New York (SIB)
http://hariansib.com/2008/06/28/jutawan-penganiaya-2-wni-di-new-york-divonis-11-tahun-penjara/ |
30 June 2008
Jutawan Penganiaya 2 WNI di New York Divonis 11 Tahun Penjara
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, June 30, 2008
Tiga WNI Dipulangkan oleh KBRI Nairobi Terkait Perdagangan Anak
27/06/08 19:24
|
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, June 30, 2008
Pengadilan AS Jatuhkan Penjara kepada Majikan TKI
28/06/08 12:33
http://www.antara.co.id/arc/2008/6/28/pengadilan-as-jatuhkan-penjara-kepada-majikan-tki/ |
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, June 30, 2008
Majikan TKI Divonis Sebelas Tahun Penjara
27/06/2008 10:04 Amerika Serikat Liputan6.com, New York: Pengadilan New York, Amerika Serikat, memvonis pengusaha parfum keturunan India, Varsha Sabhnani, 11 tahun penjara, Kamis (26/6). Varsha terbukti bersalah atas 12 dakwaan termasuk kerja paksa, penyekapan, dan penyiksaan terhadap dua tenaga kerja Indonesia, Samirah dan Enung. Varsha juga didenda US$ 25 ribu atau lebih dari Rp 230 juta.
Vonis kepada suaminya, Mahender Sabhnani, baru akan diputuskan pada hari ini. Namun vonis terhadap Mahender diperkirakan akan lebih ringan karena jaksa menilai ia tidak terlibat dalam penyiksaan. Sementara saat ini hakim belum memutuskan jumlah gaji yang harus dibayar pasangan Sabhnani kepada Samirah dan Enung. Namun diperkirakan mencapai US$ 1,1 juta atau Rp 10 miliar lebih.
Kasus penyiksaan terhadap dua TKI ini mengemuka setelah Samirah ditemukan dalam kondisi mengenaskan di luar restoran cepat saji di Long Island, New York, Mei 2007. Dalam penyelidikan ditemukan keduanya telah disiksa selama bekerja di rumah pasangan Sabhnani. Mereka juga tidak diberi makan dan tak dibayar sejak bekerja pada 2002 [baca: Terdakwa Menuduh TKI Menganiaya Sendiri].(YNI)
http://www.liputan6.com/news/?id=161436&c_id=9
|
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, June 30, 2008
Sakit, TKI Tewas di Malaysia
Radar Banyuwangi, Senin, 30 Juni 2008
BANYUWANGI - Nasib tragis yang menimpa tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri masih saja terjadi. Kali ini menimpa Asponi, 27, seorang TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia.
Ibu dua anak yang bekerja sejak enam bulan lalu pulang tanpa nyawa ke rumahnya di Dusun Klontang RT/RW 01, Desa Gendoh, Kecamatan Sempu, Banyuwangi.
Menurut keterangan yang diperoleh keluarganya, almarhumah meninggal sejak 24 Juni lalu. ''Kata pihak sponsor yang memberangkatkan, dia meninggal mendadak gara-gara sakit," kata Juwari, 39, kakak kandung korban, di rumah duka kemarin petang.
Menurut Juwari, ihwal meninggalnya Asponi, pihaknya diberitahu oleh ADD Pratama Jakarta, perusahaan yang menjadi pengerah tenaga kerja Indonesia (PJTKI). Begitu mendapat kabar kematian adiknya, Juwari langsung berangkat ke Bandara Juanda Surabaya untuk menjemput mayat istri M Yasin tersebut. ''Setelah semua syarat adminsitrasi selesai, jenazah adik bisa saya bawa pulang," kata Juwari. Untungnya, semua biaya pemulangan jenazah ditanggung pihak PJTKI ADD Pratama.(azi/als)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, June 30, 2008
Label: BMI meninggal, Malaysia, TKI Mati di Malaysia
28 June 2008
Aniaya PRT Indonesia, Jutawan India Meringkuk di Penjara
Kompas.com, Sabtu, 28 Juni 2008
CENTRAL ISLIP, NY, SABTU - Seorang jutawan kelahiran India bersama istrinya harus meringkuk di penjara akibat melakukan penganiayaan terhadap 2 pembantu rumah tangga (PRT) asal Indonesia di New York, AS. Sejak Desember 2007, Mahender Sabhnani dijerat tuduhan melakukan penganiayaan dan eksploitasi terhadap 2 PRT asal Indonesia itu.
Mahender Sabhnani divonis Jumat (27/6) hukuman penjara 3 tahun dan 4 bulan. Kedua PRT bersaksi telah dipukul dengan sapu, payung selain dilukai dengan pisau serta dipaksa mandi dengan air dingin. Kamis (26/6) lalu, istri Mahender Sabhnani yang berasal dari Indonesia divonis hukuman penjara selama 11 bulan. Jaksa penuntut menyebut istri pria kelahiran India itu sebagai salah seorang penganiaya 2 PRT Indonesia.
JIM
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Saturday, June 28, 2008
Label: Amerika Serikat, Kekerasan, Kompas, penganiyaan, PRT
TKI Asahan dan Sumut Jadi Idaman
Waspada Online, Sabtu, 28 Juni 2008
NURKARIM NEHE
Waspada/Nurkarim Nehe
Kadis Naker Asahan H.Erwis Edi Pauja Lubis SH,MAP saat memberikan wejangan kepada TKI Asahan dan Sumut di asrama TKI Jalan 4/2, Seksyen 4, Bandar Baru Bangi, Negeri Selangor, Malaysia Kamis (26/6).
Ada cerita miring tentang penyaluran TKI ke luar negeri tetapi banyak yang berhasil mengaut Ringgit tanpa masalah. Dan, tanpa disadari setiap TKI ikut membangun Kerajaan Malaysia dengan pembayaran pajak orang asing (Levy) RM1350 per tahun, sekaligus menyumbangkan devisa bagi negaranya sendiri yang tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi TKI sehingga harus bekerja ke luar negeri.
Hasil penelusuran Waspada selama tiga hari Rabu (25/6) sampai Jumat (27/6) di Petaling Jaya Kuala Lumpur dan Bandar Baru Bangi, Negeri Selangor, ribuan pekerja Indonesia yang dikerahkan perusahaan jasa penyalur tenaga kerja swasta, di antaranya dari Asahan dan Sumut, terlihat menikmati hidupnya sehari-hari mengumpulkan Ringgit demi Ringgit di kilang elektronik seperti Hitachi, Freescale, Sensata, STmicro, dan lainnya.
Setiap TKI mendapatkan gaji berkisar RM600 sampai RM900, di luar overtime atau lembur. Fasilitas pemondokan yang disiapkan pihak outsourching (mitra PJTKI yang dihunjuk KBRI Kuala Lumpur) sangat layak, bahkan terbilang mewah untuk pekerja Indonesia tamatan SLTA. Misalnya TKI dari Kabupaten Asahan ditangani PJTKI PT.Damas cabang Sumut bekerj sama dengan outsourching Medo Human Resourching (M) Sdn Bhd Kuala Lumpur. Medo menangani penempatan kerja, asrama/hostel/pemondokan.
“Memang gaji TKI illegal lebih tinggi, tetapi jarang mereka bisa menikmati atau mengambilnya sebab semua serba gelap sehingga dipermainkan majikan ataupun agennya. Beruntunglah kalian bisa bekerja kemari dengan resmi dan manusiawi,” tutur Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Asahan H.Erwis Edi Pauja Lubis, SH didampingi Kabid Penempatan dan Pelatihan Khairullah Ishal, SE dan staf Mino, Kacab PT.Damas Sumut Abdullah Gani, dan supervisor Medo HR (M) Sdn Bhd Mastura dan Aisyah Aini, di depan TKI asal Kabupaten Asahan dan Sumut ketika meninjau asrama TKI jalan 4/2, Seksyen 4, Bandar Baru Bangi, Negeri Selangor, Malaysia Kamis (26/6).
Erwis mengingatkan TKI perempuan yang bekerja di Kilang Elektronik Hitachi ini sebagai duta bangsa yang telah menyumbangkan devisa bagi negara harus mampu menjaga harkat dan martabat sebagai perempuan dengan muara menjaga harga diri pribadi maupun harga diri bangsa Indonesia. TKI Asahan bercampur dengan TKI asal Medan, Langkat, Labuhan Batu, Deli Serdang, Sergai, dan Batubara dalam satu blok. Asrama ini dihuni ribuan TKI dari berbagai provinsi.
“Siapa Gubernur Sumut sekarang?” tanya Erwis kepada sejumlah TKI asal Langkat. “Pak Syamsul Arifin lah pak, saya sempat ikut memilihnya pak. Kirim salam ya pak ke Pak Gubernur,” tutur Marliana TKI asal Desa Bohorok, Kecamatan Bohorok, Kabupaten Langkat. Marliana barusan bekerja di Hitachi dikerahkan PT.Damas cabang Sumut.
Di antara TKI asal Asahan yang dikerahkan PT.Damas, ada yang barusan memperpanjang kontrak setelah kontrak dua tahun pertama selesai, seperti Mirda Simbolon warga Jalan Diponegoro Kisaran, Kabupaten Asahan. “Dahulu saya sempat bekerja di Batam. Dua tahun terakhir saya bekerja di sini, dan barusan memperpanjang kontrak kedua,” ujar Mirda br Simbolon dengan lidah Malay yang telah menenggelamkan lidah Bataknya.
Ada sekitar 20-an TKI Asahan bekerja di Kilang Hitachi memproduksi DVD Player dan handycam. Usai makan siang bersama TKI asal Asahan dan Sumut, Erwis meninjau kamar tidur TKI, cukup bersih dan representatif, satu kamar diisi enam TKI, dilengkapi kamar mandi, ruang makan dan ruang tamu plus TV. Sejak Januari 2008 PT.Damas mengerahkan 72 TKI, atau sekitar 12 TKI perbulan.
