketua Liason Senior Officer (LSO) Polri di KBRI Kuala Lumpur Kombes Pol Setyo Wasito dengan lebih efektif.
"Seperti kasus TKI yang disembelih di sebuah perkebunan karet di Pantai Kuala Klawang, Seremban, yang menyebabkan dua meninggal dan satu lagi ternyata masih hidup. Penelusuran kasus itu akan semakin mudah kalau Dubes dan LSO-nya sama-sama polisi," katanya. (Persda Network/sugiyarto)
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, April 23, 2008
AS Deportasi 54 WNI dengan Pesawat Khusus
Jakarta, Kompas - Amerika Serikat telah mendeportasi 54 warga negara Indonesia dengan pesawat khusus, yaitu pesawat carter Sky Service Airlines. Ke-54 WNI itu mayoritas dideportasi karena melanggar izin tinggal dan bekerja ilegal.
Hal ini disampaikan Direktur Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian Direktorat Jenderal Imigrasi Syaiful Rahman kepada wartawan di Jakarta, Selasa (22/4). Ke-54 WNI tersebut terdiri dari 8 perempuan dan 46 laki-laki, dengan variasi usia 19-67 tahun. Mereka mendarat di Indonesia pada 10 April pukul 13.00 di Bandara Soekarno-Hatta.
Ke-54 WNI itu bermukim di berbagai negara bagian AS, antara lain Atlanta, Boston, Los Angeles, New York, Oakland, Philadelphia, Kansas, dan Baltimore. Sebelum dikirim pulang ke Indonesia, kata Syaiful, mereka ditahan selama tiga bulan di rumah detensi imigrasi dan telah menjalani proses pengadilan di pengadilan imigrasi AS.
"Saya mendapat telepon dari Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia soal rencana pendeportasian 54 WNI tersebut. Mayoritas WNI itu masuk AS sekitar tahun 2000. AS sangat ketat pascaserangan 11 September 2001. Mereka melakukan pembersihan warga-warga ilegal dari berbagai negara, salah satunya Indonesia," kata Syaiful.
Menurut Yusron, anggota staf Direktorat Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian, imigrasi hanya bertanggung jawab soal pendaratan WNI itu di Indonesia. Selanjutnya, ujarnya, imigrasi melakukan pengawasan.
Kata Syaiful, AS melarang warga negara yang dideportasi untuk masuk AS lagi. Kebijakan ini, lanjutnya, berlaku hingga 10 tahun. "Imigrasi akan mencegah mereka untuk tidak bisa bepergian ke luar negeri selama enam bulan. Dan imigrasi akan memantau mereka," tegas Syaiful.
Warga negara Belanda
Kemarin Direktorat Jenderal Imigrasi juga akan mendeportasi pulang seorang warga negara Belanda, Bolte Stef Gauke (21). Bolte ditangkap polisi karena diduga ikut dalam unjuk rasa solidaritas Tibet dan menentang perjalanan api obor ke Olimpiade Beijing 2008.
Ditemui di Direktorat Jenderal Imigrasi, Stef yang saat ini sedang magang di LSM Kontras mengatakan tidak ikut berunjuk rasa. "Saya bingung kenapa saya ditangkap. Saya hanya menggunakan kaus 'Free Tibet'," ungkap Stef.
Stef adalah mahasiswa tahun ketiga dari Utrecht University of Applied Sciences di Department Institute of Social Work de Horst. Ia magang di Kontras karena merupakan syarat salah satu mata kuliahnya, yaitu magang. Ia mulai bergabung dengan Kontras pada 10 Maret 2008.
Ditanya bagaimana kalau ia dideportasi, Stef mengatakan, "Sekarang saya menunggu dulu."
Syaiful Rahman mengatakan, imigrasi akan mendeportasi Stef 1 x 24 jam. Jika Stef merasa keberatan, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1994 Pasal 25, Stef bisa mengajukan keberatan kepada Menteri Hukum dan HAM. (VIN)
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, April 23, 2008
10 TKI Bali Ditelantarkan di Taiwan
DENPASAR, RABU - Dinas Tenaga Kerja Bali menelusuri keberadaan 10 tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Kabupaten Karangasem, Bali yang ditelantarkan di Taiwan.
