ANTARA News
30/06/07
Bandarlampung - Warga Bandarlampung di sejumlah pasar swalayan di kota itu dalam dua hari terakhir terlihat memborong susu sehubungan kenaikan harga susu di berbagai wilayah Indonesia dalam beberapa hari terakhir.
Berdasarkan pengamatan ANTARA News di pasar swalayan Chandra, Sabtu, para pengunjung pasar swalayan terbesar di Bandarlampung itu terlihat memborong susu, baik susu impor maupun susu buatan dalam negeri.
"Diberitakan kenaikan harga susu hingga 50-70 persen di berbagai wilayah Indonesia. Untuk mengantisipasi lonjakan harga di Bandarlampung, maka saya beli susu anak untuk kebutuhan sebulan," kata Uthe, warga Sukarame Bandarlampung.
Ibu dua anak itu biasanya membeli susu untuk keperluan seminggu. Karena adanya pemberitaan lonjakan harga susu, ia memutuskan membeli delapan kaleng susu ukuran 800 gram untuk kebutuhan kedua anaknya selama sebulan.
Sejumlah orang tua lainnya di pasar swalayan itu juga memborong susu, terutama susu Balita, seperti Bebelac, Nutrilon, Enfagrow, Lactogen, Chilkid, Dancow, Bendera, atau makanan tambahan campur susu, yakni Pediasure.
Di sejumlah pasar swalayan lainnya di Bandarlampung juga terlihat aksi borong susu, baik susu impor maupun susu lokal.
Harga Pediasure berkisar Rp153.600 -Rp168.600 untuk ukuran 900 gram, harga Bebelac ukuran 800 gram sebesar Rp80.900, Lactogen 600 gram sebesar Rp39.800.
Para orang tua menyebutkan kenaikan harga susu itu sangat memberatkan di tengah krisis perekonomian yang belum pulih, setelah harga minyak goreng tidak turun meski pemerintah telah melakukan operasi pasar.
"Susu kan makanan pokok bayi, jadi mau tak mau harus membelinya. Pemerintah hendaknya memperhatikan masalah susu ini secara lebih serius lagi," kata Rina, salah seorang warga Lampung.
Sementara itu, pemerintah telah menyatakan rencananya untuk mengkaji penurunan bea masuk bahan dasar susu untuk mengantisipasi kenaikan harga susu bayi yang 70 persennya masih diimpor dari negara lain.
"Kita kan panggil produsen dan distributor untuk menanyakan penyebab kenaikan susu bayi. Bisa saja bea masuk untuk susu ini dikurangi tapi perlu dikaji dulu. Kita lihat nanti," kata Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu.
Mendag mengakui pihaknya telah memperoleh informasi dan keluhan tentang kenaikan harga susu bayi, namun belum bisa memastikan langkah untuk mengatasinya.
"Kita harus berkoordinasi dengan Depkes soal ini," ujarnya.
Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Depperdag, Ardiansyah Parman, berjanji akan memanggil pengusaha untuk mencari solusi penyebab kenaikan harga susu yang dinilai sangat memberatkan bagi masyarakat.(*)
30 June 2007
Warga Lampung Borong Susu
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Saturday, June 30, 2007
Label: ANTARA News, busung lapar, kemiskinan
297 WNI Terancam Hukuman Mati di Malaysia
Tempo Interaktif
30 Juni 2007
TEMPO Interaktif, Bandung, Sebanyak 297 warga negara Indonesia di Malaysia terancam hukuman mati. “Sebagian besar, sekitar 160-an orang, tersangkut kasus narkoba,” ujar Kuasa Usaha Ad Interim Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kualalumpur, A.M. Fachir, di Bandung, Sabtu (30/6).
Dari total 297 orang tersebut, delapan orang sudah divonis hukuman mati. “Tapi mereka masih bisa melakukan proses banding atau minta grasi kepada Yang Dipertuan Agong Malaysia,” katanya. Sisanya masih dalam proses penuntutan di pengadilan.
Menurut Fachir, sejauh ini KBRI terus berupaya membantu para terdakwa dan terpidana mati itu agar bisa memperoleh keringanan hukuman. "Bentuk keterlibatan kita antara lain memastikan bahwa proses hukumnya sesuai sistem yang berlaku dan kemudian kita melakukan pendampingan,” katanya.
KBRI juga telah meminta kepada pemerintah daerah asal para terdakwa untuk turut melakukan pendampingan. Fachir mencontohkan, Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam sudah merespon permintaan KBRI Kualalumpur tersebut. “Pemda dan DPRD Aceh sudah mengirimkan utusan untuk membicarakan bantuan pendampingan bagi para terdakwa asal Aceh,” ungkapnya.
Menurut Fachir, Malaysia terakhir kali melakukan eksekusi hukuman mati dengan cara digantung pada tahun 1995. "Sejak itu belum ada lagi,” katanya.
Pada 2006, setidaknya sudah sekitar 1.000 kasus yang menimpa tenaga kerja wanita Indonesia di Kualalumpur dan sekitarnya ditangani KBRI. Rinciannya, kasus gaji tidak dibayar oleh majikan atau agensi mencapai 60 persen, pekerja di bawah umur 20 persen, penganiayaan 10 persen (kasus lama), pelecehan seksual dan perkosaan 5 persen, dan traficking 5 persen.
Adapun TKI ilegal yang dideportasi, kata Fachir, mencapai lebih dari 40 ribu orang per tahun. (Erick Priberkah Hardi)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Saturday, June 30, 2007
Label: Buruh migran, hukum mati, kasus, Malaysia, Tempo Interaktif
Minister accused of public betrayal
The Jakarta Post
June 30, 2007
Jakarta -- Labor activists have harshly criticized Manpower and Transmigration Minister Erman Suparno, alleging he deceived the public on Indonesia's acceptance of an international convention on fisheries.
Last Thursday, Erman announced Indonesia would soon ratify the "Work in Fishing Convention", which was fostered at a recent International Labor Organization (ILO) conference in Geneva, after reviewing all relevant regulations.
The convention sets core labor standards, including social security programs, international-standard minimum wages, medical check-ups and overtime payments for seafarers who spend lengthy periods of time onboard fishing vessels.
However, the secretary general of the Indonesian Employers' Association, Djimanto, confirmed the Indonesian government's no-vote on the convention. The cause of this, he said, was strong objection to the convention from business groups and shipowners who opposed the implementation of international labor standards in Indonesia.
"We are still using the national standards for minimum wages and social security protection," he said.
In uproar, labor unions accused the government of lacking enough political will to protect and improve the welfare of workers in the fishery industry.
The Indonesian Seafarers' Association called on the United Nations and international labor unions to discredit the Indonesian government for trying to shield the public from what it labeled rights abuses perpetrated against seamen and rampant crime in the fishery sector.
"We have filed an official protest to the Fisheries and Maritime Affairs Ministry and asked for full support from ITF and other international confederations of labor unions to lobby the United Nations to closely monitor the labor abuses in the fishery sector," KPI chairman Hanafi Rustandi said.
"Erman has deceived the public and therefore should quit his post. Workers will stage massive rallies demanding the minister's accountability as his big delegation to the conference cost the people too much through the state budget."
Hanafi also highlighted the "prolonged mistreatment" of seafarers who, he said, have been paid in accordance with minimum wage standards and were not covered by social security programs.
"Most Indonesian workers have experienced discrimination in their workplace because they are generally underpaid while their foreign colleagues are well-paid according to the international standards," he said.
Syukur Sarto, deputy chairman of the Confederation of All-Indonesian Workers Union, agreed. He said the government lacked the political will to improve the social welfare of migrant workers and seafarers.
"The absence of adequate attention from the government toward immigrant workers and seafarers is shown it its rejection of ratifying the ILO conventions on the protection of migrant workers and their families and on fisheries," he said.
Indonesian Prosperous Labor Union chairman Rekson Silaban also expressed his disappointment with the government's no-vote on the convention, which he said strongly indicates it is turning a blind eye to working conditions in the fishery industry.
Rekson said Indonesia should support the ILO convention, but suspend ratifying it until it is ready to do so.
Meanwhile, chairwoman of the labor and transmigration commission at the House of Representatives Ribka Tjiptaning seemed confused upon learning of Indonesia's refusal to ratify the ILO convention.
"We will focus on this issue in the upcoming hearing with the minister," she said.
Ridwan Max Sijabat, The Jakarta Post,
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Saturday, June 30, 2007
Label: Buruh migran, ILO, In English, kritik, Pemerintah
TKI Lumpuh Setelah Loncat dari Lantai 2 (di Arab Saudi)
Berita Kota
30 Juni 2007
Cianjur -- Neneh Kurniati (40), warga kampung Cidogdog RT01/02, desa Sukaratu, kecamatan Bojongpicung, Cianjur, lumpuh karena kedua kakinya patah setelah meloncat dari lantai dua rumah majikannya di Arab Saudi. Tenaga Kerja Indonesia itu nekat kabur karena hendak diperkosa majikan.
Berdasarkan keterangan Neneh dan keluarganya di Cianjur, Kamis 28/6, sejak peristiwa naas yang terjadi empat tahun silam itu, ia tidak merasakan apa-apa. ..
Type rest of the post here
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Saturday, June 30, 2007
Label: Kekerasan, pemerkosaan, Saudi Arabia
29 June 2007
Korban Perdagangan Manusia Belum Percaya Polisi
Suara Pembaruan
29 Juni 2007
Para korban perdagangan manusia (human trafficking) pada umumnya masih merasa enggan untuk melapor ke polisi. Hal itu sungguh ironis karena keterlibatan polisi dalam upaya pemberantasan perdagangan manusia sangat dibutuhkan.
"Ketimbang melapor ke polisi, korban perdagangan manusia lebih suka mengadu ke lembaga swadaya masyarakat (LSM)," ujar Robert C Barlow II, Deputy Senior Law Enforcement Advisor di Departemen Kehakiman AS. Hal itu dikatakan Barlow dalam diskusi bertema "Indonesia dalam Laporan Departemen Luar Negeri AS Tahun 2007 tentang Perdagangan Manusia" di Jakarta, Kamis (28/6).
Barlow berpendapat, kerja sama yang erat harus digalang antara aparat kepolisian dengan LSM. "Kerja sama itu akan bermanfaat karena LSM bisa menyampaikan informasi yang bermanfaat bagi polisi. Polisi bisa menuntaskan penyelidikan kejahatan perdagangan manusia yang selama ini menjadi keprihatinan besar masyarakat dan disuarakan oleh kalangan LSM," kata Barlow yang terlibat dalam International Criminal Investigative Training Assistance Program (ICITAP) di Departemen Kehakiman AS.
Mengacu pada kasus perdagangan manusia di Indonesia, Barlow mencermati umumnya para korban merasa lebih nyaman dan aman untuk melaporkan penderitaan yang dialaminya kepada kalangan LSM.
"LSM sering menjadi pihak pertama yang ditemui oleh korban perdagangan manusia. Jadi, wajar jika polisi bekerja sama dengan LSM untuk mendapatkan data dan fakta yang sudah lebih dulu diperoleh LSM dari para korban," tutur Barlow yang juga mantan polisi di Maryland, AS.
Sebaliknya, kata dia, LSM juga harus diberi akses terhadap investigasi polisi sekaligus menggalang kerja sama dengan aparat kepolisian untuk menuntaskan kasus kejahatan tersebut. Kerja sama semacam itu telah diupayakan di Jawa Timur dan Sumatra Utara.
Barlow mengatakan, pengungkapan dan pencegahan kasus perdagangan manusia oleh polisi akan semakin efektif dengan melibatkan lembaga nonpemerintah. Seperti di AS, polisi tidak bisa lagi sembunyi-sembunyi bila ada keterlibatan LSM.
"Ini akan efektif. Sebab polisi akan sulit untuk sembunyi-sembunyi bila ada LSM yang terlibat," kata Barlow yang didampingi Stanley Harsha, Political Officer & Labor Attache di Kedubes AS.
Mengacu pentingnya kerja sama itu, Pemerintah AS memberikan bantuan bagi pengembangan program pelatihan polisi dan LSM oleh ICITAP untuk pencegahan perdagangan manusia. Pelatihan dilakukan di daerah-daerah di Indonesia yang rawan perdagangan manusia.
Di lingkungan kepolisian, pelatihan dan pendidikan diberikan kepada aparat Reserse Kriminal (Reskrim) dan Ruang Pelayanan Khusus (RPK). "Saat ini kami melakukan pelatihan di Kuching, dekat Entikong, Malaysia," kata Barlow.
Kemitraan
Ia mengatakan, sejak awal polisi sudah ditekankan untuk dapat bekerja dalam satu kemitraan. Apalagi, perdagangan manusia adalah kejahatan transnasional dan bersifat kompleks.
Ironisnya, polisi masih tidak memahami apa yang dimaksud dengan perdagangan manusia. Kerja sama pun digalang Mabes Polri dengan sejumlah pihak, antara lain IOM (International Organization for Migration), ICEL, dan USAID.
Dalam Laporan Deplu AS tentang Perdagangan Manusia, salah satu kelemahan di Indonesia seperti umumnya di negara lain adalah tidak ada mekanisme pendataan yang akurat tentang perdagangan manusia, baik korban, pelaku, jumlah kasus, dan tahapan penyelidikan.
Untuk itu, ICITAP bekerja sama dengan Pemerintah Australia yang memiliki Criminal Management Information System (CMIS) untuk mengembangkan mekanisme pendataan kriminal yang terpadu.
"Ini manajemen penelusuran kasus yang canggih. Dengan sistem ini, investigasi-investigasi kriminal yang dilakukan di kota-kota lain dapat dipantau secara efektif dan terpadu," ungkap Barlow.
Sementara itu, Stanley Harsha mengatakan, ranking Tier 2 yang diterima oleh Indonesia dalam "US Trafficking in Persons Report 2007" bukan tanpa alasan.
