The China Post
31 Mei 2007
Foreign workers in Taiwan will see their maximum employment duration extended to nine years from six years, based on a set of revisions to the Employment and Services Law, which just passed the screening by the Committee on Health, Environment and Social Welfare under the Legislative Yuan yesterday.
The draft amendment is a compromised version of an earlier proposal that advocated lifting the employment limit altogether, which met strong opposition from the Council of Labor Affairs (CLA).
At the screening session, CLA Deputy Chairwoman Tsao Ai-lan said dropping the employment time limit for foreign workers would have a social and economic impact on Taiwan and increase the personnel costs of their employers.
She said, for example, the government can hardly prohibit the spouses and children of such workers from visiting Taiwan for family reunions.
If the foreign workers were to give birth in Taiwan, the government would have to allow their children to reside in Taiwan, Tsao continued, adding that the issue also involves other "problems" such as foreign workers' right to claim retirement pensions, their children's education right and their right to get health care.
Tsao noted that with the exception of Canada boasting a vast territory and a small population, most other countries such as South Korea and Singapore have all set ceiling limits on the employment period of foreign workers.
Although extending the employment duration to nine years can help employers save training costs, such a long employment period could undermine the physical and mental health of foreign workers, especially women, Tsao claimed.
She went on to say that there are precedents in which foreign workers developed physical or mental disorders after separating from their spouses and children for a long period of time, adding that extending the employment duration would also squeeze the rights of Taiwanese workers.
31 May 2007
Job duration extended for foreign labor
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Thursday, May 31, 2007
Label: Buruh migran, In English, Singapore, The China Post
Insurance for Maids Under Study
Arab News
31 May 2007
JEDDAH,A new system of insurance for housemaids is currently under study in Saudi Arabia, according to Saad Al-Baddah, head of the National Committee for Labor Recruitment.
“The system is aimed at safeguarding the interests of employers who incur financial losses when their maids do not fulfill contractual obligations or run away,” Al-Baddah told Arab News yesterday. The insurance will, among other things, cover the cost of sending back unwanted maids, which used to be the responsibility of the employers.
A meeting of labor officials, employer representatives and insurance companies will be held in Riyadh on July 4 to draft new regulations related to the scheme.
Some countries already have insurance schemes for maids employed overseas. “We already have an insurance scheme for our workers, maids in particular, so that they are taken care of during their service abroad. The scheme provides insurance coverage to them in the event of death, accident or hospitalization,” S.P. Dharmakirti, consul at the Indonesian Consulate General, told Arab News.
Saudi Arabia is the largest employer of overseas maids. At least 10 percent of the maids escape from their original employers for many reasons, notably non-payment of wage, physical abuse and sexual harassment. (K.S. Ramkumar)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Thursday, May 31, 2007
Label: Arab News, asuransi, Buruh migran, In English, Saudi Arabia
Fasilitasi Konseling TKI Bermasalah
Batam Pos
31 Mei 2007
Guna meminimalisir kasus TKI bermasalah di Batam akhir-akhir ini, Pemko Batam berinisiatif memberikan fasilitas dan konseling bagi TKI yang berada di penampungan sementara di Shelter Pusat Pelayanan Korban Kecelakaan Perempuan dan Anak (P2K2PA), Sekupang.
Program ini salah satu kegiatan yang dijalankan Pemko Batam melalui Kantor Pemberdaya Perempuan (KP2) untuk menangani korban TKI bermasalah. Program yang dijalankan adalah dengan memberikan konseling dan bimbingan mental kejiwaan yang dilakukan secara berkala, dan rutin oleh psikolog yang ada di KP2 Kota Batam.
Kabag Humas Pemko Batam, Yusfa Hendri menjelaskan, bagi TKI bermasalah, petugas yang berada di Shelter akan melayani, mengawasi dan memberikan pengarahan yang bersifat membantu aktivitas para korban TKI bermasalah.
Sedangkan untuk teknis pemulangan TKI bermasalah, Pemko Batam melalui KP2 bekerja sama dengan International Organization of Migration (IOM), akan memulangkan TKI bermasalah tersebut ke tempat asalnya.
”Dari awal 2007 hingga April lalu, hasil kerjasama Pemko Batam dengan LSM Setara Kita yang menangani TKI bermasalah, telah memulangkan TKI bermasalah sebanyak 39 orang,” ujar Yusfa.
Yusfa menambahkan, bagi TKI yang saat ini masih berada di Shelter, nantinya secara bergiliran akan dipulangkan ke tempat asal. Saat ini TKI bermasalah yang ada di Shelter, sekitar 15 orang. Jumlah ini bertambah pada tanggal 23 Mei 2007, sebanyak 12 orang. ”Dalam menangani TKI bermasalah ini, Pemko Batam melalui KP2 Kota Batam sangat memperhatikan kebutuhan para TKI bermasalah yang ada di Shelter tersebut,” ujar Yusfa. (cr8)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Thursday, May 31, 2007
Label: Batam, Batam Pos, Buruh migran
LP2TKI Latih 1.500 Orang Setiap Bulan
Batam Pos
31 Mei 2007
Khusus TKI ke Singapura
Lembaga Pemberdayaan dan Pelatihan Tenaga Kerja Indonesia (LPTKI) di Batam Centre setiap bulannya memberikan pembengkalan rata-rata 1.500 TKI. LP2TKI khusus melatih TKI yang diberangkatkan ke Singapura.
Kepala Bidang Penempatan dan Pelatihan Tenaga Kerja, Dinas Tenaga Kerja Kota Batam, Luhut Marbun mengatakan, LP2TKI yang saat ini dikelola pihak swasta, PT Batam International Training Centre (BITC) aktif memberikan pelatihan. ”Koordinasi dengan Disnaker berjalan baik. LP2TKI berfungsi fungsinya memberikan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP). Setiap pembekalan, kita selalu diundang. Ada juga dari Otorita Batam, kepolisian, termasuk Depag Kota Batam,” kata Luhut, Selasa (29/5) lalu.
Kata Luhut, LP2TKI khusus memberikan pelatihan bagi TKI yang dikirim ke Singapura. Sedangkan, TKI yang diberangkatkan ke Malaysia, LP2TKI-nya tidak berada di Batam, tetapi di Kalimantan. “”Melalui LP2TKI, semua TKI yang akan dikirim diberi pelatihan dan pembekalan keterampilan sehingga mereka tahu hak-hak dan kewajibannya sebagai pekerja di Singapura. Itu bisa diyakini karena pengiriman TKI ke Singapura melalui satu pintu keluar, yaitu dari Batam, sehingga mudah mengontrolnya,” ujarnya.
Dalam konsep awalnya, LP2TKI menjadi tempat seleksi dan pelatihan akhir bagi para TKI di Singapura. Hal ini sejalan dengan rencana menjadikan Batam sebagai satu-satunya pintu pengiriman TKI ke Singapura. LP2TKI atau disebut juga Batam International Training Center (BITC) memiliki bangunan tiga lantai. LP2TKI akan memberi sertifikat keterampilan kepada setiap calon TKI. (dea)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Thursday, May 31, 2007
Label: Batam Pos, Buruh migran, Singapore
[Yuyun Nuril Laili] TKW Asal Jombang Tewas di Hongkong
KCM/Antara News Agency
31 Mei 2007
JOMBANG - Seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Jombang, Jawa Timur, Yuyun Nuril Laili (27), ditemukan tewas setelah terjatuh dari rumah tingkat majikannya di Hongkong. Muhammad Yusuf, orang tua korban saat ditemui di rumahnya Desa Kepuhdoko, Kecamatan Tembelang, Jombang, Kamis, mengaku, menerima kabar tersebut dari PT Balanta Budi Prima, Perusahaan Jasa TKI, yang memberangkatkan korban ke Hongkong. "Katanya, anak saya meninggal akibat terjatuh dari rumah loteng (tingkat) majikannya pada tanggal 25 Mei lalu," ucap Yusuf menuturkan.
Namun dia dan anggota keluarganya di Tembelang belum menerima surat resmi dari Kedutaan Besar RI di Hongkong, mengenai kepastian sebab-sebab kematian anaknya. "Sekarang kami minta PJTKI tersebut bertanggung jawab dan segera memulangkan jenazah anak kami untuk dimakamkan di desa ini," katanya dengan didampingi ibu korban, Maudzu’ah.
Menurut dia, korban berangkat ke Hongkong sebulan lalu, setelah berada di penampungan PJTKI sejak bulan November 2006 lalu. Sebelumnya, korban sudah pernah bekerja sebagai pembantun rumah tangga di Singapura selama tiga tahun.
Sementara juru bicara PT Balanta Budi Prima, Jayadi Siddiq menyatakan, pihaknya belum bisa membawa pulang jenazah korban lantaran kasusnya masih ditangani pihak kepolisian Hongkong. "Selain itu, jenazah korban sampai saat ini masih berada di rumah sakit untuk dilakukan otopsi," ujarnya kepada wartawan di Jombang.
Ia menjanjikan, akan memberikan santunan kepada keluarga korban, termasuk asuransi sekitar Rp50 juta dan uang duka dari pihak majikan yang mempekerjakan korban selama ini. "Mudah-mudahan pekan depan jenazah korban sudah bisa dipulangkan, kami akan berusaha mengurus kepulangannya dari Hongkong," tutur Jayadi Siddiq. (Antara/Glo)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, May 31, 2007
Label: ANTARA News, BMI meninggal, BMI Meninggal di HK, Jombang, KCM, Pasca BMI Meninggal
30 May 2007
Tiga Tersangka Baru Kasus Korupsi Bekas Bupati Jember
TEMPO Interaktif
30 Mei 2007
Jember: Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menetapkan tiga tersangka baru dalam kasus korupsi bekas Bupati Jember Samsul Hadi Siswoyo. Tiga tersangka itu antara lain Umi Susiki, Dian Fajarwati, dan Yupi. Mereka adalah staf Bagian Tata Pemerintahan Pemerintah Kabupaten Jember.
Mereka diduga kuat terlibat dalam pemotongan bantuan keuangan untuk 31 kecamatan di Jember pada 2001-2005. Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan, dana yang harus dibagi kepada 31 kecamatan itu Rp 8,37 miliar. Tapi, realisasinya hanya Rp 5,027 miliar dan sisanya tidak jelas.
Menurut Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Jember, Mudjoko, kasus tadi merupakan rentetan dari korupsi yang dilakukan Samsul Hadi. “Besok mereka dipanggil kejaksaan,” kata dia di Jember pada Rabu (30/5). Selain tiga tersangka tadi, kejaksaan juga akan memeriksa Fadallah, Asisten II Pemerintah Kabupaten Jember dan Edy Budi Susilo, Kepala Dinas Informasi dan Komunikasi Kabupaten Jember. mahbub djunaidy
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, May 30, 2007
Label: Jember, Korupsi, Pemerintah
Pondok Ibu Sadar Gizi Diluncurkan
Detik.com
30 Mei 2007
Jakarta - Persoalan gizi buruk di Indonesia masih terus melanda. LSM Qatar Charity bekerjasama dengannLembaga Kemanusiaan Nasional Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) meluncurkan program Pondok Gizi Ibu Sadar Gizi (PG Budarzi). Program yang diluncurkan hari ini pukul 10.00 WIB, bertujuan untuk mengentaskan gizi buruk yang melanda Indonesia melalui pembinaan dan pendampingan secara kontinu kepada balita serta ibu hamil dan menyusui. Selain itu, memberikan informasi tentang gizi dan kesehatan anak, pemberian makanan tambahan kepada balita, penyuluhan dan kontrol
kehamilan. "Diharapkan masalah gizi buruk di Indonesia akan segera berakhir," kata
Media Center PKPU Pusat Divisi Media Komunikasi dan Publikasi Lufti
Avianto dalam keterangan tertulis kepada detikcom, Rabu (30/5/2007).
Lufti mengatakan, program perbaikan gizi masyarakat ini menggulirkan dana sebesar Rp 200 juta bagi 100 ibu, 100 balita dan 50 ibu hamil selama 8 bulan ke depan. Daerah yang menjadi sasaran program ini adalah daerah pasca musibah banjir Februari 2007 di Jagakarsa, Tomang, Karet Tengsin, Duren Sawit dan Lengkong. (Chazizah Gusnita)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, May 30, 2007
Label: detikcom, Gizi Buruk, Jakarta
Polri Tahan 15 Orang Penjual Wanita ke Malaysia
Antara News
30 Mei 2007
Jakarta (ANTARA News) - Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menangkap 25 orang setelah menjadi tersangka kasus penjualan ratusan wanita ke Malaysia untuk dipekerjakan sebagai pelacur dan tempat hiburan malam.
Wakil Direktur Keamanan dan Trans Nasional Bareskrim Polri, Kombes Pol Bachtiar Hasanudin Tambunan di Jakarta, Selasa mengatakan, sebagian wanita yang dijual masih berstatus anak-anak di bawah umur.
"Wanita yang di bawah umur datanya dimanipulasi sehingga menjadi usia wanita dewasa," katanya.
Ia menjelaskan, para wanita yang umumnya berasal dari Jawa Barat ini dijanjikan bekerja sebagai pelayan toko dan karyawan restoran di Malaysia dengan janji upah yang cukup besar.
"Namun, mereka ternyata dipekerjakan di tempat hiburan malam, kafe, diskotik bahkan tempat pelacuran," katanya.
Dikatakannya, ke-15 orang itu tidak memiliki ijin untuk memberangkatkan tenaga kerja namun leluasa mencari wanita di pedesaan karena mengaku menjadi agen PT KSP yang ternyata fiktif.
"Akibat kasus ini, pemerintah Malaysia dan Indonesia sama-sama repot karena mereka bekerja tanpa mendapatkan ijin resmi dari pemerintah Malaysia," katanya.
Kasus ini terbongkar berkat laporan dari KBRI Kuala Lumpur ke Polri yang menyebutkan adanya pidana perdagangan wanita dari Jakarta ke Malaysia.
Berbekal data KBRI, polisi menangkap 15 orang sebagai tersangka.