"Mereka dijanjikan bekerja di kapal penangkap ikan, namun kenyataannya setelah di negara tujuan dipekerjakan sebagai tukang angkat batu kapur," kata Kasubdin Penempatan dan Perluasan Tenaga Kerja Dinas Tenaga Kerja Bali Anak Agung Putra Adhi, Rabu (23/4).
Ia mengatakan, 10 korban kini sudah kembali ke daerah asalnya dan sempat mengadukan nasib yang dialaminya itu kepada DPRD Karangasem. Pengiriman TKI itu menurut penuturannya dilakukan oleh PT Lentera Bunga Bangsa yang berkantor di Jakarta lewat perantara I Made Sarjana yang beralamat di Uluwatu, Jimbaran Kabupaten Badung dan I Wayan Rinten dari Karangasem.
"Dalam penelusuran itu mengalami kesulitan, karena tidak berhasil menemukan alamat I Made Sarjana di Uluwatu, sesuai alamat yang tercantum di kartu tanda penduduk (KTP) yang bersangkutan," ujar Agung Putra.
Demikian pula PT Lentera Bunga Bangsa yang dilaporkan sebagai pengirim TKI tersebut, berdasarkan catatan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi bukan beralamat di Jakarta, namun di Surakarta. "Kami ingin mendapat penjelasan langsung dari kedua perantara pengiriman TKI dan perusahaan yang memberangkatkan mereka untuk mengetahui permasalahan yang sebenarnya," kata Agung Putra.
Ia mengaku sudah menyiapkan surat panggilan yang diantar langsung ke alamat yang dimaksud, namun tidak seorangpun mengenal I Made Sarjana yang ber-KTP dengan alamat Jalan Uluwatu Jimbaran, Kabupaten Badung.
Ia mengharapkan TKI asal Bali yang ingin bekerja ke luar negeri menghubungi Dinas Tenaga Kerja Bali atau perusahaan pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS) yang telah membuka cabang di Bali. Dengan demikian hal-hal yang tidak diinginkan dalam penyaluran TKI ke luar negeri dapat dihindari.
I Komang Kompanya, salah seorang dari sepuluh TKI yang terlantar di Taiwan ketika mengadukan nasibnya kepada DPRD setempat, mengaku setiap orang menghabiskan biaya ke Taiwan antara Rp 17,5 juta hingga Rp 20 juta, dengan gaji yang dijanjikan Rp 4,5 juta sebulan.
"Namun nyatanya setelah tiba di Taiwan dipekerjakan mencari batu karang dengan menggunakan kapal tongkang, namun akhirnya kami memilih pulang," kata Komang.
http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/04/23/0932395/10.tki.bali.ditelantarkan.di.taiwan
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, April 23, 2008
Label: Buruh migran
Polisi Malaysia Tahan 6 WNI Terkait Kerusuhan Penjara
22/04/08 15:29
Kuala Lumpur (ANTARA News) - Polisi Seremban, Malaysia, menahan enam WNI, enam warga Myanmar, satu orang Kamboja dan seorang Vietnam terkait kerusuhan dan kebakaran penjara imigrasi di Lenggeng, Negeri Sembilan, Senin.
Kepala Polisi Negeri Sembilan Osman Salleh mengatakan, kerusuhan berbuntut pembakaran penjara ini disulut oleh isu mengenai batalnya pemindahan para pencari suaka politik dari Myanmar yang berjumlah 60 orang.
Puluhan orang Myanmar yang minta suaka politik itu rencananya akan dipindahkan ke negara ketiga yakni Eropa dan Amerika.
Akibat kabar angin ini, Senin pagi sekitar jam 08.00 waktu setempat, setelah sarapan, para tahanan Myanmar mulai mengamuk dengan merobohkan satu dari tiga pagar luar blok mereka.
Mereka kemudian membakar kantor penjara imigrasi Lenggeng.
Ada sekitar 100 anggota polisi, 40 anggota FRU dan 100 anggota Rela ikut diterjunkan untuk mengamankan kerusuhan dan kebakaran di penjara Lenggeng.