"Banyak kekurangan yang harus diperbaiki oleh Pemerintah Indonesia tetapi kami juga mencatat ada kemajuan yang telah dicapai dalam mengatasi perdagangan manusia," kata Stanley. [SP/Elly Burhaini Faizal]
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Friday, June 29, 2007
Label: Amerika Serikat, Human Trafficking, Polisi, Suara Pembaharuan Daily
ASEAN Human Rights Declaration To Prioritize Migrant Workers' Cases
Bernama.com
June 29, 2007
DENPASAR -- ASEAN member countries under a cooperation scheme their human rights national commissions declared in Sanur, Bali, on Thursday, agreed to prioritize the handling of migrant workers' human rights violations.
Chairman of Indonesia's human rights commission (Komnas HAM) Abdul Hakim Garuda Nusantara in reading out the declaration, was quoted by Antara as saying that Malaysia's Human Rights National Commission will pay attention to human rights violation cases of migrant workers of some countries, including Indonesia and Thailand.
However, the Malaysian commission required every migrant worker coming to that country to be in legal possession of an official identity papers so that if they have a problem during their employment they could be defended.
The human rights declaration was followed by statements of each of the countries, including Malaysia by Tan Sri Abu Thalib Othman, Thailand by Mrs Ambhorn Meesook, and the Philippines by Dr Purific Acion Falera.
The meeting entitled "Working Session of the ASEAN National Human Rights Institutions Consultation Mechanism" also agreed to establish communication through annual meetings in the ASEAN member countries, with the names of the hosts in the order of the alphabet.
According to Abdul Hakim Garuda Nusantara, Indonesia along with Thailand and the Philippines had also called for the attention of Malaysia's Human Rights National Commission to devote its special attention to the migrant worker's cases.
"Since many Indonesian and Thai migrant workers are employed in Malaysia, the relevant local authorites need to devote special attention to the migrant workers' plight," he said.
The declaration would be submitted to a high-level task force forum at Rittz Carlton Hotel in Jimbaran, as input in the formulation of an ASEAN Human Rights Charter.
-- BERNAMA
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Friday, June 29, 2007
Label: ASEAN, BERNAMA, Buruh migran, HAM, In English, Kabarbaik BMI
Orang Tua TKW Cemas
Warta Kota
29 Juni 2007
Husein (56) warga Kampung Citapen RT 09/03, Sukajaya, Sukatani, Purwakarta, masih terus cemas. Anaknya yang bernama Icih (37) sudah sembilan tahun tak pernah pulang. Icih diketahui menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi sejak 1998...(chi)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Friday, June 29, 2007
Label: Buruh migran, WartaKota
6 Bulan Bekerja di Arab, TKI Hilang Ingatan
Beria Kota
29 Juni 2007
Nasib memilukan menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI), Casisni (22). Tekadnya mengeruk real sebanyak-banyaknya di Arab Saudi tidak kesampaian. Tragisnya gadis cantik warga kampung Ambon, Desa Margaluyu, Kecamatan Kasemen, Serang, Banten ini justru pulang dengan kondisi hilang ingatan....dam
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Friday, June 29, 2007
Label: Arab News, Berita Kota, Buruh migran
Hak Atas Tanah Diserobot Pengembang, Guru Minta Perlindungan
Pos Kota
29 Juni 2007
PALMERAH (Pos Kota) – Ratusan guru dan pensiunan guru Jakarta Barat minta perlindungan hukum karena hak atas tanahnya diserobot pihak pengembang bahkan 44 sertifikat hak milik (SHM) yang dipercayakan kepada pengacara YDS, SH hingga bertahun-tahun ini tidak dikembalikan.
Sabar Karo Karo, koordinator para guru, mengatakan pihaknya telah mencabut surat kuasa untuk pengacara terdahulu pada 11 Maret 2006. Pencabutan, kata Sabar, terpaksa dilakukan karena sang pengacara sama sekali tidak melakukan upaya hukum apa pun untuk menuntaskan persoalan ini.
Bukti kepemilikan atas tanah kavling milik guru yang berada di tangan pengacara itu terdiri dari 44 sertifikat hak milik, dan lainnya berupa akta jual beli, dan bentuk kepemilikan lainnya.‘’Pengacara yang kami tunjuk itu, dan sampai kini menahan sertifikat para guru.Orang bilang ia pengacara kondang.’’
Para guru, menurut Sabar, pernah berupaya meminta kembali surat-surat bukti kepemilikan atas tanah itu kepada YDS, SH. Namun, menurut Sabar, pengacara kondang itu tidak pernah menggubris, sampai akhirnya salah satu guru mengadukan ke pihak kepolisian.
“Kami nyaris frustrasi. Sekian tahun kami tidak pernah menikmati tanah yang menjadi hak kami, bahkan pengacara yang kami percayai bermuka dua,’’ ujarnya.
Ketika pertemuan bersama wartawan, di Gedung Sasana Krida, Kompleks P&K Kemanggisan, Jakarta Barat, Jumat (29/6)
KIRIM SURAT.
H Djunaedi SH, yang kini ditunjuk para wakil pensiunan guru itu, pihaknya akan berkirim surat ke YDS untuk memintanya mengembalikan sertifikat para guru. ‘’Saya akan beri dia waktu 3 x 24 jam untuk mengembalikan, terhitung sejak surat permintaan saya layangkan,’’ kata H Djunaedi.
‘’Jika tidak dipenuhi, kami akan menempuh jalur hukum dan melaporkannya ke salah satu organisasi advokat, karena ini menyangkut kode etik. Seharusnya saat kuasa hukum dicabut semua berkas, terutama sertifikat dikembalikan sebab tidak ada lagi kepentingannya bagi pengacara tersebut.’’tegasnya.
Selain itu H Djunaedi SH, juga akan melakukan gugatan perdata masalah pengembang yang menduduki lahan milik para guru itu .”Saya akan segera layangkan ke PN Jakarta Selatan. Namun, kata H Djunaedi, para guru harus lebih dulu memperoleh sertifikat tanahnya yang masih berada di tangan pengacara itu,”sambungnya
Secara terpisan YDS yang dihubungi wartawan, Jumat siang tidak berkomentar. Telepon genggamnya langsung mematikan setelah wartawan mengajukan pertanyaan nasib sertifikat para guru tersebut.
(herman)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Friday, June 29, 2007
Label: Penggusuran, PosKota
Malaysia Akan Buat Smart Card Untuk TKI
TEMPO Interaktif,
Jum'at, 29 Juni 2007
Jakarta: Malaysia akan membuatkan smart card atau kartu pintar sebagai identitas tenaga kerja Indonesia di Malaysia. Menurut Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno, hal ini perlu dilakukan karena banyak paspor TKI di Malaysia yang dipegang oleh majikan mereka.
"Kalau ada kartu tersebut, TKI legal jadi tidak perlu takut ditangkap lagi jika ada razia," ujarnya seusai menghadiri penandatanganan nota kesepakatan bersama antara investor nasional dan beberapa pemerintah daerah, Jumat.
Mengenai kasus Ceriyati, Erman menjelaskan bahwa kuasa hukum Indonesia tetap memproses kasus itu secara hukum. "Untuk masalah pembebasan bersyarat majikan Ceriyati, Siew Tan Kui, kami tidak bisa melakukan apa-apa karena bukan wilayah hukum Indonesia," tambahnya. Sorta Tobing
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Friday, June 29, 2007
Label: Kabarbaik BMI, Kebijakan, Malaysia, Pemerintah
28 June 2007
Migrant Care: Malaysia Menolak Mencabut Pasal Penyanderaan Paspor dalam MoU
Migrant Care
28 Juni 2007
Indonesia Harus Segera Melakukan Langkah Politik untuk Perlindungan Buruh Migran Indonesia di Malaysia
Hasil Pemantauan Migrant CARE pada Meeting on Migrant Workers Indonesia – Malaysia di Surabaya, tanggal 28 Juni 2007
Pada hari Kamis, tanggal 28 Juni 2007, di Hotel Sheraton Surabaya sedang berlangsung pertemuan bilateral antara Indonesia-Malaysia membicarakan masalah buruh migran. Pertemuan yang bertajuk "Working Group on Migrant Workers Indonesia – Malaysia ini mengagendakan evaluasi dan review Memorandum of Understanding antara Indonesia dan Malaysia mengenai PRT Migran yang ditandatangani pada tanggal 13 Mei 2006 di Bali.
Berdasarkan pemantauan Migrant CARE, yang hadir dalam pertemuan tersebut dalam kapasitas sebagai observer tidak ada kemajuan yang signifikan dalam pertemuan tersebut. Dalam pembicaraan ini, usulan yang diajukan delegasi Indonesia yang dipimpin I Gusti Made Arka (Dirjen PPTKLN, Depnakertrans RI) anatara lain pencabutan pasal penyanderaan paspor dalam MoU, akses sekolah untuk anak-anak buruh migran Indonesia di Malaysia, hari libur untuk buruh migran dalam seminggu (day off) serta revisi struktur pembiayaan. Terhadap usulan ini, Malaysia menolak untuk usulan pencabutan pasal penyanderaan paspor dalam MoU. Walau MoU ini mendapat kecaman dari masyarakat internasional, terutama pada pasal penyanderaan paspor dalam MoU ini tentang paspor buruh migran yang dipegang majikan, pemerintah Malaysia tetap bersikeras untuk tidak merubah pasal penyanderaan paspor ini.
Delegasi Malaysia yang dipimpin oleh Tan Sri Dato Seri Aceh (secretary general ministry of home affairs) menyatakan bahwa tidak ada masalah dengan implementasi MoU. Dia juga berjanji akan segera menuntaskan kasus Nirmala Bonat yang berlarut-larut selama 3 tahun ini. Pembicaraan ini memang diprediksi akan menemui jalan buntu jika menyangkut usulan perubahan pasal penyenderaan paspor dalam MoU.
Atas situasi tersebut, Migrant CARE mendesak Pemerintah Indonesia untuk tetap melakukan langkah-langkah strategis dalam menekan Malaysia agar mencabut pasal paspor dalam MoU tersebut. Langkah-langkah strategis yang bisa dilakukan antara lain:
1. Segera membuat pertemuan tingkat tinggi antara Presiden RI dan Perdana Menteri Malaysia dengan agenda tunggal perlindungan buruh migran Indonesia
2. Menyusun langkah politik dengan mendesain moratorium (penghentian sementara) penempatan buruh migran Indonesia ke Malaysia dalam sektor-sektor strategis (perkebunan, konstruksi, domestic) dengan tetap memperhatikan kepentingan buruh migran, sebagai political bargain.
3. Menurunkan tingkat hubungan diplomatic Indonesia – Malaysia, dengan menarik pulang Wakil Duta Besar RI untuk Malaysia dan menunda penetapan Duta Besar RI untuk Malaysia dalam kurun waktu tertentu.
Jakarta – Surabaya
Anis Hidayah Wahyu Susilo
Direktur Eksekutif Policy Analyst
081578722874 08129307964
Untuk informasi hasil pertemuan lebih lengkap, silahkan menghubungi Anis Hidayah (081578722874)
Catatan:
Pasal Penyanderaan Paspor adalah Paspor Buruh Migran Dipegang/Ditahan oleh Majikan, isi lengkapnya:
"The Employer shall be responsible for the safe keeping of the Domestic Worker's passport and surrender such passport to the Indonesian Mission in the event of abscondment or death of the Domestic Workers" (Annex C-2, Appendix A, article xii, MoU Indonesia – Malaysia, 13 Mei 2006)
Diunggah oleh Albert di Thursday, June 28, 2007
Label: LSM, Malaysia, masalah BMI, Migrant care, MOU
Indonesia, Saudi Arabia To Eradicate Illegal Labour Recruiting Agencies
Bernama
June 28, 2007
Indonesia and Saudi Arabia are expected to cooperate in eradicating illegal labour recruiting agencies which have made Saudi Arabia a basis for Indonesian migrant workers to be sent to other mideastern countries, ANTARA News Agency reported Thursday.
Manpower and Transmigration Minister Erman Suparno was quoted as saying here that he had recently met with the Deputy to the Saudi Manpower Minister to discuss the developments of sending Indonesian workers to that country.
"Saudi (Arabia) had asked us to cooperate in efforts to minimize the number of such cases," Erman said.
The minister also disclosed that Saudi Arabia was planning to implement a law on manpower affairs which also concern migrant workers including those employed in the informal sector (domestic helpers).
"The law imposes severe sanctions on employers who illegally employ migrant workers," Erman told ANTARA.
On rumors about 40,000 troubled Indonesian migrant workers in Saudi Arabia, the minister said their number was not that big, because there are now only 473 Indonesian troubled migrant workers staying in various camps.
"As many as 20 to 30 people are returned (to Indonesia) per day under the auspices of Saudi (Arabia)," he said.
He admitted there were a number of Indonesian nationals who performed the umrah (minor haj) who are in trouble for overstaying.
They are now being prepared for deportation to Indonesia.
The Saudi government has earlier called on foreign citizens who worked illegally and violated their staying permits to report to the relevant local authorities from April 1 to June 1, 2007.
After the deadline, the Saudi government would ferret out those violating its laws. It was reported that 66,000 foreign nationals, not to mention Indonesians, were arrested in the raid.
In his meeting with the Deputy to the Saudi Manpower Minister, Erman proposed a raise of Indonesian migrant workers' wages from 800-1000 rials to 1250-1500 rials.
The proposal is being considered by a Saudi agency dealing with migrant workers (Sanarcom).
-- BERNAMA
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, June 28, 2007
Label: deportasi, illegal, In English, Indonesia, Kabarbaik BMI, masalah BMI, Saudi Arabia
Pertumbuhan Warga Kota Perbesar Kemiskinan (KEPENDUDUKAN)
Kompas
Kamis, 28 Juni 2007
Jakarta, - Pertumbuhan penduduk urban diperkirakan akan meningkat pesat. Hal ini dapat menciptakan masalah seperti kemiskinan akibat tidak tersedianya lapangan pekerjaan, ketidaksiapan infrastruktur, perumahan, dan layanan publik. Karena itu, upaya terpadu untuk mendukung strategi urbanisasi harus segera dimulai.