"Jumlah tersangka yang belum tertangkap masih banyak lagi sehingga kami belum dapat menyebutkan identitas mereka yang tertangkap," kata Bachtiar.(*)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, May 30, 2007
Label: ANTARA News, Buruh migran, Human Trafficking, Kabarbaik BMI, Malaysia
Pelaksanaan Masih Tak Pasti
Radar Jember
30 Mei 2007
Penataan PKL Sekitar Pasar Tanjung
JEMBER - Penataan pedagang kaki lima (PKL) di wilayah Jl Samanhudi - Untung Surapati dan sekitarnya boleh jadi akan menemui banyak kendala. Selain itu, belum ada kejelasan kapan penataan PKL itu benar-benar akan dilakukan. Indikasi itu terlihat dari tak segera terealisasinya penataan PKL di wilayah itu.
Seperti diketahui, konsep menjadikan jalur di sekitar Johar Plasa dan Pasar Tanjung sebagai pasar sore sudah tercetus sejak lama. Hingga kini, hanya gapura dan papan namanya saja yang sudah terpasang.
Di Jl Untung Surapati dekat Johar Plasa, gapura dan papan nama itu sejak lama terpasang. Bahkan, jauh lebih lama dibanding yang dipasang di Jl Samanhudi. Tak pelak, karena tak segera terealisasinya konsep penataan PKL, ada pihak yang menilai miring. Mereka rata-rata menganggap Pemkab kurang serius.
Penilaian itu tak hanya datang dari masyarakat umum. Tapi, juga para PKL itu sendiri. Nudi, salah satu PKL Jalan Untung Surapati, mengkritik pemkab dianggapnya hanya bisa mengobral janji melakukan penataan dan membantu PKL. Sejauh ini, realisasinya selalu meleset. "Sudah bertahun-tahun pemkab bilang mau menata PKL, tapi sampai sekarang tidak ada hasilnya," katanya. Hal itu, menurut dia, disebabkan pemerintah kurang melakukan pendekatan pada PKL.
Nuri mengatakan, dia secara pribadi sebenarnya tidak masalah PKL ditata. Namun, dalam kondisi ekonomi yang lesu ini, pemkab harus mencari solusi yang baik. "Pedagang merasakan, kalau menggunakan gerobak dorong, biaya kian mahal. Misal jika gerobak itu ditaruh di Lapangan Talangsari. Biaya dorong PP bisa Rp 20 ribu," katanya.
Lantas, kapan sebenarnya PKL di Samanhudi dan Untung Surapati ditata? Drs Soeprapto MM, kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda) Jember yang ketua tim penataan PKL mengaku belum bisa memastikan. Dia menegaskan, masih menunggu hasil sosialisasi di lapangan. "Yang jelas Pak Bupati sendiri sudah memerintahkan saya agar secepatnya menyelesaikan penataan PKL ini," tuturnya.
Dalam dua hari kedepan, pihaknya akan kembali menggelar pertemuan dengan PKL untuk menyerap respons PKL atas konsep yang diajukan pemkab. Kalau masih ada PKL yang tak setuju dengan konsep pemkab, pihaknya masih akan mengedepankan pendekatan persuasif.
Seperti diketahui, sejauh ini tak sedikit yang merasa keberatan dengan konsep yang ditawarkan Pemkab. Keberatan para PKL terletak pada kewajiban agar PKL menggunakan gerobak dorong dan pembatasan jam operasi mulai pukul 15.00 - 01.00.
Sahwan misalnya. Salah satu pengurus Paguyuban PKL Untung Surapati mengatakan, pihaknya sudah berbicara dengan beberapa PKL soal konsep penataan PKL di kawasan kota. Namun, mayoritas PKL masih keberatan dengan konsep yang disodorkan pemkab. "Ini hasil saya bicara dengan beberapa PKL. Kalau rapat memang belum," katanya kepada Erje kemarin.
Soal ketentuan bahwa PKL harus memakai gerobak dorong, menurut dia, para PKL menyatakan keberatan. Pasalnya, dengan memakai gerobak dorong, PKL harus mengeluarkan biaya tambahan. Yakni, mengubah bedhak-nya menjadi gerobak dorong. "Padahal, pengahasilan kami sekarang ini menurun tajam. Dagangan sepi," katanya.
Konsekuensinya tak hanya mengubah bedhak menjadi gerobak dorong. Jika sudah memakai gerobak dorong, PKL harus memindahkan gerobaknya ke tempat yang ditentukan pemkab setelah berjualan. Untuk mendorong gerobak itu, PKL harus mengeluarkan biaya tambahan untuk pekerja.
Begitu pula soal pembatasan jam operasi. Sahwan menyatakan, penghasilan PKL bakal kian menurun. Dengan berjualan dari pagi hingga malam saja, pengasilan yang diperolehnya pas-pasan, bahkan minus. "Belum lagi kalau musim hujan. Belum ada pelaris (pembeli, Red), sudah tidak ada orang," papar PKL konveksi ini.
Meski duduk sebagai pengurus paguyuban, dia mengaku tidak bisa berpendapat sendiri. Sebab, dia akan melihat pendapat umum para PKL terhadap rencana pemkab untuk melakukan penataan. "Kami sendiri belum menggelar rapat membicarakan hal ini. Sebab, mencari kesepakatan banyak orang susah," cetusnya.
Hal senada juga disampaikan Sukran, PKL Jalan Samanhudi. Dia mengaku sudah mendengar rencana pemkab untuk menata PKL di sekitar Pasar Tanjung. Tapi, dia pribadi tidak setuju dengan konsep pemkab. "Buka sejak pagi saja sulit dapat pembeli, apalagi buka sore," katanya.
Menurut dia, pembeli banyak datang ke pasar pada pagi hingga siang hari. Pada malam hari justru jarang pembeli yang ke pasar. Jika rencana itu tetap diteruskan, kondisi para PKL bakal kian sulit.
Meski demikian, Soeprapto, ketua Tim Penataan PKL mengklaim jika khusus untuk Samanhudi, relatif beres alias tak ada masalah. "Kalau PKL Samanhudi dan lainnya relatif tidak ada masalah," klaimnya. Di luar PKL Untung Surapati dan Samanhudi, pihaknya sudah memerintahkan stafnya untuk menggelar rapat dengan perwakilan PKL yang lain.
Ditanya soal janji pemkab yang selalu meleset untuk menata PKL, Suprapto menegaskan, timnya kali ini akan serius. Dalam susunan tim yang baru, sebagai wakil ketua I tim adalah wakapolres. "Lihat saja nanti. Kalau tahun lalu polisi belum dilibatkan. Sekarang ini Pak Wakapolres menjadi wakil ketua tim I," tegasnya. (har)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, May 30, 2007
Label: Jember, pedagang kaki lima, Radar Jember
Polri Bekuk 15 Tersangka Perdagangan Wanita dan Anak
Suara Pembaharuan Daily
30 Mei 2007
[JAKARTA] Mabes Polri menangkap 15 orang tersangka kasus perdagangan wanita dan anak-anak di Jakarta, pada 25 April 2007. Sampai sekarang, para tersangka sedang disidik penyidik Mabes Polri, dan mereka ditahan di Rutan Mabes Polri.
Hal itu disampaikan Kepala Bidang Penerangan Umum, Divisi Humas Polri, Kombes Pol Bambang Kuncoko dalam acara konferensi di Mabes Polri, Selasa (29/5). Dalam acara itu, Bambang didampingi oleh Wakil Direktur I Bidang Keamanan dan Transnasional, Badan Reserse dan Kriminal Polri, Kombes Pol Bachtiar Hasanuddin Tambunan.
Menurut Bambang, 15 tersangka itu adalah NH, BT, DA, DN, MY, SW, HY, ZB, AD, LW, SL, JW, MS, AR, TM yang semuanya berkewarganegaraan Indonesia. Mereka memperdagangkan wanita dan anak-anak asal Sukabumi dan Subang, Jawa Barat, untuk dijadikan pekerja seks di Malaysia.
Tambunan menambahkan, modus dari para tersangka adalah menjanjikan pekerjaan di luar negeri dengan gaji besar. Mereka kemudian membujuk para wanita di daerah-daerah untuk bekerja di luar negeri dengan gaji besar. Diantara para tersangka, ada yang membujuk korban dengan mengatasnamakan perusahaan dengan nama yang fiktif.
Selain itu, kata Tambunan, Polri juga berhasil menangkap lima orang tersangka pembuat dokumen palsu pada 12 Mei 2007. Para tersangka ditangkap di wilayah Kuala Tungkal Jambi, Batam, dan Subang. Tambunan tidak menyebut nama lima tersangka itu.
Sedangkan pada Senin (7/5), sebagaimana diberikan (SP, 14/5), Mabes Polri menangkap dua warga negara Sri Lanka, Candra Babu alias Rames (41 tahun) dan Mohan (33) di Bintaro Sektor VII, Jakarta Selatan, Senin (7/5). Setelah ditangkap, mereka langsung ditahan di Rutan Mabes Polri. Mereka diduga terlibat dalam kasus penyelundupan manusia.
Sekretaris National Central Bureau (NCB) Interpol Polri, Brigjen Pol Iskandar Hasan di Jakarta, pekan lalu, mengatakan, kedua tersangka itu diduga menyelundupkan sejumlah warga Sri Lanka ke Australia. Keduanya sudah masuk daftar pencarian orang (DPO) Kepolisian Australia (Australian Federal Police-AFP). "Selama ini mereka dicurigai telah mengatur dan menipu warga Sri Lanka untuk masuk Australia," kata dia.
Pada Februari 2007, Polri menangkap sekitar 100 warga Sri Lanka di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Utara. Polri menduga mereka akan diselundupkan ke Australia. Menurut Tambunan, 100 warga negara Sri Lanka yang diselundupkan itu adalah pencari kerja. "Mereka mau mencari pekerjaan di negara lain. Ya, seperti tenaga kerja kita yang kirim secara ilegal ke luar negeri," kata Tambunan.
Tambunan mengatakan, dari tangan dua tersangka itu polisi menyita empat buah paspor Sri Lanka dan India yang di antaranya palsu, delapan buah telepon genggam, beberapa tiket penerbangan, uang senilai Rp 520,8 juta dan US$ 3.400 serta 234 kartu kredit. [E-8]
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, May 30, 2007
Label: Buruh migran, Human Trafficking, Kabarbaik BMI, Malaysia, Suara Pembaharuan Daily
Perempuan WNI Dijual
Kompas
30 Mei 2007
Warga Sri Lanka Diselundupkan ke Australia
jakarta, kompas - Polri ungkap sindikat perdagangan perempuan untuk dipaksa bekerja sebagai pekerja seks komersial secara terselubung di Malaysia. Korban dijual dengan harga 4.800 RM (Rp 12,37 juta). Jaringan sindikat itu berkedok perusahaan jasa pengerah tenaga kerja fiktif berinisial PT KSP.
Direktorat I Keamanan dan Transnasional Badan Reserse Kriminal Mabes Polri dalam operasi bunga sejak April 2007 telah menangkap 15 orang tersangka anggota sindikat. Sebagian tersangka berasal dari PT KSP tersebut. Sebagian lainnya masih diselidiki kelompoknya. Anggota sindikat ini mengincar korbannya ke daerah di Jawa Barat, seperti Subang dan Sukabumi.
"Modusnya, mereka menjanjikan korban untuk bekerja di luar negeri sebagai penjaga toko dan pelayan kafe atau restoran, dengan gaji tinggi," kata Wakil Direktur I Keamanan dan Transnasional Komisaris Besar Bachtiar H Tambunan, Selasa (29/5).
Polisi menyidik kasus itu dari keterangan sedikitnya 10 perempuan WNI yang telah telanjur menjadi korban kemudian berhasil melarikan diri. Para korban ini telah diselamatkan dan dalam perlindungan polisi.
Di Malaysia, para korban dipekerjakan di Tawao, Kuala Lumpur, dan Bintulu. Mereka dijual kepada mucikari di Malaysia dengan harga 4.800 RM. Para korban itu dihargai 150 RM (Rp 386.550) per kencan. Korban hanya diberi 10 RM (Rp 25.770) oleh mucikari lalu dianggap telah berutang 100 kong (100 kali hubungan seks). Sebab, korban telah dibeli pihak mucikari sehingga korban sendiri yang harus mengembalikan harga yang dibayar mucikari itu ke sindikat di Indonesia.
"Kita masih terus selidiki. Ada tiga WNI di Malaysia yang telah dipenjara akan bebas akhir Mei ini. Ketiganya kami duga terkait perdagangan perempuan juga. Keterangan mereka nanti perlu untuk kasus ini," ujar Bachtiar.
Penyelundupan manusia
Sementara itu, Polri juga mengungkap sindikat penyelundupan manusia, yaitu warga negara Sri Lanka ke Australia. Pada 7 Mei 2007, polisi menangkap tiga orang anggota sindikat itu di kawasan Bintaro, Tangerang. Mereka yaitu dua WN Sri Lanka berinisial SC dan MI, serta satu WNI berinisial LY. Ketiganya kini ditahan Polri.
Pengacara SC dan MI, yakni Zuchli Imran Putra, menyatakan, penyelundupan itu bermotif politis, karena para warga Sri Lanka itu berasal dari suku Tamil. "Mereka ingin mencari kehidupan yang lebih baik, jadi cara ilegal terpaksa ditempuh," kata Zuchli.
Sementara Bachtiar mengatakan bahwa pada Februari lalu sudah 85 WN Sri Lanka yang diselundupkan ke Australia, dan telah ditangani pihak kepolisian Australia. Di Jakarta, penampungan sementara mereka antara lain di Pasar Baru dan Kamal Muara. (SF)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, May 30, 2007
Label: Human Trafficking, Kompas, Malaysia
Lima Hari, 85 Warga Miskin Alami
KCM
30 Mei 2007
Jakarta, Aliansi Rakyat Miskin menuntut pembubaran Satuan Polisi Pamong Praja. Keberadaan Satpol PP dituding mengabaikan hak-hak rakyat miskin di Jakarta. Berdasarkan data ARN, dalam lima hari, 25 - 29 Januari 2007, terjadi 85 kali kasus
kekerasan terhadap warga miskin oleh anggota Satpol PP.
”Kami sengaja membuka fakta tersebut agar diketahui masyarakat umum. Jumlah korban makin panjang jika dihitung sejak tahun-tahun sebelumnya hingga sekarang,” kata Koordinator Penanggungjawab ARN Heru Suprapto, Rabu (30/5). ARN mengundang perwakilan dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, berbagai lembaga swadaya masyarakat, korban kekerasan Satpol PP, serta media massa.