Kerusuhan dan kebakaran dapat diatasi dan pihak polisi menahan 14 tahanan untuk dimintai keterangan mengenai kasus ini.
Kebakaran itu telah menghanguskan beberapa peralatan komputer, peralatan kantor dan dokumen-dokumen penting. Tapi hingga saat ini tidak ada pegawai penjara dan tahanan yang cedera.
Polisi kemudian menahan 14 orang, enam warga Myanmar, enam WNI, satu warga Kamboja dan Vietnam.
Kepala Kuasa Usaha Ad-Interim KBRI Kuala Lumpur Tatang B Razak mengatakan akan mengecek kejadian ini. Timbul pertanyaan, kerusuhan dilakukan tahanan warga Myanmar kok warga Indonesia banyak yang ditahan.
(*)
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, April 23, 2008
TKI NTB di Malaysia Bisa Kirim Uang Lewat ATM MEPS
Senin, 21 April 2008 | 18:41 WIB
TEMPO Interaktif, Mataram:Puluhan ribu tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Lombok di Malaysia kini dapat menggunakan fasilitas pengiriman uang melalui jaringan anjung tunai mandiri Malaysian Electronic Payment System (ATM MEPS). Fasilitas ini sebagai hasil kerja sama dengan PT Bank NTB.
ATM MEPS merupakan salah satu provider penyedia jaringan ATM yang beranggotakan 4 bank Malaysia, yakni, Malayan Banking Berhad, Hong Leong Bank Berhad, Affin Bank dan Southern Bank Berhad yang memiliki lebih dari 2000 unit mesin ATM.
Sedangkan Bank NTB sebagai Bank Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Barat juga telah menjalin kerjasama dengan lebih dari 7.000 unit mesin ATM yang masuk dalam jaringan ATM bersama.
Direktur Utama PT Bank NTB Rachiman mengatakan, jalinan kerjasama tersebut selain untuk membantu para TKI agar dapat dengan mudah mengirimkan uang kepada keluarganya, sekaligus untuk memperkokoh posisi sebagai bank lokal. "Fasilitas ATM MEPS ini disambut baik karena dianggap sebagai fasilitas yang paling mudah, cepat serta aman," kata Rachiman, Senin (21/4).
Saat ini, Bank NTB telah membuka cabang pembantu yang menyebar hampir di seluruh-kecamatan yang ada di sembilan kabupaten dan kota se pulau Lombok dan pulau Sumbawa.
Adanya system tersebut, juga memberikan kemudahan nasabah Bank NTB yang melakukan perjalanan ke negeri jiran Malaysia. Sebab dapat dengan mudah menarik uang mereka melalui ATM sesuai dengan mata uang setempat, ringgit. Sebaliknya, para TKI ataupun keluarganya menarik dalam bentuk rupiah ketika berada di Indonesia.
SUPRIYANTHO KHAFID
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/nusatenggara/2008/04/21/brk,20080421-121710,id.html
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, April 23, 2008
Label: Buruh migran
22 April 2008
Penyelundup TKI Ilegal Dibongkar
Jum'at, 18 April 2008 - 05:00 wib
Sebab semua calon tenaga kerja ini tidak memiliki dokumen resmi persyaratan sebagai buruh migran. Polisi membekuk dua orang warga Tulungagung yang diduga sebagai pelaku praktek penyelundupan ini.
Keduanya adalah Madiono (37) dan Nursholeh Warga Desa Sukorejo kulon Kecamatan Kalidawir.
Keduanya ditangkap saat para calon tenaga kerja yang hendak berangkat ke Batam. Untuk berangkat ke Batam, para buruh migran tak berdokumen ini mengendarai mobil panther nopol AG 603 AD yang disiapkan pelaku.