HR Manager Medo Humah Resourching (M) Sdn Bhd Kuala Lumpur Priscilla kepada Waspada Rabu (25/6) di hostel (rumah kos) Taman Bahagia Petaling Jaya Kuala Lumpur menjelaskan TKI Asahan sangat mudah adaptasi, rajin bekerja. “TKI Asahan sama halnya TKI Sumut, mudahlah. Mereka jadi idaman pemilik kilang. Jarang, bahkan sama sekali tak ada masalah lah dengan TKI Asahan dan Sumut,” ujarnya.
Pihak Medo mengeluarkan RM6500 setiap bulan untuk sewa Hostel plus rekening air dan rekening listrik. “Satu bulan pertama Medo menyediakan beras, daging dan lauk pauk yang dimasak sendiri oleh TKI,” papar Priscilla. Medo juga menanggung RM150 Levy TKI dari RM1350 setiap TKI per tahun. Menurutnya ada juga Kilang yang bersedia membayarkan Levy TKI, ada yang hanya limapuluh persen, tetapi hakikatnya Levy dibayarkan setiap TKI kepada Kerajaan Malaysia.
Abdullah Gani, Kepala Cabang PT Damas Sumut menjelaskan outsourching seperti Medo diawasi langsung KBRI. “Mereka dihunjuk KBRI. Kami semua terikat Kepmenakertrans104/2002 dan UU nomor 39 tahun 2002 tentang penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja. Semua sudah diatur sedemikian rupa untuk kenyamanan dan perlindungan TKI,” cetus Gani.
Tetapi Gani tidak menampik, bisa saja terjadi masalah. “Yang kita takutkan bagi TKI perempuan adalah tujuan bekerja mungkin agar bisa bertemu pacar yang sudah dahuluan berangkat ke Malaysia secara haram. Ini menjadi persoalan khusus jadinya, tetapi pihak Kilang dan outsourching akan tegas, bila dua hari tidak masuk kerja dan tidak berada di asrama dan penjelasan, akan diadukan ke Polisi,” cetus Abdullah Gani.
Seperti yang diharapkan Erwis, perempuan TKI ini datang ke Malaysia untuk mencari uang. “Bersikap dewasalah, jaga harga diri dan martabat sebagai perempuan. Bekerjalah untuk mendapatkan uang, jangan macam macam,” tutur Erwis di hadapan TKI Asahan dan Sumut.
Perempuan pemburu Ringgit ini tanpa disadarinya ikut membangun Kerajaan Malaysia dengan Levy, sekaligus menyumbangkan devisa bagi Indonesia. Tetapi mereka yang disebut TKI illegal atau berangkat tanpa prosedur pengerahan TKI ke luar negeri hanya memperkaya oknum di negeri Jiran, bahkan akan menjadi sapi perahan di pintu masuk negerinya sendiri jika berhasil pulang membawa uang.
[wns]
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Saturday, June 28, 2008
Label: Buruh migran, Sumatra Utara
27 June 2008
Pernyataan Sikap IWORK tentang Deportasi TKI dari Malaysia
PERNYATAAN SIKAP
Institute for Migrant Workers (IWORK)
Yogyakarta, 27 Juni 2008
Deportasi Buruh Migran Indonesia dari Malaysia:
Pemerintah RI Harus Segera Mengambil Sikap
dan Lakukan Langkah-langkah Konkrit Penanganan
Wakil Perdana Menteri Malaysia, Dato Sri Moh Najib Tun Abdul Razak, Selasa (25/6) lalu menyatakan Pemerintahnya akan melancarkan operasi besar-besaran untuk menghalau para pendatang haram di Negeri Jiran itu. Operasi akan dipusatkan di Negara Bagian Sabah yang saat ini diperkirakan terdapat sekitar 300 ribu pendatang tanpa izin -- para politisi di Malaysia menyebut angka sampai 500 ribu. Sedianya operasi akan dimulai Hari Minggu, 29 Juni 2008.
Pernyataan tersebut jelas ditujukan kepada buruh migran Indonesia. Buruh asal Indonesia merupakan jumlah terbesar pekerja pendatang di Malaysia. Dari peristiwa yang sudah-sudah, operasi penangkapan dan deportasi buruh migran selalu menyebabkan krisis kemanusiaan dan pelanggaran HAM. Deportasi 400 ribu TKI melalui Nunukan tahun 2002 lalu misalnya, menyebabkan 82 orang tewas, ribuan orang sakit kekurangan pangan, air bersih, penampungan dan obat-obatan. Hampir semuanya pernah ditahan atau dipenjara dan harta bendanya dirampas secara semena-mena oleh Polis Diraja Malaysia maupun Laskar Rela.
Ironisnya Pemerintah Indonesia seolah tidak pernah menganggap kebijakan represif Malaysia ini sebagai hal yang serius. Deportasi demi deportasi dan pelanggaran-pelanggaran HAM dibiarkan begitu saja tanpa ada penuntutan maupun menjadi momentum pembenahan mekanisme perlindungan bagi warga Negara. Buruh migrant tak berdokumen seolah kehilangan hak asasinya, bahkan kehilangan hak untuk memiliki hak asasi.
Berkaitan dengan hal-hal tersebut, bersama ini Institute for Migrant Workers (IWORK) menghimbau Pemerintah RI untuk:
1. Segera mengambil sikap dan menggunakan semua kewenangan penyelenggaraan hubungan luar negeri untuk menunda atau bahkan mungkin membatalkan rencana deportasi tersebut.
2. Menyiapkan langkah-langkah untuk tanggap darurat kemanusiaan di Nunukan dan menjamin keselamatan jiwa, raga dan harta benda para korban deportasi.
3. Menyiapkan tim untuk memantau proses operasi penghalauan dan deportasi serta melakukan penuntutan manakala terjadi pelanggaran.
4. Mempersiapkan armada angkutan gratis untuk pemulangan buruh migrant ke daerah asal masing-masing.
5. Peristiwa kali ini semestinya menjadi momentum bagi Pemerintah RI untuk bernegosiasi kembali dengan Pemerintah Malaysia mengenai penempatan buruh migran. Lakukan moratorium penempatan buruh migran ke Malaysia sampai ada perbaikan pada sistem perlindungan, utamanya MoU penampatan TKI ke Malaysia.
Hormat kami,
Direktur Eksekutif IWORK
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Friday, June 27, 2008
Label: Buruh migran, LSM, tanggapan masyarakat
Dua Balita Gizi Buruk di NTT Meninggal
Kamis, 26 Juni 2008 | 12:53 WIB
TEMPO Interaktif, Kupang: Korban meninggal dunia akibat gizi buruk di Nusa Tenggara Timur bertambah dua orang menjadi 25 orang. Dua korban terakhir adalah balita yakni Lidia Luna, warga Kabupaten Ngada dan Juningsih Winto Wara, warga Kabupaten Sumba Barat Daya.
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/nusatenggara/2008/06/26/brk,20080626-126758,id.html |
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Friday, June 27, 2008
Memalsukan Akte Nikah untuk TKI, Pegawai KUA Ditangkap
Kamis, 26 Juni 2008 - 23:50 wibPEKANBARU - Seorang Pegawai honorer di kantor urusan agama (KUA) di Kabupaten Kampar Riau, yang nekat memperjualbelikan buku nikah dan cerai, khususnya bagi para TKI yang akan berangkat ke luar negeri, diciduk Polres Kampar. Pelaku yang bernama Tuanku Razai, seorang Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) di Kecamatan Tambang, Kampar. Dalam sebulan Razai bisa mengeluarkan 20 akte nikah. Di hadapan petugas Tuanku Razai atau yang biasa dijuluki Tengku Ungku mengaku selama oprasinya yang sudah lebih lebih dari 6 bulan ini, dia sudah berhasil mengeluarkan 130 buah surat akte nikah. "Modus yang dipakai tersangka untuk menjaul beli akte nikah biasanya dia menikahkan pasangan suami istri tanpa wali dari pasangan mempelai. Pasangan suami istri yang biasanya mendatangi rumah tersangka. Biasanya tersangka dibantu dengan perantaranya. Kebanyakan yang datang itu adalah pasangan suami istri TKI yang akan berangkat keluar negri," terang Kapolres Kampar AKBP Mutaqqin pada okezone Kamis(26/06/2008). Untuk meyakinkan para pasangan calon suami istri, tersangka sudah mempersiapkan buku akte nikah yang telah dipalsukan dengan tanda tangan pejabat yang berwenang sekaligus stempel dari instansinya. Untuk itu mendapatkan akte nikah tersebut, pasangan suami istri yang telah dinikahkannya, dikenakan senilai Rp1 juta. "Tersangka mendapatkan buku nikah itu dengan mencuri di KUA tempat dia bekerja. Sebagian dia beli dari temannya di Pekanbaru dengan harga Rp 10 ribu perbuahnya," kata Mutaqqin. "Setelah didapatkan surat akte nikah itu, tanda tangan dari pejabat berwenang, pejabat desa, wali masing-masing dan pajabat KUA dia yang menandatanganinya," imbuhnya. Kapolres Kampar menambahkan penangkapan terhadap tersangka itu bermula ketika seorang petugas KUA melaporkan banyaknya akte surat nikah yang hilang. "Dari laporan itu kita langsung menyelidikinya dan kita kemarin langsung menangkap tersangka dengan barang bukti ratusan buka akte nikah. Sekarang kita masih mengembangkanya," tandasnya.(hri) |
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Friday, June 27, 2008
Majikan TKI Divonis Sebelas Tahun Penjara
27/06/2008 10:04 Amerika Serikat Liputan6.com, New York: Pengadilan New York, Amerika Serikat, memvonis pengusaha parfum keturunan India, Varsha Sabhnani, 11 tahun penjara, Kamis (26/6). Varsha terbukti bersalah atas 12 dakwaan termasuk kerja paksa, penyekapan, dan penyiksaan terhadap dua tenaga kerja Indonesia, Samirah dan Enung. Varsha juga didenda US$ 25 ribu atau lebih dari Rp 230 juta.
Vonis kepada suaminya, Mahender Sabhnani, baru akan diputuskan pada hari ini. Namun vonis terhadap Mahender diperkirakan akan lebih ringan karena jaksa menilai ia tidak terlibat dalam penyiksaan. Sementara saat ini hakim belum memutuskan jumlah gaji yang harus dibayar pasangan Sabhnani kepada Samirah dan Enung. Namun diperkirakan mencapai US$ 1,1 juta atau Rp 10 miliar lebih.