"Penduduk urban kebanyakan hidup miskin. Masa depan mereka, masa depan kota-kota terutama di negara berkembang bergantung pada keputusan yang dibuat saat ini," kata Representatif Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) Martha Santoso Ismail, dalam peluncuran laporan State of World Population 2007, Rabu (27/6) di Jakarta.
"Kota besar menjanjikan kesempatan ekonomi dan perubahan sehingga menarik migrasi. Namun, pesatnya pertumbuhan penduduk urban dapat menimbulkan masalah kemiskinan akibat tidak tersedianya lapangan pekerjaan, ketidaksiapan perumahan dan layanan publik," kata Martha. Kondisi ini bisa melanggengkan konflik antara otoritas dan warga urban miskin, menimbulkan masalah sosial, kesehatan dan lingkungan hidup.
Menurut Ketua Umum Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Rozy Munir, pertumbuhan penduduk perkotaan tahun 2005- 2010 di negara berkembang 2,5-4 persen per tahun. "Kecepatan pertumbuhan penduduk perkotaan menimbulkan masalah sosial di perkotaan seperti kekerasan fisik, perampasan harta, jiwa, seksual, kekerasan dalam rumah tangga. Masalah lain adalah kurangnya akses terhadap air bersih, kesehatan, lingkungan," ujar Rozy.
Semua pemangku kepentingan, kata Martha, harus mengakui hak bermigrasi, mengadopsi visi tata ruang urban demi pemanfaatan lahan, serta dukung strategi urbanisasi ke depan. (EVY)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, June 28, 2007
Label: kemiskinan, Kompas, miskin kota, penduduk
Mantan Dubes Indonesia untuk Malaysia Ditahan
Kompas
Kamis, 28 Juni 2007
Jakarta, - Mantan Duta Besar Indonesia untuk Malaysia Hadi A Wayarabi dan mantan Kepala Bidang Imigrasi KBRI Kuala Lumpur Supraba Wamiarsa, Rabu (27/6), ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Dalam penyidikan KPK, kedua mantan pejabat negara itu diduga memungut biaya untuk dokumen imigrasi melebihi ketentuan yang telah ditetapkan.
Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Tumpak Hatorangan Panggabean mengatakan, penyidikan kasus tersebut merupakan tindak lanjut dari laporan Inspektorat Jenderal Departemen Luar Negeri.
Dalam penyidikan KPK, kedua tersangka diketahui menerapkan surat keputusan ganda, yaitu SK Duta Besar RI Nomor 021/ SK-DB/0799 tanggal 20 Juli 1999 yang bertarif besar dan bertarif kecil. Surat keputusan dengan tarif besar digunakan sebagai dasar pemungutan dokumen keimigrasian di Kedutaan Besar RI (KBRI) Kuala Lumpur. Surat keputusan lain dengan tarif lebih kecil digunakan sebagai dasar penyetoran penerimaan negara bukan pajak.
Menurut Tumpak Hatorangan Panggabean, dalam kasus itu negara diduga dirugikan hingga Rp 27 miliar. Dalam penyidikan, KPK juga menemukan selisih kurs visa sebesar 369.000 ringgit atau setara dengan Rp 922 juta. Selisih itu terjadi karena uang yang dipungut dalam ringgit disetor ke kas negara dalam bentuk dollar AS. Tumpak mengatakan pihaknya tetap memeriksa kasus itu terutama untuk menghitung kerugian negara.
Ditemui sebelum dibawa ke Rumah Tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya, Hadi A Wayarabi mengaku dikelabui. Saat menerima serah terima tugas sebagai Duta Besar Malaysia, ia tidak pernah diberi laporan berkaitan dengan penggunaan SK ganda itu. Ia mengaku baru mengetahui SK itu setelah diperiksa KPK dan diberi salinan SK tersebut oleh pengacaranya. "Sebelum itu saya tidak pernah melihat surat itu," kata Hadi.
Ia mengakui, selama menjabat sebagai Duta Besar RI di Malaysia, ia menerima uang sebesar 19.000 ringgit dari Supraba yang disebutkan sebagai uang lobi. Ia pun mengaku menerima uang sebesar 1.000 ringgit dari mantan Kepala Bidang Imigrasi KBRI di Malaysia Arken Tarigan.
Uang itu, menurut Hadi, dia gunakan untuk membantu tenaga kerja Indonesia, mahasiswa Indonesia, atau membantu memulangkan warga Indonesia yang tidak mampu. "Uang itu tidak saya gunakan untuk kepentingan pribadi. Saya tidak korupsi dan saya tidak melakukan pungutan liar," kata Hadi.
Ia menjelaskan, surat yang diketahuinya kemudian itu tidak sesuai dengan prosedur yang seharusnya. (JOS)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, June 28, 2007
Label: hukum, Korupsi, Malaysia, Pemerintah
Lagi, 60 TKI di Malaysia Terlantar
TEMPO Interaktif
Kamis, 28 Juni 2007
Kuala Lumpur:Pengiriman tenaga kerja sektor informal masih belum lancar. Kini sebanyak 60 calon pembantu rumah tangga asal Indonesia terlantar di Kuala Lumpur International Airport dan Airport Khusus Maskapai Air Asia Sepang. "Agensi yang seharusnya menjemput telah dibekukan izin operasionalnya,"kata Presiden Persatuan Agensi Pembantu Rumah Asing Malaysia Datuk Raja Zulkepley Dahalan kepada Tempo, Kamis (28/6) pagi.
Pekan lalu lebih dari 30 calon pembantu rumah tangga terlantar karena tidak diizinkan masuk ke Malaysia dengan alasan serupa. Meskipun Datuk mengatakan kasus itu telah selesai.
Raja Zulkepley menambahkan, untuk masalah sekarang organisasinya tidak bisa melakukan hal sama dengan kasus sebelumnya. Alasannya, para petinggi imigrasi Putrajaya sedang berada di Surabaya membuat kesepahaman sektor informal.
Ia memperkirakan jumlah tenaga kerja yang terlantar akan bertambah. Ia menyayangkan PJTKI di Indonesia yang tetap mengirim pembantu sesuai perjanjian tanpa memikirkan situasi terkini Malaysia.
Raja Zulkepley mengakui, kondisi ini terjadi sebagai reaksi pemerintah Malaysia atas insiden Ceriyati dan dibekukannya 19 perusahaan penyalur tenaga kerja asing di Malaysia. “Pihak agensi merasa teraniaya karena majikan yang melakukan kesalahan tetapi agensi yang dihukum. Ini sangat tidak rasional,” katanya.
T.H. Salengke
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Thursday, June 28, 2007
Label: Buruh migran, deportasi, Malaysia, masalah BMI
Ratusan Tempat Usaha PKL Dibongkar
Berita Kota
28 Juni 2007
Retusan Pedagang Kaki Lima (PKL) di sepanjang Jl. Raya Margonda, kota Depok ditertibkan aparat satuan polisi Pamong Praja (Satpol PP) kota Depok, Rabu (27/6) siang. Meski keberatan, namun para PKL itu hanya bisa pasrah karena dinyatakan melanggar Peraturan Daerah (Perda) No. 14/2001 tentang ketertiban umum...ema
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Thursday, June 28, 2007
Label: Berita Kota, pedagang kaki lima, Penggusuran
Pengelola Perbelanjaan Harus Perhatikan PKL
Berita Kota
28 Juni 2007
Walikota Jakarta Timur Koesan Abdul Halim meminta seluruh pengelola pusat perbelanjaan modern di wilayahnya memperhatikan penyerapan tenaga kerja. Mereka diingatkan tak sekedar terfokus pada kepentingan bisnis semata.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Thursday, June 28, 2007
Label: Berita Kota, pedagang kaki lima, Pemerintah
Pembebasan Majikan Ceriyati Nodai Keadilan
Berita Kota
28 Juni 2007
Pembebasan Ivone Siew (35), majikan Ceriyati Dapin, oleh Kepolisian Distrik Sentul, Kuala Lumpur, Malaysia pada Senin (25/6) sore lantaran pemeriksaan atas dirinya dianggap telah selesai, dinilai menodai rasa keadilan. Untuk itu, pemerintah harus segera melancarkan nota protes keras diplomatik ke Malaysia atas pengusutan Ceriyati yang tidak fair dan merugikan Ceriyati...one/ant
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Thursday, June 28, 2007
Label: Berita Kota, Buruh migran, Kekerasan
Saudi Janji Naikkan Upah TKI
Pos Kota
27 Juni 2007
JAKARTA (Pos Kota) – Pemerintah Arab Saudi belum gelar razia Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja tanpa dokumen resmi (ilegal).
Namun, pemerintah Arab Saudi justru sedang memperjuangkan kenaikan upah TKI, kata Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno.
Menurutnya, dari hasil pertemuan dengan Deputi Menteri Tenaga Kerja Arab Saudi dalam kunjungannya ke negara tersebut akhir pekan lalu, pemerintah Arab Saudi hanya memulangkan tenaga kerja Indonesia (TKI) atau tenaga kerja wanita yang over stayer.
“Namun pemulangan tidak dilakukan secara massal seperti yang diisukan selama ini. Bahkan biaya pemulangan ditanggung pemerintah Arab Saudi,” jelas Erman yang berterimakasih pada pemerintah Arab Saudi
Bahkan, lanjutnya, mereka bersedia memutihkan dokumen TKI yang over stayer jika majikan masih memerlukan dan TKI bersangkutan masih ingin bekerja di sana .
Menurut Erman, pihaknya juga telah berbicara dengan pemerintah Arab Saudi untuk menaikkan upah TKI secara periodik. Saat ini upah TKI berkisar antara 600 Real hingga 1000 Real.
Data yang tercatat di Atase Ketenagakerjaan KBRI di Riyadh , sedikitnya ada sekitar 980.000 TKI, 473 di antaranya bermasalah.
Menurutnya, masalah paling besar dihadapi TKI adalah masalah gaji yang tidak dibayar majikan. “Pemerintah Arab Saudi saat ini sedang mendata dan mencari majikan yang tidak membayarupah TKI,” ujar Erman.
(tri)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, June 28, 2007
Label: Kabarbaik BMI, keuangan, Saudi Arabia, upah BMI
27 June 2007
KPK Tahan Mantan Duta Besar untuk Malaysia
TEMPO Interaktif
Rabu, 27 Juni 2007
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi menahan mantan Duta Besar Indonesia di Malaysia Hadi A. Wayarabi dan mantan Kepala Bidang Imigrasi Kedutaan Besar Suparba Wamiarsa. Keduanya diduga terlibat dugaan korupsi pungutan liar pengurusan dokumen keimigrasian di Kedutaan Besar Indonesia untuk Malaysia.
"Mereka ditahan untuk kepentingan penyidikan karena khawatir melarikan diri," kata Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean, di kantor KPK, Jakarta, Rabu (27/6). Keduanya kini mendekam dalam rumah tahanan Mabes Polri.
Menurut Tumpak, keduanya terlibat dalam penerbitan dua surat keputusan yang mengatur soal pungutan pengurusan dokumen keimigrasian pada 2000 hingga 2003. Surat Keputusan dengan Nomor 021/SK-DB/0799 tanggal 20 Juli 1999 dibuat dengan dua tarif yang berbeda. "Yang bertarif besar sebagai dasar pemungutan, dan yang kecil untuk menyetor ke negara," katanya.
Jumlah kerugian negara, kata Tumpak, mencapai Rp 26,59 miliar, yang dihitung dari selisih harga yang ditetapkan oleh kedua surat keputusan tersebut. Selain itu, KPK menemukan selisih kurs dari jumlah yang disetorkan sebesar Rp 922 juta. Sehingga total kerugian negara mencapai Rp 27,5 miliar. Dalam kasus ini, KPK sudah menyita uang Rp 1 miliar dan satu unit mobil Honda Jazz dari Suparba.
Hadi Wayarabi mengaku tidak keberatan dengan penahanan ini. "Karena ini bagian dari proses hukum yang berlaku dan saya menghormati proses hukum tersebut," ujarnya. Hadi mengaku diperlakukan dengan baik selama menjalani pemeriksaan di KPK sejak 2006 lalu.
Hadi sendiri mengakui telah menerima uang sebesar RM 19 ribu dari Suparba dan RM 1000 dari Arken Tarigan (total sekitar Rp 60 juta). Uang itu diberikan dalam enam kesempatan selama periode dia menjabat. "Saya cuma dikasih tahu uang ini adalah uang representasi atau uang lobi," katanya. Uang itu, kata Hadi, digunakan untuk berbagai kepentingan tugas, seperti mengunjungi TKI, membiayai ongkos pulang TKI dan pelajar Indonesia, dan lainnya.
Hadi mengungkapkan sejumlah kejanggalan dalam surat keputusan yang dipermasalahkan KPK. Diantaranya adalah surat yang digunakan adalah berkepala Kedutaan Besar Indonesia, padahal seharusnya untuk SK adalah berkepala Duta Besar, cap Kedutaan Besar yang seharusnya cap Duta Besar, dan tidak adanya paraf oleh pembuat surat dalam tiap halamannya.
Menurut Hadi, surat ganda itu sudah ada ketika ia menerima jabatan dari Wakil Kepala Perwakilan Warmas Saputra. "Saya tidak tahu ada surat itu. Tidak ada laporan mengenai surat tersebut, baik ketika serah terima jabatan, maupun oleh bawahan saya," ujarnya.