Rombongan ini dihentikan di jalan raya Boyolangu dan langsung digelandang ke Mapolres begitu tidak bisa menunjukkan surat-suratnya.Menurut keterangan KBO Reskrim Polres Tulungagung Iptu M Khoiril, selain mobil panther, petugas juga menyita uang tunai Rp172 ribu, 5 buah KTP dan 1 lembar surat perjanjian sebagai barang bukti. (Solichan Arif/Sindo/sis)
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, April 22, 2008
Label: Buruh migran
Jenazah TKI di Taiwan Tiba di Bandara Soetta
Senin, 21 April 2008 - 15:36 wib
Jenaza tiba dengan menggunakan pesawat China Airlines CI 667 dari Taoyuan International Airport Taiwan sekitar pukul 13.00 WIB. Lamah yang baru bekerja selama tujuh bulan dan berprofesi sebagai pembantu rumah tangga itu meninggal dengan cara gantung diri.
Menurut Ferdinand Marcos, paman korban, berdasarkan informasi dari Agency Taiwan Fudah Manpower Cooperation, Lamah ditemukan oleh majikannya, Chu Tong Yuan, sudah dalam keadaan tergantung pada tanggal 20 Maret lalu sekira pukul 16.10 waktu Taiwan.
Kendati demikian, dia mengaku tidak percaya jika keponakannya bunuh diri. Pasalnya, informasi tersebut terkesan disembunyikan oleh pihak PT Putra Indo Sejahtera sebagai PJTKI yang memberangkatkan Lamah.
Saat itu, pihak PJTKI mengatakan bahwa Lamah tidak meninggal namun sakit. Akan tetapi, ia juga mendapatkan informasi dari Santi, yang merupakan teman korban, mengatakan Lamah sudah meninggal dunia.
"Kami baru percaya ketika ada surat kematian Lamah yang disampaikan lewat kepolisian bagian kriminal yang dikeluarkan pihak kedokteran dan kehakiman Taipe City," katanya, Senin (21/4/2008).
Surat tersebut, lanjutnya, menjelaskan Lamah meninggal karena berhentinya pernafasan secara mendadak dan dinyatakan bunuh diri dengan cara gantung diri. "Saya tidak percaya, karena Lamah merupakan pribadi yang kuat dan tabah," tandasnya.
Ayah Lamah, Ahmad mengakui hal yang sama. Menurutnya, sebelum meninggal Lamah sempat menghubunginya dan mengatakan bahwa majikannya sangat kejam. Bahkan Lamah tidak diperbolehkan untuk salat dan keluar rumah. Namun, lanjut Ahmad, anaknya tidak menceritakan bagaimana bentuk kekejaman majikannya itu. "Terakhir dia kirim uang Rp7 juta," kenangnya.
Sementara itu, jenazah Lamah akan dibawa ke RSCM untuk dilakukan otopsi kembali. Hal tersebut dilakukan untuk membuktikan apakah Lamah meninggal karena gantung diri atau tidak.
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, April 22, 2008
Label: BMI meninggal, Buruh migran
TKW Cilacap Disiksa di Hongkong
Selasa, 22 April 2008 - 08:35 wib
Akibat penyiksaan tersebut, bagian kepala Maryanti menderita luka dan harus dijahit, di punggungnya terdapat luka sayatan, dan di sekujur tubuhnya mengalami lebam, dan kedua kakinya terluka, satu kuku kakinya terkelupas.
Ditemui di kediamannya Selasa (22/4/2008), Maryanti menyatakan, keberangkatannnya ke Hongkong ia lakukan pada 31 Maret lalu, melalui PJTKI PT Antar Bangsa Citra Darmaindo (ABCD) Jakarta melalui cabang di Cilacap.
Namun, baru bekerja beberapa hari siksaan mulai ia terima dari majikan perempuannya yang bernama Wong Lai Fong. Siksaan pertama ia terima saat dirinya ditarik ke lantai empat dari lantai dasar dan membuat luka di bagian kakinya. "Sakit yang di kaki tersebut tidak begitu saya rasakan," katanya.
Ternyata menurut pengakuannya, siksaan tak berhenti sampai di situ, ia harus bekerja hingga pukul 03.00 dini hari. Pada suatu ketika, Senin 21 April malam, ia merasa kepalanya pusing yang luar biasa, dan ia hendak meminum obat namun tidak diperbolehkan oleh majikannya. Tetapi karena sakit yang tak bisa ditahan ia tetap meminum obat pusing dan maag.