Dalam dialog tersebut, disepkati tuntutan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghentikan kekerasan terhadap warga miskin, dana penertiban dialihkan untuk dana jaminan sosial masyarakat miskin, realisasi hak memperoleh pendidikan yang layak, kesehatan, serta membuka lapangan pekerjaan baru.
Selain itu, warga miskin menuntut Peraturan Daerah Nomor 11/Tahun 1988 tentang ketertiban masyarakat di wilayah DKI Jakarta dan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2004 tentang kedudukan Satpol PP. Pencabutan dua peraturan itu bakal menghapus keberadaan Satpol PP.
Kekerasan yang dialami warga miskin, antara lain, diceritakan oleh Dedi Yansen (17), pengamen jalanan yang telah empat kali dianiaya saat penertiban. Sementara itu, sepanjang 2006 - 2007 ini, seorang joki three in one meninggal akibat dianiaya dan tiga lainnya dipukuli. (NEL)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, May 30, 2007
Label: KCM, miskin kota
Patok Tanah Resahkan Masyarakat
Warta Kota
30 Mei 2007
Keresahan kembali melanda warga Meruya Selatan, Jakarta Barat. Di saat warga berjuang mempertahankan tanah milik mereka, sejumlah orang mematok sebidang tanah kosong di kawasan tersebut. Warga cemas pematokan itu meluas ke tanah-tanah kosong lain...tos
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, May 30, 2007
Label: Meruya, Penggusuran, WartaKota
Balita Gizi Kurang Meninggal
Warta Kota
30 Mei 2007
Seorang anak Balita yang dinyatakan gizi kurang, Muhammad Dani (1), meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Koja, Jakarta Utara, Selasa (29/5) pagi. Dani meninggal dalam perawatan instansi gawat darurat (IGD)
...
Menurut data di kantor Sudin Kesehatan Masyarakat Kotamadya Jakarta Utara, sejak Januari hingga Mei 2007 tercatat ada 119 balita yang berstatus gizi kurang. Sedangkan balita yang berpotensi ke balita gizi kurang sebanyak 865 balita. Dari 119 balita gizi kurang itu, sebanyak 16 balita sudah berstatus gizi buruk...gus
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, May 30, 2007
Label: Gizi Buruk, kemiskinan, kesehatan, WartaKota
Orang Misterius Patok Lahan Meruya Selatan
Berita Kota
30 Mei 2007
Pematokan lahan kosong mengejutkan warga Meruya Selatan, Jakarta Barat. Salah satu lahan yang dipatok orang misterius itu adalah Kavling Bank Rakyat Indonesia (BRI) di Rt 03/04...amh
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, May 30, 2007
Label: Berita Kota, Meruya, Penggusuran
Sindikat Perdagangan Wanita Digulung
Berita Kota
30 Mei 2007
Mabes Polri membekuk 16 tersangka perdagangan wanita dan anak-anak (trafficking) sejak senin (28/5) malam. Komplotan ini adalah pelaku penjualan wanita dan anak baru gede (ABG) untuk dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial (PSK) di Malaysia dan Singapura...dad
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, May 30, 2007
Label: Berita Kota, Buruh migran
Perempuan WNI Diual
Kompas
30 Mei 2007
Polri ungkap sindikat perdagangan perempuan untuk dipaksa bekerja sebagai pekerja seks komersial secara terselubung di Malaysia. Korban dijual dengan harga 4.800 RM (Rp. 12,37 Juta). Jaringan sindikat itu berkedok perusahaan jasa tenaga kerja fiktif berinisial PT KSP...(SF)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, May 30, 2007
Label: Buruh migran, Human Trafficking, Kompas
Sindikat Penjual Gadis Digulung
Pos Kota
30 Mei 2007
JAKARTA (Pos Kota) – Mata rantai jaringan sindikat perdagangan gadis desa di bawah umur untuk dijadikan budak seks di Malaysia berhasil dibongkar Mabes Polri. Dalam penyergapan di Jakarta, Bandung, Bekasi, dan Riau, petugas menciduk lima belas tersangka yang terlibat dalam jaringan bisnis haram ini.
Berhasilnya Mabes Polri membongkar sindikat penjualan wanita desa itu berkat informasi dari 10 cewek yang dipaksa jadi pelacur di Malaysia. Para korban yang dijadikan budak seks ini berhasil melarikan diri dari tempat penampungan mereka di Johor dan Kualalumpur kemudian minta perlindungan di KBRI.
Sedangkan 15 tersangka yang terlibat dalam jaringan tersebut adalah, BS, NR, DO, AR, DW, MS, SL, HR, ZB, AF, LS, dan JW. Kemudian ditangkap juga tersangka IR, HA, dan TJ. Tiga tersangka terakhir ini bertindak sebagai mencari gadis desa di Indramayu, Subang, Cianjur, Sukabumi, Cirebon, dan Bandung. Kawanan ini diringkus Minggu lalu.
“ Selama dipaksa jadi pelacur di Johor, saya tidak dibolehkan meninggalkan rumah penampungan. Jika ketahuan pergi tanpa pamit, saya digebuki, “ kata Ta, 18, asal Indrmayu, seperti ditirukan petugas.
DIJUAL RP 25 JUTA
Satu perempuan dijual kepada ‘Bapak Ayam’, istilah untuk mucikari di Malaysia dengan harga 4.800 RM (Ringgit Malaysia) atau sekitar Rp 24 juta. Untuk sekali kencan melayani lelaki hidung belang, gadis desa itu mendapat bayaran 150 RM atau sekitar Rp 750 ribu.
Padahal mereka hanya menerima 10 RM, sedangkan 140 RM dipotong untuk mucikari dengan dalih mereka masih menanggung utang. Besar utang bisa dilunasi bila sudah melayani 500 lelaki. Sebanyak 10 perempuan yang jadi korban itu sudah dipulangkan Kedubes Indonesia di Malaysia ke kampung masing-masing.
Sepak terjang mafia perdagangan perempuan dan anak di bawah umur ini dimulai dengan mencari calon korban sampai ke pelosok desa. Perempuan berumur antara 14 tahun hingga 20 tahun yang diincar untuk dijadikan pelacur dan bekerja di karaoke.
“Mereka dijanjikan akan dijadikan pelayan toko, pelayan rumah makan, ataupun pekerjaan lainnya,” jelas Wadir Kamtranas Bareskrim Polri, Kombes Pol Bachtiar Tambunan didampingi Kabid Penum Humas Polri Kombes Pol Bambang Kuncoko, Selasa (29/5).
Dengan iming-iming gaji yang tinggi, pengurusan paspor dijamin, apalagi tidak dibebani ongkos keberangkatan dan biaya di penampungan, tidak sedikit wanita pencari kerja yang tergiur.
Setelah calon korban berhasil dibujuk, oleh calo alias ‘sponsor’ mereka selanjutnya dibawa ke Jakarta, Bekasi dan Bandung kemudian diserahkan ke agen untuk ditampung sementara , sambil menunggu kepengurusan dokumen keberangkatan. Salah satu agen penggerak tenaga kerja berinisial KSP di Bekasi, ikut terlibat dalam perdagangan perempuan ini.
LEWAT BATAM
Selama di penampungan, biaya makan ditanggung oleh agen dengan status utang. Namun mereka harus mengganti seluruh biaya ini termasuk transport dan komisi setelah berada di Malaysia dengan cara penghasilan mereka dipotong.
Selanjutnya, setelah paspor ada di tangan, para perempuan ini dibawa ke penampungan di Batam, Kuala Tungkal, Tanjung Balai Karimun. Agen di tempat ini lalu mengontak UM dan DAH, ‘Bapak Ayam’ alias mucikari di Johor serta Kuala Lumpur yang akan membeli mereka.
Kasus trafficking ini terungkap sejumlah wanita Indonesia yang bekerja di tempat hiburan malam dan pelacuran kabur ke KBRI di Kuala Lumpur. Terakhir pada akhir Maret 2007 lalu 5, wanita Indonesia yang dijadikan budak seks dipulangkan oleh kedubes.
Pihak SLO kepolisian RI yang bertugas di Kedubes Indonesia bekerjasama dengan Mabes Polri lalu melakukan penyelidikan jaringan perdagangan perempuan ini, baik yang ada di Indonesia maupun Malaysia. Para tersangka dijerat pasal 378 dan 372 KUHP tentang penipuan, serta pasal 54 UU No 9/1999 tentang imigrasi.
(irda)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Wednesday, May 30, 2007
Label: Buruh migran, Human Trafficking, Polisi, PosKota, Sanksi Percaloan
29 May 2007
Polisi Tangkap 15 Tersangka Perdagangan Wanita dan Anak
TEMPO Interaktif
29 Mei 2007
Jakarta: Kepolisian telah menangkap 15 orang tersangka kasus perdagangan wanita dan anak-anak pada 25 April lalu. Saat ini 15 tersangka itu masih ditangani oleh penyidik. "Mereka sudah ditahan," kata Kepala Bidang Penerangan Umum, Komisaris Besar Polisi Bambang Kuncoko kepada wartawan di Markas Besar Kepolisian, Selasa (29/5).
Bambang mengatakan, 15 tersangka tersebut adalah NH, BT, DA, DN, MY, SW, HY, ZB, AD, LW, SL, JW, MS, AR, TM, dan AJ semuanya berkewarganegaraan Indonesia. Mereka memperdagangkan wanita dan anak-anak asal Sukabumi dan Subang Jawa Barat untuk dijadikan pekerja seks di Malaysia.
Wakil Direktur I Bidang Keamanan dan Trans Nasional, Bachtiar Tambunan menambahkan, modus tersangka tersebut adalah menjanjikan pekerjaan diluar negeri dengan gaji besar. "Modusnya mereka membujuk para wanita didaerah untuk bekerja diluar negeri dengan gaji besar," kata dia.
Diantara para tersangka, ada yang membujuk korban dengan mengatasnamakan perusahaan berinisial KSP. KSP memasang iklan di media atau langsung mendatangi korban kedaerah-daerah lewat perantara. Namun, dari hasil penyelidikan diketahui bahwa perusahaan tersebut fiktif. Kepolisian juga berhasil menangkap lima orang tersangka pembuat dokumen palsu pada 12 Mei lalu. Para tersangka ditangkap diwilayah Kuala Tungkal Jambi, Batam, dan Subang.
DESY PAKPAHAN
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, May 29, 2007
Label: Polisi, Rekrutmen Ilegal, Sanksi Percaloan, Subang, Sukabumi
Malaysia still needs Indonesian workers: Official
Xinhua
29 Mei 2007
Malaysia still needs Indonesian migrant workers and therefore would keep on trying to improve their welfare and salary, visiting Minister of Information Seri Zainudin Bin Maidin said Tuesday.
Malaysia needs Indonesian workers to be employed in the industrial sector, plantations, construction, and as housemaids or shop helpers, he was quoted by the national Antara news agency as saying during a visit to the Eats Java capital of Surabaya.
He said Malaysia will improve workers' salaries, especially among Indonesians. An Indonesian migrant worker gets a salary about 2,800 ringgits monthly.
Indonesia is the largest labor exporter to Malaysia, with some 4 million Indonesians now working in the neighbor.
The two countries share relatively the same culture and speak almost the same Malay language.
Source:
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Tuesday, May 29, 2007
Label: Buruh migran, deportasi, Malaysia, Malaysia positif, masalah BMI, Xinhua
Pembantu Rumah Tangga asal China Sangat Menggoda
Sinar Harapan
29 Mei 2007
Ditolak Para Ibu Rumah Tangga di Malaysia
Kuala Lumpur – Rencana pemerintah Malaysia untuk mencari tenaga pembantu rumah tangga dari China rupanya meresahkan para istri maupun ibu rumah tangga di negeri jiran tersebut. Mereka enggan menerima pembantu asal China karena khawatir suaminya bakal “kecantol” rayuan bedinde berkulit putih itu.
Kekhawatiran ini kemudian disampaikan kaum wanita dari Asosiasi China-Malaysia (MCA) kepada Kementerian Dalam Negeri. Ketua Wanita MCA yang juga wakil Menteri Keuangan Malaysia, Ng Yen Yen meminta pemerintah menunda rencananya untuk merekrut perempuan asal China sebagai pembantu rumah tangga.
Ng mengatakan partai politiknya menerima sejumlah keluhan para istri yang suaminya jatuh ke pelukan wanita-wanita yang dijulukinya little dragon ladies itu.
“Setelah diskusi yang intensif, kami meminta Kementerian Dalam Negeri menghentikan rencana itu pada saat ini. Kami tidak menginginkan masalah little dragon ladies ini meningkat,” kata Ng seperti dikutip surat kabar The Star, Senin (28/5). “Wanita-wanita ini merayu suami-suami agar berselingkuh dengan mereka dan menyebabkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga,” tambahnya.
Menteri Dalam Negeri Malaysia Radzi Sheikh Ahmad, Jumat, mengatakan pemerintah tengah mempertimbangkan merekrut pembantu rumah tangga dari China dan India untuk memenuhi kekurangan tenaga kerja dari Indonesia dan Filipina.
Meski demikian, Ng menyatakan tidak bermaksud menghina wanita-wanita di China, namun hanya bersikap realistik guna menjaga kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga.
Beberapa kelompok aktivis wanita menyatakan merekrut pembantu rumah tangga dari China dan India tidak akan mengatasi masalah kekurangan tenaga kerja. “Pertama-tama kita harus menyelesaikan masalah mengapa pembantu rumah tangga asing tidak ingin bekerja di Malaysia. Kita memiliki standar tenaga kerja yang rendah, tidak ada hari libur, upah rendah dan pembantu rumah tangga tidak dilindungi secara layak,” kata Ivy Josiah, direktur eksekutif Women’s Aid Organisation.
Upah Rendah
Awal pekan lalu, Mendagri Malaysia Radzi Sheikh Ahmad mengatakan pembantu rumah tangga asal Indonesia menghindari negara itu karena upah yang diterima lebih rendah ketimbang bekerja di negara lain sementara agen penyalur tenaga kerja Indonesia mengeluhkan komisi yang mereka terima lebih kecil dibandingkan rekannya dari Malaysia. Jumlah pembantu rumah tangga asal Indonesia yang masuk ke Malaysia tiap bulan menurun tajam.