Hadi mengatakan, dirinya telah dikelabui oleh orang-orang di sekitarnya. Hadi mendesak KPK untuk mengusut keterlibatan mantan Duta Besar Muhammad Jacob Dasto, yang bertugas sebelum Hadi, dan mantan Duta Besar Rusdihardjo, yang bertugas setelah Hadi. "Jangan hanya saya saja (yang bertanggung jawab)," ujarnya. Tito Sianipar
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, June 27, 2007
Label: KBRI, Korupsi, Malaysia, Pemerintah, Tempo Interaktif
PRT Rentan Kekerasan
Pos Kota
27 Juni 2007
Kondisi pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia sampai saat ini masih sangat memprihatinkan. Mereka, kata Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta, acapkali mendapatkan perilaku diskriminatif, rentan terhadap eksploitasi, perlakuan kurang bermartabat dan tindak kekerasan.
...
Menurut data, jumlah PRT di Indonesia mencapai 2.593.339 jiwa yang bekerja di hampir seluruh kota di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 26,5% atau sekitar 688.1932 jiwa terdiri atas pekerja rumah tangga anak (PRTA) dan mayoritas adalah perempuan...inung
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, June 27, 2007
Lagi, 20 Tenaga Kerja Indonesia disekap di Malaysia
Tempointeraktif
27 Juni 2007
TEMPO Interaktif, Jakarta:Eksploitasi atas Tenaga Kerja Wanita kembali terjadi. Hari ini, Rabu (27/6), media cetak di negara itu menyiarkan berita tentang 20 TKW asal Indonesia yang disekap dan dipekerjakan tanpa izin kerja oleh agensi penyalur tenaga kerja di Negeri Perak. Hal ini diketahui karena salah seorang dari mereka mengirim SMS kepada Direktur Hukum dan Operasional Imigrasi Pusat Putraja, Datuo’ Ishak Mohamed.
Isi SMS yang diterima Dato’ Ishak berbunyi “Tolong, tolong Datuk! Kami dikurung dalam satu pejabat. Hari-hari tidak dikasi makan dan dihantar ke rumah-rumah tanpa permit oleh ejen. Semua ada 20 teman di sini. Ejen dapat wang daripada majikan RM50 sehari, cuma kasi RM13 sahaja. Lama-lama kami semua mati sini.” Demikian isi SMS yang diterima Datu’ Ishak.
Ishak, mengaku kaget dengan isi SMS dan langsung menginstruksikan pegawai Imigrasi Negeri perak untuk menyerbu lokasi di Jalan Gunung Rapat, Ipoh Jaya, Perak, kira-kira jam 7 malam Senin (25/6) lalu dan behasil menyelamatkan 17 dari 20 pembantu rumah Indonesia disitu.
Ishak merasa kesal kerana penganiayaan terhadap pembantu rumah masih terjadi di Malaysia dan berjanji akan meningkatkan upaya untuk mencari tiga lagi lagi pembantu rumah yang terpisah dari kumpulan itu.
Analisa Imigrasi menunjukkan seorang wanita tersebut mengirimkan SMS itu kepada Direktur Imigrasi kerana tidak tahan dianiaya dan disekap. Dari hasil pemeriksaan sementara juga menunjukkan pembantu rumah tersebut ditempatkan di kantor agensi itu sejak kira-kira setahun lalu setelah tempoh permit kerja mereka tamat.
Agen yang berusia sekitar 40-an itu memaksa semua wanita tersebut mencari upah bekerja sebagai pembantu rumah secara harian ke rumah-rumah yang menjadi langganan agen itu dengan cara antar jemput pagi dan sore.
“Mereka tidak sanggup lagi dianiaya dan hanya mahu pulang ke pangkuan keluarga di Indonesia,” katanya.
“Egen tersebut sudah ditahan untuk diperiksa dan laporan polisi juga dilakukan,” katanya sambil menambahkan bahwa pihaknya sedang berurusan dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur untuk proses perlindungan dan mengirim pulang semua wanita tersebut ke kampung halaman msing-masing. T.H. Salengke
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, June 27, 2007
Label: Buruh migran, Kekerasan, penangkapan, Tempo Interaktif
Meski Diprotes, Gerobak PKL Diangkut Petugas, ‘Tolong, Berikan Kami Tempat Usaha!’
Pos Kota
27 Juni 2007
DEPOK (Pos Kota) – Protes dan keluhan seratusan pedagang kakilima (PKL) yang berjualan di trotoar sepanjang Jalan Raya Margonda, Rabu (27/6) siang, tidak dihiraukan alias dicuekin petugas gabungan yang menggelar razia, Rabu (27/6) siang.
Gerobak dan peralatan dagangan mereka dipaksa angkut dan diamankan oleh puluhan anggota Satpol PP, Polres, Kodim, dan Garnizun Ibukota.
Zainudin,35, ketua RT 03/6 Pondok Cina, Pancoranmas, menemui petugas Satpol PP dan mempertanyakan razia tanpa pemberitahuan terlebih dahulu itu. Namun, Kasatpol PP Sariyo Sabani menyatakan pemberitahuan sudah diberikan dan pihaknya semata menegakkan Perda ketertiban umum.
Namun begitu Warsinah,33, pedagang rokok, memohon agar diberi kesempatan jualan sebagai penghidupan anak-anaknya yang bersekolah. “Memang saya salah pak, tapi tolong Pemkot Depok memberikan tempat usaha untuk makan dan biaya anak-anak sekolah kami,” ujar warga Bulak, Gang Swadaya, Pondok Cina, ini yang sudah berdagang sejak 10 tahun.
RAZIA 7 JAM
Razia selama tujuh jam sampai pukul 17:00 itu berlangsung dua arah mulai ujung putaran jalan layang Kampus UI terus merayap arah selatan menuju Balaikota Depok.
Para Pedagang yang terkaget-kaget dengan razia gabungan itu segera menutup dan menghindari petugas yang mendatanginya, tapi segera disergap dan dinaikkan ke atas truk-truk (6 armada) terus dibawa ke balaikota.
Razia ini sebenarnya akan dilaksanakan sehari sebelumnya (Selasa,26/7) tapi tertunda lantaran adanya unjukrasa sejumlah elemen masyarakat mengusung lengserkan walikota Nur Mahmudi Ismail bahkan sempat ada insiden Kasatpol PP luput dari pukulan seorang pendemo karena omelan petugas.
“Razia ini memang kemarin sebenarnya tapi ditunda karena ada demo,” kata Kapten CPM Mulya, pimpinan operasi Garnizun Ibukota yang memback up razia gabungan tadi. (rinaldi/c8/nasrul)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Wednesday, June 27, 2007
Label: pedagang kaki lima, Penggusuran, PosKota
26 June 2007
The endless plight of migrant workers
The Jakarta Post
National News - June 26, 2007
Tanjung Pinang — Hundreds of illegal Indonesian migrants deported from Malaysia for not holding the correct work permit were marched in line to the Sri Bintan Pura Port in Tanjung Pinang, Riau Islands province on the weekend.
The illegal immigrants did not hold work and stay permits for Malaysia and before being deported home were also sentenced to jail and the cane by Malaysian authorities.
While the deportees lined up at the port and in front of the press and the public, the head of the migrant workers task force Abdullah Alwi threatened to hit a female migrant worker after she strayed from other deportees.
Alwi eventually shouted obscenities at Nur before she was immediately shoved by two officers back into line.
This treatment of deportees by authorities is allegedly commonplace in Tanjung Pinang.
They are reportedly subjected to reprimands and even physical abuse.
Based on data at the Tanjung Pinang immigration office, between January and June this year Malaysia deported 14,794 illegal Indonesian migrants, each of whom arrived in Tanjung Pinang after deportation.
Prior to deportation these immigrants received prison sentences and caning in Malaysia.
Deported migrant workers are usually held in temporary shelters in Indonesia before they are returned to their respective hometowns.
A pregnant migrant worker from Jember, East Java, Siti Fatimah, 32, was separated from her husband who was deported after serving a prison sentence at the Kajang prison in Malaysia.
"I also didn't have a stay permit when I followed my husband to Malaysia to work in the construction sector, so we were arrested," Siti said.
Deportees have complained of improper treatment from authorities at home, despite enduring similar treatment from the Malaysian police.
"I'm surprised our authorities are even meaner than those in Malaysia," deportee Sugiono said.
"Why can't we be treated better -- there's no need to shout at us."
Abusive behavior by authorities at the port is allegedly a common sight every Thursday and Friday.
Authorities force migrant workers to queue and order them to squat down until buses come to bring them to their temporary shelter.
These actions allegedly occur in front of other visitors at the port, especially Singaporeans.
Officers from the local manpower office dragged away Sumardi, 45, who is from Jombang, East Java, for conveying his grievance to the media because authorities prohibit migrant workers from speaking to the media when they are still in the port.
Nur, Siti Fatimah and Sumardi were among 377 illegal migrant workers deported by Malaysian authorities.
They had been deported by the Marina Master ferry from Malaysia and had arrived at the Sri Bintan Pura Port on June 22.
Deportees at the temporary shelter in Tanjung Pinang told The Jakarta Post a number of illegal employment agents were always present there to offer a return to work in Malaysia.
They said Indonesian authorities would usually turn a blind eye on the situation.
Dishonest officers allegedly sell back to the employment agencies deportees who wish return to Malaysia.
This would often occur at border areas including Batam, Tanjung Pinang and Tanjung Balai Karimun, they said.
Up to Rp 500,000 (approximately US$55) was allegedly paid to police officers if they could provide the agencies with a migrant worker.
Tanjung Pinang Manpower Office head Ali Hisab said his office had taken stern measures against deportees.
"We must be strict with them or else they would run away as they please and (then we receive) reports saying we resell them to employment agencies, which is totally untrue," said Ali.
Deportees usually use fake passports and documents provided by corrupt officers and illegal employment agencies which thrive in border areas including Batam and Tanjung Pinang.
Tanjung Pinang has been declared as the entry point for deported migrant workers since 2004, but to-date there has been no decrease in deportee numbers.
Fadli
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, June 26, 2007
Label: Buruh migran, deportasi, In English, masalah BMI, Tanjung Pinang, The Jakarta Post
Staggered ousting set for RI illegals in Saudi Arabia
The Jakarta Post
National News - June 26, 2007
Jakarta — The government gave its assurance Monday that Indonesian migrants working illegally in Saudi Arabia would not be subject to a mass deportation by the Saudi government but rather to a staggered repatriation process.
Manpower and Transmigration Minister Erman Suparno said the Saudi Arabian government has pledged to find an amiable solution to the thousands of Indonesian migrants working illegally in the country.
"I can assure you that there will be no acts of (mass) deportation against 40,000 of our workers there," Erman told reporters prior to a Cabinet meeting at the Presidential Office.
He said the Saudi government would not resort to mass deportation, but would rather implement a staggered process.
Erman recently returned from Saudi Arabia after discussions with Saudi officials on measures to deal with the illegal migrants apprehended by authorities there.
He said the Saudi government agreed to repatriate the illegal migrant workers to Indonesia in stages, the cost of which would be footed by the Saudis.
Erman said that of the 1.2 million Indonesians working in the Middle Eastern country, only 473 had brushed with the law, mostly for overstaying their visas.
Many illegals traveled to the country to perform the haj pilgrimage, though used this as a subterfuge to prolong their stays.
Earlier reports have claimed that an estimated 40,000 Indonesians working illegally in Saudi Arabia would face deportation after concluding their prison terms.
The planned deportation is part of the country's plan to crack down on illegal migrant workers as of June 1 this year.
Saudi immigration authorities asked foreign illegals to leave the country by the May 31 deadline or face a 100 Saudi real (US$26.6) fine and six-month prison term prior to deportation.
Most Indonesians currently in Saudi Arabia work as housemaids, drivers, gardeners and machine operators at mining sites in the wealthy Middle Eastern kingdom. Some 40,000 have either overstayed their visit or lack the requisite documents to continue their stays.
A black market of migrant workers in Saudi Arabia is one of the many causes for the Indonesians lacking documentation after having run away from their agents.
To aid illegal migrant workers with their repatriation, the Saudi government, in collaboration with the Indonesian Embassy in Riyadh, has set up a one-stop service.
"This will help them with their papers and documents. Also, this will help them collect their unpaid salaries," Erman said.
M. Taufiqurrahman, The Jakarta Post
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Tuesday, June 26, 2007
Label: Buruh migran, deportasi, In English, Kebijakan, Pemerintah, Saudi Arabia, The Jakarta Post
Bantuan Pemkab Dinilai Telat, TKW Ceriyati Periksa Gratis
Pos Kota
26 Juni 2007
BREBES, Pos Kota - Ceriyati, TKW asal Desa Kedungbokor, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes, yang mencoba kabur dari majikannya di Malaysia, sekarang sudah kumpul dengan keluarganya.
Untuk memastikan kondisi kesehatannya, Ceriyati, dibawa ke Rumah Sakit Dedy Jaya (RSDJ) Brebes, ruang Cendrawasih, untuk mendapatkan perawatan.
Dalam perjalanan ke rumah sakit Ceriyati ditemani keluarga dan LSM.
Sebelum dibawa ke RSDJ, Bupati Brebes, Indra Kusuma, sempat memberikan bantuan dan menawarkan perawatan di RSUD Brebes dengan fasilitas Askeskin. Keluarga Ceriyati merupakan keluarga yang kurang mampu, namun perhatian pemkab yang terlambat tersebut dinilai bukan bentuk perhatian.
"Kami sangat menghargai bantuan itu, tapi sangat terlambat dan tidak manusiawi. Dia itu pahlawan devisa, mestinya diperlakukan dengan baik dan manusiawi. Jadi kita terpaksa membawanya ke rumah sakit yang representatif dan biayai sudah ada yang menanggung semua, yakni bos Dedy Jaya Group, Haji Dedy," kata Mahfudin, koordinator LSM Masyarakat Jaga Kali (Mas Jaka).
TAK PEKA
Mahfudin, saat mendampingi Ceriyati mengatakan, dengan perlakukan seperti itu, menunjukkan pemkab tidak memiliki kepekaan terhadap warganya yang mengalami musibah. Padahal kasus yang menimpa Ceriyati sudah menjadi masalah internasional. Presiden SBY saja menyatakan keprihatinannya.