"Setelah saya minum obat, majikan perempuan memberikan dua obat berwarna putih yang saya sendiri tidak tahu itu obat apa. Tetapi setelah saya minum saya justru meras sagat pusing. Karena kantuk luar biasa saya mau tidur, tapi tidak boleh di kamar, dan saya disuruh tidur di gudang," katanya.
Di gudang yang sangat sempit tersebut itulah bencana mulai menimpanya. Karena kantuk yang tak tertahankan tersebut akhirnya ia tertidur. Namun begitu tidur ia sudah tak sadarkan diri hingga saat bangun ternyata ia sudah berada salah satu rumah sakit.
"Setelah tidur saya sudah tidak merasakan apa-apa, tahu-tahu saya sudah berada di rumah sakit. Saya kaget ketika kepala saya sedang dijahit, tetapi saya waktu itu kesadarannya belum sepenuhnya normal," ujar Maryanti yang didampingi kedua orang tuanya, M Sukardi (51), dan Poniyem (45).(Nugroho Purbo/Sindo/hri)
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, April 22, 2008
Label: Buruh migran, Hongkong
Illegals riot at Lenggeng detention facility
Star, Tuesday April 22, 2008
By SARBAN SINGH
SEREMBAN: Sixty foreigners, mostly Myanmar nationals, rioted at the Lenggeng detention camp for illegals apparently after they were told that their application to move to a third country was unsuccessful.The rioters torched an administrative building and threatened the Immigration and Rela personnel with injury in the 10am incident on Monday.
State police chief Datuk Osman Salleh said six Myanmars, six Indonesians, a Vietnamese and a Cambodian have been arrested.
He said the rioters gained entry into the two-storey administrative building located in the middle of four blocks housing some 820 male illegals.
“They set fire at the ground floor causing damage to the furniture and computers. We were fortunate that the Fire and Rescue team arrived quickly to put out the flames,” he said when met at the centre.
Osman said the authorities were not able to determine who told the rioters that their applications had been rejected.
“The group first gathered outside their block and tried to bring down a perimeter fencing at about 8am. The authorities tried talking to them but a short while later, they turned violent and gained entry into the office and set it ablaze,” he said, adding that the rioters were not armed.
About 100 police and Federal Reserve Unit personnel and another 100 Rela members were called in to bring the situation under control. Also on duty were some 40 Immigration officers.
Personnel from the Civil Defence Department and health services were also on standby. However, Osman said there were no reports of injuries.
Asked if the rioters were unhappy with the treatment at the centre, Osman said preliminary investigations did not point to this.
“At this point in time, all I can say is that they were unhappy because they heard that their application to go to a third country had been rejected,” he said.
Osman could not confirm if the rioters had started a hunger strike on Sunday for alleged poor treatment by camp authorities.
The camp, which also houses 280 female illegals, was handed over by the Prisons Department to the Immigration in January.
When contacted, a Myanmar Embassy official said they had no knowledge of the incident.
“We can’t say anything because the police have not sought our assistance and we are not aware of what happened,” she said.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Tuesday, April 22, 2008
Label: hukum, Kekerasan, kerusuhan, Malaysia, masalah BMI, Penipuan, The Star
Malaysia May Cooperate With Indonesia In Cattle-rearing
Bernama, April 22, 2008
PUTRAJAYA, April 22 (Bernama) -- Malaysia may cooperate with Indonesia in large-scale rearing of cattle in the republic to meet the demand for beef here.
Deputy Prime Minister Datuk Seri Najib Tun Razak said the proposal was put forward by an eight-member delegation from Indonesia's People's Representative Assembly who met him at his office here Tuesday.
"They have six million hectares of oil palm plantation. If two cows can be reared on each hectare, there will be 12 million cows," he told reporters after the meeting.
He said the plan could contribute towards ensuring food security in this country, besides strengthening Malaysia-Indonesia bilateral relations.
Currently, Malaysia also imports beef as local beef production cannot meet the demand.
Najib said the proposal would be studied by the Institute of Strategic and International Studies (ISIS), which was hosting the Indonesian delegation's visit.
The delegation, led H. Totok Daryanto from the Partai Amanat Nasional, also discussed with Najib the issue of Indonesian migrant workers in this country, illegal logging purportedly by Malaysian companies in Indonesia, and perception of the media of both countries on issues.