Radzi mengatakan pembantu rumah tangga asal Indonesia dibayar rata-rata 400 ringgit (sekitar Rp 900.000) per bulan di Malaysia, sementara di Singapura bayarannya mencapai dua kali lipat. Agen-agen penyalur tenaga kerja Indonesia juga mengeluhkan rendahnya keuntungan. Mereka hanya memperoleh 460 ringgit, dari setiap tenaga yang disalurkan, sementara agen asal Malaysia memperoleh 630 ringgit.
Dia mengatakan Malaysia kini mulai beralih mencari tenaga pembantu rumah tangga dari negara lain seperti India, Laos, Myanmar, Kamboja, Vietnam, Turkmenistan dan Kazakhstan. (nat)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, May 29, 2007
Label: Buruh migran China, Malaysia, Sinar Harapan
TKI Asal Asahan Terancam Hukuman Mati di Malaysia
Suara Pembaharuan Daily
29 Mei 2007
(MEDAN) Tiga tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Kecamatan Aek Kuasan, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara (Sumut), terancam menjalani hukuman mati, atas tuduhan kasus pembunuhan di Malaysia.
Ketiga TKI yang terancam menjalani hukuman mati di Malaysia itu adalah Haliman Aliman bin Harlen Sihombing (34), Wahyudi bin Boini (25) dan Arnuh Rizat alias Erik bin Kartem (35). Ketiganya merupakan TKI resmi.
Koordinator Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Publik Asahan, Zasnis Sulung, Selasa (29/5) pagi, saat dihubungi SP mengatakan, pihaknya telah melayangkan surat kepada Menteri Luar Negeri, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Kedutaan Besar RI untuk Malaysia berkaitan dengan hukuman mati tersebut.
"Surat tersebut itu kami layangkan untuk mempertanyakan persoalan yang menimpa klien kami. Apakah mereka memang benar-benar melakukan pelanggaran tindak pidana sesuai dengan informasi yang kami terima," tanya Zasnis.
Zasnis mengatakan, berdasarkan keterangan saksi lain, rekan ketiga kliennya tersebut saat bersama di Malaysia, keterlibatan ketiganya belum dapat diketahui secara pasti. Kasus itu pun diketahui keluarganya setelah saksi tersebut bernama Ingat, kembali ke kampung halaman di Asahan. "Si Ingat yang menyampaikan ketiganya terancam menjalani hukuman mati di Malaysia," ujarnya.
[AHS/W-8].
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, May 29, 2007
Label: Buruh migran, hukum mati, Malaysia, Suara Pembaharuan Daily
1,5 Bulan, TKI Deportasi Belum Dipulangkan
Batam Pos
29 Mei 2007
BATAM (BP) - Sebanyak 15 orang Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang dideportasi dari Malaysia April lalu, hingga kini belum dipulangkan. Mereka ditampung di Shelter Kantor Pemberdayaan Perempuan (KPP), Sekupang.
Salah seorang mantan TKW, Betty (23) mengaku, pasrah menunggu kepastian waktu pemulangan mereka ke kampung halamannya di Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia sudah lama menunggu informasi dari Pemko Batam soal jadwal pemulangan, tetapi tidak kunjung terealisasi. ”Katanya hari Rabu. Tapi Rabu kemarin (23/5) juga dijanjikan, tidak jadi,” ujarnya, Ahad (27/5) kemarin.
Betty berharap agar pemulangan mereka bisa secepatnya dilakukan. Alasannya, mereka sudah bosan di penampungan. Apalagi keluarga pun tidak ada di Batam. ”Kalau di kampung kan sudah bisa bertemu keluarga,” ujarnya. Pengakuan yang sama juga disampaikan Fitri (22), asal Aceh. Ia juga mengalami hal sama dengan Betty. ”Tiap hari di rumah, terus tak ada yang bisa dikerjakan,” tukasnya.
Fitri mengaku sempat bertahan 10 bulan di Malaysia sebagai perawat jompo. Tapi karena gaji tak dibayar, ia meminta pulang. Untung, majikannya baik dan dibiarkan pulang. Tapi gaji yang dibayar hanya separoh dan tidak mau menguruskan paspor. Sedangkan Betty hanya bertahan lima bulan. Ia mempunyai pengalaman tragis, seperti yang terjadi kepada beberapa TKI lain. Ia dipukul dan disiksa. Bahkan gajinya tak dibayar. Betty melapor ke polisi dan mendapatkan sebagian gajinya.
Para TKW yang dideportasi yang ditampung di Shelter KPP, Sekupang berjumlah 15 orang. Ada yang dari Aceh, Jawa dan berbagai tempat lainnya. Selama tahun 2007, ada empat kali TKI dipulangkan Pemko Batam. (dea)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, May 29, 2007
Label: Batam Pos, Buruh migran, deportasi
Presiden: Wajib Hukumnya, KBRI Lindungi Seluruh TKI
Antara News
29 Mei 2007
Kuala Lumpur (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta jajaran pemerintahannya untuk memberikan perhatian dan pelayanan serius kepada para tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri karena walau bagaimanapun mereka adalah bagian dari solusi yang mendatangkan devisa bagi negara.
"Saya sering mengingatkan para Duta Besar kita, berikan perhatian yang sangat serius pada masalah tenaga kerja kita. Mereka adalah bagian dari solusi, pahlawan devisa, wajib hukumnya bagi kita untuk memberikan perlindungan dan pelayanan bagi saudara-saudara kita itu," kata Presiden ketika meninjau kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur, Malaysia, Selasa.
Oleh karena itu, Presiden meminta semua jajaran pemerintahannya di Imigrasi (Depkumham) dan Deplu agar bekerja sebaik-baiknya dalam memberikan pelayanan.
"Saya tidak senang jika ada petugas yang seharusnya melayani mereka malah ada yang main-main mencari imbalan. Tetapi Alhamdulillah, semua itu sudah dihentikan dan jangan terulang lagi, bukan hanya disini (Malaysia) tapi juga di negara lain," katanya.
Presiden yang didampingi Ibu Ani Yudhoyono dan sejumlah menteri itu mengatakan, dirinya sangat menaruh perhatian besar terhadap masalah tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
Hal itu ditunjukkan ketika baru tiga bulan menjadi Presiden, dirinya datang ke Tanjung Pinang dan Dumai, Riau dan Nunukan, Kaltim untuk menyambut para TKI yang dipulangkan dari Malaysia.
"Saya sambut mereka, berdialog, dan saya terharu karena mereka masih ingin bekerja tetapi karena masalah paspor, izin tinggal dan lain-lain, mereka terpaksa dipulangkan,"katanya.
Presiden juga menambahkan kehadiran tenaga kerja asing di sebuah negara tidak bisa terelakkan dalam kerja sama global sekarang ini.
"Karena itu, kita tidak perlu merasa kecil hati kalau TKI banyak yang bekerja di Malaysia, karena itu terjadi di seluruh dunia. Bukan hanya orang di negara berkembang saja yang bekerja di negara maju, tetapi sebaliknya orang yang bekerja di negara maju juga banyak yang bekerja di negara berkembang," kata Kepala Negara.
Sementara itu, dalam pemaparan pada peninjauan Presiden kie KBRI tersebut, Wakil Dubes KBRI untuk Malaysia, AM Fachir mengungkapkan sejumlah permasalahan yang dihadapi KBRI dalam melayani warga negara Indonesia di Malaysia.
Fachir mengatakan, pada tahun 2007 setiap harinya KBRI menerima lebih dari 2.000 WNI untuk mengurus berbagai keperluan imigrasi dengan jumlah petugas hanya sekitar 15 orang yang dibantu sejumlah relawan.
"Kita menganggap jumlah petugas yang memadai itu sekitar 60 orang untuk melayani pemrosesan paspor dari sekitar 2.000 orang per hari, belum termasuk petugas satpam," katanya.(*)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, May 29, 2007
Label: ANTARA News, Bantuan Hukum, Buruh migran, Law, Malaysia
Presiden Tinjau Pelayanan Paspor di KBRI Kuala Lumpur
Antara News
29 Mei 2007
Kuala Lumpur (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kunjungannya ke Kedutaan Besar RI (KBRI) Kuala Lumpur, Selasa siang, meninjau langsung tempat pelayanan pembuatan paspor bagi Warga Negara Indonesia (WNI).
Presiden yang didampingi Ibu Ani Yudhoyono dan sejumlah menteri kabinet tersebut sempat berbicara dengan ratusan orang WNI yang saat itu kebetulan sedang mengurus perpanjangan paspor, pengurusan visa, pindah alamat, dan berbagai keperluan lainnya.
Dalam pesan singkatnya, Presiden menyampaikan komitmen pemerintah Indonesia untuk membantu berbagai permasalahan WNI maupun tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia.
"Ini berlaku bagi semua, bahwa kalau ada masalah, KBRI atau Konsulat Jenderal wajib hukumnya untuk memberikan bantuan. Saya sudah berbicara kepada PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi agar saudara kami dari Indonesia yang bekerja di Malaysia dengan tujuan baik, agar diberikan pelayanan dan perlindungan yang baik pula," katanya yang disambut tepuk tangan meriah ratusan WNI dan TKI yang berada di ruangan tersebut.
Presiden kemudian berpesan agar mereka bekerja dengan baik, mengikuti hukum dan aturan yang berlaku di Malaysia, kemudian kalau ada masalah agar segera disampaikan ke Kedubes atau Konsulat Jenderal agar bisa dibantu.
Selain itu, menanggapi ruangan tempat pelayanan paspor di KBRI yang kurang memadai, Presiden mengatakan, "Saya melihat ruangan di sini kurang luas. Saya sudah mengusulkan kepada Deplu dan Kedubes Kuala Lumpur untuk menambah lagi tempatnya agar lebih baik, tidak berdesak-desakan seperti ini".
Presiden berharap pembangunan perluasan tempat pelayanan itu bisa secepatnya dilakukan agar WNI lebih merasa nyaman lagi dalam mengurus surat-surat yang diperlukan.
Dalam peninjauan tersebut, Presiden dan rombongan sebelumnya mendapat pemaparan dari Kuasa Hukum Ad Interim KBRI Kuala Lumpur mengenai berbagai persoalan yang dihadapi KBRI khususnya menyangkut pelayanan kepada WNI.
Setelah itu, Presiden dan rombongan juga menyempatkan diri meninjau satuan tugas pelayanan dan perlindungan TKI yang berugas memberikan konseling kepada para TKI mengenai masalah yang dihadapi, termasuk memfasilitasi dialog dengan majikannya.(*)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, May 29, 2007
Label: ANTARA News, Bantuan Hukum, Buruh migran, Malaysia
PKL Diapusi, Tenda Tak Sesuai Janji
Radar Jember
29 Mei 2007
JEMBER - Penataan pedagang kaki lima (PKL) Jalan Citarum semakin terkesan tanpa konsep. Setelah pedagang protes omset menurun akibat penataan maupun model tenda yang tak mengesankan orang jualan, pemkab menyerah. Mereka membolehkan para pedagang membongkar tenda dan mengubahnya.
Yang mengejutkan, ternyata model tenda yang sekarang ini berdiri kokoh, tak sesuai janji. PKL diapusi. Para PKL Jl Citarum itu mengaku kecewa dengan tenda yang saat ini dipasang. Sebab, ketika tim penataan PKL Jalan Citarum melakukan sosialalisasi sekitar sembilan bulan lalu, tenda yang dijanjikan adalah seperti tenda milik PKL Alun-Alun. Bukan tenda yang seperti saat ini terlihat.
Assaeni Miardi Basuki, koordinator Paguyuban PK5 Citarum mengatakan saat sosialisasi awal penataan PKL lalu, pihaknya dijanjikan pemkab untuk mendapat bantuan rombong tempat berjualan dan tenda. Tenda yang dijanjikan saat itu berbentuk sama dengan milik PKL Alun-Alun Jember saat ini.
Mereka merasa ditipu. Sebab, saat realisasi ternyata tenda yang dipasang tim penataan PKL Pemkab Jember tidak seperti yang dijanjikan. Tenda terbuat dari kerangka pipa dengan model berhadap-hadapan. Mau tak mau, PKL yang tadinya mengira formasi tempat berdagangnya tetap di selatan jalan, harus mengubahnya menjadi berhadap-hadapan.
Para PKL memperkirakan, perubahan bentuk tenda yang berimbas pada perubahan formasi tempat berdagang, membuat omset PKL menurun. Warga yang tak mengerti perubahan itu mengira tenda itu milik kegiatan bank yang ada di Jalan Citarum. "Siapa mengira tendanya mirip tenda soneta (orkes) begitu," katanya kemarin.
Meski sempat merugi, para PKL Citarum tak terlalu mempersoalkan. Petang kemarin mereka menggelar rapat untuk membahas pembongkaran tenda PKL Citarum yang akan didirikan di sisi selatan jalan seperti formasi awal. "Kami tidak terlalu mempersoalkan tenda itu karena izin pembongkaran sudah dikeluarkan pemkab," ujarnya.
Sesuai dengan komitmen awal, para PKL siap menanggung semua biaya pembongkaran dan pemasangan kembali tenda PKL Citarum. Dari perhitungan yang dilakukan, pembongkaran dan pemasangan kembali tenda itu bakal menelan biaya Rp 10 juta. Biaya tersebut nantinya akan dibebankan merata ke semua anggota PKL Citarum.
Bahkan, persiapan yang dilakukan PKL sudah kian matang. Mereka juga menyiapkan berbagai alat untuk membongkar tenda. Mereka juga menyiapkan alat potong dahan pohon untuk mengepras pohon di selatan Jalan Citarum agar tenda bisa berdiri kembali dengan rapi.
Ketua Tim Penataan PKL Jember Suprapto mengatakan, pemkab memang telah memberi izin kepada PKL Citarum untuk melakukan pembongkaran dan pemasangan kembali tenda. Hal ini juga sesuai dengan hasil rapat antara tim penataan PKL dengan Bupati MZA Djalal.
"Kalau memang itu maunya PKL dan baik, kami tidak masalah. Izin ini juga hasil rapat antara tim dengan Pak Bupati," katanya. Hanya saja, agar tenda yang didirikan kembali di sisi selatan jalan terlihat rapi, Dinas Pekerjaan Umum (PU) Jember telah menyerahkan gambar pemasangan kembali tenda yang baik.
Ditanya soal konsep awal penataan PKL Citarum, Suprapto tidak mau berkomentar. Alasannya, saat itu, dia bukan ketua tim penataan PKL.