Sementara dokter yang merawat Ceriyati, dr Umar Utoyo, mengatakan, dari diagnosa awal masih terlihat gejala-gejala penganiayaan, di antaranya cidera kepala ringan, punggung dan perut. Namun pihaknya akan melakukan pemeriksaan lengkap, seperti rontgen kepala, dada serta perut untuk mengetahui secara pasti, apakah ada luka di bagian dalamnya atau tidak. Selain itu, pihaknya juga akan memeriksa kejiwaannya dengan mendatangkan psikiater.
(slamet)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Tuesday, June 26, 2007
Label: Buruh migran, PosKota
Pembentukan KPPTKI Langgar Kesepakatan
Pos Kota
26 Juni 2007
JAKARTA (Pos Kota) - Pembentukan Komite Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (KPPTKI) ke Korea oleh Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) menyalahi prinsip G to G (goverment to goverment) yang tertuang dalam nota kesepakatan (MoU) Indonesia dan Korea.
"Dalam MoU sudah diatur bahwa sistem penempatan ke Korea dengan G to G. Tidak boleh melibatkan pihak lain (swasta) selain pemerintah," kata Sekretaris Jenderal Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Harry Hariawan Saleh, di Jakarta, Selasa (26/6).
Menurutnya, berdasarkan MoU yang ditandatangani pada 9 Oktober 2006 tersebut, proses penempatan TKI tidak diperbolehkan melibatkan peran swasta. Hal ini mengacu kepada UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI ke Luar Negeri dan Perpres No 81/2006 tentang BNP2TKI.
Sementara Komite Pelaksana Penempatan TKI ke Korea yang dibentuk berdasarkan Keputusan Kepala BNP2TKI No Kep 130/KA-BNP2TKI terdapat unsur swasta.
"Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan MoU yang telah dibuat antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Korea," tandasnya. "Berdasarkan Perpres No.81/2006, badan harusnya melakukan penemaptan atas perjanjian tertulis antara pemerintah dengan pemerintah."
Menurut Harry, akan terjadi konflik kepentingan bila ada unsur non pemerintah dalam komite tersebut. Dia pun mengakui adanya sejumlah unsur Perusahaan Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) di dalam keanggotaan komite.
Untuk itu, atas nama Menakertrans, Harry telah mengirim surat dengan No B 34/Men-Sj/V/2007 tanggal 31 Mei 2007 kepada Kepala BNP2TKI untuk melakukan penyempurnaan keputusan yang telah dikeluarkan dengan tidak melibatkan unsur swasta dan hanya melibatkan unsur pemerintah terkait saja.
Kalau alasannya untuk membantu pemasaran, sudah ada Departemen Perdagangan dan Departemen Luar Negeri. Jadi untuk apa ada swasta. Masalah yang timbul karena sistem rekruitmen dan kualifikasi TKI yang belum baik, bukan pada pemasaran.
Harry mengatakan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi selaku pembuat kebijakan meminta BNP2TKI untuk segera membenahi struktur komite. Bila tidak, lanjut dia, dikhawatirkan akan mempengaruhi proses penempatan tenaga kerja di Korea.
(tri)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Tuesday, June 26, 2007
Label: BNP2-TKI, Buruh migran, PosKota
Pol PP Bukan Pengobrak-Abrik
Pos Kota
26 Juni 2007
KARAWANG (Pos Kota) - Tugas dan peran yang diemban Satuan Polisi Pamong Praja beserta jajarannya sangat berat mengingat cakupan tugasnya yang sangat luas dan dengan segala keterbatasannya senantiasa menjadi tumpuan atas terselenggaranya ketentraman dan ketertiban umum serta tegaknya Perda dan Keputusan Kepala Daerah.
Demikian Bupati Karawang dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Sekda, Ir. H. Rachman Syahiri, MM, dalam acara pembukaan Sosialisasi dan Dialog Interaktif mengenai Pentingnya Responsibilitas masyarakat Terhadap Pemeliharaan Ketentraman dan Ketertiban Umum yang dilaksanakan pada Selasa, 26 Juni 2007 di Aula Husni Hamid yang diikuti anggota Satpol PP, Kaur Trantib Kecamatan, Kelurahan dan Desa, serta unsur masyarakat seperti Ketua RT, RW dan LSM.
Kepala Dinas Pol PP Propinsi Jawa Barat, DR. H. Ahmad Drajat, atau yang lebih dikenal sebagai Aa Boxer mengatakan, bahwa saat ini masyarakat sudah mengetahui akan keberadaan Pol PP, akan tetapi sebagian besar masih belum paham akan keberadaan Pol PP yang sesungguhnya. Hal ini terlihat masih banyaknya terjadi benturan antara Pol PP dan masyarakat.
Untuk itu, Aa Boxer meminta aparat Pol PP untuk dapat menciptakan tempat yang aman bagi masyarakat sesuai fungsinya sebagai pamong yang harus mengasuh dan menjaga masyarakat. Satpol PP adalah pamong, bukan pengobrak-abrik kaki lima, tegasnya.
(nourkinan)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Tuesday, June 26, 2007
Label: Penggusuran, PosKota
Ditemukan Cedera Ringan di Kepala Ceriyati
Kompas
26 Juni 2007
Brebes, Kompas - Ceriyati, TKW asal Desa Kedungbokor, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, yang melarikan diri dari majikannya melalui jendela Lantai 15 Apartemen Tamarind Sentul, Kuala Lumpur, pekan lalu, terpaksa dirawat di Rumah Sakit Dedy Jaya Brebes, Senin (25/6). Dokter menemukan adanya cedera kepala ringan saat memeriksanya.
Ceriyati tiba di kampung halamannya pada hari Sabtu lalu. Selama berada di rumah, ia mengaku masih merasakan sakit di beberapa bagian tubuhnya, terutama kepala, leher, dan tulang rusuk. Ia juga masih sering merasa pusing.
Menurut Ceriyati yang ditemui di rumah sakit, rasa sakit yang dideritanya itu adalah akibat siksaan yang dilakukan majikannya di Malaysia. Siksaan itu berupa sering dipukul dengan tangan dan kayu. Sedangkan rasa sakit pada tulang rusuk akibat sering diinjak-injak majikannya. Selama di Malaysia, Ceriyati juga mengaku sering dicekik majikannya.
Karena rasa sakit itu tidak kunjung hilang, Ceriyati akhirnya dibawa ke rumah sakit.
Dokter jaga yang menangani Ceriyati saat pertama datang, dr Umar Utoyo, mengatakan, dari hasil pemeriksaan awal, ditemukan adanya cedera kepala ringan. Diperkirakan itu akibat trauma benda tumpul. Oleh karena itu, ia harus dirawat inap.
Untuk mengurangi rasa sakit, Ceriyati diberi obat melalui infus dan diperkirakan kondisinya akan pulih dalam tiga hari.
Untuk mengetahui lebih jauh kondisi kesehatan Ceriyati, pihak rumah sakit juga merontgen kepala, dada, dan perut, serta uji laboratorium darah.
Belum serius
Di Bandung, Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Irgan Chairul Mahfiz meminta pemerintah lebih serius memberikan perlindungan bagi para TKI di negara tujuan.
Berita yang mengatakan sekitar 400.000 TKI akan dipulangkan dari Arab Saudi, misalnya, dikatakannya sebagai bukti bahwa perlindungan terhadap TKI masih kurang. (wie/che)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Tuesday, June 26, 2007
Label: Buruh migran, hukum, Kekerasan, Malaysia, masalah BMI
Jalur Protokol Disterilkan dari PKL
Jawa Pos
Selasa, 26 Juni 2007
SURABAYA - Penertiban PKL (pedagang kaki lima) di wilayah Tegalsari kemarin diwarnai aksi protes dan perlawanan para pedagang yang tergusur. Mereka tidak terima barang dagangannya diangkut aparat Satpol PP.
Ketegangan itu tersulut ketika Imam, pedagang di Jalan Pasar Kembang nekad menghadapi petugas Satpol PP. Dia tidak terima barang dagangannya diangkut paksa polisi pamong praja itu. Pria asal Madura tersebut bersikukuh mempertahankan almari yang dipakainya untuk menempatkan barang dagangannya.
"Saya ini bukan PKL. Lha wong saya berdagang di depan rumah sendiri kok dibilang PKL. Jangan sembarangan ambil barang orang, Pak," katanya sengit.
Aksi saling dorong pun terjadi. Namun, Imam yang maju sendirian tak kuasa menghadapi petugas Satpol PP yang berjumlah lebih dari 20 orang itu. Akhirnya dia pun melepaskan almarinya diangkut ke truk bak terbuka yang disiapkan petugas. Imam hanya bisa memandang rombongan kendaraan petugas meninggalkan lokasi dengan mata merah dan sumpah serapah.
Dari Jalan Pasar Kembang, petugas gabungan Satpol PP Kecamatan Tegalsari dan pemkot menyisiri Jalan Diponegoro dan Raya Darmo. Mereka menciduk sepuluh PKL yang mangkal di dua jalan arteri itu. "Mereka memang tidak pernah jera. Setiap kali ditertibkan selalu kembali lagi," kata Kasi Trantib Kecamatan Tegalsari Tjatur Sudarmono.
Pernyataan Tjatjur memang beralasan. Mukayah, salah seorang penjual baju bekas di Jalan Diponegoro mengaku harus kucing-kucingan dengan petugas penertiban. Bila ada operasi, Mukayah lari atau tak berjualan. Tapi, begitu aman dia berjualan lagi di jalan itu.
"Saya tidak memiliki tempat lain. Di sini saya sudah banyak pelanggan. Makanya saya memilih tetap berjualan di sini," kata wanita berusia 70 tahun itu.
Sumini, pedagang makanan dan minuman di Jalan Diponegoro juga melakukan hal serupa. Wanita asli Kediri itu bolak-balik membongkar ulang warungnya setiap kali Satpol PP mengadakan penertiban. "Rumah saya dekat sini. Kalau berjualan di tempat lain kan jauh," katanya beralasan.
Tapi, kemarin apes bagi Sumini. Dia tidak menyangka ada operasi penertiban PKL. Karena itu, dia tidak sempat membongkar sendiri warungnya saat petugas tiba di lokasi penertiban. Sumini pun hanya bisa pasrah ketika warungnya dibongkar. Namun, dia berharap agar perabot warungnya dapat diambil kembali.
Beberapa pedagang masih bisa menyelamatkan barang dagangannya setelah mengetahui rombongan petugas Satpol PP datang. Para pedagang, terutama pedagang helm, buru-buru mengamankan dagangannya di gang-gang sekitar Jl Diponegoro, sebelum disita petugas. Begitu petugas meninggalkan lokasi, mereka kembali menata dagangannya seperti sedia kala.
Tjatur berjanji akan melakukan operasi secara rutin di wilayahnya. Dengan begitu tidak akan ada lagi pedagang liar di wilayah Tegalsari, terutama di jalur-jalur protokol. "Jalur ini harus steril dari PKL. Kami akan menggalakkan operasi penertiban agar mereka jera," tegasnya. (cie)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Tuesday, June 26, 2007
Label: Penggusuran, Surabaya
25 June 2007
Banyak Korban Lapindo Dipaksa Jadi Pelacur
Non Stop
25 Juni 2007
Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (P3A)Kabupaten Sidoarjo menemukan indikasi adanya praktek perdagangan anak di bawah umur atau trafficking pada korban lumpur Lapindo. Bahkan banyak perempuan yang dipaksa jadi pelacur...(SOF)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, June 25, 2007
Label: Human Trafficking, Non Stop
Malaysia Diminta Segera Bertindak
Kompas
25 Juni 2007
Kuala Lumpur, Minggu - Kasus Ceriyati binti Dapin (34), pembantu rumah tangga yang bekerja di Malaysia, kembali hangat. Kini Pemerintah RI kembali meminta Malaysia untuk segera mengambil tindakan hukum serius. Utusan dari Indonesia, Tatang Razak, Minggu (24/6), menyebutkan, Pemerintah RI akan memantau langkah-langkah Malaysia selanjutnya setelah kasus Ceriyati yang berusaha melarikan diri dari rumah majikan.
"Langkah selanjutnya yang kita ingin lihat adalah tindakan serius Malaysia untuk urusan hukum. Sekarang ini rakyat Indonesia sedang menunggu tindakan serius Malaysia. Rakyat Indonesia saat ini sedang merasa sangat marah dengan situasi seperti ini. Ini persoalan sensitif dan sering terjadi pada tenaga kerja kita," kata Tatang yang memimpin misi diplomatik RI ke Malaysia.
Ia mengatakan kantor Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur kini sedang menangani 10 kasus serius pembantu rumah tangga. Namun karena kasus mereka masih ditunda, maka mereka untuk sementara diskors. "Mereka sudah sangat menderita hidupnya. Banyak juga yang setelah disiksa tidak dibayar gajinya," ujarnya.
Jangan berlarut-larut
Tatang berharap persoalan Ceriyati ini tidak akan berlarut-larut dalam waktu yang lama. Hal ini mengingat lamanya proses sidang berbagai kasus kekerasan terhadap pembantu rumah tangga. Banyak pembantu rumah tangga yang masih tinggal di lingkungan kantor KBRI sambil menunggu proses hukum selanjutnya.
Seperti Nirmala Bonat yang sudah bermukim di KBRI selama tiga tahun setelah majikannya diajukan ke pengadilan tahun 2004 atas kasus kekerasan. Jika terbukti bersalah, majikannya bisa dikenai hukuman penjara selama 80 tahun.