Najib said any problem involving Indonesian migrant workers should be looked at individually and not as having to do with Malaysia-Indonesia relations.
"For example, if an employer ill-treats his Indonesian worker, then it is a problem between the employer and the employee, where action should be taken through the legal process.
"It should not be seen as a bilateral problem, because while there are many responsible employers, there are also a few irresponsible ones who mistreat their workers," he said.
-- BERNAMA
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Tuesday, April 22, 2008
Label: DPR, Indonesia, Malaysia, masalah BMI, pertanian
Diragukan Penyebab Kematiannya, TKW Diotopsi
Jakarta, Kompas - Gara-gara meragukan penyebab kematian anak perempuannya yang menjadi tenaga kerja wanita di Taiwan, Amat bin Bontot (50) meminta jasad Lamah binti Amat (26) diotopsi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Otopsi dilakukan Senin (21/4) malam, sekitar enam jam setelah jasad Lamah tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Pihak keluarga hanya boleh menyaksikan jenazah saat peti jenazah dibuka. "Setelah Pak Amat dan keluarga menyatakan benar itu Lamah, dokter RSCM lalu mengotopsinya karena ternyata pihak berwajib di Taiwan hanya melakukan otopsi bagian luar," kata Anis Hidayah dari Migrant Care yang mendampingi keluarga Lamah.
Di leher Lamah terdapat bekas jeratan. Pihak berwajib di Taiwan menyatakan Lamah meninggal akibat gantung diri. "Jika ternyata penyebab kematiannya bukan karena dia menggantung diri, keluarga akan menuntut lewat jalur hukum," lanjut Anis.
Ditutup-tutupi
Amat yang ditemui di kamar jenazah RSCM mengatakan, dirinya menuntut diadakan otopsi menyeluruh terhadap anaknya itu. "Perusahaan yang mengirim Lamah menutup-nutupi kematian putri saya. Saya curiga ada yang tidak beres dalam kematian Lamah," kata Amat.
Dia menjelaskan, sebelum meninggal, Lamah mengabarkan selama lima bulan bekerja belum pernah menerima gaji. Selama Lamah bekerja pada keluarga Cuo Tong Yuan di Taipei, Taiwan, putrinya baru sekali mengirim uang senilai Rp 7 juta.
Lamah yang alumni Universitas Empat Lima (Unisma) Bekasi mengirimkan uang itu awal Maret lalu. Lamah dikabarkan meninggal akibat gantung diri pada 20 Maret lalu. Namun, keluarga baru mendapat kepastian kematiannya bulan April. (ONG/TRI)
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, April 22, 2008
Label: BMI meninggal, Buruh migran
Lawyer literally pours water on prosecution’s line of query
Star, Tuesday April 22, 2008
KUALA LUMPUR: A senior lawyer was so galled with a prosecutor’s line of questioning over a burn injury on Indonesian maid Nirmala Bonat’s right thigh that he suddenly splashed water on his co-counsel in the maid abuse trial.
Lead counsel Jagjit Singh snatched up a bottle of mineral water and tipped the water over a surprised Akbardin Abd Kadir.
“What is the purpose of the prosecution’s question?” he said.
Jagjit Singh said the prosecution’s contention was that Nirmala’s right thigh was scalded when her former employer allegedly splashed hot water on her while she was standing.
But the defence contended that the maid had poured hot water on herself while she was seated.
“Their case is splashed, our case is poured,” Jagjit Singh said, adding that the case could not end if the prosecutor continued to question forensics expert Dr John Andrew Munro Gall – a defence witness – over the burn injury.
To this, DPP Raja Rozela Raja Toran asked Jagjit Singh if he did not want her to continue questioning his expert because “money was the matter”.
Yesterday was the fifth day Dr Gall testified in the trial. Dr Gall was brought in from Australia to give his opinion on the cause of injuries sustained by Nirmala.
Housewife Yim Pek Ha, 40, is facing four counts of causing grievous hurt to her former maid Nirmala at Villa Putera condominium in Jalan Tun Ismail here between January and May 2004.