Kasus penyiksaan terhadap dua TKI ini mengemuka setelah Samirah ditemukan dalam kondisi mengenaskan di luar restoran cepat saji di Long Island, New York, Mei 2007. Dalam penyelidikan ditemukan keduanya telah disiksa selama bekerja di rumah pasangan Sabhnani. Mereka juga tidak diberi makan dan tak dibayar sejak bekerja pada 2002 [baca: Terdakwa Menuduh TKI Menganiaya Sendiri].(YNI)
http://www.liputan6.com/news/?id=161436&c_id=9
|
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Friday, June 27, 2008
Perahu Imigran Ilegal Tenggelam di Malaysia
Kompas, KILAS LUAR NEGERI
Kamis, 26 Juni 2008
Enam warga Indonesia tenggelam dan enam orang lainnya dinyatakan hilang setelah perahu kayu reyot yang mereka pakai tenggelam di perairan Malaysia, Minggu. Kepala Kepolisian Marinir Isa Munir, Rabu (25/6), memperkirakan perahu itu mengangkut imigran ilegal. Perahu tenggelam akibat amukan angin kencang setelah meninggalkan Negara Bagian Johor dan menuju ke Pulau Batam. "Ada enam mayat, satu laki-laki, empat perempuan, dan satu anak," kata Munir yang memperkirakan ada 14 orang dalam perahu itu. Saat ini dua korban yang selamat tengah diinterogasi.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Friday, June 27, 2008
26 June 2008
Peluncuran Hasil Kegiatan Hibah Bank Dunia Kepada Depertemen Luar Negeri
*24 Jun 2008 10:37*
*Peluncuran Hasil Kegiatan Hibah Bank Dunia Kepada Depertemen Luar Negri
RI (LDF TF 54332) Jakarta, 24 Juni 2008*
No. 074/PR/VI/2008/53
Pada hari ini, 24 Juni 2008 bertempat di Hotel Borobudur telah diselenggarakan “Peluncuran Hasil Kegiatan Hibah Bank Dunia Kepada Depertemen Luar Negeri RI (IDF TF 54332)” yang merupakan kegiatan akhir dari keseluruhan rangkaian kegiatan dari kerjasama program hibah Bank Dunia (IDF TF 54330) antara Departemen Luar Negeri dan Bank Dunia di bidang perlindungan tenaga kerja wanita (TKW) yang ditandatangani pada
28 Juni 2005.
Tujuan pemberian hibah (grant) kepada Pemerintah Republic Indonesia cq. Departemen Luar Negeri adalah untuk Peningkatan Kapasitas Pejabat Diplomatic dan Konsuler pada Departemen Luar Negeri dalam penanganan masalah tenaga kerja wanita Indonesia (TKW) di luar negeri. Hibah ini dikelola oleh Direktorat Jenderal Protocol dan Konsuler cq. Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia. Hibah ini
akan dipergunakan untuk melaksanakan 3 (tiga) program kegiatan yaitu:
a. /Strengthening The Ministry Information System/
b. /Training And Capacity Development For Ministry’s Staff/
c. /Developing Options For Embassy Based Consular Services/
Berdasarka prioritas dan ketersediaan jadwal pelaksanaan, kegiatan program hibah dijabarkan dalam 5 (lima) kegiatan yaitu:
- Situs dan sistim data base online Departemen Luar Negeri;
- Program tayangan edutaiment sebagai media informasi bagi TKW selama berada dalam perjalanan ke negara tujuan;
- Strategi dan model perlindungan hukum bagi TKW di Malaysia;
- Materi untuk dan pengkonsolidasian hasil dari workshop multistakeholders di tiga negara tujuan;
- Monitoring dan evaluasi pelaksanaan program hibah Bank Dunia IDF TF54332.
Pemberian hibah yang memfokuskan pada perlindungan TKW Indonesia dilatarbelakangi bahwa keseluruhan tenaga kerja Indonesia di luar negeri khususnya di kawasan Timur Tengah dan Asia Pasifik adalah kaum wanita dengan prosentase mencapai lebih dari 70% dimana 90% diantaranya bekerja di sector yang tidak memerlukan keahlian khusus yaitu sebagai Peñata
Laksana Rumah Tangga (PLRT) di beberapa negara di kawasan Asia pasifik (Malaysia, Singapura, Taiwan, Hong Kong) dan kawasan Timur Tengah (Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Yordania, Uni Emirat Arab, Suriah) yang rentan terhadap perbuatan melanggar hukum, baik sebagai pelaku maupun sebagai korban. Sehubungan dengan itu, mereka perlu mendapat perhatian khusus dengan memberikan pelayanan dan perlindungan sebaik mungkin, baik pada
saat mereka direkrut sampai berangkat ke luar negeri dan kembali ketempat asalnya.
Keterlibatan Departemen Luar Negeri dalam program hibah Bank Dunia merupakan salah satu bentuk perhatian yang serius dan komitmen yang tinggi dari Deplu dan perwakilan RI dalam penanganan tenaga kerja Indonesia di luar negeri termasuk tenaga kerja wanita. Hal ini sejalan
dengan UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri khususnya Bab V, pasal 19B, yang menyebutkan bahwa Perwakilan RI berkewajiban memberikan pengayoman, perlindungan dan bantuan hukum bagi warga negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional dan hukum serta kebiasaan internasional.
(Sumber Dit. PWNI-BHI)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Thursday, June 26, 2008
Label: bank, Bantuan, Buruh migran, Deplu
Chasing out the illegals in Sabah
tHE Star Online, Thursday June 26, 2008
KUALA LUMPUR: Paying heed to one of the pressing concerns of Sabahans, the Government will launch a huge operation to “chase out” illegal immigrants from the state, said Datuk Seri Najib Tun Razak.
The Deputy Prime Minister said the number of checkpoints in Sabah would be increased, and a more significant security presence ensured.
To a question, he said the action was not due to pressure from Barisan Nasional component parties in Sabah “but because we believe that it is a serious problem, and the people of Sabah want action to be taken.”
“The Government is really committed to reducing the problem of illegal immigrants in the state,” he told reporters yesterday after chairing the Cabinet committee on illegal immigrants at one of the meeting rooms in Parliament.
Also present was Sabah Chief Minister Datuk Musa Aman.
Najib said he would meet Barisan component parties in Sabah to tell of the decision reached and to get their feedback on the proposed measure.
He said, from 1990 until May this year, some 300,000 illegals in Sabah had been sent back to their home countries.
“And we are prepared to do more,” he said, adding that the Government, however, did not have figures on the number of illegal immigrants in the state.
He said those without documents, classified as illegal immigrants, and those who had overstayed would be sent back “to countries that will take them.”
He said the Government would be talking to the governments of the Philippines and Indonesia on the matter because most of the illegals were from the two countries.
Asked how the Government would handle the illegals who had managed to get hold of Malaysian identity cards and were claiming to be Malaysians, Najib said the issue was a complex problem.
“So let us handle it step by step,” he added.
On claims that for more than a decade, illegal immigrants had been given Malaysian identity cards so that they could vote in the general election, he said: “There are all kinds of claims. The most important is to, first, send back the illegals. The other problems we will handle later.”
To a question, Najib said illegal immigrant settlements like Pulau Gaya and Kinarut might be affected. “These are things we will check on. What is important is a firm commitment to tackle this problem.”
He said the root cause of the illegals problem was that ”traditionally people don’t recognise the borders, and moved in and out” for economic opportunities.
The illegals issue has been a long festering problem in the state. Recently, SAPP took issue with the Federal Government and the Prime Minister for failing to act on the problem, which it said was reaching a boiling point.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, June 26, 2008
Label: deportasi, Kebijakan, Malaysia, Pemerintah
It's illegal to get own maids, says envoy
The star Online, Thursday June 26, 2008
By MERGAWATI ZULFAKAR
KUALA LUMPUR: The higher cost of hiring maids from Indonesia has prompted some Malaysians to take the easy way out – to go to the source country and bring home a maid.
But this has proven to be a costly affair for some. They have been caught by Indonesian authorities just before departing and had to pay dearly for their ignorance.
Malaysian ambassador to Indonesia Datuk Zainal Abidin Zain said a Malaysian was detained for three months in Sumatra because he failed to get the proper document to bring an Indonesian maid back.
Another was remanded in Jakarta recently but was released after one day. He declined to give details.
“We’re getting reports of some Malaysian employers coming to Indonesia to personally hire a maid. This is made possible as their relatives may be living and working in Indonesia, thus making it easy to hire one and bring the maid home.
“The problem is their act is illegal as it contravenes Indonesian regulations which require all Indonesian workers to be employed through appointed labour agencies. These agencies will process the necessary documentation,” he said when contacted yesterday.
Zainal Abidin said he wanted to caution other Malaysians that should they be detained for a similar offence in future, they could be charged for human trafficking.
“I want Malaysians to be aware of the proper procedures. They can check with either the Malaysian embassy or the Indonesian embassy in Jakarta on the guidelines,” he added.
Zainal Abidin also said the Indonesian government has proposed a review on the MoU to bring in maids to Malaysia.
“The RM3,700 recruitment fee for levy, travel, documentation and others is no longer feasible.
“There is an additional cost involved now as the Jakarta agents have to search for maids in the interior. Their search costs money,” he said.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, June 26, 2008
Label: Buruh migran, deportasi, In English, Kebijakan, Malaysia, Pemerintah
Anifah suggests a CM-led task force
The Star Online, Thursday June 26, 2008
KOTA KINABALU: A high-level task force headed by the Chief Minister Datuk Musa Aman is the best option to solve Sabah’s illegal immigrant problem, said Umno Kimanis MP Datuk Anifah Aman.
He said the Chief Minister must chair the committee as it was the only “constitutional way” forward to resolve the long-standing problem.
“The Deputy Prime Minister could sit in as a patron of such a committee,” said Anifah.
He said a Royal Commission of Inquiry or Parliamentary Select Committee could not constitutionally address the issue.
He said that under the Constitution, immigration matters in Sabah and Sarawak come under the purview of the respective chief ministers.