"Nirmala Bonat sama sekali tidak boleh pulang dan paspornya pun masih ditahan oleh pengadilan, tetapi majikannya sudah bebas dengan uang jaminan," kata Tatang. (AFP/LUK)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, June 25, 2007
Label: Buruh migran, hukum, Kompas, Malaysia
Jumlah Orang Gila Juga Tambah
Non Stop
25 Juni 2007
Akibat krisis ekonomi, jumlah orang gila di Jakarta semakin bertambah pesat. Tragisnya lagi, yang menjadi penghuni di Panti Sosial Bina Laras yang terletak di Cengkareng, Jakbar, kebanyakan adalah kawula muda putus asa karena tidak mendapat pekerjaan... (HNY)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, June 25, 2007
Label: kemiskinan, Non Stop
ABG Lumpur Lapindo Dijual Jadi Pelacur
Pos Kota
25 Juni 2007
SIDOARJO (Pos Kota) - Anak Baru Gede (ABG) yang berusia dibawah 18 tahun korban lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, yang selama ini tinggal di pengungsian, sekarang ini disenyalir banyak yang “dijual”, kemudian dijadikan pelacur) yang ditempatkan di satu vila di kawasan Pasuruan, Jawa Timur.
Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (P3A) Kabupaten Sidoarjo menemukan indikasi adanya praktek perdagangan anak korban lumpur di bawah umur atau trafficking. Perdagangan anak ini, dilakukan oleh pihak-pihak yang memanfaatkan kondisi warga korban lumpur yang selama ini tinggal di pengungsian Pasar Baru Porong, kata Ketua Koordinasi Umum P3A, Sidoarjo, Suagustono di Porong, Jawa Timur, Minggu (24/6), kemarin.
Menurutnya, korban dibujuk rayu untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga di kawasan Pasuruan. Karena kondisi ekonomi yang terjadi saat ini, mereka bersedia diajak untuk dicarikan pekerjaan. Namun kenyataannya, korban diperdagangkan sebagai pelacur atau kerennya disebut pekerja seks komersial (PSK).
Temuan adanya praktek trafficking pada korban lumpur panas diperolehnya beberapa minggu yang lalu. Oleh karena itu, Suagustono mengungkapkan, pihaknya berencana akan bekerjasama dengan aparat kepolisian setempat untuk menangani masalah tersebut atau dengan menebus korban dari tangan pihak-pihak yang memaksa korban untuk diajak keluar dari kawasan itu.
Untuk mengurangi adanya praktek trafficking, pihak P3A berencana akan mendirikan balai pelatihan usaha agar para korban lumpur memiliki keterampilan, sehingga mereka mampu meningkatkan kebutuhan ekonominya sendiri, ujar Suagustono..
KE JAKARTA
Sementara itu, gara - gara ganti rugi tunai atau cash and carry tak juga terealisasi, sekitar 200 warga Perumahan Tanggulangin Sejahtera (Perumtas) I dan perwakilan empat desa korban lumpur Lapindo akan balik lagi ke Jakarta.
Mereka akan menginap lagi di Tugu Proklamasi. "Kami tetap akan menjadikan Tugu Proklamasi sebagai basis perjuangan,” ujar koordinator warga Perumtas I, Sumitro.
Warga empat desa yang juga korban semburan lumpur panas Lapindo Brantas Inc. Empat desa itu adalah Renokenongo, Siring, Jatirejo, dan Kedungbendo. "Kami akan berangkat hari ini (Minggu) pukul 13.00 dari Surabaya, naik kereta api ekonomi yang murah meriah," tuturnya.
Mereka ke Jakarta menuntut pembayaran cash and cary yang sampai saat ini lambat terealisasi. Mereka akan menagih janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang akan mendengarkan keluhan warga jika ada kesulitan di lapangan. Rencananya, besok (Selasa, 26/6), warga akan melakukan longmarch ke Istana Merdeka, dan juga ke DPR di Senayan.
(nurqomar/nourkinan)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, June 25, 2007
Label: Human Trafficking, kemiskinan, PosKota
Nasib Buruh Migran Indonesia di Hongkong
Kompas
Senin, 25 Juni 2007
Enny Lestari
Kita tidak bisa menyangkal, buruh migran Indonesia atau BMI adalah salah satu bagian warga negara yang telah memberikan sumbangan besar bagi Pemerintah RI. Setidaknya, Rp 2 triliun per tahun disumbangkan para BMI melalui remittance yang dikutip dari pengiriman uang BMI ke kerabatnya di Tanah Air.
Namun, sumbangan BMI kepada pemerintah masih tidak dihargai semestinya. Pemerintah masih saja abai dalam memberantas calo tenaga kerja yang kerap menipu calon BMI, tidak sepenuh hati menerapkan kebijakan perlindungan, dan kerap kurang memberi perhatian dan perlindungan bagi BMI "bermasalah" di luar negeri.
Khususnya di Hongkong, sejak Mei 2006 otoritas setempat memberlakukan peraturan upah minimum bagi pembantu asing sebesar 3.400 dollar Hongkong.
Pemerintah Hongkong juga hanya membolehkan agen penyalur tenaga kerja asing memungut 10 persen dari gaji pertama yang disebut sebagai "biaya agen". Pelanggaran bisa menyeret majikan atau agen penyalur ke pengadilan Hongkong.
Pada saat peraturan itu disusun, mayoritas BMI menerima upah di bawah ketentuan. Melalui survei Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia-Hongkong (ATKI-HK) terhadap sekitar 3.000 BMI, rata-rata BMI hanya memperoleh upah 1.800 dollar Hongkong-2.000 dollar Hongkong. Upah lebih rendah bisa dialami pembantu asing yang baru bekerja di Hongkong. Umumnya, BMI yang baru menginjak Hongkong belum mengenal situasi dan tidak mengetahui peraturan hukum Hongkong mengenai pekerja asing.
Apabila pembayaran upah di bawah ketentuan minimum (underpayment) terjadi setelah Mei 2006, majikan dapat diadukan ke pengadilan. Namun, setelah diteliti lebih dalam, masalahnya tidak sesederhana kasus underpayment biasa.
Sebagian majikan ternyata membayar sesuai ketentuan. Bila demikian, berarti ada pihak di antara majikan dan BMI yang turut memungut upah yang semestinya menjadi hak BMI. Hal ini dibenarkan para majikan yang mengatakan tidak seluruh upah dibayarkan kepada pembantu asing. Sebagian dibayarkan kepada agen sebagai "biaya agen". Praktik pemotongan biasanya dilakukan 5 bulan-7 bulan.
Praktik pelanggaran ini diketahui BMI, tetapi hampir tidak ada yang bisa dilakukan untuk menghentikannya. Penyebabnya adalah umumnya ada perjanjian utang antara BMI dan "pihak lain" yang mewakili atau tidak mewakili agen penyalur TKI.
Perjanjian biasanya ditandatangani di Tanah Air sebelum calon BMI diberangkatkan ke negara penerima. "Pihak lain" adalah lembaga jasa penyalur kredit yang mengaku membiayai seluruh proses mulai dari pelatihan, termasuk makan-minum, tiket pesawat, hingga pembayaran visa kerja.
Rincian biaya disodorkan begitu saja untuk ditandatangani calon BMI sebagai "pengakuan utang". Surat utang juga memuat mekanisme pembayaran yang "disepakati", yang menyebutkan kewajiban BMI membayar dalam waktu tertentu yang diambil dari upah per bulan.
Untuk teknis pembayaran dan besarannya, PJTKI di Indonesia dan agensinya di Hongkong menerapkan standar berbeda antara yang belum berpengalaman dan tidak dapat berbahasa Kanton dengan yang sudah berpengalaman dan bisa berbahasa Kanton.
Untuk kelompok pertama, ditetapkan upah 2.000 dollar per bulan yang jelas underpaid. Biasanya mereka dibebankan kewajiban membayar 1.800 dollar per bulan selama lima bulan pertama.
Kelompok kedua, upahnya 3.400 dollar per bulan atau sesuai ketentuan. Beban yang diwajibkan sebesar 3.000 dollar per bulan selama tujuh bulan pertama. Jadi, upah yang diterima hanya 200 dollar-400 dollar per bulan.
Akibatnya, tidak sedikit BMI harus merelakan pemotongan hampir 100 persen dari upah tiap bulan. Keadaan menjadi lebih buruk ketika pekerjaan yang dijanjikan agen ternyata berbeda atau fiktif.
Sampai saat ini sebagian besar BMI terikat utang cukup besar, yang terkadang terbawa hingga BMI tidak lagi bekerja di luar negeri. Atas dasar "surat utang" itu, tidak jarang keluarga BMI di Tanah Air diintimidasi dan mengalami kekerasan dari pihak yang mengaku diutus perusahaan penyalur kredit.
Korban kegagalan negara
Tentu saja masalah ini tidak bisa diusut dengan menggunakan perangkat hukum di Hongkong karena akar persoalan memang lebih banyak ada di Tanah Air. Karena itu, dibutuhkan usaha sangat keras dari Pemerintah RI memberantas praktik penindasan terselubung pada BMI.
Di samping perlu memperketat pengawasan terhadap agen, pemerintah harus konsekuen memberantas perilaku menyimpang dari jajarannya sendiri. Pastikan penanganan masalah yang membelit BMI sejak di Tanah Air hingga kembali ke Tanah Air menjadi pokok perhatian pemerintah dalam membenahi sistem pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri.
Dengan melihat kultur masyarakat yang umumnya bercorak agraris dengan ikatan kekerabatan sosial cukup kuat, rasanya sedikit sekali orang Indonesia—khususnya perempuan—bercita-cita menjadi BMI dan bekerja di luar negeri. Gelombang migrasi tenaga kerja dari Indonesia ke berbagai negeri adalah bentuk keterpaksaan akibat sempitnya lapangan kerja di dalam negeri.
Dengan kata lain, kegagalan pemerintah memenuhi kewajiban konstitusionalnya memberi pekerjaan dan penghidupan layak untuk seluruh warga negara adalah faktor utama penyebab derasnya migrasi tenaga kerja. Sebagian warga negara yang terpaksa bekerja di luar negeri adalah "korban" kegagalan negara.
Enny Lestari Ketua Umum Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Monday, June 25, 2007
Label: Buruh migran, Hongkong, Kompas, masalah BMI, Opini
Medan Jadi Transit Trafficking
Seputar Indonesia
Senin, 25/06/2007
MEDAN (SINDO) – Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta menyatakan, Sumatera Utara (Sumut) menjadi daerah asal dan transit trafficking. Sebab, akses transportasi di daerah tersebut sangat mudah.
Karena itu, dia mengimbau kepada pihak terkait agar segera mengatasi persoalan tersebut. Hal ini dibenarkan Direskrim Polda Sumut Kombes Ronny F Sompie, kemarin. “Lewat laut bisa melalui Tanjung Balai dan Belawan serta pelabuhan rakyat. Juga, bisa melalui Bandara Polonia,”beber Sompie. Menurut dia, hal ini karena belum ada sinergi pencegahan antara instansi yang berkompeten, antara Dinas Tenaga Kerja dan Ditjen Imigrasi (Kantor Cabang Polonia), Belawan, Tanjung Balai, dan pihak kepolisian.
“Begitu juga Pemprov Sumut dan pemkab/pemkot dalam pengawasan pembuatan KTP lalai.Terbukti, dengan temuan pembuatan KTP palsu beberapa waktu lalu,”tukasnya. Dia mengaku kesulitan mengungkap kasus trafficking karena terganjal sistem informasi yang belum online dalam satu “bank data” yang bisa memberikan info tentang penangkapan dan penemuan kasus trafficking. “Sehingga tidak bisa maksimal membongkar sindikat trafficking secara luas,”ujarnya. Sompie menyatakan, trafficking terjadi karena job order dari negara tujuan TKI tidak jelas.
Kerap PJTKI seenaknya memberangkatkan TKI tanpa pekerjaan jelas.“Padahal, harus diketahui dulu berapa yang dibutuhkan.” Kapoltabes Medan AKBP Bambang Sukamto menyatakan, persoalan tersebut bukan hanya tanggung jawab kepolisian.“Semua instansi harus bekerja sama dalam mengawasi perekrutan TKI agar tidak menjadi korban trafficking,”katanya. Dia juga telah melakukan langkah pencegahan dengan menurunkan satuan Intelkam untuk mengumpulkan informasi sedalam- dalamnya.
Begitu juga Kamtibmas,yang melakukan penyuluhan kepada masyarakat. “Kita telah berusaha memberikan informasi-informasi terhadap masyarakat agar memilih PJTKI yang resmi agar jangan sampai terjebak setelah diberangkatkan,” ujar Bambang. Sementara itu, anggaran penanganan korban trafficking di Biro Pemberdayaan Perempuan (Biro PP) Setdaprov Sumut naik 50% dibanding tahun lalu. Kepala Biro PP Setdaprov Sumut Sabrina menyatakan, anggaran tersebut mencapai Rp150 juta. “Sedangkan tahun lalu, dana yang dialokasikan hanya Rp100 juta.
” Dana itu di antaranya untuk membantu operasional Ruang Pelayanan Khusus (RPK) korban trafficking Polda Sumut.”Jumlah bantuan itu tidak seberapa.Juga ada dana untuk LSM meskipun kecil. Dana Rp150 juta itu juga untuk membantu pemeriksaan kesehatan korban trafficking. Kita mengupayakan pemeriksaan gratis dan pengobatannya,” jelas Sabrina. Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumut Zahrin Piliang mendesak aparat penegak hukum tidak menempatkan kasus itu sebagai delik aduan, menyusul penerapan UU No 21/2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. ”Undang-undang ini memang masih baru karena diterbitkan Maret 2007.
Namun, semua aparat harusnya sudah menggunakan regulasi ini sebagai pedoman,” katanya. Zahrin menjelaskan, peraturan itu menyatakan bahwa perdagangan orang tetap dapat dipidana meskipun ada persetujuan dari pemegang kendali korban.” Undang-undang ini memuat ancaman pidana paling sedikit tiga tahun dan paling lama 15 tahun, serta denda paling sedikit Rp120 juta dan paling berat Rp 600 juta,”paparnya. (yan muhardiansyah/zialani)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Monday, June 25, 2007
Label: Buruh migran, Human Trafficking, Medan, Terminal
[Hadi Santoso] TKI Tewas Keracunan Gas
Seputar Indonesia
Senin, 25/06/2007
KAJEN (SINDO) – Seorang TKI asal Desa Wangandowo, Kec Bojong, Jawa Tengah bernama Hadi Santoso tewas keracunan gas di Brunei Darussalam. Korban yang bekerja sebagai ABK kapal, tewas pada 12 Juni lalu.