As Jagjit Singh passed napkins to Akbardin to mop up the water on his coat and notes, judge Akhtar Tahir told DPP Raja Rozela that Nirmala had testified she was standing during the incident and there was no need to ask if it was possible that Nirmala was standing with bent knee.
He ruled that Rozela should only confront the expert with facts established in court and not query him on possibilities.
Akhtar ticked off Jagjit Singh. “It was wrong of you to throw water on your colleague. It is uncalled for. You are in court,” he said.
Jagjit Singh apologised and the court adjourned briefly.
Later, Dr Gall, 53, from Melbourne, testified that photographs of Nirmala mostly showed that she had first and second degree burn injuries on her thigh.
The hearing continues today.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Tuesday, April 22, 2008
Label: Buruh migran, hukum, In English, Kekerasan, Malaysia, Nirmala Bonat
Aku Dijual Diperkosa dan Ditelantarkan di Malaysia
Pontianak (SIB)
"Aku dijual, diperkosa, oleh calo bernama Daeng berkali-kali. Setelah itu aku kembali dijual ke agen di Malaysia. Aku pun dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga.
"Demikian sebaris ungkapan yang keluar dari mulut Dede Elawati (penggilan Ela) tenaga kerja Indonesia asal Karawang Barat, yang saat itu duduk pasrah di kursi sambil mengadukan nasibnya ke Dinas Sosial Kalimantan Barat, beberapa waktu lalu.
Ibarat lepas dari mulut harimau kembali masuk ke mulut buaya, itulah yang dialami Ela.
Selain mengaku sering mendapat perlakukan kasar, ia juga mengaku diperkosa oleh majikannya.
"Saya ketemu Daeng di Karawang sewaktu sedang mengamen di bis, dalam pertemuan itu saya ditawari bekerja di Malaysia sebagai pembantu dengan gaji Rp5 juta/bulan. Karena tergiur gaji sebesar itu saya langsung menyanggupi dan ikut ke Pontianak dengan Daeng," kata perempuan yang hanya mengenyam pendidikan hingga kelas III Sekolah Dasar (SD) itu.
Ia menceritakan, setibanya di Kota Pontianak, ia dan Daeng menginap di sebuah hotel. Selama berada di hotel itulah Daeng bersama keponakannya yang bernama Andika, memperkosa dirinya selama beberapa kali.
"Kemudian saya dijual kepada agen di Malaysia bernama Lie. Ternyata saya diperlakukan sama, Lie juga memperkosa dan memukul saya, jika mencoba melawan," ujar Dede.
Kemudian ia diberikan kepada majikan bernama David. "Majikan saya juga bertindak kasar, saya hanya mendapat makan satu kali sehari, itupun diberi makanan yang tidak halal," katanya.
Pada suatu hari yang ia tidak ingat lagi tepatnya, ia terjatuh dari lantai tiga ketika akan mengambil sebungkus rokok di teras atas.
"Saya terjatuh dan cedera, sehingga harus dirawat selama empat bulan di rumah sakit dengan kondisi kedua kaki patah. Setelah sembuh, saya lalu dibuang ke bak sampah di sekitar PPLB (Pos Pemeriksaan Lintas Batas) Entikong," jelasnya.
Selama setahun bekerja Dede tidak mendapat upah sepeserpun, karena majikan beralasan ia tidak bisa bekerja dan hanya membebani hidup majikannya karena selama empat bulan di rumah sakit.
Dede berhasil pulang ke Indonesia melalui Entikong, setelah dibawa oleh Penanggungjawab Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Kalimantan Barat.
Jalur transit
Aktivis perempuan, Hairiah mengatakan, Provinsi Kalbar yang berbatasan langsung dengan Malaysia Timur (Sarawak), baik darat maupun laut sangat rawan terhadap kejahatan "human trafficking" atau perdagangan manusia.
"Tahun 2007 saja kami menangani 56 kasus laki-laki dan perempuan, di antara 56 kasus itu, baru lima kasus perempuan dan tiga anak yang ditangani," kata Hairiah yang juga anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Perwakilan Kalbar.