Anifah’s statements come in the light of arguments by some Sabah leaders who have called for a Royal Commission of Inquiry into the complex problem.
Some are calling for a Royal Commission to probe claims that foreigners had obtained Malaysian citizenship through the backdoor and that was reflected in an abnormal rise in Sabah’s population.
Among the reasons why they wanted an inquiry was to investigate allegations that MyKads were issued under an alleged government-sponsored project dubbed Project IC that came to light during the Likas polls petition case in 1999.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, June 26, 2008
Label: deportasi, Kebijakan, Malaysia, Pemerintah
Sabah leaders call for clear solutions
The Star Online, Thursday June 26, 2008
KOTA KINABALU: Sabah leaders cautiously welcomed the announcement of a massive operation against illegal immigrants as some felt that there was a need for a “roadmap” for clear solutions.
Some felt that an operation against illegal immigrants was only one aspect of tackling the issue. What is needed is a clear action plan to resolve issues of the stateless refugees and those holding Malaysian identity cards obtained through dubious means.
Chief Minister Datuk Musa Aman said the announcement reflected a commitment to resolve theproblem.
Parti Bersatu Sabah president Datuk Joseph Pairin Kitingan hoped it would set a target to achieve “zero illegal immigrantsby 2011.
Upko deputy president Datuk Wilfred Bumburing felt that there was a need for a multi-pronged approach by having in place a continuous and comprehensive action plan.
Sabah Progressive Party president Datuk Yong Teck Lee said with Manila reluctant to accept its citizens, the operation would cause congestion at detention centres.
“The steps that can be taken include the setting up of a Philippine Consulate in Sabah, tighter control over the Zamboanga-Sandakan ferry services, imposition of a bond on return tickets for non-Malaysian travellers,” he said.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, June 26, 2008
Label: deportasi, Kebijakan, Malaysia, Pemerintah
Finance officer jailed for 'defacing' maid with marker pens
The Straits Times, June 26, 2008
By Khushwant Singh, Court Reporter
Sally Ang Poh Choo, a mother of two teenagers, 14 and 16, was jailed three weeks and fined $1,500 on Thursday for hurting her maid on five occasions over a two-month period. -- ST - PHOTO: FRANCIS ONG
TO teach her maid a lesson, finance officer Sally Ang Poh Choo used marker pens to draw lines on the Indonesian maid's face. It was Ang's way of punishing Miss Sri Hartuti Rokiman for not closing the front door properly while she was washing the family's car parked in the front porch of the house in Eastwood Place off Bedok Road.
Miss Sri Hartuti, 26, ran away from her employers the next day and reported the matter to the police. A doctor found scratches and slight bleeding on her face. The maid had also asked a neighbour and her maid to take photographs of her scratches and bruises.
Ang, 44, a mother of two teenagers, 14 and 16, was jailed three weeks and fined $1,500 on Thursday for hurting her maid on five occasions over a two-month period.
Last month, she pleaded guilty to the charges which included pinching Miss Sri Hartuti and poking her head with a finger on two separate incidents in 2005.
Ang abused her maid for her sloppy work, such as not cleaning the kitchen to her satisfaction and not unfolding a bed cover.
She will start serving her jail term on July 3 as her lawyer Ramesh Chandra told the court she needed a week to settle the payroll payment of her 60 fellow employees.
The company she works for had been unable to find a replacement for her, he said. Mr Ramesh said the offences had occurred a long time ago and Ang regretted her actions and had compensated Miss Sri Hartuti $4,000.
When probed by District Judge Wong Choon Ning why there was a delay in prosecuting Ang, Assistant Public Prosecutor Olivine Lin said the police had 'sat on the case'. The Attorney-General's Chambers had to ask the police to expedite the matter, she added.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, June 26, 2008
Label: Buruh migran, hukum, In English, majikan, Straits Times
Deportasi Buruh Migran: Bukan Hal Baru
Radio Nederland Wereldomroep, 26-06-2008
[Wawancara dengan} Wahyu Susilo: Pengusiran Buruh Migran
Rabu kemarin Pemerintah Malaysia mengumumkan akan mendeportasi puluhan ribu migran ilegal Filipina dan Indonesia dari negara bagian Sabah. Selain itu perbatasan Malaysia akan dijaga ketat, untuk mencegah penyeberangan ilegal dari dua negara tersebut.
Langkah ini sebenarnya bukan hal baru. Demikian kata Wahyu Susilo dari Migrant Care di Jakarta kepada Radio Nederland Wereldomroep.
Wahyu Susilo [WS]: Sebenarnya ini bukan berita baru ya, karena memang Malaysia itu secara reguler dalam dua tahun sekali itu melakukan apa yang mereka namakan Operasi Tegas. Jadi operasi pengusiran buruh migran yang tidak berdokumen, terutama dari Indonesia. Dan saya kira ini juga menunjukkan bahwa Malaysia punya standard ganda terhadap buruh migran yang tidak berdokumen.
Karena kalau mereka tegas seperti apa yang dinyatakan dalam operasinya mereka juga tidak boleh toleran terhadap perusahaan-perusahaan juga BUMN-BUMN Malaysia yang bekerja di perkebunan, itu mempekerjakan buruh migran kita secara tidak berdokumen. Jadi mayoritas buruh migran yang tidak berdokumen asal Indonesia banyak bekerja di perkebunan-perkebunan milik pemerintah Malaysia, terutama yang ada di Sabah.
Kemudian mengapa mereka selalu melakukan deportasi ini dalam kurun waktu dua tahun, atau tiga tahun sekali, ini juga menjadi pertanyaan bagi saya. Mungkin juga karena mereka sudah jenuh dengan pekerja-pekerja lama, sehingga mereka ingin memperbaharui. Mereka usir yang sudah lama bekerja di situ sehingga mereka nggak usah bayar upah, nggak usah bayar segala macam. Dia akan mendatangkan tenaga-tenaga baru yang mudah diperas.
Saya kira ini juga politic recycle dari buruh migran Indonesia. Tidak pernah ada keseriusan pemerintah Malaysia, juga untuk menyelesaikan persoalan buruh migran yang tidak berdokumen. Demikian juga pemerintah Indonesia, saya kira juga tidak pernah serius untuk memikirkan atau mencari akar masalah dari buruh migran tak berdokumen, yang nampaknya selalu menjadi obyek pengusiran.
Radio Nederland Wereldomroep [RNW]: Apa selama ini sikap Pemerintah RI terhadap masalah buruh migran ilegal Indonesia di Sabah?
Pemerintah tidak tegas
WS: Sangat tidak tegas. Jadi mereka selalu menganggap bahwa ini kewenangan dari pemerintah Malaysia. Sementara dalam pandangan kami ini adalah pelanggaran Hak-hak Azasi Manusia. Karena pemerintah Malaysia juga tidak pernah menindak perusahaan-perusahaan atau majikan-majikan yang mempekerjakan mereka secara tidak berdokumen. Kemudian yang kedua ada MOU antara Indonesia dan Malaysia yang itu menyebabkan buruh migran kita menjadi tidak berdokumen.
Karena di dalam MOU itu disebutkan bahwa pasport TKI Indonesia ditahan oleh majikan Malaysia. Nah, sehingga ketika dia ada masalah dengan majikan, dia lari dan dia otomatis tidak pegang dokumen. Dan itu namanya dia tidak berdokumen atau dalam bahasa mereka TKI ilegal. Jadi saya kira salah satu akar masalahnya juga sebenarnya adalah perjanjian Memorandum Understanding antara Indonesia dan Malaysia yang mengizinkan majikan pegang paspor dan ini salah satu sumber dari buruh migran kita kemudian menjadi tidak berdokumen.
RNW: Apa yang diharapkan dari Pemerintah RI dalam menangani masalah ini?
Merasa dibawah
WS: Kemarin Wakil Perdana Menteri Najib, menyatakan akan mengusir secara besar-besaran buruh migran terutama dari Sabah. Saya kira pemerintah Indonesia juga harus bertindak. Artinya misalnya sekarang melakukan moratorium sementara tidak mengirim buruh migran kita ke sana, atau kalau perlu juga menarik kembali buruh migran kita yang ada di Malaysia untuk pulang ke Indonesia.
Saya kira juga kita harus mulai melakukan bargain. Karena bagaimana pun juga kalau dihitung-hitung itu Malaysia punya ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pekerja Indonesia, tapi ini tidak pernah dipakai sebagai truf politik oleh Pemerintah Indonesia. Kita merasa kita memang kita selalu berada di bawah, karena kita memerlukan lapangan kerja.
Tapi tidak dibayangkan Malaysia tanpa pekerja dari Indonesia. Tidak semakmur yang digembar-gemborkan Malaysia sekarang. Pemerintah Indonesia tidak boleh menurut begitu saja apa kehendak pemerintah Malaysia. Saya kira kita harus juga melakukan perlawanan terhadap pemerintah Malaysia, jika memang pemerintah Malaysia akan sewenang-wenang terhadap pekerja kita.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, June 26, 2008
Label: deportasi, Malaysia, Radio Netherlands
Anak Penderita Gizi Buruk Meninggal
23 Juni 2008
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0806/23/kesra04.html |
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Thursday, June 26, 2008
Penderita Gizi Buruk di Jabar Capai 38.760 Orang
26 Juni 2008,
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0806/24/kesra03.html |
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Thursday, June 26, 2008
Malaysian migrants to be expelled
| |
The Malaysian government is to expel tens of thousands of illegal immigrants whose presence has become a political issue on Borneo. A major deportation operation will begin in the state of Sabah very soon, said deputy Prime Minister Najib Razak. The immigrants, mainly Filipinos and Indonesians, are seen by some as a great burden in the impoverished eastern state. "We will deport them to the country willing to accept them," Mr Najib said. Those to deported will include foreigners without travel or identification documents, including those who have lived unlawfully in Sabah since the 1970s. Authorities estimate there are around 130,000 illegal immigrants in Sabah. But the state's politicians insist the real figure is several times that, and claim that foreigners outnumber Malaysians in some provinces. Although Sabah has vast natural resources, it is one of Malaysia's poorest states - which some residents blame on large numbers of migrants, saying their presence means there are fewer jobs available. |
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Thursday, June 26, 2008
25 June 2008
Makin Tak Menjanjikan, Perajin Batik Jadi TKI
Kamis, 6 Maret 2008 | 02:20 WIB Bantul, Kompas - Prospek kerajinan batik tulis yang semakin tak menjanjikan membuat para perajin di Desa Wukirsari, Imogiri, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, menjadi tenaga kerja Indonesia. Sebagian besar di antara mereka bekerja di Malaysia sebagai buruh pabrik. Jika keadaan itu berlangsung terus- menerus, perajin batik tulis akan berkurang karena tidak ada regenerasi.