Namun hingga kemarin, jenazah korban belum tiba di desa kelahirannya. Sebelum menghembuskan napas terakhir, korban sempat dirawat di rumah sakit. Ayah korban, Tunggal, menyatakan bahwa Hadi berangkat ke negeri jiran sekitar Ramadan tahun lalu, lewat PJTKI KMS.Korban bekerja di salah satu perusahaan kapal barang milik Malaysia. Nahas,saat bekerja,korban mengalami kecelakaan keracunan gas. ”Kami baru mengetahui korban mengalami kecelakaan pada 14 Juni dari temannya yang bekerja di sana,” tukas Tunggal.
Mengetahui anaknya tewas, dia langsung menghubungi PJTKI KMS yang memberangkatkan ke negeri Jiran. Awalnya, pihak PJTKI tidak mau bertanggung jawab atas kematian anaknya. Pihak PJTKI minta keluarga mengurus sendiri kepulangan jenazah Hadi. ”Saya berharap, jenazah korban segera tiba di Tanah Air.” Ibu korban, Casmanah, mengaku bahwa korban kerap menghubungi ke rumah, minimal dua kali.Terakhir, korban menyatakan keinginannya pulang ke Indonesia,sekitar akhir Mei lalu. Anaknya, dikontrak selama dua tahun oleh perusahaan Malaysia selama dua tahun. Tiap bulan dijanjikan mendapat gaji sebesar Rp1,250 juta.
”Namun sejak bekerja belum pernah mentransfer uang karena sering berada di laut,” tukasnya. Sementara itu, kediaman korban yang berada dekat SMPN Bojong sejak sepekan lalu sudah ramai dikunjungi warga untuk mengucapkan bela sungkawa. Meski begitu, Pemkab Pekalongan, hingga kini belum memberikan bantuan kepada keluarga korban. Kepala Kantor Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Pekalongan Budi Sutrisno berjanji akan membantu proses pemulangan jenazah. ”Jika mengalami kendala,kami akan bantu,” terangnya. (zaenal alimin)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Monday, June 25, 2007
Label: BMI meninggal, Brunei, Buruh migran, Pekalongan
24 June 2007
Maid who fled employer reunited with family
The Sunday Times/AFP
24 June 2007
JAKARTA, Saturday (AFP) - An Indonesian maid who knotted pieces of fabric together to flee the 15th storey apartment where she worked in Malaysia was reunited with her family today, reports said. Ceriyati Dapin, 33, whose dramatic escape from her allegedly abusive Malaysian employers has highlighted the issue of migrant workers' rights, received an emotional welcome from her family at her home in Brebes, Central Java, the reports said.
Indonesian woman Ceriyati (L) hugs her daugther as she arrives at Sukarno Hatta airport in Tangerang on Friday .AFP
Indonesian Foreign Ministry spokesman Kristiarto Legowo said Friday that after helping her return home to see her family, the Jakarta government would “facilitate her return back to Malaysia for her legal case”. Malaysian police reportedly have arrested the women's employer, a 35-year-old woman who faces charges of wrongful confinement and causing injury with a dangerous weapon.
The head of a labour agency association said he was not hopeful that Ceriyati's case would be resolved soon, and cited the lengthy trial of employers of another Indonesian maid who had allegedly faced years of abuse.
Nirmala Bonat had been “isolated” in the Indonesian embassy in Kuala Lumpur for three years after her employers went on trial in 2004 on abuse charges that could see them jailed for 80 years, said Paul Liyanto, head of the regional association of Indonesian migrant labour agencies.
“Her employers were jailed only for three months then released on bail,” he told AFP of Nirmala's case. “The legal process has been going on for three years and there is still no verdict given to the abusers, while Nirmala is isolated in the Indonesian embassy and not allowed to return home,” he said.
Malaysian authorities this week suspended 19 maid agencies and blacklisted 85 employers for failing to pay their domestic workers. Malaysia depends heavily on foreign maids but they enjoy little protection under labour laws, often working long hours under tough conditions to earn about 100 dollars a month.
Migrant Care has said that Ceriyati's case is just the “tip of the iceberg”of maid abuse. According to its figures, from January to June this year, 19 Indonesian migrant workers died in Malaysia, 17 of them women.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Sunday, June 24, 2007
Label: AFP, Buruh migran, In English, Malaysia, masalah BMI, The Sunday Times
Jenasah TKI Meninggal di Suriah Baru Tiba
Kompas
24 Juni 2007
Sambungan berita dari Ceriyati Tak Ingin Lagi Menjadi Pembantu, Kompas
Meninggal misterius
Aan Rohanah binti Jaja Markun (20), TKI asal Kampung Sumurbatu, Desa Sukamerta, Kecamatan Rawamerta, Kabupaten Karawang, meninggal pada Sabtu (2/6) di Suriah. Namun, jenazahnya baru tiba di kampung halaman Jumat (22/6) sekitar pukul 23.00.
Kabar penyebab kematian Aan masih simpang siur. Dalam surat keterangan jenazah yang dikeluarkan Bagian Kematian Direktorat Kesehatan Suriah dinyatakan, Aan meninggal karena penyumbatan jantung setelah terjatuh dari lantai 4 apartemen tempat bekerja.
Namun, kabar dari teman korban asal Tangerang yang diterima keluarga Aan Senin (4/6) menyebutkan, kematian Aan akibat penganiayaan majikan. "Aan meninggal setelah jatuh akibat didorong majikannya dari lantai 4 ke lantai 1," tambah Muhamad Muslim (26), kakak korban.
Setelah mendapat kabar dari teman Aan, kata Muslim, keluarga menghubungi majikannya melalui telepon. Beberapa kali ditelepon, majikannya selalu beralasan Aan kabur. Namun setelah didesak, majikannya mengakui bahwa Aan meninggal karena terjatuh. (MKN/WIE)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Sunday, June 24, 2007
Label: Anak Buruh Migran, Karawang, Kompas, Pasca BMI Meninggal, Suriah
Ceriyati Tak Ingin Lagi Menjadi Pembantu
Kompas
24 Juni 2007
Jakarta, Kompas - Ceriyati, TKI asal Desa Kedungbokor, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, yang turun dari jendela lantai 15 Apartemen Tamarind Sentul, Kuala Lumpur, pekan lalu, tiba di rumahnya pada Sabtu (23/6) sekitar pukul 05.00. Kedatangan ibu dua anak itu disambut haru keluarga dan tetangganya.
Ceriyati diantar petugas dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia dan LSM Migran Care, serta ditemani suami dan dua anaknya yang menjemputnya ke Jakarta beberapa hari lalu.
Ditemui di rumah orangtuanya di Desa Kedungbokor, Kecamatan Larangan, Brebes, beberapa saat setelah melepas lelah, Ceriyati mengaku lega. Ia bersyukur bisa berkumpul kembali dengan keluarganya. Pagi itu ia melepas kangen bersama keluarga dengan makan bersama. Ibunya, Sinah (60), sengaja menyiapkan makanan kesukaannya, sayur bawang merah muda.
Ceriyati mengatakan, akan kembali ke Malaysia untuk menyelesaikan proses hukum terkait penganiayaan oleh majikannya, setelah kondisi kesehatannya pulih. Namun, ia tidak lagi berniat menjadi TKI.
Ridwan (39), suami Ceriyati lega istrinya sudah sampai ke rumah. Ia dan keluarga akan mengadakan selamatan sebagai wujud rasa syukur atas keselamatan Ceriyati. Ia tidak akan mengizinkan istrinya menjadi TKI. Dengan gaji dan uang asuransi yang diperoleh istrinya, Ridwan ingin berwiraswasta. Selain itu, ia juga berencana menyekolahkan kembali anak pertamanya, Ade Nuriman (15), yang putus saat kelas III sekolah dasar.
Ibunda Ceriyati senang dengan kepulangan anaknya. Ia mengaku tidak tidur sejak Jumat menunggu kedatangan Ceriyati. Menjadi TKI tidak hanya dilakukan Ceriyati. Anak keduanya, Ronati (46), pernah menjadi TKI di Malaysia. Namun, Ronati mendapatkan majikan yang baik sehingga bisa mengumpulkan uang dari hasil jerih payahnya.
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Sunday, June 24, 2007
Label: Buruh migran, kasus, Kompas, Malaysia
Indonesia – Malaysia Akan Perbaiki Kesepakatan Tangani TKI
Pos Kota
24 Juni 2007
JAKARTA (Pos Kota) - Kasus TKI Ceriyati di Malaysia membuat pemerintah ingin memperbaiki perjanjian kesepakatan/ memorandum of understanding (MoU) tentang informal workers. Perubahan MoU antara Indonesia dengan Malaysia ini akan dibicarakan di Surabaya, Jawa Timur, 27 dan 28 Juni 2007.
"Saya akan mengajak teman-teman dari LSM dan DPR untuk memperbaharui MoU ini. Malaysia menghormati kita. Kita minta ini dibicarakan di Indonesia dan Malaysia setuju," ungkap Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno, baru-baru ini.
MoU tentang tenaga kerja informal ini sebelumnya ditandatangani Mei 2006 lalu. MoU menjadi payung hukum bagi tenaga kerja Indonesia (TKI) yang berada di Malaysia dan menurut Erman, MoU itu berhasil memperbaiki nasib TKI.
"Tingkat gaji sudah naik. Hak-hak sebagai pekerja itu lebih baik. Seperti asuransi, tempat tinggal, hak libur dan hak politik. Namun masih perlu ada penyempurnaan-penyempurnaan yang nanti dibahas," jelasnya.
Usulan perbaikan yang pertama adalah asuransi kesehatan TKI harus dibayar majikan. Para TKI dibuatkan ID Card (kartu identitas). Usulan ini karena UU di Malaysia menyebutkan paspor TKI ditahan majikan.
"Dengan adanya ID ini polisi tidak bisa menangkap pemegang ID tersebut karena jelas identitasnya," kata Erman.
Ketika ditanya apakah dengan banyaknya kasus penyiksaan terhadap TKI, program penempatan TKI ke Malaysia akan ditutup sementara, Erman mengatakan tidak.
Menurutnya, tidak adil menutup penempatan ke Malaysia di saat banyak warga negara Indonesia (WNI) yang membutuhkan pekerjaan. “Kasus penyiksaan yang menimpa TKI lebih kecil jumlahnya dibandingkan yang berhasil.
Saat ini memang ada sekitar 279 kasus di Malaysia, tapi yang melibatkan TKI hanya 19 dan 16 diantaranya sudah selesai kasusnya. Sedangkan yang lainnya terkait kasus narkoba,” jelas Erman yang berjanji pemerintah juga tegas jika ada TKI diperlakukan tidak adil di Malaysia.
(tri)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Sunday, June 24, 2007
Label: Buruh migran, Malaysia, Malaysia positif, PosKota
Pedagang Kaki-5 Cilandak Protes
Pos Kota
24 Juni 2007
JAKARTA (Pos Kota) – Pedagang makanan, rokok dan gorengan malam hari di Cilandak dan Kebayoran Baru , menggunakan gerobak maupun tenda darurat protes penertiab dilakukan petugas Tramtib Jaksel. “Kami sama sekali tidak mengganggu kelancaran arus lalulintas dan pejalan kaki. tapi kenapa tetap harus ditertibkan,” keluh Yadi, pedagang nasi goreng, di Kebayoran Baru, Minggu (24/6).
Mereka mengaku membuka usaha di kawasan tersebut mulai Pk. 16:30 hingga Pk. 23:00. Pada jam tersebut, ktanya, keberadaannya tidak mengganggu kenyamanan pejalan kaki serta lalulintas. Apalagi tenda dan gerobak nasi goreng dibuka di lahan kosong atau depan pelataran parkir pertokoan yang telah tutup.
Hal serupa dikeluhkan Ny. Ipah, pedagang rokok. Ia mengaku gerobak rokok yang dipakai berjualan sudah lama berdiri di situ. Selama ini tak ada masalah. “Kenapa sekarang diobrak-abrik petugas Tramtib Jaksel?”.
Padahal setiap malam, lanjut dia, ada saja oknum yang mengatas namakan petugas minta uang kebersihan, ketertiban dan keamanan.” Besarnya memang tak seberapa hanya Rp 1.500/pedagang”.
SELALU DIAWASI
Dudi, pedagang gorengan, di kawasan belakang kantor Departemen PU, Jl. Raden Patah, juga mengaku setiap hari ada uang jago. Besarnyar Rp 2500/pedagang. “Uang itu belum termasuk sewa lokasi atau lainnya yang diminta oknum dari kecamatan setempat,” ujarnya kesal.
PLH Kasudin Tramtib Jaksel Jurnalis didampingi Kasie Operasional Tramtib setempat Nanto, mengatakan pihaknya tak memberikan kesempatan untuk pedagang seenaknya membuka usaha di pinggir jalan, trotoar dan jalur hijau.
“Setiap hari sejumlah kawasan yang rawan kehadiran pedagang selalu diawasi, “ujarnya. Yang bandel melanggar langsung ditertibkan dan diangkut gerobaknya. Dalam kegiatan dua hari ini ada sekitar 13 gerobak dan lapak pedagang malam yang berhasil digaruk anggotanya dan langsung dibawa ke Gudang Tramtib di Kebayoran Lama dan Cakung.
(anton)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Sunday, June 24, 2007
Label: pedagang kaki lima, Penggusuran, PosKota
Puluhan Calon TKI Tertipu, Uang Dibawa Kabur Penyalur
Pos Kota
24 Juni 2007
DEPOK (Pos Kota) - Tergiur bekerja ke Taiwan dengan gaji yang tinggi, sedikitnya 50 pencari kerja dari sejumlah daerah ditipu oleh perusahaan penyalur. Masing-masing korban sudah menyetor sedikitnya Rp 1 juta, namun bukannya diberangkatkan kantor penyalur ternyata ditinggal kosong.