Apa pemkab tidak rugi dengan pembongkaran tenda itu? Suprapto menegaskan, Pamkab tak akan merugi. "Kan tendanya dipasang lagi dan biaya ditanggung swadaya dari PKL," jawabnya. (har)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, May 29, 2007
Label: Jember, pedagang kaki lima, Penipuan, Radar Jember
Ditengarai TKI Ilegal
Radar Jember
29 Mei 2007
TKW Yang Terancam Hukuman Mati
BONDOWOSO - Hingga kemarin, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Bondowoso terus berusaha keras mengungkap alamat Nur Fadilah, warga Sukosari yang terancam hukuman mati di Arab Saudi. Selain memerintahkan Camat Sukosari, Supartadi, dan Camat Sumberwringin, Abdus Salam, Disnakertrans juga menerjunkan dua petugas di lapangan.
Kepala Disnakertrans Bondowoso,Sugeng Witjahjo SH, nama Nur Fadilah dipastikan tidak tercatat di instansinya. " Dari tahun 2005-2007 kami tidak mencatat nama Nur Fadilah," katanya kemarin.
Menurut Sugeng, tahun 2005 TKI asal Bondowoso yang berada di Arab Saudi sebanyak 149 orang. Sedangkan tahun 2006 sebanyak 179 orang. Dari jumlah itu, tidak satu pun yang namanya Nur Fadilah.
Karena itu, dia menduga Nur Fadilah berasal dari luar Bondowoso, tetapi menggunakan alamat di Bondowoso. Atau sebaliknya, yang bersangkutan asal Bondowoso, namun berangkat dari kabupaten lain.
Sebab, kata Sugeng, kadang ada TKI yang berangkat melalui kabupaten lain, sehingga tidak tercacat di Disnaketrans. "Tapi rata-rata mereka yang melakukan itu termasuk TKI Ilegal," terangnya.
Selain itu, Sugeng, juga mengaku belum berhasil mengbungi KBRI di Arab Saudi. "Tidak ada jawaban dari KBRI Arab Saudi. Saya akan mencoba terus hingga ada penjelasan dari KBRI," imbuhnya. Dia juga megimbau kepad masyarakat agar memberitahukan pada aparat setempat jika mengtehaui alamat pasti Nur Fadilah. (aro)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, May 29, 2007
Label: Bondowoso, Buruh migran, hukum mati, Radar Jember, Saudi Arabia
Yudhoyono tells embassies to protect Indonesian workers
The Jakarta Post
May 29, 2007
KUALA LUMPUR (Antara): President Susilo Bambang Yudhoyono said Tuesday that Indonesian embassies in all over the globe have to give protection to Indonesians working in their respected countries.
"I often remind ambassadors to give serious attentions to problems faced by Indonesian workers. They are part of solution. They are foreign exchange heroes," he said when visiting Indonesian embassy in Kuala Lumpur.
Therefore, he added, all people in embassies -- immigration offices and foreign ministry -- have to give best services to the workers.
"It is regrettable if officers, who have to serve them, but they seek fortune from them. But thank God that (such illegal practices) could be stopped," he said referring to a number of Indonesian diplomats working in the embassy were named suspects for alleged corruptions.
Indonesian Ambassador to Malaysia A.M. Fachir said that some 2,000 Indonesians visited the embassy everyday to apply for various documents. There are millions of Indonesians working in the country both legally and illegally. (**)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, May 29, 2007
Label: Buruh migran, hukum, Malaysia, The Jakarta Post
[NN —Arab Saudi] TKW Tewas Dianiaya
Berita Kota
29 Mei 2007
Pulang dari Arab Saudi TKW Tewas Dianiaya
Korban baru 12 hari dipulangkan majikannya dari Arab Saudi. Pada bagian kepala ditemukan luka bekas benturan benda keras, luka gigitan di lengan, dan lebam di kelopak mata. Anehnya pihak perusahaan terkesan bungkam... min
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, May 29, 2007
Label: Berita Kota, BMI meninggal, Buruh migran, Kekerasan
4 Balita Gizi Buruk Dirujuk Ke Puskesmas
Berita Kota
29 Mei 2007
Program 'bapak angkat' untuk menanggulangi balita gizi buruk di Jakarta Selatan ternyata jalan di tempat. Jumlah balita penderita gizi buruk serta bawah garis merah (BGM) tetap tinggi. Malah di RW 06 Kelurahan Guntur, empat balita BGM terpaksa dirujuk ke puskesmas... jay
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, May 29, 2007
Label: Berita Kota, Gizi Buruk, kesehatan
Restaurant operator sues RELA for alleged abuse of power
The Jakarta Post
29 May 2007
KUALA LUMPUR (AP): A restaurant operator has sued Malaysia's volunteer security force or RELA for alleged abuse of power, a lawyer said Tuesday of the latest in a series of criticisms of the corps.
Chen Yau Choy claims that members of RELA, demanded bribes in exchange for the release of suspected Indonesian illegal immigrants who were taken into custody after being found working at Chen's suburban Kuala Lumpur food court.
Chen's lawyer Haresh Mahadevan said the migrants, detained in February 2006, had valid travel and working permits.
The lawyer said Chen claims that RELA personnel also wrongfully detained him in police lockup for 11 hours.
He said Chen is seeking unspecified damages from RELA and the government for "wrongful detention and the loss of reputation."
The suit was only filed last week because Chen's lawyers have been gathering documents to back their case.
RELA Director General Zaidon Asmuni did not immediately answer calls to his mobile phone seeking comment.
The law allows RELA to make arrests or enter and search any premises without a warrant.
Earlier this month, the New York-based group Human Rights Watch urged Malaysia's government to disband the corps, following local activists' repeated claims that its members use unnecessary force against suspected illegal immigrants.
Government authorities and RELA officials have rejected the criticism, saying the force is needed to catch illegal immigrants, and the actions of a few errant members should not taint the entire corps.
Malaysia, which relies heavily on foreign laborers for menial work, regularly deports illegal immigrants, who are widely blamed for crime and social problems.
Activists have estimated Malaysia has at least 150,000 refugees and asylum seekers. (**)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, May 29, 2007
Label: AP, hukum, Kekerasan, Malaysia, The Jakarta Post
Push for RM900 minimum wage ruling for private sector
The Star Online
May 29, 2007
PUTRAJAYA: The Malaysian Trades Union Congress (MTUC) will first use the soft approach in urging the Government to enforce a national minimum monthly wage of RM900 in the private sector.
If that fails, the congress will start holding pickets at strategic locations before calling for a one-day nationwide strike.
President Syed Shahrir Syed Mohamud said that the minimum wage scheme was needed to eradicate poverty in the country.
“Millions of private sector workers still earn RM400 to RM500 per month and can barely cope with the rising cost of living.
“We want the private sector to emulate the Government in terms of ensuring that workers' basic salaries are not below the poverty income level (of RM691 per month),” he said,
Syed Shahrir said that the MTUC's general council which met last week decided to send a memorandum to this effect to Prime Minister Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi on June 20.
The MTUC is also demanding that employers pay an additional RM300 as cost of living allowance (Cola) above the RM900 minimum wage for every private sector worker.
“The payment of Cola is not something new. It was introduced in the mid-70s when the cost of living escalated and caused hardship to the people due to high global crude oil prices then,” he said.
Similarly, the high fuel prices and increasing cost of goods and services over the past few years have posed tremendous hardship to the people, especially those in the lower income bracket, he said.
Syed Shahrir said that thousands of union leaders and workers from all over the country were expected to gather in Putrajaya to submit the memorandum to the Prime Minister.
He said that there would be protests at strategic locations if there was no positive feedback from the Government on the memorandum.
“We also plan a one-day nationwide strike if the Government continues to ignore our memorandum.”
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Tuesday, May 29, 2007
Label: majikan, Malaysia, masalah BMI, Pemerintah, tanggapan masyarakat
Mediasi Tak Berjalan
Berita Kota
29 Mei 2007
Perseteruan antara warga Meruya Selatan dan PT Portanigra, akhirnya bermuara di meja hijau. Sidang Perdana gugatan perlawanan dari warga Meruya Selatan terhadap PT Portanigra di gelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Senin (28/5). Sidang hanya berlangsung lebih kurang 20 menit lantaran majelis hakim yang dipimpin oleh Hesmu Purwanto dan anggota Singgih DP meminta agar kedua belah pihak yang berseteru untuk melakukan mediasi...oan
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, May 29, 2007
Label: Berita Kota, Meruya, Penggusuran
Warga Meruya Kepung PN Jakbar
Pos Kota
29 Mei 2007
JAKARTA (Pos Kota) – Ratusan Warga Kelurahan Meruya Selatan Kecamatan Kembangan Jakarta Barat dan Mahasiswa Universitas Mercu Buana, Senin (28/5), menyerbu Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat. Kehadiran mereka untuk menyaksikan sidang pertama perlawanan hukum terhadap PT Portanigra dan H Juhri bin Haji Geni.
Kedatangan warga ke kantor pengadilan itu sempat memacetkan lalulintas karena, rombongan menggunakan 3 bis besar sejumlah Metro Mini dan ratusan sepeda motor. Halaman parkir pengadilan tak mampu menampungnya, sehingga kendaraan mereka terpaksa diparkir di badan Jl. S.Parman.
Begitu tiba warga langsung menyanyikan lagu ‘Meruya Bangkit’ yang dikarang khusus warga dengan syairnya berisi melawan putusan Mahakamah Agung. ”Warga Meruya Selatan Bangkit, untuk melawan putusan MA. Dinyanyikan dengan penuh semangat dan sambil mengangkat sejumlah poster yang mereka bawa.
“Kami datang ke sini (pengadilan red) untuk melakukan perlawanan hukum, kami siap, kami akan pertahankan sampai titik darah terakhir, karena kami sebagai pemilik yang sah telah didholimi, tanah kami akan dirampas mafia dengan berkedok putusan MA,” teriak A.Rachman D melalui pengeras suara.
“Mafia tanah, mafia peradilan harus dibasmi sampai akar-akarnya. Portanigra harus dibasmi,”sambungnya. Sebagian pengusung sejumlah poster bergambar karikatur kerbau yang ditunggangi PT Portanigra, dan 2 orang yang memegangi erat. Kerbau yang diidentikkan dengan oknum Mahkamah Agung (MA) menginjak-injak warga Meruya Selatan.
“Meski dungu, tapi punya kekuasaan tertinggi coy!” Demikian antara lain kata-kata yang tertulis dalam poster-poster itu.
Sidang perlawanan warga dipimpin Hakim Hesmu Purwanto SH. Warga Meruya Selatan diwakili dua kuasa hukumnya Fransisca Romana dan Laurentius Toreh. Sedangkan PT Portanigra diwakili pengacara Yan Juanda SH.
Membludaknya warga Meruya Selatan, membuat Ruang Garuda, tempat sidang berlangsung terasa pengap. Empat air conditioner (AC) yang terpasang tidak cukup mampu mendinginkan ruangan. Suasana juga bertambah panas akibat massa menghadiri sidang dengan emosi tinggi. Namun sejumlah aparat kepolisian yang dikerahkan berhasil mengendalikan massa.
MEDIASI GAGAL
Molor satu jam dari yang dijadwalkan pukul 10:00, sesuai prosedur persindangan, Hakim Hesmu Purwanto berupaya melakukan mediasi bagi kedua pihak yang bertikai. Setelah 15 menit, dan kedua pihak berkeras tidak akan menempuh jalan damai, mediasi dianggap gagal.
“Kami tidak akan memberikan kesempatan untuk mediasi karena kami tidak ingin mafia tanah maupun mafia peradilan berkembang di negara ini,”tambahnya. Hakim Hesmu akhirnya mengetuk palu, dan mengatakan persidangan berikut akan digelar 4 Juni 2007. Warga menyambut dengan teriakan, “Huuuuuu.” Setelah itu, mereka membubarkan diri.
PN Jakarta Barat melanjutkan sidang perlawanan hukum antara Pemprov DKI Jakarta melawan PT Portanigra dan H Juhri Cs, di ruang yang sama. Berkas perkara perlawanan warga bernomor 168. Sedangkan berkas perkara perlawanan Pemprov DKI Jakarta bernomor 170.
Dalam sidang perlawanan Pemprov DKI, Hakim Tarid Palimari menempuh prosedur yang sama; meminta kedua pihak yang bersengketa melakukan mediasi. Sekali lagi, kedua pihak berkeras, sehingga sidang diteruskan pada 4 Juni 2007.
Hesmu mengatakan waktu mediasi sebetulnya 22 hari. Namun, katanya, PN Jakarta Barat akan mencoba memberikan waktu satu pekan. Jika ada titik terang, maka bukan tidak mungkin kedua pihak diberi waktu lagi untuk melakukan mediasi lanjutan. “Kita lihat saja perkembangannya,” ujar Hesmu.
Usai persidangan, Fransisca, kuasa hukum warga Meruya Selatan mengatakan, menghormati sistem hukum yang ada di pengadilan. “Memang harus mediasi, tapi kami yakin mediasi tidak akan tercapai. Kami adalah pemilik yang sah atas lahan-lahan yang telah kami diami,”tegasnya.
(herman/gembong)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, May 29, 2007
Label: Meruya, Penggusuran, PosKota
[Laela, 36 —Arab Saudi] TKW Tewas Dianiaya
Pos Kota
29 Mei 2007
JAKARTA (Pos Kota) – Laela,36, tenaga kerja wanita (TKW) yang disebut-sebut tewas karena sakit, diduga mengalami penganiayaan sebelum menghembuskan nafas terakhir. Tubuhnya ditemukan bekas pukulan benda tumpul serta ada bekas gigitan.
Menurut Dr Zulhasmar Syamsu, Kepala Forensik RSCM, hasil pemeriksaan pada jenazah Laela menunjukkan banyaknya lebam bekas penganiayaan. Luka antara lain terdapat pada mata kiri, punggung dan paha. Bahkan pada lengan kiri atas terdapat luka bekas gigitan.
“Luka-luka itu sekitar satu hari sebelum meninggal. Namun, untuk memastikan penyebab kematiannya kami akan mengotopsi lebih lanjut,” ungkapnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Laela, 36, ditemukan tewas di penampungan TKW PT Citra Putra, Duren Sawit, Jaktim, sekitar Pk. 13:00. Kepada polisi, sejumlah penghuni penampungan menyebut korban yang baru dua hari pulang dari Arab Saudi sering menyendiri. (Pos Kota, 28/5).