Kepala Desa Wukirsari Bayu Bintoro, Rabu (5/3), mengatakan, setidaknya ada 510 perajin batik tulis di desanya. Jumlah perajin terus turun, apalagi setelah gempa banyak alat produksi yang rusak sehingga proses produksi terhenti. "Pengurangannya bisa 15 persen. Mereka memilih menjadi TKI di luar negeri karena lebih menjanjikan," katanya.
Menurut Bayu, tren alih profesi tersebut sebenarnya sudah mulai terasa sebelum gempa. Makin tidak prospektifnya kerajinan batik tulis setelah batik cap yang diproduksi secara massal menjamur membuat perajin enggan mengembangkan usahanya.
Desa Wukirsari dihuni 15.327 warga. Selain perajin batik tulis, sebagian warganya bekerja sebagai perajin anyaman bambu dan kerajinan tatah sungging.
Kepala Seksi Penempatan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Bantul Suhartono menyebutkan, memang ada sejumlah perajin yang berangkat ke luar negeri menjadi TKI. "Fenomena itu terutama terjadi setelah gempa. Di Malaysia mereka bekerja sebagai buruh di pabrik elektronik dan perakitan," ujarnya.
Terpisah Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia wilayah DI Yogyakarta Jadin C Djamaludin mengatakan, sebagian besar perajin batik tulis di Imogori mengandalkan pasar dari pesanan pengusaha kelas menengah. Karena kondisi pengusaha menengah sedang kolaps, order yang diterima perajin menurun.
"Pemulihan pascagempa hanya difokuskan pada pembangunan fisik rumah dan prasarana fisik lain, sementara pemulihan ekonomi belum diperhatikan. Dari sekitar 40 pengusaha yang masuk kategori kelas menengah, 20 persen di antaranya terancam bangkrut, termasuk sektor batik tulis," katanya. (eny/wie)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/03/06/02201428/makin.tak.menjanjikan.perajin.batik.jadi.tki
|
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, June 25, 2008
Kalteng Jaring Gizi Buruk di 1.700 Posyandu
Sabtu, 8 Maret 2008 | 02:27 WIB Palangkaraya, Kompas - Dinas Kesehatan Kalimantan Tengah tahun ini akan melakukan penjaringan kasus anak balita gizi buruk melalui 1.700 pos pelayanan terpadu atau posyandu yang masih aktif. Ini dilakukan agar penyelamatan terhadap bayi-bayi kekurangan gizi itu bisa dilakukan secara cepat.
Untuk membantu program ini, sejumlah tenaga profesional akan ditempatkan di posyandu. "Tenaga profesional ini diambilkan dari lulusan akademi gizi yang belum terikat kontrak kerja. Tiap bulan mendapat gaji Rp 500.000," kata Kepala Subdinas Promosi Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) Endang Kusriatun, Kamis (6/3) di Palangkaraya. Tenaga profesional tadi bertugas mendampingi keluarga serta membina dan membimbing kader posyandu, semisal mengenai cara pencatatan, penimbangan, dan konseling.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kalteng, tahun 2006 tercatat sebanyak 156 penderita gizi buruk, sepuluh di antaranya meninggal. Kasus terbanyak ada di Kabupaten Sukamara, yakni sebanyak 42 penderita. Penderita yang meninggal ada di Kobar (2), Barsel (2), Katingan (2), SUkamara (3), dan Gunung Mas (1).
Tahun 2007 ada 41 anak balita gizi buruk. Kasus terbanyak ada di Kabupaten Kotawaringin Timur, yakni 11 kasus, dua anak balita di antaranya meninggal dunia. "Tahun 2008, ada dua kasus gizi buruk di Kabupaten Murung Raya yang sudah dilaporkan," katanya. Penyebab gizi buruk, antara lain, adalah akibat penyakit seperti TBC dan penyakit kronis lainnya, kurangnya asupan, dan pola asuh yang salah.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalteng Djono Koesanto menuturkan, kegiatan posyandu yang di dalamnya ada kegiatan penimbangan akan difungsikan untuk menjaring anak balita yang mengalami gizi buruk.
Di Sukabumi, Jawa Barat, dua kakak beradik, Dani (4), dan Nanis (4 bulan), mengalami kekurangan gizi akut. Akibatnya, pertumbuhan badan kedua kakak beradik tersebut tak normal dan sangat mudah terserang penyakit.
Berat badan Dani hanya sebelas kilogram, sedangkan Nanis hanya empat kilogram, atau hanya sekitar tiga perempat berat badan minimal anak yang sehat. Dokter jaga RSUD Sekarwangi, Dr Devy, mengatakan, saat datang empat hari lalu, berat badan Dani hanya 10 kg, sedangkan Nanis hanya 3,5 kg.
Lima tewas Dari Nusa Tenggara Timur (NTT) dilaporkan, lima anak balita tewas karena busung lapar melanda Rote Ndao, NTT, selama Januari-5 Maret 2008.
Jumlah korban bakal bertambah karena sumber penghasilan masyarakat setempat tak menghasilkan. Pertanian lahan kering gagal panen dan sumber penghasilan di laut tidak dapat ditangkap. Menyadap nira lontar pun tak dijalankan karena musim hujan. (CAS/AHA/KOR)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/03/08/02275996/kalteng.jaring.gizi.buruk.di.1.700.posyandu |
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, June 25, 2008
Nasionalisme Rendah, TKW Tak Terlindungi
Senin, 10 Maret 2008 | 00:28 WIB Jakarta, Kompas - Terus terulangnya kasus kekerasan terhadap tenaga kerja wanita Indonesia di luar negeri terjadi akibat semakin pudarnya semangat nasionalisme. "Pemerintah cenderung tak peduli dengan nasib warga negaranya yang direndahkan oleh bangsa lain," kata Ketua Umum Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa Badriyah Fayumi menyambut peringatan Hari Perempuan Internasional di Jakarta, Sabtu (8/3). Di tengah peringatan tersebut, persoalan perempuan Indonesia belum beranjak dari masalah klasik yang terus berulang.
Buruknya perlakuan terhadap TKW terjadi karena pembangunan nasionalisme selama ini hanya bersifat simbolis. Akibatnya, para penguasa mudah marah jika simbol-simbol negara dirusak.
Para pejabat negara justru gusar saat bendera Bintang Kejora berkibar dan foto Presiden dibakar demonstran. Namun, pemerintah seolah tak mau peduli dengan banyaknya TKW yang disiksa dan dianiaya majikannya.
Pemerintah juga tak terusik saat mengetahui ada warga Indonesia yang meninggal akibat kelaparan.
"Nasionalisme yang lebih substantif perlu dibangun kembali. Negara perlu berperan lebih besar dalam menjaga martabat bangsa," kata Badriyah.
Nasionalisme substantif harus dibangun dengan berorientasi pada perlindungan warga negara dan peningkatan kualitas hidup bangsa. Nasionalisme juga harus terimplementasi dalam pembelaan terhadap kaum tertindas serta menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa DPRD Jawa Barat Imas Masyithoh M Nur juga mempertanyakan rendahnya kepedulian pemerintah daerah terhadap pemberdayaan perempuan.
Meskipun Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah telah menginstruksikan pengalokasian dana APBD sebesar 5 persen untuk pemberdayaan perempuan, namun implementasinya masih sangat kurang.
Kondisi tersebut membuat kualitas perempuan Indonesia dan perlindungan bagi mereka semakin sulit ditingkatkan. (MZW)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/03/10/00283761/nasionalisme.rendah.tkw.tak.terlindungi |
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, June 25, 2008
Label: Buruh migran
Bayi Gizi Kurang dan Gizi Buruk Mencapai 4,1 Juta Jiwa
KESEHATAN Senin, 10 Maret 2008 | 00:49 WIB JAKARTA, kOMPAS - Gizi buruk masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang sulit diatasi, kendati jumlah kasusnya menurun dalam beberapa tahun terakhir. Data terakhir menunjukkan, jumlah balita dengan gizi kurang dan gizi buruk mencapai 4,1 juta jiwa.
Menurut Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, dalam jumpa pers, Minggu (9/3) di Jakarta, gizi kurang atau gizi buruk disebabkan kurangnya asupan gizi sehingga anak rentan terinfeksi penyakit. Situasi ini akibat kemiskinan, pendidikan rendah, dan kesempatan kerja rendah.
Pada kesempatan terpisah, sejumlah organisasi yang tergabung dalam Jaringan Pemerhati Perubahan Undang-Undang Kesehatan menyatakan keprihatinan atas kondisi kesehatan bangsa Indonesia yang masih terpuruk. Hal ini, antara lain ditandai dengan masih tingginya angka kasus gizi buruk, angka kematian ibu dan anak, dan penyakit menular.
Kondisi ini diperburuk dengan lambannya proses perubahan Undang-Undang Kesehatan yang tahun ini telah delapan tahun mengendap di DPR.
"Kami menagih janji DPR dan Pemerintah RI untuk segera mengesahkan Rancangan UU Kesehatan," kata Tini Hadad dari Yayasan Kesehatan Perempuan, pada peringatan Hari Perempuan Sedunia, 8 Maret lalu.
Menurun Berdasarkan data Depkes, jumlah kasus balita gizi kurang dan gizi buruk menurun dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2004, jumlah anak balita gizi kurang dan gizi buruk sebanyak 5,1 juta jiwa. Pada tahun 2006, jumlah anak balita bergizi kurang dan buruk turun jadi 4,28 juta anak, dan 944.246 orang di antaranya berisiko gizi buruk.