Merasa tertipu, sejumlah korban mengadu ke Polsek Sukmajaya, Minggu (24/6). Informasi yang dihimpun, kejadian berawal saat mereka melihat lowongan pekerjaan dari PT PHB di Jl Villa Pertiwi Blok RT 04/04 Sukmajaya, Depok. Dengan iming-iming gaji tinggi dan biaya administrasi sebesar Rp 27 juta boleh diangsur, puluhan orang tertarik untuk mendaftar jadi calon TKI.
Namun setelah membayar uang muka, tak kunjung ada panggilan. “Sejak kemarin sore saya telpon ke PT. PHB tak ada yang mengangkat, lantas saya kesini sudah kosong dan banyak yang senasib dengan saya,” ujar Purwanto,29, korban asal Tanah Abang, Jakpus, yang sudah membayar Rp 2 juta.
Masing-masing korban menyetor dengan jumlah bervariasi, antara Rp 1 sampai Rp 3 juta. “Kalau saya sudah bayar Rp 1,5 juta,” tutur Sri, 40, korban yang berasal dari Cilacap. Total kerugian diperkirakan sekitar Rp 60 juta.
Warga sekitar menyebutkan PT PHB baru tiga bulan mengontrak di tempat itu, namun kini tak ada aktifitas apa-apa di tempat tersebut.
Kapolsek Sukmajaya AKP Sukardi mengatakan pihaknya sedang memintai keterangan saksi korban. Pihaknya segera akan memanggil Des selaku direktur perusahaan itu.
(C8)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Sunday, June 24, 2007
Label: Buruh migran, Penipuan, PosKota
UN dan Bunuh Diri
detikcom
24/06/2007
Jakarta - Ada banyak sebab seseorang memilih mengakhiri hidup sendiri alias bunuh diri. Belakangan, ujian nasional (UN) justru menjadi alasan bunuh diri beberapa siswa.
Kasus teranyar adalah yang dilakukan Endang Lestari. Siswi SMPN 1 Kerjo, Karanganyar, Jawa Tengah, ini nekat gantung diri lantaran tidak lulus UN. Akhirnya, gadis itu meregang nyawa dengan lilitan selendang di lehernya, Sabtu 23 Juni kemarin.
Sebelumnya, Fitri Ismawati (18) juga nekat mau bunuh diri. Penyebabnya sama, malu karena tidak lulus UN.
Fitri nekat menenggak cairan pembersih lantai. Untungnya, nyawa siswi SMK swasta di Gunungkidul, Yogyakarta ini bisa diselamatkan.
Tuti Sukarni, guru bimbingan konseling di SMA Negeri 10 Jakarta, pernah mendapat telepon, empat muridnya yang tidak lulus UN mencoba bunuh diri.
Satu anak kedapatan menyayat pergelangan tangannya dengan pisau silet. Seorang lainnya mengunci diri di kamar dengan membawa pisau. Siswa yang lain lagi telah menyiapkan obat pembasmi serangga dan gelas untuk meneggaknya.
Akibat UN tahun 20006 lalu, Komnas Perlindungan Anak mencatat, setidaknya 100 anak menderita trauma UN.
Selain bunuh diri, kegagalan UN memicu aksi kekerasan para siswa. Di Bekasi, pada tahun lalu ada siswa SMK yang gagal UN, sempat membakar bangunan sekolahnya.
Peristiwa tersebut terjadi lagi setahun kemudian, saat gedung SMKN Boking, Timor Tengah Selatan, NTT porak poranda gara-gara siswa satu sekolah tidak jebol UN.
Rupanya masih banyak pekerjaan rumah UN yang harus dibenahi. (nvt/nvt)
Nurvita Indarini
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Sunday, June 24, 2007
Label: Anak, Bunuh diri, Karanganyar
23 June 2007
112 Indonesian migrant workers from Sampang deported from Malaysia
Antara News Agency
06/23/07
E Java (ANTARA News) - Malaysia since early this year has deported 112 illegal Indonesian migrant workers from Sampang district, East Java, Teguh Waluyo of the Manpower office here said on Saturday.
He said that most of the deported Indonesian workers came from the northern part of Sampang district and had low education. "They left for Malaysia to work illegally under the assistance of middlemen," he said.
Though the manpower office had provided guidance for would-be migrant workers so that they would work with official documents, many locals from Sampang forced themselves to leave for Malaysia illegally with the assistance of `tekong` (middlemen), he said.
Waluyo said that the number of unmployed people in Sampang reached 20,165.
"We acknowledge that the unmployment rate in Sampang is high but we hope that they would not risk themselves by becoming illegal migrant workers overseas," he added.
The manpower official said that people should learn a lesson from the fate of those deported from Malaysia where they had to receive punishment before they were returned home carrying no fortunes with them.
"Please find jobs overseas but through the official channels so that fate and security would be guaranteed," he added.(*)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Saturday, June 23, 2007
Label: ANTARA News, deportasi, In English, Malaysia, Sampang
Police detain 12 foreign workers in Taipei County
Taipei Times - Taiwan
Police detained 12 migrant workers from Indonesia on Thursday who had run away from their jobs and hid out in an apartment in Tucheng ( ¤g<<° ), Taipei ...
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Saturday, June 23, 2007
Label: In English, lari dari pekerjaan, masalah BMI, Taipei Times
76 WNI Ditangkap di AS
Kompas
23 Juni 2007
Diduga Lakukan Pelanggaran Keimigrasian, KJRI Upayakan Akses
Jakarta, kompas - Sebanyak 76 warga negara Indonesia atau WNI yang berada di Amerika Serikat, Rabu (20/6) waktu AS, ditangkap aparat imigrasi bersama puluhan warga dari beberapa negara lainnya di Pennsylvania. Mereka ditangkap karena diduga melakukan pelanggaran keimigrasian.
Hal itu disampaikan juru bicara Deplu RI Kristiarto S Legowo, Jumat (22/6) di Jakarta.
Dijelaskan, pihak Konsulat Jenderal RI (KJRI) di New York sudah menyampaikan permintaan akses kekonsuleran untuk bisa bertemu dengan ke-76 WNI tersebut dan akses tersebut saat ini masih dalam proses.
Kristiarto menguraikan, ke-76 WNI itu kini ditahan di empat penjara, yaitu 32 orang di York County Prison, 19 di Lakawana County Prison, 12 di Hudson County Prison, dan 13 di High County Prison.
Ke-76 WNI itu bekerja di sebuah pabrik kemasan plastik bernama Artube Iridium Industries. Mereka ditangkap sekitar pukul 06.00 waktu setempat, dengan tuduhan pelanggaran imigrasi, seperti tinggal melebihi batas waktu (overstay) dan bekerja tanpa izin resmi. Namun, Deplu belum bisa menyampaikan siapa saja ke-76 WNI itu dan sudah berapa lama berada di AS.
"Tentunya setelah kami dapatkan akses kekonsuleran, kami akan mendapatkan data lebih rinci dari mereka dan kami ke depan akan melakukan pendampingan jika nanti mereka akan diproses secara hukum di AS," ujarnya.
Kristiarto mengungkapkan, perlindungan yang diberikan Pemerintah RI bukan berarti memutihkan kasus pelanggaran yang mereka lakukan, tetapi lebih pada memastikan tidak ada hak- hak mereka yang dikurangi sebagai warga negara asing yang sedang terlibat masalah hukum di negara tersebut sesuai dengan aturan hukum di sana.
Ditambahkan, sejak satu tahun lalu ketika Pemerintah AS mengumumkan bahwa mereka akan melakukan pemeriksaan warga negara asing yang tinggal di AS, seluruh perwakilan RI di AS sejak awal sudah coba menyosialisasikan masalah ini.
"Kami mengimbau agar setiap WNI yang ada di AS mematuhi ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut. Itu sudah kami lakukan berulang-ulang," ujar Kristiarto.
Kasus Ceriyati
Jubir Deplu juga menyampaikan perkembangan kasus Ceriyati, tenaga kerja wanita yang mengalami penyiksaan di Malaysia. Disampaikan, saat ini Ceriyati masih berada di KBRI Kuala Lumpur.
"Ada rencana dari pemerintah untuk memfasilitasi kepulangan sementara yang bersangkutan agar yang bersangkutan bertemu kembali dengan sanak keluarganya dan pada saatnya nanti ketika diperlukan, pemerintah juga akan memfasilitasi kembalinya Ceriyati ke Kuala Lumpur, melanjutkan proses hukum yang selama ini sedang ditempuh, khususnya terkait upaya yang bersangkutan untuk mendapatkan kembali hak- hak yang selama ini diingkari oleh majikannya," ujar Kristiarto.
Soal Palestina
Tentang perkembangan di Palestina, Kristiarto menyampaikan, sikap Pemerintah RI masih tetap sama, yaitu mengharapkan agar konflik bisa segera diakhiri dan rekonsiliasi segera dipulihkan sehingga pemerintahan persatuan Palestina bisa dipulihkan kembali.
"Kita mengharapkan otoritas yang ada dapat segera melakukan langkah-langkah yang mengarah pada rekonsiliasi. Kita yakin hanya dengan persatuan bangsa Palestina, upaya mereka untuk mewujudkan negara yang berdaulat akan bisa diwujudkan," ungkapnya. (OKI)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Saturday, June 23, 2007
[Joko Prayitno] TKI Asal Bantul Meninggal di Malaysia
Kompas
23 Juni 2007
Yogyakarta, Kompas - Joko Prayitno (22)—tenaga kerja Indonesia asal Dusun Kedungpring, Desa Bawuran, Kecamatan Pleret, Bantul—yang bekerja pada perusahaan kayu lapis di Malaysia meninggal akibat kecelakaan kerja, Minggu (17/6) lalu. Namun, jenazahnya baru dikebumikan kemarin sore di kampungnya karena baru diantar ke rumahnya pada Kamis malam.
Menurut penuturan pihak keluarga, Joko, anak tunggal pasangan Rejeb (42) dan Partono (45), mengalami kecelakaan Sabtu pekan lalu. Saat itu dia diminta pihak perusahaan membetulkan atap asrama di kompleks pabrik tersebut.
Entah mengapa, Joko terjatuh dari atap yang tingginya sekitar empat meter. Bagian belakang kepalanya membentur lantai beton. Ia segera dilarikan ke rumah sakit, namun Minggu malam Joko meninggal.
Keluarga menerima kabar duka setelah salah satu teman Joko, warga desa yang sama dan bekerja di perusahaan yang sama, menelepon Senin pagi.
Menurut Sukasno, Joko kerja kontrak di perusahaan itu sejak awal tahun 2006 (untuk dua tahun). Sebelumnya Joko bekerja sebagai tukang kayu. Ia berangkat ke Negeri Jiran lewat salah satu perusahaan penyalur jasa tenaga kerja di Pontianak.
Kepala Seksi Penempatan Tenaga Kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Bantul Joseph Domley mengatakan, pihaknya belum mengetahui kabar kematian Joko. "Kami sudah menghubungi paguyuban PJTKI (Perusahaan Jawatan Tenaga Kerja Indonesia) DIY dan memintanya untuk mengecek ke seluruh perusahaan penyalur tenaga kerja, namun belum diketahui kabarnya," ujar Joseph. (AB2/PRA)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Saturday, June 23, 2007
Label: BMI meninggal, Buruh migran, Jogyakarta, kecelakaan, Kompas, Malaysia
Penertiban Pedagang Kaki-5 Ricuh
Pos Kota
23 Juni 2007
JAKARTA (Pos Kota) - Penertiban terhadap pedagang Kaki-5 di bawah Jembatan Layang Jl. Mayjen Sutoyo berlangsung ricuh. Salah seorang petugas Tramtib dan Linmas Walikota Jakarta Timur bagian mulutnya sampai berdarah-darah. Korban bernama Mario langsung dibawa ke rumah sakit terdekat, untuk mendapat pertolongan pertama.
Peristiwa ini berawal ketika aparat tramtib mau menertibkan pedagang di Jl. Mayjen Sutoyo, Cawang. Ketika melihat puluhan petugas tiba di lokasi, sekelompok lelaki yang biasanya menggelar dagangan di depan Gedung Wika tersebut bukannya kabur, tapi malah menghadang.
Mereka serta merta melemparti petugas dengan bebatuan karena lapak mereka sudah beberapa kali ini digaruk aparat. Leparan batu itu satu di antaranya mengenai bagian mulut Mario. Korban dalam keadaan berdarah-darah itu kemudian dibawa ke rumah sakit terdekat.
Mendapat perlawanan itu sejumlah petugas mencoba mengejar lelaki yang melempari batu tersebut. Namun aparat gagal menangkapnya. Atus lalu lintas pun semakin macet. Bahkan beberapa mobil pribadi sempat kena lemparan batu, karena sulit menghindar.
TIDAK KENDOR
Kepala Seksi Operasi Sudin Tramtib dan Linmas Jakarta Timur Lantip mengakui adanya keributan tersebut,.dan salah satu anggotanya luka-luka di bagian mulut akibat lemparan batu.
Setiap sore di kawasan Cawang tersebut selalu dijaga aparat tramtib. Sebab, tidak sedikit pedagang yang menggelar dagangan di trotoar dan badan jalan. Selain melanggar ketertiban umum juga menganggu pengguna jalan .
“Kami tak segan-segan mengangkut lapak pedagang , karena mereka menggelar dagangan di tempat terlarang,” ungkap Lantip, seraya menambahkan dengan kejadian tersebut pihaknya tidak mengendorkan niatnya untuk menjaga kawasan Jl. Mayjen Sutoyo.
“Kami tetap mengawasi lokasi tersebut,” tandasnya.
(mardjono)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Saturday, June 23, 2007
Label: pedagang kaki lima, Penggusuran, PosKota