Warga Kampung Bedah RT 03/05 Garut, Jawa Barat, ini sebelumnya bekerja 12 hari di Arab Saudi. Ia dipulangkan karena dianggap stres dan tak mampu bekerja.
Pagi sebelum meninggal, sejumlah penghuni penampungan menyebutkan saat korban di kamar mandi terdengar suara ribut seperti pemukulan. Selanjutnya, keluarga dari kamar mandi korban tiduran di ruang tengah hingga ditemukan meninggal.
Dikonfirmasi mengenai hal itu, Kapolsek Duren Sawit Kompol Khalidi mengatakan telah memeriksa sejumlah saksi mata. Polisi belum bisa memastikan siapa yang menganiaya korban. “Kami akan terus mendalami kasus ini,” janjinya.
(harto/yuli)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, May 29, 2007
Label: BMI meninggal, Buruh migran, harto, Jakarta, Kekerasan, PosKota, yuli
Pemkot Siapkan 10 Kantong PKL
Seputar Indonesia Jawa Tengah dan DIY
29 Mei 2007
SOLO (SINDO)- Pemerintah Kota (Pemkot) Solo akan menyiapkan 10 kantong Pedagang Kaki Lima (PKL) dalam pengerjaan tahap pertama proyek city walk.
Kantong-kantong PKL tersebut terletak di kawasan perempatan Purwosari hingga perempatan Ngapemen (lihat tabel). Pemberian kantong tersebut untuk mempermudah Pemkot dalam melakukan pengerjaan tahap pertama proyek city walk. Kepala Dinas Tata Kota Agus Joko Witiarso mengatakan, pembangunan tahap pertama ini merupakan tahap pengerasan kawasan trotoar,jalur hijau, dan jalur lambat. ”Tiga jalur yang selama ini terpisah itu akan dijadikan satu.
Pengerasan dengan menggunakan paving block bermotif batik,” ungkapnya. Pada pengerjaan tahap pertama ini akan dilakukan pada Senin (4/6) mendatang. Untuk pengerjaan tahap pertama ini menggunakan dana dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah sebesar Rp1,3 miliar dan dana Pemkot Rp2 miliar. Sementara itu, Wali Kota Solo, Joko Widodo mengatakan, untuk merealisasikan proyek city walk,pemkot Solo akan terus melakukan penataan di sepanjang kawasan city walk. Meski dalam konsep tidak ada space bagi PKL, di kawasan iti tetap akan dibuatkan kantongkantong khusus bagi PKL. ”Para PKL itu akan berjualan menggunakan gerobak dorong dan tidak menggunakan tenda,” ujar Joko Widodo.
Diharapkan, dengan penataan ini kawasan city walk tetap akan terlihat rapi meski ada PKL. Sedangkan Kepala Kantor Satpol PP Subagiyo mengatakan, siap melakukan penertiban PKL di kawasan yang akan dijadikan proyek city walk. Sedangkan penertiban itu sendiri bakal dilakukan serentak. Sebelumnya, Satpol PP telah meminta para PKL untuk tidak berjualan menggunakan tenda semi permanen dan meninggalkan dagangan di sepanjang kawasan city walk terutama pada siang hari. Dalam sosialisasi, beberapa PKL telah bersedia memenuhi ketentuan itu. ”Sebagai contoh PKL di Purwosari,sebelumnya mereka sepakat berjualan di malam hari dan tidak akan membongkar tenda setelah selesai. Tetapi kesepakatan itu sekarang dilanggar,” kata Subagiyo. (ary wahyu wibowo)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, May 29, 2007
Label: Jawa Tengah dan DIY, pedagang kaki lima, SINDO
597 Overstayers, Criminals Netted in Pre-Dawn Raids
Arab News
29 May 2007
JEDDAH, Security forces arrested 597 people of different nationalities in an early morning raid yesterday in the southern parts of Jeddah.
A police spokesman revealed that many of those arrested were wanted in relation to various crimes. Officials said the locations were kept under surveillance before the early morning operation.
The security operation, which was supervised by Jeddah police, involved 11 governmental and non-governmental departments. One of those arrested was a Saudi pickpocket.
Meanwhile, police in the southern city of Abha conducted a sweep recently that netted 2,750 people who were residing illegally in the country, Al-Watan reported.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, May 29, 2007
Label: Arab News, In English, Saudi Arabia
Ada Terpaksa Lari, Ada Pula yang Menjadi Gila
KCM Kompas
29 Mei 2007
Derita TKW
Dua tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia bekerja untuk sepasang keluarga keturunan India, Mahender Murlidhar Sabhnani (51) dan istrinya Varsha Mahender Sabhnani (45), di Long Island, New York, AS. Majikan Samirah dan Nona, dua TKW itu, sangat dikenal di lingkungan bisnis AS.
Maklum, mereka memiliki bisnis parfum beromzet jutaan dolsiwi Yunita Clar AS. Majikan ini juga suka malang melintang di pesta-pesta sosial kalangan jet set New York.
Di rumah, sejoli keturunan India ini adalah "setan". Perbuatan mereka pada dua TKW mengejutkan komunitas Asia dan menjadi berita menghebohkan di New York.
Kisah intinya, Samirah lari dari rumah majikan di Long Island, New York. Samirah hanya memakai celana dan badan berbalutkan handuk. Ia berjalan kebingungan dan tanpa arah. Langkahnya terhenti di Syosset, tak jauh dari rumah mewah majikan. Kasus ini terungkap karena bertemu dengan Satuan Tugas Perdagangan Manusia Federal Wilayah Long Island. Dibantu penerjemah Indonesia, kasus ini terungkap.
Pengadilan di Central Islip, Long Island, sedang menangani kasus ini. Varsha dituduh menggunakan belati kecil untuk melukai bagian belakang kuping Samirah yang berlubang. Saat bekerja, dua TKW ini tak pernah boleh keluar rumah kecuali membuang sampah.
Di pengadilan terungkap, Samirah dijanjikan gaji 200 dollar AS per bulan, sama dengan upah budak. Namun Samirah hanya menerima 100 dollar AS per bulan, yang dia kirimkan ke putrinya di Indonesia.
Dua TKW ini juga tak diberi makanan memadai, dan akhirnya mencuri-curi untuk mendapatkan makanan majikan. Jika ketahuan, Varsha memukuli Samirah dengan sapu, kadang menyiramkan air panas pada pembantu tak berdaya itu.
Pada kasus, Varsha yang bermuka kempot, memberlakukan hukuman. Misalnya, jika Varsha mengamuk, dua TKW ini dipaksa mandi air sedingin endapan di kulkas setidaknya sebanyak 30 kali. Atau dua TKW ini diminta naik turun tangga sebanyak 150 kali jika bersalah.
Mahendra, suami Varsha, juga meminta istrinya mengontrol gerak-gerik pembantunya itu agar tak berkeliaran. Setiap harinya, dua TKW ini mulai bekerja dari jam 4 pagi hingga jam 1 pagi di hari berikutnya, dan hanya tidur tiga jam sehari.
Ancaman dan siksaan fisik dipakai untuk membungkam dua TKW ini. Untuk Nona misalnya, Vasrha mengancam akan menelepon agen di Indonesia untuk memenjarakan suaminya, jika Nona meninggalkan rumah majikan. Polisi New York menemukan sebuah pintu di rumah majikan yang berlepotan darah TKW yang dipukuli itu.
"Tak ada yang bisa mengira bahwa ada orang yang membawa pekerja ke AS untuk dijadikan sebagai budak, dipukuli, disiksa di sebuah rumah indah di daerah elite di Long Island," kata Demetri Jones, jaksa penuntut dan juga Mark Lesko, pengacara dua TKW itu.
Kasus Riyadh
Samirah dan Nona beruntung. Mereka kini dilindungi hukum dan majikannya diusut. Keduanya menjadi saksi dan belum bisa didatangkan ke Indonesia.
Dari Riyadh juga muncul pula berita menyedihkan. Sebanyak 400 TKW asal Indonesia yang diperlakukan tak manusiawi, juga oleh para majikan di Arab Saudi. Kini mereka masih tertahan di penampungan, yang mirip penjara di Riyadh. Beberapa TKW itu dalam kondisi memprihatinkan. Ada yang mengalami sakit jiwa, depresi karena diperkosa, atau cacat akibat penyiksaan.
Ratna binti Marzuki (40), seorang TKW asal Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, adalah pihak yang membawa berita buruk itu. Ratna, yang tiba awal Mei di Indonesia, juga sempat menghuni tempat penampungan (ta saul) di Riyadh selama satu bulan.
Di penampungan tersebut, Ratna menemukan tenaga kerja wanita lain yang kondisinya sangat memprihatinkan. Beberapa dari mereka adalah korban penyiksaan atau pemerkosaan. Akibatnya, tenaga kerja itu mengalami depresi, cacat, bahkan salah seorang di antaranya jadi gila.
TKW ini, yang diberangkatkan penyalur PT Inti Jafarindo, melarikan diri dari rumah Sulaeman di kota Al Ghasim Muaidah, Arab Saudi, karena pekerjaan tidak sesuai perjanjian.
Staf Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia dan Badan Hukum Indonesia, Departemen Luar Negeri TW Soeseno menyatakan saat ini masih sangat banyak tenaga kerja wanita asal Indonesia yang tertahan di ta saul.
Kepala Atase Urusan Perburuhan di KBRI Riyadh, Sukamto, mengatakan permasalahan utama di penampungan adalah kelebihan kapasitas saja. "Gedung penampungan Tasaul milik Arab Saudi secara fisik dan fasilitas bagus," kata Sukamto, yang juga mengaku ada TKW yang gila, depresi atau problem lain.
Isu ta saul nampaknya jauh dari selesai. Masalahnya, jumlah TKW di penampungan, termasuk di penampungan KBRI, terjadi setelah Arab Saudi memberlakukan aturan baru sejak Maret 2007. Pemerintah Arab Saudi mulai 1 Juni nanti akan melakukan razia pada tenaga kerja asing yang tinggal melebihi waktu. Majikan yang menampung mereka juga akan dirazia.
"Ini dikhawatirkan, akan menimbulkan dampak yang luar biasa terhadap penampungan. Saya sudah laporkan ke Menteri Luar Negeri dan Menteri Tenaga Kerja," ungkap Sukamto.
Jumlah TKW yang masuk penampungan dengan jumlah TKW yang berhasil diselesaikan problemnya, tidak seimbang. Lebih banyak yang masuk. "Ini permasalahannya," kata Sukamto.
Menurut dia pihak yang paling bertanggung jawab atas problem TKW adalah perusahaan yang memberangkatkan TKW atau PJTKA. Sukamto juga menyebutkan, problem serius lagi yang sering muncul adalah para TKW yang kabur, kemudian bekerja ke majikan tidak resmi.
Juru Bicara Departemen Luar Negeri Kristiarto Soeryo Legowo mengatakan, KBRI di Arab Saudi telah meminta warga negara Indonesia yang berada di negara itu untuk mematuhi peraturan Pemerintah Arab Saudi.
"Setelah Pemerintah Arab Saudi mengumumkan peraturan itu, perwakilan kita sebenarnya sudah mengimbau semua WNI di Arab Saudi agar bisa memenuhi ketentuan yang berlaku," kata Kristiarto.
"Kita juga sudah mengupayakan pembicaraan dengan Pemerintah Arab Saudi untuk menemukan solusi terbaik guna memecahkan masalah ini, seperti kemungkinan untuk memperpanjang batas waktu yang sudah ditentukan, atau bentuk penyelesaian lain seperti pemutihan kasus mereka di Arab Saudi," ujarnya.
Meski terkesan memberi perhatian dan bantuan, namun Departemen Luar Negeri tak cukup gesit. Untuk melindungi pekerjanya di luar negeri, Pemerintah Indonesia baru akan membangun kantor dan lembaga pelayanan bagi tenaga kerja Indonesia pada Juni 2007.
Kantor pelayanan itu akan didirikan di berbagai kota sentra TKI di seluruh dunia dengan fungsi memberi pelayanan dan perlindungan hukum.
Menggampangkan cara
Ahli hukum Edy Sutrisno Sidabutar menambahkan perlindungan terhadap para TKI, yakni Undang Undang Nomor 39 tahun 2004 sudah mencukupi. UU ini menata mulai dari pengiriman, penempatan hingga pemulangan TKW. Berbagai persyaratan harus dipenuhi oleh TKW dan juga ada kewajiban PJTKA.
Masalahnya, kata Sidabutar, implementasi UU di lapangan yang tidak jalan. Ada PJTKA yang tak mau repot dengan memenuhi berbagai persyaratan, dan ada pula instansi terkait yang tidak memantau maksimal tugas-tugasnya, bahkan berkolaborasi dengan PJTKA memberangkatkan TKI ilegal.
Namun kemiskinan di dalam negeri, juga menjadi inti dari persoalan TKW. Di AS, pemeriksa tiket saja bisa bergaji Rp 23 juta sebulan. Di Indonesia, itu adalah gaji tingkat eksekutif, yang tidak banyak menikmatinya. Akan kita terus membiarkan kisah tragis TKW, dengan terus membiarkan ekonomi domestik bangkit(AHA/MTH/FRO/NIT)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, May 29, 2007
Label: Amerika Serikat, Buruh migran, KCM
Tiap Minggu, Puluhan TKI Ilegal Dipulangkan
Type your summary here
RADAR MADURA
Selasa, 29 Mei 2007
SUMENEP - Menjadi seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) masih menjadi primadona masyarakat Kabupaten Sumenep. Terbukti, banyak warga daerah ini yang mencari penghasilan sebagai TKI di luar negeri. Tapi sayangnya, rata-rata mereka berangkat dengan cara ilegal.
Hal ini diungkapkan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Drs Madani MM kepada sejumlah wartawan kemarin. Dia membenarkan, jika banyak warga kabupaten ini yang menjadi TKI, baik itu di Malaysia, Singapore, dan Arab Saudi.
Diperkirakan jumlah warga kabupaten ini yang menjadi TKI mencapai ribuan orang. Namun, hanya sedikit yang sadar dan menggunakan cara yang legal. Buktinya, kata Madani, sejak bulan Januari 2007, TKI yang mendaftar secara resmi hanya 36 orang.