Pada tahun 2007, jumlah anak balita bergizi kurang dan buruk turun lagi jadi 4,13 juta anak, dan 755.397 orang di antaranya tergolong risiko gizi buruk.
Untuk menanggulangi masalah gizi kurang dan gizi buruk, lanjut Menkes, dilakukan perawatan kasus di rumah sakit sesuai prosedur. (EVY)
|
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, June 25, 2008
12 Calon TKI Tertipu
Kamis, 13 Maret 2008 | 17:02 WIB SURABAYA, KOMPAS - Kepala Satuan Tindak Pidana Tertentu Polda Jawa Timur Ajun Komisaris Besar Moh Hendra Suhartiono, Rabu (12/3), mengungkapkan penangkapan dua pengusaha penyalur jasa tenaga kerja yang diduga palsu, yaitu YP (45) dan TW (45), pada Rabu (5/3) sekitar pukul 13.30. Keduanya ditangkap saat berada di kantor PT Yutaka Alam Segoro, sebuah PJTKI yang diduga palsu di kawasan Juanda, Sidoarjo. Penangkapan kedua tersangka bermula dari laporan Bari, warga Kupang, Surabaya, pada awal Februari lalu. Ia dan sebelas korban lainnya dijanji untuk diberangkatkan ke Selandia Baru pada 29 Februari. Namun, hingga waktu yang dijanjikan tiba, pihak PJTKI tidak memberangkatkan mereka.
Karena merasa dibohongi, Bari dan korban lainnya menagih uang yang telah mereka setorkan. Namun, permintaan itu tak dipenuhi. Bahkan, pihak PJTKI menantang korban untuk melapor pada polisi.
Jumlah uang yang disetorkan masing-masing korban bervariasi, dari Rp 5 juta hingga Rp 10 juta. Sementara biaya seluruhnya yang dikenakan pada mereka sebesar Rp 15 juta. Bari sendiri telah menyetor uang Rp 10 juta dan sisanya akan diberikan setelah visa keberangkatan selesai.
"Saya dijanjikan akan diperkerjakan di perkebunan sebagai pemetik apel," ujar Bari. Ia diiming-imingi gaji Rp 13 juta per bulan.
Selain mengeluarkan puluhan juta rupiah, korban juga mesti membiayai pemeriksaan kesehatan. Hermin menghabiskan Rp 350.000 untuk pemeriksaan kesehatan anaknya. Di lain pihak, YP menolak perusahaannya disebut menipu dua belas calon TKI. Ia bahkan mengancam beberapa korban karena telah melaporkannya kepada polisi dan membuatnya malu di depan publik. Bersama tersangka, polisi menyita enam paspor kunjungan wisata, tiga kuitansi pembayaran, dan selembar kartu nama.
Kepala Satuan Tipiter AKBP Hendra mengungkapkan, dua tersangka dikenakan Pasal 4, 12, dan 102 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. "Ancaman hukuman maksimal 10 tahun dan denda Rp 2 miliar," tutur Hendra.
Sementara itu, data dari Polda Jatim menunjukkan, sepanjang tahun 2006, sebanyak tujuh kasus penipuan dan penggelapan oleh PJTKI telah diproses kepolisian. Malang, Surabaya, dan Gresik menjadi daerah rawan bagi operasi PJTKI ilegal.
Pada tahun 2007, angka itu naik menjadi delapan kasus. Malang, Surabaya, Ponorogo, Blitar, dan Jombang menjadi daerah operasi. Sampai dengan Maret 2008, dua kasus penipuan dan penggelapan oleh PJTKI diungkap polisi. (A14)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/03/13/1702335/12.calon.tki.tertipu |
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, June 25, 2008
7 TKI Bantul Diperlakukan Tidak Manusiawi
Kamis, 13 Maret 2008 | 12:08 WIB
Yogyakarta, Kompas -Tujuh tenaga kerja Indonesia asal Bantul minta pendampingan pengacara. Mereka mengaku mendapat perlakuan kasar dan jam kerja yang tidak manusiawi selama tiga bulan berada di atas kapal penangkap ikan M/V Chun Ying Nomor 6 berbendera Taiwan yang berlayar di perairan Jepang.
Ketujuh TKI bernama Angga Birawa, Heri Purwanto (19), Wartadi (22), Nurron F Istanto, Drajat Arta A (19), Heri Hermawan (22), dan Kuswanta (20). Mereka alumni SMKN 1 Sanden yang lulus 2007. Mereka aktif bekerja sejak September 2007 dan baru bisa pulang ke Indonesia bulan Desember.
Selain menerima pukulan dari pihak majikan perusahaan, dua orang di antaranya kehilangan ujung jari tangan akibat terlalu lama bekerja di ruang pembeku. Mereka adalah Wartadi yang kehilangan enam ujung jari (masing-masing tangan sejumlah tiga) dan Angga yang kehilangan ujung jari kelingking sebelah kanan.
Ujung jari tangan mereka dipotong karena telah mati rasa (frozen). Ironisnya lagi, yang melakukan amputasi bukan ahli medis melainkan petugas mesin dengan pisau. Ujung jari Wartadi hingga kini juga masih tampak membiru. "Kalau alasan penganiayaan (pemukulan) karena perbedaan bahasa, kami tidak tahu maksud (perintah) dia, tapi tiba-tiba dipukul," ujar Angga, Rabu (12/3) sore di kantor pengacara Satriawan Guntur Z.
Pekerjaan yang mereka lakukan di antaranya menarik jaring dan mendorong ikan ke ruang pendingan. Masa kerja 56 jam nonstop dengan waktu istirahat empat jam. "Janji awal kami akan digaji Rp 4 juta sebulan. Namun, kami kemarin digaji 150 dollar Amerika yang diberikan saat pulang. Saya pulang duluan, saya sakit terus dipulangkan," kata Wartadi. Mengenai hal ini, Guntur akan mengirim surat ke Menteri Tenaga Kerja dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia agar masalah-masalah seperti ini mendapat perhatian. "Ini satu dari sekian banyak kasus TKI yang terjadi di Indonesia. Kita ingin mereka bertanggung jawab, tidak hanya gaji tapi juga keamanan," katanya. Brosur Pilihan kerja ketujuh pemuda sebagai TKI ini berawal dari brosur yang ditempel di sekolah dan adanya tawaran lowongan kerja dari seorang guru. Selain itu, ada sosialisasi dari sebuah perusahaan Jakarta.
Tanggal 24 Agustus 2004 para korban berangkat ke Pemalang, Jawa Tengah, guna membuat paspor. Sebelumnya mereka membayar buku pelaut. Pada 27 Agustus mereka berangkat ke Jakarta. Semua prosedur mereka kerjakan, termasuk membayar sejumlah uang melalui pihak sekolah.
Pada 29 Agustus sekitar pukul 08.00 mereka diberangkatkan ke Taiwan dan tiba di Hongkong sekitar pukul 14.30. Mereka langsung ditampung di sebuah kapal dan baru dipindahkan ke kapal Chun Ying dua hari kemudian. (WER)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/03/13/12083953/7.tki.bantul.diperlakukan.tidak.manusiawi |
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, June 25, 2008
Penderita Kurang Gizi Terus Meningkat
Sabtu, 15 Maret 2008 | 01:09 WIB Tangerang, Kompas - Angka penderita kurang gizi dan gizi buruk di Kabupaten Tangerang, Banten, terus meningkat. Hal itu terlihat pada data Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang, Jumat (14/3). Tahun 2006, penderita kurang gizi dan gizi buruk masih 20.586 anak balita atau 6,34 persen dari jumlah anak balita yang datang ke posyandu sebanyak 332.817 anak.
Tahun 2007, penderita gizi buruk dan kurang gizi naik menjadi 23.937 anak balita (7,2 persen) dari 332.817 anak balita.
Sementara itu, penderita gizi buruk menurut hasil penimbangan anak balita tahun 2005 tercatat 1.278 anak. Tahun 2006, penderita gizi buruk menjadi 1.919 anak, setahun kemudian naik lagi menjadi 2.895 anak. Di antara penderita gizi buruk terdapat penderita busung lapar, tetapi angkanya tidak dicatat.
Adapun angka penderita kurang gizi tahun 2006 tercatat 18.667 anak. Setahun kemudian naik menjadi 21.078 anak.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Hani Harianto, penderita gizi buruk dan kurang gizi ketika terdeteksi langsung mendapat bantuan susu dan biskuit. Namun, bantuan seperti itu tak banyak berarti jika konsumsi pangan lainnya di rumah kurang mencukupi.
Saniah (4,5) dan Hasanudin (2), kakak-beradik warga Kelurahan Sasak, Kecamatan Mauk, merupakan contoh penderita gizi buruk dan kurang gizi. Menurut Mariah, ibu kedua anak itu, Saniah yang berat badannya 8 kilogram sejak umur sembilan bulan sampai sekarang mendapat susu dan biskuit dari Puskesmas Mauk, demikian juga adiknya.
Marwani, ayah kedua anak itu, hanya pengayuh becak berpenghasilan Rp 15.000 per hari. Akibatnya, ia tak mampu membeli beras dengan lauk cukup dan bergizi untuk keluarganya. (TRI)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/03/15/01094954/penderita.kurang.gizi.terus.meningkat |
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, June 25, 2008
Terus Meningkat, Penderita Gizi Buruk
Senin, 17 Maret 2008 | 15:13 WIB Semarang, Kompas - Kasus penderita gizi buruk di Jawa Tengah diperkirakan pada 2008 terus meningkat seiring adanya kenaikan sebesar 3,48 persen melonjaknya penderita gizi buruk pada 2007. Jumlah penderita gizi buruk 2007 tercatat 15.980 orang dengan jumlah penderita yang meninggal dunia mencapai 56 orang.
"Saat ini masih dilaporkan terdapat sebanyak 9.535 orang penderita gizi buruk, 40 persen di antaranya anak-anak dan tinggal di perdesaan yang masih menjalani perawatan dan belum sembuh," kata anggota Komisi E Bidang Kesejahteraan Rakyat DPRD Jateng, Aisyah Dahlan, Minggu (16/3), ketika menyampaikan keprihatinan atas melonjaknya kasus gizi buruk di Jateng.