Saat ini Provinsi Kalbar, memiliki tiga jalur perbatasan dengan Malaysia, yaitu jalur PLB Jagoi Babang Sirikin (Kabupaten Kapuas Hulu), Jalur PLB Sajingan Aruk (Kabupaten Sambas), dan jalur PLB Badau, Lubuk Hantu (Kabupaten Kapuas Hulu), serta tersebar 11 titik yang tidak resmi yang tersebar didusun-dusun di empat Desa, Kecamatan Entikong, Kabupaten Kapuas Hulu.
Dari data yang ada, ada sembilan daerah rawan perdagangan manusia di Kalbar, yaitu Kabupaten Sambas, Sanggau (Entikong), Bengkayang, Landak, Kapuas Hulu, Kota Pontianak, dan Kota Singkawang.
Kalbar menduduki peringkat ketiga dalam perdagangan perempuan, dan langkah yang dilakukan sampai sekarang untuk menghapus, dan memberantas perdagangan perempuan sudah cukup banyak.
Salah satunya adalah dengan memakai payung hukum Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Tindakan Penghapusan Perdagangan Perempuan. Pemerintah dan LSM yang bergerak di bidang perlindungan terhadap perempuan sudah banyak upaya yang dilakukan.
Praktisi Perempuan Prof. Asniar Subagio mengatakan, modus operandi para pelaku perdagangan manusia, yaitu mendatangi korban yang berusia 12-25 tahun terutama untuk kaum perempuan yang cantik tetapi tidak mempunyai pendidikan yang cukup sehingga mudah dikelabui dengan iming-iming yang menggiurkan.
Selain modus itu, ada modus khas yang selama ini lagi trend di Kalbar, yaitu "pengantin pesanan". Para calo mencari wanita-wanita cantik di Kota Singkawang, terutama amoy-amoy untuk dikawinkan dengan laki-laki warga negara asing, Taiwan, Hongkong, dan Singapura.
Akibat kawin pesanan itu, tidak sedikit kaum perempuan yang menjadi terlantar di negara lain dan tertipu, sesampai di tempat tujuan dipekerjakan sebagai penjaja seks komersil (PSK).
Ia mengatakan, kaum perempuan sangat rawan terhadap tindakan pelecehan, perdagangan. Oleh karena itu kaum perempuan membekali diri terutama dari segi pendidikan agar tidak mudah menjadi objek kekerasan. Selain itu pemerintah melalui lembaga terkait lebih berperan aktif menegakkan hukum terhadap perdagangan kaum perempuan khususnya di Kalbar.
Pada umumnya mereka tidak mengerti, tahu apa-apa mengenai bekerja di luar negeri apakah memang bisa memberikan masa depan cerah bagi mereka atau tidak. Apalagi mereka tidak dibekali keterampilan, pendidikan yang cukup, dan sesuai dengan kebutuhan atau permintaan di negara tersebut.
"Namun mereka baru tahu, sadar pada saat mereka terkena kasus, artinya mereka diperdagangkan dari satu tangan ke tangan lain," ujarnya.
Ia berharap, ke depan terhadap kaum perempuan, pemerintah harus melakukan koordinasi yang lebih baik, mengembangkan komunikasi antardua negara, dan harus ada mekanisme monitoring wilayah yang lebih ketat.
"Terutama jalur ilegal yang sering digunakan para tenaga kerja Kalbar," ujarnya.
Sementara data International Organization for Migration (IOM) sepanjang tahun 2007 menyebutkan pembayaran gaji mendominasi kasus TKI bermasalah di luar negeri yang berujung pada pendeportasian.
Pekerja rumah tangga merupakan jumlah terbanyak TKI yang bermasalah. Berdasarkan data IOM pada periode Maret 2005 - Oktober 2006, terdapat 1.650 TKI korban "trafficking" yang dipulangkan ke Indonesia melalui lembaga tersebut. Sebanyak 49 persen di antaranya bekerja sebagai pekerja rumah tangga dan 90 persen pekerja itu mengalami kasus gaji yang tidak dibayar atau tidak sesuai perjanjian awal. (Ant/g)
http://hariansib.com/2008/04/20/aku-dijual-diperkosa-dan-ditelantarkan-di-malaysia/
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, April 22, 2008
Label: Buruh migran