Sedangkan dalam setiap minggunya ada sekitar 20 sampai 40 TKI ilegal yang dideportasi. "Tiap minggu ada saja TKI ilegal dari kabupaten ini yang dipulangkan karena tidak memiliki surat-surat resmi sebagai tenaga kerja," katanya.
Meski demikian, pada setiap TKI ilegal yang dipulangkan, pihak Disnakertrans tetap memberikan uang transport sekadarnya kepada mereka. Itu, agar mereka dapat pulang ke tempat asalnya.
Dia berharap kepada masyarakat untuk sadar dan tidak berangkat ke luar negeri secara ilegal. Selain itu, Madani juga mengharapkan kepada kepolisian juga ikut menindak TKI ilegal dan calo TKI. Karena menurutnya, maraknya TKI ilegal di daerah ini, karena calonya juga warga kabupaten ini yang ada di perantauan. (zr)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, May 29, 2007
Label: deportasi, Radar Madura, Singapore, Sumenep
28 May 2007
SBY-Badawi Bahas TKI
Surya
28 May 2007
Jakarta -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan bertemu Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi guna membahas hubungan bilateral. Salah satu materi pembahasan adalah masalah tenaga kerja Indonesia dan investasi.
Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal, di Jakarta, Minggu (27/5) pagi, mengatakan SBY akan berada di Kuala Lumpur selama tiga hari, 27-29 Mei. Di sana, SBY juga mengikuti acara Forum Ekonomi Islam Dunia ke-3.
Presiden berangkat bersama Ibu Ani Yudhoyono dan sejumlah menteri seperti Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta, Menko Perekonomian Boediono, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, Mendag Mari E Pangestu, dan Menakertrans Erman Soeparno. Menurut Antara, rombongan tiba di Kuala Lumpur Minggu pukul 16.20 waktu setempat, atau pukul 15.20 WIB.
Kata Dino, Malaysia sedang merancang UU Ketenagakerjaan, dan pemerintah Indonesia menghargai rencana itu. "Nantinya pada UU itu akan mengatur tenaga kerja asing di Malaysia disamakan haknya dengan tenaga kerja Malaysia," ujarnya. jbp/ade
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, May 28, 2007
Label: Buruh migran, Indonesia, Kabarbaik BMI, Kebijakan, Malaysia, Malaysia positif, Pemerintah, Surya
Labor Problems Haunt Palm Oil Agreement
Ohmy News
28 May 2007
The rights of Indonesian workers in Malaysia still unresolved
Indonesia and Malaysia, two of the world's largest palm oil producers, reaffirmed plans to set aside a combined 12 million metric tons of palm oil a year for biodiesel production on Friday despite criticism of the industry from the West and a recent surge in palm oil prices that could threaten biodiesel projects.
By sealing the agreement (in a memorandum of understanding), the two countries have elected to join hands to battle allegations concerning the harmful effects of an expansion of palm oil plantations on human health and the environment through deforestation and the destruction of the orangutan's habitat in Southeast Asia.
The agreement also brings to the fore serious labor problems between the two countries as it fails to address the discrimination that has largely been the mark of Indonesian workers' lives in various sectors in Malaysia.
Just two weeks ago, Indonesian communities in Kuala Lumpur were outraged by the negative representation rampant in Malaysian newspapers. During a seminar titled "Indonesia in the Malaysian Media," held by IPAMSU (Association of Students of North Sumatra in Malaysia), the Indonesian Embassy's information attache, Eka A. Soeripto, criticized the derogatory usage of the term "Indon" to represent Indonesia both as a country and a people. (Bangladeshi workers, referred to as "Bangla," suffer the same type of stereotyping.) Such racial profiling in the Malaysian media creates a discomforting image of Indonesians in the country.
Nasrullah, a media expert from the University of Kebangsaan, told the audience that the association by many Malaysian journalists of Indonesian workers with criminalities and social unrest are largely unfounded. As examples, he quoted several headlines such as "Indon Mafia on the Loose," "25,000 Indonesian Workers Bring Diseases to Malaysia Every Year" and "Indon Housemaid Kidnaps a Child." The situation is made worse by the fact that Malaysian media frequently rely on the statements of the police or employers to the neglect of the workers' right to defend themselves.
In response to a letter of protest from the Indonesian government, Malaysian information minister Zainuddin Maidin said that he had appealed to citizens and the media not to use the word "Indon" to refer to Indonesians. Speaking to the Antara news agency on Thursday, at a conference of ASEAN ministers of information, Zainuddin said that he understood the use of the word "Indon" was offensive to Indonesians and could harm relationships between the two countries, which so far have been very good.
Indonesian workers comprise the biggest workforce in Malaysia. The inflow of workers to the country began in the 1980s when the country was in need of a huge number of laborers in the construction, household and palm oil plantation sectors. The two countries ever since have had to deal with the problems of illegal job seekers and human trafficking that has trodden the "secret routes" along the borders of Borneo and at many points on Sumatra and surrounding areas. Due to their proximity to Malaysia and Singapore, the islands have long been integrated into the two neighboring countries by waterways, airways and through economic treaties.
Although it is said that the Indonesian workforce plays a vital role in the economy of Malaysia, many workers are far from profitably employed. For instance, along the way from Johor Baru, on the border between Singapore and Kuala Lumpur, bus passengers can enjoy the scenic, green palm oil plantations attended by Indonesian laborers. Often portrayed as poor, uneducated, amok-stricken and predisposed to crimes, many of them live lives of exploitation. Besides being prohibited from joining labor unions, the workers' documents are confiscated by their employers, virtually turning them into "illegal" workers and making them more vulnerable to maltreatment.
What has disappointed many people is the Indonesian government's lack of affirmative actions to address the problems. The case was strongly felt in 2002 when Malaysia enforced tough new measures against illegal migrant workers. Hundreds of thousands of workers both legal and illegal were forced to flee Malaysia. About 30,000 workers were for months stranded on the small island of Nunukan, in east Borneo near the border of Sabah, Malaysia. Disclosed in this case were the widespread practices of unauthorized agencies who recruited workers without labor contracts to regulate payment, working conditions and legal protection. Such unregulated conditions became a haven for corrupt officials and organized criminals in both countries.
Ironically, the exodus stalled the Malaysian construction and plantation sectors, forcing Malaysian employers to ask for the return of the workers. Five years later, there is now an at least 1.2 million Indonesian workers in Malaysia. Their work conditions have not improved despite the efforts of both governments. Racial perceptions have also affected the 30,000 plantation workers' children in the Malaysian state of Sabah, as they are not allowed to enter Malaysian public schools. For many years, these children have been taken care of by a nongovernmental organization (Human Child Aid Society Sabah) funded by the governments of Denmark and Finland. The Indonesian government plans to construct schools in plantations areas -- beginning in Kota Kinibalu -- including mobile schools since many workers live in different places.
Mutual agreements are based on trust and goodwill. Yet what has yet to be seen in the glossy rhetoric of Southeast Asian solidarity, as expressed in the MoU between Indonesia and Malaysia, is a concern for the fate of the men, women and children who bear the yoke of so-called international relations on a daily basis.
Rudy Ronald Sianturi (RudyS)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, May 28, 2007
Label: budaya, Buruh migran, In English, Indonesia, Malaysia, masalah BMI, Singapore
Malaysia segera beri asuransi pada PRT asing (termasuk Indonesia)
Deplu: WNI di Arab Saudi agar Patuhi Hukum
Suara Pembaharuan DailyKami berharap aturan pemberian asuransi itu membuat para pembantu asing yang bekerja di sini merasa senang, percaya diri, dan aman. Biaya asuransi untuk setiap pekerja sekitar 75 ringgit (hampir Rp 200.000)
-- Menteri Dalam Negeri Malaysia Mohamad Radzi Sheikh Ahmad di Kuala Lumpur, Jumat(25/5)
28 Mei 2007
[JAKARTA] Juru Bicara Departemen Luar Negeri Kristiarto Legowo mengingatkan, warga negara Indonesia (WNI) yang berada di Arab Saudi agar mematuhi ketentuan hukum di negara tersebut.
Menurut dia, pada awal April lalu Pemerintah Arab Saudi telah mengumumkan agar semua warga negara asing yang izin tinggalnya sudah habis atau overstay serta yang tidak terdokumentasi (undocumented), dalam waktu dua bulan segera meninggalkan negara itu. Jika sampai 1 Juni ketentuan itu tidak dipatuhi, warga negara asing bisa dikenai tahanan selama enam bulan dan denda 10.000 Riyal. Denda ini juga akan dikenakan kepada majikan yang mempekerjakan mereka.
"Perwakilan Indonesia di Arab Saudi telah melakukan beberapa langkah, antara lain bertemu masyarakat Indonesia dan mengimbau agar semua WNI bisa mematuhi ketentuan hukum yang berlaku," kata Kristiarto.
Dia menyebutkan, banyak kasus WNI yang bepergian ke Arab Saudi untuk tujuan beragam telah secara sengaja melewati izin tinggal yang akhirnya bisa dipulangkan oleh Pemerintah Arab Saudi. Pada 2006, ada 23.000 WNI yang dideportasi oleh Pemerintah Arab Saudi. Lalu dari Januari hingga April 2007, ada sekitar 8.800 WNI yang berstatus overstayer atau undocumented dan kemudian dideportasi.
Sedangkan untuk kasus penyiksaan dua WNI di Amerika Serikat (AS), yaitu Samirah dan Nona, Kristiarto menjelaskan, kondisi mereka membaik.
"Mereka sudah keluar dari Nassau University Medical Center dan ditempatkan di penampungan yang aman dan diawasi penegak hukum setempat," kata Kristiarto.
Samirah dan Nona yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga itu disiksa dan diperlakukan seperti budak oleh sepasang suami-istri asal India. Menurut Kristiarto, "Kami belum bisa memastikan kepulangan mereka ke Indonesia. Sebab, keberadaan mereka di New York masih dibutuhkan untuk proses peradilan yang masih berlangsung," ucapnya.
Secara terpisah, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Erman Soeparno, anggaran pemulangan TKI dari Arab Saudi bukan hanya bersumber dari pemerintah namun juga akan ditanggung oleh perusahaan pengirim, asuransi dan bantuan dari Pemerintah Arab Saudi. Kendati demikian, pemerintah tetap menanyakan ke Pemerintah Arab Saudi mengenai status TKI yang berada di negara itu.
"Saya akan mengirimkan surat ke Menteri Ketenagakerjaan Arab Saudi untuk menanyakan yang overstay, apakah ilegal murni atau apakah masih dipergunakan oleh majikan," jelas Erman menjawab SP, di Jakarta, Jumat (25/5).
Bila TKI tersebut masih dipekerjakan, lanjutnya, maka harus diputihkan dan dipenuhi dokumennya oleh pihak yang mempekerjakan. Pemerintah juga meminta agar majikan yang masih mempekerjakan TKI ilegal, juga di hukum.
Asuransi PRT
Sementara itu, Pemerintah Malaysia segera mengeluarkan kebijakan terkait pemberian asuransi kepada para pembantu rumah tangga (PRT) asing. Langkah itu dilakukan untuk menjamin keamanan dan keselamatan para pekerja asing di sana.
Menurut Menteri Dalam Negeri Malaysia Mohamad Radzi Sheikh Ahmad di Kuala Lumpur, Jumat (25/5), asuransi itu meliputi kematian, kecelakaan dan perawatan di rumah sakit.
"Kami berharap aturan pemberian asuransi itu membuat para pembantu asing yang bekerja di sini merasa senang, percaya diri, dan aman. Biaya asuransi untuk setiap pekerja sekitar 75 ringgit (hampir Rp 200.000)," kata Radzi.
Kebijakan yang itu diharapkan dapat disetujui oleh kabinet dalam dua pekan ke depan. Tawaran itu dilontarkan Radzi setelah bertemu dengan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia Erman Soeparno.
Saat ini ada sekitar 350.000 pembantu asing yang bekerja di Malaysia, dan 95 persen di antaranya berasal dari Indonesia. [AP/E-9/O-1/L-10]
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, May 28, 2007
Label: Buruh migran, Kabarbaik BMI, keuangan, Malaysia, Malaysia positif, Suara Pembaharuan Daily
Seorang TKI Dipulangkan
Media Indonesia
28 Mei 2007
Seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) Siti Zubaidah, 28, asal kabupaten Madiun, Jawa Timur, dipulangkan, Jum'at (25/5) karena shocked dan mengalami luka serius akibat terjadi dari lantai tujuh sebuah apartemen agen penyalur tenaga kerja yang mempekerjakannya di Taiwan.
Slamet Riyanto, 35, suami Siti Zubaidah yang ditemui wartawan di rumhnya di desa Ketandan, kecamatan Dagangan, kabupaten Madiun kemarin, mengatakan kondisi tubuh istinya retak pada paha tulang depan, dan tulang belakang kaki.
Slamet meminta agar agen penyalur dan penampung di Taiwan bertanggungjawab terhadap kondisi istrinya hingga sembuh total. "Dia berangkat sehat, pulang juga harus sehat," ujarnya. Siti bekerja di Taiwan sejak Agustus 2005, melalui sebuah perusahaan jasa tenaga kerja di Indonesia PT Prima Duta Sejati di Pasuruan, Jawa Timur. (AG/N-2)
Type rest of the post here
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, May 28, 2007
Label: Buruh migran, kecelakaan, keselamatan kerja, masalah BMI, Pasuruan, Taiwan
‘Those Who Help Overstayers Will Be Punished’
Arab News
May 28, 2007
MAKKAH, 28 May 2007 — Col. Aid ibn Tagalib Al-Luqmani, head of the Passport Department in Makkah, said there was no let up in the drive against overstayers. In an interview with Arab News, he said: “Citizens and expatriates who employ or help overstayers are also being severely punished.”
According to Al-Luqmani, a new fingerprint system that has recently been implemented by the Passport Department is of great value since it helps apprehend individuals who have returned to the Kingdom after deportation. “They cannot come back because the system will detect them,” he said, adding that they will be punished and sent back to their countries. Al-Luqmani added that the Passport Department has so far fined 300 individuals who have been caught helping overstayers. Following is the text of the interview:
Q: In the coming days, a huge number of pilgrims will begin visiting the Kingdom. What sort of procedures have you established to welcome them and solve potential problems?