Aisyah Dahlan mengemukakan, pada 2005 jumlah penderita gizi buruk baru 6.817 orang kemudian diketahui melonjak 2,1 persen pada 2006 menjadi 9.163 orang. Jadi sepanjang 2005-2007 terdapat kenaikan jumlah penderita gizi buruk sebesar 74,39 persen yang sangat tidak sebanding dengan alokasi dana anggaran yang dialokasikan di APBD Jateng 2007 sebesar Rp 1,4 miliar.
Dengan dana anggaran yang sebesar Rp 1,4 miliar, upaya Pemprov Jateng mengurangi penderita gizi buruk sangat tidak memadai. Kegagalan dalam program ini menggambarkan bahwa dana yang digulirkan kurang tepat sasaran.
Kasus gizi buruk ini juga mengancam kelangsungan generasi berikutnya yang semestinya bisa tumbuh lebih baik. Dari jumlah penderita gizi buruk sebesar 15.980 orang itu, sekitar 14,8 persen adalah penderita balita.
Aisyah Dahlan mengungkapkan, peningkatan kasus gizi buruk 2007 sangat ironis ketika waktu itu Pemprov Jateng menyatakan bahwa produksi padi mengalami surplus sebesar 794.627 ton beras. (WHO)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/03/17/1513505/terus.meningkat.penderita.gizi.buruk
|
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, June 25, 2008
Gizi Buruk Masih Bayangi Indonesia
Senin, 17 Maret 2008 | 00:17 WIB Posman Sibuea
Gizi buruk masih membayangi kehidupan rakyat miskin di Indonesia. Di Makassar, Sulawesi Selatan, seorang ibu yang hamil tujuh bulan meninggal bersama anak balitanya karena gizi buruk.
Kematian ibu dan anak itu merupakan tragedi kemanusiaan. Ironis, Sulawesi Selatan adalah lumbung beras Indonesia bagian timur. Berita menyedihkan lain datang dari Cianjur, Jawa Barat. Kini ada 2.670 anak balita atau 1,7 persen dari jumlah penduduk di wilayah penghasil beras ini mengalami gizi buruk.
Kedua tragedi memilukan itu hanya menambah data empiris yang menunjukkan penderitaan rakyat kecil tidak lebih baik selama 10 tahun terakhir. Kasus gizi buruk dan kelaparan bukan kali ini muncul dan dikhawatirkan bukan pula yang terakhir. Tahun 1998, gizi buruk terjadi secara masif. Dari sekitar 300.000 balita yang meninggal tiap tahun, 180.000 di antaranya meninggal karena kurang gizi.
Kemiskinan Setelah 10 tahun reformasi, apakah rakyat kian sejahtera? Reformasi kehilangan makna. Rakyat terus mengalami proses pemiskinan. Jumlah penganggur memuai. Mereka tak mampu lagi membeli bahan makanan sebagai kebutuhan paling dasar. Dari perspektif "kebutuhan dasar", fenomena kelaparan yang berakhir kematian adalah pelanggaran HAM berat yang dilakukan negara terhadap rakyatnya (UU No 7/1996 tentang Pangan).
Munculnya kembali busung lapar—yang sejak 1973 diasumsikan lenyap dari Indonesia—hanya puncak gunung es. Bila muncul satu kasus, itu berarti ada ratusan bahkan ribuan kasus sama, tetapi tak dilaporkan karena malu disebut kurang gizi. Ironi, kelaparan di tengah kekayaan sumber alam acap ditunjukkan pemerintah lewat operasi pasar beras murah.
Indonesia masih dibayangi kemiskinan. Jumlah warga miskin hampir 109 juta—tingkat pendapatan di bawah dua dollar AS per hari—dan 50 persen dari total rumah tangga mengonsumsi makanan kurang dari 2.100 kkal.
Kenyataan ini amat kontradiktif dengan korupsi di republik ini. Kasus jaksa Urip dapat menjadi contoh, juga Bank Indonesia yang membagi-bagi "dana taktis" untuk kepentingan pribadi.
Hasil reformasi hanya dinikmati elite politik. Mereka kelebihan gizi, perut membuncit, tapi rakyat dianjurkan mengencangkan ikat pinggang. Perhatian atas nasib rakyat miskin yang kurang gizi kian tipis. Mereka lebih asyik dengan dunianya sendiri.
Perilaku koruptif Tragedi kelaparan dan kasus gizi buruk adalah buah perilaku koruptif yang virusnya bersemayam dalam tubuh dan jiwa para penguasa dan pengusaha republik ini. Harga yang harus dibayar akibat gizi buruk adalah merampas kecerdasan anak. Buktinya, indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia terus turun, kini di bawah Vietnam.
Perang terhadap perapuhan gizi ini dapat kita menangkan jika pemerintah memiliki political will guna memperbanyak program perbaikan ekonomi dan gizi masyarakat. Hal ini bisa didorong dengan menyediakan bantuan kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta merevitalisasi posyandu.
Pemerintah jangan lagi mengulang kesalahan pendahulunya di era Orba yang menganakemaskan industri berteknologi tinggi, tetapi produknya tak laku dijual. Saat itu sektor pertanian dianggap tidak marketable. Kini saatnya menempatkan pertanian sebagai leading sector karena mampu berperan sebagai mesin penggerak pertumbuhan perekonomian nasional.
Hal lain yang amat penting adalah memperbaiki sistem pemerintahan dengan menghentikan budaya suap dan menciptakan kondisi politik yang sungguh aman dan terkendali. Langkah itu merupakan upaya menuju cita-cita reformasi birokrasi yang good and clean government.
Pengalaman negara-negara Afrika dekade lalu patut menjadi perenungan kita. Bertahun-tahun mereka tidak hanya gagal meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi jatuh pada situasi krisis dan konflik berkepanjangan. Afrika menjadi pengutang terbesar di dunia dan masalah kelaparan tak terselesaikan.
Karena itu, pemerintah harus benar-benar mengupayakan agar krisis ekonomi segera berakhir. Jika tidak, negara bisa dituduh telah melakukan kelalaian atau penelantaran (state negligence) terhadap rakyatnya. Ini jelas melanggar Konvensi PBB untuk Hak-hak anak yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia.
Posman Sibuea Ketua Lembaga Penelitian Unika Santo Thomas Medan, Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser) Medan, Sumatera Utara
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/03/17/00175192/gizi.buruk.masih.bayangi.indonesia |
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, June 25, 2008
Jumlah Kasus Gizi Buruk di Klaten Naik
Selasa, 18 Maret 2008 | 12:10 WIB Solo, Kompas - Setelah lebih dari setahun usai gempa, kasus gizi buruk pada bayi dan balita di Kabupaten Klaten menunjukkan peningkatan. Pada bulan Januari 2008, tercatat 84 bayi dan balita divonis gizi buruk. Sebanyak 469 bayi dan balita lainnya juga tercatat mengalami gizi buruk.
Jumlah yang pertama berdasarkan hitungan berat badan dibanding tinggi badan, sedangkan jumlah kedua berdasarkan hitungan berat badan dibanding usia. Kategori hitungan yang kedua ini sebenarnya untuk kewaspadaan karena sebenarnya masih di bawah garis merah, tutur Kepala Subdinas Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Ronny Roekmito, Senin (17/3).
Sejak Januari 2008, dua bayi dan balita meninggal dunia akibat gizi buruk. Namun, ditambahkan Ronny, kasusnya bukan murni gizi buruk, melainkan ada penyakit penyerta pada keduanya. Yang satu terkena bronkitis, yang satunya jantung. Mereka berobat tidak tuntas sehingga penyakitnya tidak benar-benar sembuh sehingga berpengaruh pada berat badannya. Ini disebabkan kondisi ekonomi keluarga yang tidak mampu, tutur Ronny.
Dijelaskannya, lebih dari 60 persen kasus gizi buruk ditemukan penyakit penyerta pada penderita berupa primer kompleks tuberkulosis (PKTB). Ini penyakit infeksi yang mudah menular lewat udara. Nenek atau ibunya punya TBC, dia berdekatan dengan si anak, sudah bisa menulari, kata Ronny menjelaskan.
Ekonomi lemah Penderita gizi buruk pada bayi dan balita paling banyak ditemukan pada keluarga yang berasal dari golongan ekonomi lemah. Penyebab tidak langsung gizi buruk adalah kemiskinan. Apalagi sekarang harga-harga meningkat, ekonomi keluarga semakin sulit. Bayi dan balita harus ikut terkena dampaknya, ujarnya. Di Klaten, kantong penderita gizi buruk, antara lain di Kecamatan Gantiwarno dan Kalikotes.
Diungkapkan Ronny, 10 bulan pascagempa, mulai terlihat tren peningkatan kasus gizi buruk. Kami perkirakan setahun pascagempa akan terjadi peningkatan. Ternyata, baru 10 bulan sudah terlihat. Yang paling banyak di Gantiwarno karena di sana lokasi gempa paling parah. Kalikotes juga menjadi kantong karena banyaknya warga miskin, katanya. (eki)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/03/18/12103431/jumlah.kasus.gizi.buruk.di.klaten.naik |
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, June 25, 2008
15 Balita di Samigaluh Menderita Gizi Buruk
Kesehatan Selasa, 18 Maret 2008 | 12:13 WIB Kulon Progo, Kompas - Sekitar 15 anak usia balita di Kecamatan Samigaluh, Kulon Progo, diduga menderita gizi buruk. Bahkan satu di antaranya pernah dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Wates awal tahun lalu.
Menurut petugas gizi di Puskesmas Samigaluh I Diah Nor, jumlah balita penderita gizi buruk tahun ini lebih banyak dibandingkan dengan 2007 sejumlah 14 orang. Pada tahun yang sama, untuk seluruh Kulon Progo, Dinas Kesehatan DI Yogyakarta mencatat jumlah balita penderita gizi buruk 27 orang.
"Seluruh balita dengan gizi buruk ini adalah anak dari keluarga miskin yang banyak ditemukan di Desa Sidoharjo dan Purwoharjo," ujar Diah, Senin (17/3).
Penyebab gizi buruk, lanjut Diah, murni karena pilihan menu yang tidak bergizi dan pola makan yang tidak teratur. Hanya satu dari 15 balita itu yang menderita penyakit bawaan, yakni lemah jantung, dan sudah mendapat penanganan medis dari rumah sakit.
Kepala Puskesmas Samigaluh I Sajarwadi menyatakan, sejauh ini temuan kasus gizi buruk atau gizi kurang pada balita masih bisa ditangani dengan program pemberian makanan tambahan (PMT), seperti susu, bubur bayi, dan aneka penganan berkarbohidrat. PMT juga dilakukan untuk ibu hamil yang ditengarai kurang gizi.
Dengan begitu, diharapkan jumlah balita atau ibu hamil penderita gizi buruk di Samigaluh akan terus berkurang, sedapat mungkin 20 persen per tahun. Meskipun demikian, pencapaian target ini juga masih harus disesuaikan dengan perkembangan kondisi perekonomian bangsa dan pendapatan per kapita bagi masyarakat miskin.
Mengingat kondisi geografis Samigaluh yang berbukit-bukit, PMT tidak bisa dilakukan sesering mungkin. Setidaknya satu bulan sekali ada petugas puskesmas keliling yang akan mengunjungi desa-desa yang cukup terisolasi untuk membagikan stok makanan tambahan sesuai kebutuhan.
"Kami juga telah menyiagakan sejumlah kader gizi dan posyandu di setiap desa untuk terus memantau perkembangan gizi balita dan ibu hamil. Jika ditemukan kasus baru, kader wajib melaporkannya ke puskesmas untuk dapat segera ditindaklanjuti," kata Sajarwadi. Selain itu, kader bertugas memberikan penyuluhan tentang hidup sehat dan pemenuhan gizi keluarga sehari-hari melalui makanan. Diah mengemukakan, banyak ibu rumah tangga di pelosok desa yang masih kurang pemahaman akan pentingnya pemenuhan gizi secara seimbang bagi anak-anaknya. (YOP)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/03/18/12132483/15.balita.di.samigaluh.menderita.gizi.buruk |
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, June 25, 2008
Balita Gizi Buruk Meninggal
Rabu, 19 Maret 2008 | 14:32 WIB Balita (1 tahun 1 bulan) bernama Bayu Nur Cahyono meninggal dunia karena gizi buruk, Senin (17/3) di Rumah Sakit Umum Daerah dr M Soewandhie, Surabaya. Balita itu putra pasangan Indah Setyowati (30) dan Annas Rohan (31), warga Bulak Banteng, Surabaya. Menurut sang ibu, putra keempatnya itu menderita diare sejak usia tiga bulan. Pada usia itu, ia sudah tidak lagi mengonsumsi ASI dan diganti dengan susu formula. Ketika diperiksakan ke dokter, Bayu didiagnosa menderita alergi laktosa. Susu formula pun diganti dengan susu rendah laktosa.
Setiap kali diberi susu rendah laktosa, diarenya berhenti. Namun, susu rendah laktosa itu mengandung gizi yang rendah sehingga tetap harus diimbangi dengan susu formula. "Akhirnya ya mencret lagi karena diberi susu formula," tutur Indah.
Keadaan Bayu memburuk sejak usia setahun. Ia mengalami batuk tanpa henti dan diare. Saat dibawa ke RS, dokter yang memeriksa tidak mengatakan bahwa bayi itu menderita gizi buruk. Sampai Senin kemarin, kondisinya memburuk dan berat badannya tinggal 4,7 kilogram (kg), padahal berat ideal bayi seusianya ialah 12 kg. Direktur RSUD dr M Soewandhie, Indriyani, mengungkapkan bahwa Bayu menderita marasmus (kekurangan protein dan karbohidrat).
Selain Bayu, ada empat balita lain yang menderita gizi buruk. Satu di antaranya telah meninggal dunia sebulan lalu. Sementara itu, kondisi lingkungan warga kumuh dan didapati banyak genangan air kotor serta selokan tersumbat. (A10)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/03/19/14325432/balita.gizi.buruk.meninggal. |
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, June 25, 2008
Penderita Gizi Buruk Tidak Terawat
Orangtua Tak Membawa Anak ke Rumah Sakit Karena Malu Rabu, 19 Maret 2008 | 11:22 WIB Brebes, Kompas - Anak di bawah umur lima tahun atau balita penderita gizi buruk di Kabupaten Brebes, Jateng, masih banyak yang belum mendapatkan perawatan di rumah sakit. Hal itu di antaranya disebabkan kurangnya kesadaran orangtua untuk memeriksakan anak mereka ke puskesmas atau rumah sakit.
Hal tersebut disampaikan Kepala Sie Pembinaan Gizi Masyarakat Dinas Kesehatan Brebes Sarmini, Selasa (18/3). Menurut dia, kasus gizi buruk ditemukan hampir setiap bulan di Brebes. Jumlah penderita gizi buruk bersifat fluktuatif.
Pada Desember 2006, jumlah penderita gizi buruk di Brebes sebanyak 55 orang. Tahun berikutnya, muncul penderita gizi buruk baru sebanyak 38 orang. Pada tahun itu, tiga penderita gizi buruk meninggal dunia dan 41 orang sembuh. Hingga Desember 2007, sisa penderita gizi buruk di Brebes sebanyak 49 orang.
Pada tahun 2008 ini, muncul kasus gizi buruk baru sebanyak 14 orang. Jumlah penderita yang sembuh sebanyak 15 orang. Dengan demikian, saat ini masih terdapat 48 penderita gizi buruk di Brebes. Mereka berasal dari Kecamatan Jatibarang, Larangan, Bumiayu, Bantarkawung, Bulakamba, dan Kersana. Dari jumlah tersebut, hanya satu balita yang dirawat di rumah sakit, yaitu Sri Putri Andriyani (4), warga Desa Kemukten, Kecamatan Kersana.
Sarmini mengungkapkan, masih banyaknya penderita gizi buruk yang belum dirawat di rumah sakit akibat kurangnya kesadaran orangtua. Mereka enggan membawa anak mereka ke posyandu, atau memeriksakannya ke puskesmas karena merasa malu.
Selain itu, hampir semua penderita gizi buruk berasal dari keluarga miskin, yang memiliki banyak anak. Apabila orangtua harus menjaga salah seorang anak mereka yang mengalami gizi buruk di rumah sakit, anak yang lain tidak ada yang menjaganya di rumah.
Bantuan bubur Sarmini mengatakan, selama ini pemerintah telah berupaya mengatasi gizi buruk dengan memberikan makanan tambahan pendamping air susu ibu (ASI), selama 90 hari. Makanan tambahan diberikan kepada balita dari keluarga miskin, berupa bubur untuk bayi usia enam hingga 11 bulan dan biskuit untuk balita usia 11 hingga 24 bulan.
Pada tahun 2007, jumlah bayi yang mendapat bantuan bubur sebanyak 1.286 orang, sedangkan balita yang mendapatkan bantuan biskuit sebanyak 2.924. Bantuan berasal dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Meskipun demikian, pemberian makanan sering tidak tepat sasaran. Sebagian orangtua penerima tidak memberikan makanan tersebut kepada anak yang mengalami gizi buruk, dengan alasan anak tersebut tidak bersedia memakannya. (WIE)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/03/19/11222036/penderita.gizi.buruk.tidak.terawat. |
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, June 25, 2008
Pengurusan Paspor TKI di Malaysia Selesai 3 Jam
Rabu, 19 Maret 2008 | 00:30 WIB Kuala Lumpur, Kompas - Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, Malaysia, kini hanya membutuhkan waktu 15 menit hingga tiga jam untuk menyelesaikan berbagai dokumen, termasuk paspor, bagi tenaga kerja Indonesia di sana. Ini suatu kemajuan, mengingat sebelum 11 Januari 2008 perlu waktu 41 hari untuk menyelesaikan dokumen seperti itu.
Kuasa Usaha Ad Interim Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur Tatang B Razak, Selasa (18/3), mengatakan, sebelumnya penyelesaian dokumen atau paspor relatif lama, antara lain, karena personel yang melayani sangat terbatas. Padahal, lanjutnya, jumlah TKI yang datang ke KBRI Kuala Lumpur dalam sehari bisa mencapai 1.000 orang. "Akibatnya, sering kali terjadi antrean panjang dan hal itu dimanfaatkan calo-calo paspor atau dokumen. Para calo itu tak jarang menipu dan merugikan para TKI," katanya.
Upaya memudahkan pelayanan dan memberi perlindungan kepada TKI, kata Tatang menjelaskan, memang tidak diselenggarakan secara langsung. Ini melalui proses dan bertahap. "Perbaikan awal dikerjakan pada 12 Maret 2007 dengan memulai perbaikan manajemen pelayanan," ujarnya.
Salah satu manajemen pelayanan yang diperbaiki, kata Tatang mencontohkan, yakni pelayanan penyelesaian paspor. Jika sebelumnya dilakukan dengan tulis tangan, sekarang menggunakan sistem cetak manual atau nonbiometric dan scanning foto.
Komputer Bambang Widodo, Atase Imigrasi KBRI Kuala Lumpur, menambahkan, perbaikan pelayanan dilakukan dengan menambah perangkat komputer, yang sebelumnya 12 unit menjadi 40 unit.
Tarif pengurusan dokumen atau paspor, kata Bambang lagi, juga tergolong murah. Untuk paspor setebal 24 halaman, misalnya, tarifnya 22 ringgit Malaysia (RM) atau lebih kurang Rp 64.000. Paspor 48 halaman dikenai tarif 88 RM (Rp 255.000), sedangkan surat paspor laksana perjalanan (SPLP) dikenai biaya 18 RM (Rp 52.000).
Ramlah (30), TKI asal Sampang, Madura, yang ditemui saat mengurus dokumen di ruang tunggu TKI di KBRI Kuala Lumpur, mengatakan, pelayanan cepat kali ini merupakan suatu kejutan. "Sangat membantu saya," katanya gembira. (hln)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/03/19/00302620/pengurusan.paspor.tki.di.malaysia.selesai.3.jam
|
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, June 25, 2008