A: The Passport Department will contribute a lot during the coming season. We hope that the companies that arrange for Umrah programs will return pilgrims on time with no delay. In case of any delay they will be punished. Also citizens and expatriates who have helped overstayers will be punished. Help can be in the form of finding accommodation for them, employing them, or transporting them from one place to another.
Q: Does the Passport Department have the right to extend Umrah visas?
A: The companies, which the pilgrims are registered with, can extend visas by consulting the Haj and Umrah department.
Q: Do the campaigns targeting overstayers begin in the Umrah season?
A: Campaigns continue throughout the year. However, during this season we increase them to arrest overstayers; we also receive help from other committees in Makkah.
Q: What is your plan to improve other departments that fall under the Passport Department, such as the Expatriate Department, which suffers from a shortage of offices?
A: We have ongoing plans and we work to provide the best services possible. We are working to develop some sections by acquiring more equipment and furniture. The areas in which overstayers that are caught are housed can now accept more than 500 individuals at a time. However, no one is kept for over 24 hours. Overstayers are transferred immediately to Jeddah.
Q: How do you deal with sponsors who do not come to the department and refuse to cooperate when their workers are arrested?
A: I am sorry to say that some sponsors do not cooperate with us. There are some procedures that we apply in these cases. We try our best to finish the procedures related to the traveling of workers as quickly as possible.
Q: What is the benefit of implementing the fingerprint system?
A: The fingerprint system in Makkah was inaugurated in the beginning of this Hijri year. We have specified and equipped a particular room for the implementation of the system and are waiting for equipment to be available within two weeks. When everything is ready, overstayers will be easily detected and will not come back but will be punished instead. The system also helps in detecting all who were involved in various crimes including forging. Workers and maids who flee from their sponsors will also be detected, arrested and sent back to their counties. Nonetheless, no one can claim losing his iqama or change his name; in fact, the fingerprint system is a major move forward.
Q: How many individuals, who have assisted overstayers, have you arrested during the last Haj season?
A: We have fined 300 individuals, who have helped overstayers. Recent investigations have revealed that there were 60 houses, which had overstayers living in them. We urge people not to cooperate with overstayers and avoid fines and punishment.
Q: What plans do you have to develop the Passport Department in Makkah?
A: We have a lot indeed. Some are in relation to the administration and validation of equipment. We work for what would benefit citizens and expatriates alike. We are starting to issue new IDs for expatriates.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, May 28, 2007
Label: Arab News, Buruh migran, deportasi, hukum, In English, Saudi Arabia
Mother uncertain of daughter's fate
The Jakarta Post
May 28, 2007
The weather was cool in Sukorejo, Jember regency. The rain left a scent of wet earth and water dripped from the trees in this village some 160 kilometers from Surabaya.
In a modest house at the edge of the village, Ginah, 53, and her family waited for news from Mardiyah, her daughter who is now being detained in Saudi Arabia.
"Mardiyah sent me a letter saying she will be executed," Ginah told The Jakarta Post.
It's still unclear why she is being detained or what charges she faces.
Mardiyah is Ginah's second child with the late Karsono. The 38-year-old Mardiyah elected to go to Saudi Arabia for work in 1999.
"Mardiyah has to support her only child and family in Sukorejo since her divorce," said Ginah.
The move made Mardiyah the family's breadwinner. She sent home at least Rp 6 million (US$660) monthly to pay school fees for Muhammad Taufik, her only child, and to meet the daily needs of her mother. The remaining money went toward building a house next to her parents' in Sukorejo village.
Mardiyah came back to Indonesia in 2002, but she did not feel at home. Later that year she returned to Saudi Arabia to work.
"But she did not stay long and returned home only after six months in Saudi Arabia; I don't know why," said Mardiyah's younger brother, Zainuri.
In early 2003, Mardiyah decided to go to Saudi Arabia again through the PT Baham Putra Abadi employment agency, located in Cipinang Muara, East Jakarta. After that, her family never heard from her again.
One evening in early May a friend of Mardiyah's sent a text message. "Mardiyah's friend said my daughter was arrested by the Saudi Arabia police," said Ginah.
Ginah became further worried when Mardiyah sent three letters to her under the name Sa'diyah Ahmad, saying she was being detained at the New Al Riwais Briman prison in Jeddah, Saudi Arabia.
Several of Ginah's neighbors who have also been migrant workers in Saudi Arabia said Mardiyah would face death by stoning.
"I'm scared... the only thought on my mind now is for her to return home," said Ginah.
With help from Mochamad Cholily of the East Java Migrant Workers Union (SBMI), Ginah and Zainuri reported the case to the Jember Manpower Office, but got no immediate response.
"The office head was not present during the two meetings we had with the manpower office," said Cholily, adding that the local manpower office should have responded by sending a letter to the Indonesian embassy in Saudi Arabia.
Cholily then decided to meet with the deputy head for Indonesian Migrant Worker Protection for the Middle East, Marjono, in Jakarta. Marjono promised to urge Mardiyah's employment agency to provide mediation in Saudi Arabia.
"Marjono also asked the Jember Manpower Office and Mardiyah's family to send a letter to the Indonesian embassy in Saudi Arabia about the matter," said Cholily.
A number of regencies in East Java, such as Trenggalek, Tulungagung, Banyuwangi, Malang and Jember are known as providers of female migrant workers overseas.
Around 1.2 million Indonesians are working as housemaids, drivers, gardeners and machine operators at mining sites in Saudi Arabia, with some 40,000 having overstayed their visits or being without the requisite documents.
(ID Nugroho)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, May 28, 2007
Label: Buruh migran, In English, Jember, Saudi Arabia, The Jakarta Post
Deplu: WNI di Arab Saudi agar Patuhi Hukum
Suara Pembaharuan Daily
28 Mei 2007
[JAKARTA] Juru Bicara Departemen Luar Negeri Kristiarto Legowo mengingatkan, warga negara Indonesia (WNI) yang berada di Arab Saudi agar mematuhi ketentuan hukum di negara tersebut.
Menurut dia, pada awal April lalu Pemerintah Arab Saudi telah mengumumkan agar semua warga negara asing yang izin tinggalnya sudah habis atau overstay serta yang tidak terdokumentasi (undocumented), dalam waktu dua bulan segera meninggalkan negara itu. Jika sampai 1 Juni ketentuan itu tidak dipatuhi, warga negara asing bisa dikenai tahanan selama enam bulan dan denda 10.000 Riyal. Denda ini juga akan dikenakan kepada majikan yang mempekerjakan mereka.
"Perwakilan Indonesia di Arab Saudi telah melakukan beberapa langkah, antara lain bertemu masyarakat Indonesia dan mengimbau agar semua WNI bisa mematuhi ketentuan hukum yang berlaku," kata Kristiarto.
Dia menyebutkan, banyak kasus WNI yang bepergian ke Arab Saudi untuk tujuan beragam telah secara sengaja melewati izin tinggal yang akhirnya bisa dipulangkan oleh Pemerintah Arab Saudi. Pada 2006, ada 23.000 WNI yang dideportasi oleh Pemerintah Arab Saudi. Lalu dari Januari hingga April 2007, ada sekitar 8.800 WNI yang berstatus overstayer atau undocumented dan kemudian dideportasi.
Sedangkan untuk kasus penyiksaan dua WNI di Amerika Serikat (AS), yaitu Samirah dan Nona, Kristiarto menjelaskan, kondisi mereka membaik.
"Mereka sudah keluar dari Nassau University Medical Center dan ditempatkan di penampungan yang aman dan diawasi penegak hukum setempat," kata Kristiarto.
Samirah dan Nona yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga itu disiksa dan diperlakukan seperti budak oleh sepasang suami-istri asal India. Menurut Kristiarto, "Kami belum bisa memastikan kepulangan mereka ke Indonesia. Sebab, keberadaan mereka di New York masih dibutuhkan untuk proses peradilan yang masih berlangsung," ucapnya.
Secara terpisah, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Erman Soeparno, anggaran pemulangan TKI dari Arab Saudi bukan hanya bersumber dari pemerintah namun juga akan ditanggung oleh perusahaan pengirim, asuransi dan bantuan dari Pemerintah Arab Saudi. Kendati demikian, pemerintah tetap menanyakan ke Pemerintah Arab Saudi mengenai status TKI yang berada di negara itu.
"Saya akan mengirimkan surat ke Menteri Ketenagakerjaan Arab Saudi untuk menanyakan yang overstay, apakah ilegal murni atau apakah masih dipergunakan oleh majikan," jelas Erman menjawab SP, di Jakarta, Jumat (25/5).
Bila TKI tersebut masih dipekerjakan, lanjutnya, maka harus diputihkan dan dipenuhi dokumennya oleh pihak yang mempekerjakan. Pemerintah juga meminta agar majikan yang masih mempekerjakan TKI ilegal, juga di hukum.
Asuransi PRT
Sementara itu, Pemerintah Malaysia segera mengeluarkan kebijakan terkait pemberian asuransi kepada para pembantu rumah tangga (PRT) asing. Langkah itu dilakukan untuk menjamin keamanan dan keselamatan para pekerja asing di sana.
Menurut Menteri Dalam Negeri Malaysia Mohamad Radzi Sheikh Ahmad di Kuala Lumpur, Jumat (25/5), asuransi itu meliputi kematian, kecelakaan dan perawatan di rumah sakit.
"Kami berharap aturan pemberian asuransi itu membuat para pembantu asing yang bekerja di sini merasa senang, percaya diri, dan aman. Biaya asuransi untuk setiap pekerja sekitar 75 ringgit (hampir Rp 200.000)," kata Radzi.
Kebijakan yang itu diharapkan dapat disetujui oleh kabinet dalam dua pekan ke depan. Tawaran itu dilontarkan Radzi setelah bertemu dengan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia Erman Soeparno.
Saat ini ada sekitar 350.000 pembantu asing yang bekerja di Malaysia, dan 95 persen di antaranya berasal dari Indonesia. [AP/E-9/O-1/L-10]
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, May 28, 2007
Presiden Bertemu PM Badawi
Sindo
28 Mei 2007
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dipastikan bertemu Perdana Menteri (PM) Malaysia Abdullah Badawi di Kuala Lumpur selama tiga hari (27–29 Mei 2007).
Salah satu agenda yang akan dibahas dalam pertemuan itu menyangkut nasib tenaga kerja
Indonesia (TKI) yang berada di Malaysia. Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal mengatakan, Malaysia saat ini sedang merancang Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan, yang salah satunya mengatur soal perlindungan hukum bagi TKI.“Nantinya, UU itu menyangkut dua hal, yaitu tenaga kerja asing di Malaysia akan disamakan haknya dengan tenaga kerja Malaysia sendiri,” ungkap Dino di Bandara Halim Perdana Kusumah Jakarta, sebelum mengikuti Presiden SBY bertolak ke Kuala Lumpur,Malaysia,kemarin.
Selain itu, ungkap Dino,TKI nantinya juga akan mendapat perlindungan yang mengacu pada standar konvensi internasional. “Ini merupakan langkah maju dalam usaha menjamin hak-hak dan perlindungan hukum bagi tenaga kerja asing. Indonesia sangat menghargai itu,” tegasnya.Agenda lain yang juga ikut dibahas dalam pertemuan itu,antara lain,perlunya perhatian khusus kepada anak-anak buruh perkebunan agar mendapat pendidikan yang layak selama bekerja di Malaysia. “Sekitar 30.000 buruh bekerja di sektor perkebunan. Kita ingin anak-anak para buruh itu memperoleh fasilitas pendidikan memadai. Pemerintah Indonesia juga berencana mengirim guru-guru dari Indonesia,” ujarnya.
Tidak kalah penting, ungkap Dino, Presiden juga akan bertemu dengan sejumlah pengusaha Malaysia untuk membahas masalah investasi. Selain kedua agenda tersebut, Presiden SBY juga dijadwalkan menjadi salah satu pembicara kunci pada pembukaan World Islamic Economic Forum (WIEF) III. WIEF merupakan forum yang diselenggarakan sejumlah negara Islam untuk membahas dan memajukan kondisi sosial umat Islam sedunia.“Setiap tahun forum ini menghadirkan pemimpin dan tokoh-tokoh Islam dari penjuru dunia serta pelaku bisnis untuk bertukar pikiran membahas ide-ide baru dalam memajukan serta menyejahterakan umat Islam,” jelas Dino.
Selain Presiden SBY, pemimpin negara yang memberikan pidato pada WIEC tersebut adalah PM Kuwait, PM Pakistan serta PM Malaysia. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur ini, Presiden SBY didampingi Ny Ani Yudhoyono, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Andi Matalatta, Menko Perekonomian Boediono, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, Mendag Mari E Pangestu, Menakertrans Erman Soeparno, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, anggota Dewan Pertimbangan Presiden Dr Sjahrir, dan Ketua Umum Kadin MS Hidayat.
Sementara itu, di tempat terpisah, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP) Meuthia Hatta Swasono meminta Pemerintah Malaysia menindak tegas para majikan dari TKI yang berbuat tindak kekerasan. “Sebanyak 60% pekerja yang dirajam di Malaysia adalah TKI,padahalhalitubelum tentu kesalahan TKI karena bisa saja KTP (kartu tanda penduduk) merekadipalsukanorang lain,”tegas Meuthia di Surabaya, kemarin.Dia mengharapkan Malaysia dapatmencontohtindakan Pemerintah Amerika Serikat (AS)yangmenindakmajikanakibat tindak kekerasan yang dilakukan terhadap TKI.
Selain itu, Meneg PP juga mengancam akan menindak tegas pejabat yang menjaga “jalan tikus” di perbatasan Indonesia– Malaysia di Entikong, Kalimantan Barat,jika terbukti ikut menyelundupkan orang. “Kalau ada pejabat yang melindungi trafficking di Entikong akan dihukum sesuai dengan UU 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PT PPO). Bahkan, hukuman pejabat ditambah 1/3,”tegasnya.Meuthia mengungkapkan, perbatasan Indonesia–Malaysia memang memiliki banyak “jalan tikus” yang memungkinkan terjadinya kasus trafficking. Karena itu, dia mengaku sudah membentuk gugus tugas lintas departemen yang terdiri atas Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Depnakertrans, dan Depsos. “Tim ini akan mewaspadai kasus trafficking, termasuk di Entikong,”paparnya. (maya sofia/muhibudin/- okezone)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, May 28, 2007
Label: Buruh migran, hukum, Malaysia, SINDO